Saturday, February 14, 2009

Stimulus Tanpa Fokus

Oleh: Bambang Soesatyo
Sumber: Jurnal Nasional, 14 Februari 2009

Masyarakat dan pengusaha hanya minta stimulus yang lazim dipraktikan, yakni dengan mekanisme pemotongan atau keringanan pajak dan ekspansi APBN atau penguatan konsumsi pemerintah

STIMULUS fiskal mestinya bisa menenangkan rakyat karena teoritis memperkecil potensi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengusaha pun mestinya bergairah karena kekuatan konsumsi masyarakat akan terjaga berkat stimulus fiskal itu. Sebab tinggi-rendahnya konsumsi dalam negeri menjadi penentu tinggi rendahnya putaran mesin produksi.

Apakah stimulus fiskal dalam APBN 2009 bernilai Rp 71,3 trilyun itu mampu mendongkrak konsumsi dalam negeri, mem­perkecil potensi PHK atau menciptakan lapangan kerja baru? Bahkan Komisi XI DPR--partner pemerintah dalam merumuskan APBN-- pun ragu dengan efektivitas stimulus fiskal itu. Karena keraguan itulah, stimulus fiskal 2009 belum bisa dikatakan sudah final. Sebab, pekan lalu, Komisi XI DPR minta pemerintah mengubah lagi paket stimulus ekonomi 2009. DPR menghendaki dan 'memaksa' pemerintah untuk merumuskan lagi kebijakan fiskal 2009 yang benar-benar memiliki kekuatan menstimulir perekonomian nasional.

Bagi Komisi XI DPR, stimulus fiskal 2009 versi pemerintah belum layak disebut stimulus. Bagai­mana mau disebut stimulus kalau yang efektif dirasakan langsung oleh masyarakat luas hanya Rp 10,2 trilyun dari total aloklasi Rp 71,3 trilyun. DPR minta kekuatan atau anggaran untuk stimulus diperbesar. Sikap DPR diperkuat pandangan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita. Ginandjar menilai, alokasi dana stimulus terlalu minim, dan program stimulusn­ya sendiri tidak fokus. Stimulus ekonomi yang mengandalkan keringanan PPh (pajak penghasilan) untuk meningkatkan belanja masyarakat tidak akan banyak bermanfaat.

Sebab, sebagian besar masyarakat Indonesia berpenghasilan di bawah angka penghasilan tidak kena pajak. Stimulus keringanan pajak penjualan untuk kegiatan ekspor dan produksi juga tidak efektif karena permintaan barang di negara tujuan ekspor Indonesia turun tajam. Komisi XI DPR bersikeras dengan tujuan utama stimulus fiskal, yakni mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat dan pemerintah, mendongkrak produktivitas sektor riil dan memperkecil ancaman PHK.

Bahkan kalau perlu, stimulus fiskal mampu menciptakan lapangan kerja baru. DPR mementah­kan keputusan pemerintah memasukan potential loss dari penurunan tarif PPh badan maupun orang pribadi sebesar Rp 43 trilyun ke dalam perhitungan paket stimulus 2009. Sebab, tak ada daya stimulus dari model perhitungan seperti itu. Apala­gi, niat menurunkan tarif PPh diterima DPR sejak 2005.

Stimulus fiskal adalah motivator. Pemerintah mengguna­kan kekuatan anggarannya untuk mendorong penguatan konsumsi dan memotivasi produktivitas dunia usaha. Karena sifatnya yang motivator itu, stimulus fiskal mencerminkan ekspansi APBN. Kalau ekspansi mengakibatkan APBN defisit, pun bukan dosa selama dia mampu mencegah kerusakan struktur perekono­mian secara keseluruhan. Justru untuk mencegah kerusakan itulah diperlukan stimulus fiskal. Ekonomi AS akan rusak parah jika Tiga Besar industri mobil (General Motors, Ford Motors dan Chrysler) dibiarkan bangkrut. Maka, dalam paket stimulus ekonomi AS, ada bantuan injeksi modal kerja untuk tiga besar.

Namun, tidak berarti implementasi stimulus fiskal berbentuk injeksi modal kerja ke perusahaan yang terancam bangkrut. Rasanya, dunia usaha nasional tak pernah minta injeksi dana. Masyarakat dan pengusaha hanya minta stimulus yang lazim dipraktikan, yakni dengan mekanisme pemotongan atau keringanan pajak dan ekspansi APBN atau penguatan konsumsi pemerintah.

Pendekatan pemerintah memang sudah dalam track stimulus fiskal, yakni pendekatan meringankan pajak dan belanja pemerintah dalam program pembangunan infrastruktur. Namun, para Menteri ekonomi seperti kehilangan fokus. Mungkin karena kurang komprehensif memahami masalah di lapangan. Kecenderungan itu tercermin dari berubah-ubahnya stimulus fiskal. Hingga Februari ini, masyarakat sudah disuguhi tiga versi stimulus fiskal.

Versi yang dipergunjingkan sekarang adalah versi ketiga bernilai Rp 71,3 trilyun. Paket stimulus fiskal pertama diu­mumkan November 2008 dengan alokasi Rp 12,5 triliun, hasil perhitungan APBN-P 2008. Versi kedua diumumkan Presiden pada awal Januari 2009. Paket stimulus itu membesar jadi Rp 51,3 trilyun, diperoleh dari sisa lebih pembiayaan dan anggaran (Silpa) APBN-P 2008. Stimulus Fiskal 2009 itu berupa Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DTP).

Telah berulangkali Kadin memintan perhatian para menteri terhadap masalah daya beli masyarakat yang lemah. Pun, berkali-kali Kadin mengingatkan tentang perlunya menur­unkan biaya produksi melalui pendekatan penurunan biaya energi dan suku bunga bank. Stimulus fiskal dan stimulus moneter mestinya merespons masalah-masalah itu. Stimulis fiskal dan stimulus moneter mestinya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Keduanya tak boleh dibuat terpisah atau terkotak-kotak seperti sekarang.

Kebijakan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) mestinya bisa memperkuat daya konsumsi masyarakat jika diikuti dengan penurunan tarif transportasi dan harga bar­ang, terutama komoditas kebutuhan pokok. Penguatan daya konsumsi masyarakat diperoleh dari berkurangnya belanja transportasi keluarga. Namun, hingga pekan pertama Februari 2009, tarif transportasi di sebagian kota besar tidak juga turun. Harga beberapa komoditas kebutuhan pokok, seperti tomat dan bawang, justru naik.

Kalau stimulus fiskal tidak difokuskan pada upaya memperkuat konsumsi dalam negeri atau menguatkan daya beli rakyat serta menurunkan suku bunga bank, upaya memperkecil dampak krisis finansial bisa gagal total. Sebab, jika kon­sumsi dalam negeri dibiarkan lemah seperti sekarang, produk­tivitas industri dalam negeri pun akan terus menciut. Pen­ciutan volume produksi memaksa perusahaan melakukan rasionalisasi dengan opsi yang paling gampang, PHK. Kalau rasiona­lisasi itu berlangsung serentak dan berkesinambungan, keru­sakan struktur perekonomian kita akan sangat parah.

Fokuslah pada upaya pengendalian harga dan tarif serta penurunan suku bunga bank. Kita tentu sepakat, Menko Perekonomian (Plt.) kita itu memang orang pintar dan berani. Namun kita berharap Ia tidak hanya pintar dan berani memainkan angka hanya untuk menyenangkan hati Presiden. Namun juga harus pintar dan berani mewujudkan angka-angka itu pada pencapaian nyata di masyarakat, tidak hanya di dalam kelas
atau di atas kertas.

Penulis adalah Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin/Ketua Umum ARDIN Indonesia

No comments:

Post a Comment