Wednesday, February 18, 2009

Perbankan Nasional Belum Efisien

Oleh: Ukay Karyadi
Sumber: Investor Daily, 18 Februari 2009

Harian Investor Daily edisi Jumat (13/2) lalu, menurunkan tulisan yang menyebutkan perbankan nasional dinilai tidak efisien. Padahal efisensi perbankan merupakan sarana penting untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk upaya menggerakan sektor riil

Belum efisiennya perbankan nasional itu bisa dilihat dari masih tingginya selisih (spread) suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan. Inefisiensi di tubuh perbankan nasional, juga tercermin dari tingginya rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO).

Menurut data Bank Indonesia (BI) per Desember 2008, BOPO rata-rata perbankan nasional mencapai 88,59%, jauh di atas rasio ideal yang berkisar 70-80%. Padahal efisiensi perbankan merupakan sarana penting untuk efektivitas kebijakan moneter. Artinya, kebijakan moneter untuk menggerakan sektor riil hanya akan berjalan bila ditunjang sektor perbankan yang efisien.

Maka tidak mengherankan, meski BI telah menurunkan suku bunga acuan ke posisi 8,5% dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menurunkan bunga penjaminan menjadi 9%, kalangan dunia usaha belum merasakan dampaknya. Mereka masih harus menaggung beban suku bunga kredit yang tinggi (rata-rata 16%), malahan untuk sektor konsumsi dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dikenakan suku bunga yang jauh lebih tinggi.

Secara umum, efisiensi perbankan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi biaya dan sisi keuntungan. Menurut Berger dan Master (1997) model pendekatan efisiensi profit lebih unggul dibanding pendekatan efisiensi biaya. Alasannya. Pertama, efisiensi profit telah memperhitungkan inefisiensi dari dua sisi, yaitu sisi input dan output. Sementara efisiensi biaya lebih ditekankan pada sisi input.

Kedua, secara konsep ekonomi, efisiensi profit dapat diterima daripada efisiensi biaya. Ketiga, efisiensi biaya pada prinsipnya didasarkan pada biaya minimum pada suatu level output tertentu, padahal tingkat output tersebut belum tentu berada pada level output optimal.

Struktur Pasar

Mengingat struktur pasar kredit perbankan berpengaruh terhadap efisiensi bank-bank, maka sangat penting untuk mengetahui seperti apa struktur pasar kredit perbankan di Indonesia.

Bila menengok jauh ke belakang, struktur pasar kredit di Indonesia sebenarnya sangat dinamis. Sebelum Paket Kebijakan 1988, bank-bank milik pemerintah (BUMN) sangat mendominasi pasar kredit perbankan di Indonesia. Namun pascapaket kebijakan tersebut diberlakukan, secara perlahan bank swasta mengambil alih share pasar kredit dari bank persero (BUMN), hingga akhirnya pada tahun 1994 bank swasta telah mendominasi pasar kredit.

Pangsa pasar kredit bank persero menurun dari 72% pada tahun 1982 menjadi 42% pada tahun 1994. Di sisi lain, share dari bank swasta meningkat dari 12% (1982) menjadi 45% (1994). Tren ini terus berlangsung sampai krisis ekonomi menerjang Indonesia pada tahun 1997/1998.

Lalu, bagaimana kondisi pasar kredit bank saat ini? Meski jumlah bank umum di Indonesia per Desember 2008 tercatat 124 bank, tapi sifat industri perbankan masih sangat terkonsentrasi. Lihat saja, dengan jumlah hanya empat bank persero saja (Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN), bank-bank milik negara ini pada akhir 2008 menguasai 36,68% aset perbankan, 38,20% dana pihak ketiga (DPK), dan 35,99% pasar kredit perbankan.

Sementara itu, berdasarkan data BI, sudah kian jelas bahwa pada akhir tahun 2008, 10 bank terbesar menguasai 62,22% total aset perbankan, 65,03% DPK, dan 60,76% pasar kredit perbankan. Kondisi industri perbankan yang terkonsentrasi tersebut, dapat membawa konsekuensi bagi perilaku individual bank dalam pasar, termasuk dalam hal perilaku penawaran kredit.

Entitas Bisnis

Pada prinsipnya, bank adalah sebuah entitas bisnis sehingga dapat diperlakukan sebagai sebuah perusahaan lainnya. Sebuah bank akan bereaksi secara optimal terhadap lingkungannya, termasuk struktur industri dan pasar di mana bank tersebut beroperasi. Reaksi optimal bank terhadap lingkungannya ini dapat tercermin dengan perilaku maksimisasi keuntungan ataupun minimisasi biaya.

Namun demikian, perlu digarisbawahi ketika kondisi bank-bank tidak efisien, maka perilaku maksimisasi profit yang dilakukan bank-bank tersebut adalah berupa transfer biaya kepada debitur. Dan ironisnya, hal ini akan terus berlangsung apabila struktur industri perbankan tersebut tidak kompetitif.

Jelas, perilaku maksimisasi profit semacam ini tidak mencerminkan kondisi ideal bagi fungsi intermediasi perbankan, terutama menyangkut tingginya spread suku bunga kredit dan suku bunga simpanan. Tingginya spread ini berpotensi memunculkan permasalahan adverse selection dalam pasar kredit.

Dengan demikian, untuk meningkatkan efisiensi perbankan nasional, maka maka hal utama yang mesti dilakukan adalah dengan cara mendorong kompetisi di pasar kredit. Ini dapat ditempuh salah satunya dengan meningkatkan peran lembaga keuangan di luar bank konvensional, yakni bank syariah dan lembaga keuangan nonbank sebagai sumber-sumber pembiayaan bagi dunia usaha (sektor riil).

Penulis adalah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Alumnus Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI.

1 comment:

  1. wahaha.., bravo bos !!.
    Banyak amat tulisannya, berapa jam dialokasikan per hari untuk baca referensi ?, berapa jam untuk satu tulisan ?

    ReplyDelete