Thursday, February 19, 2009

Benar-benar Kebal Krisiskah Cina?

Oleh: Kenneth Rogoff
Sumber: Koran Tempo, 19 Februari 2009

Dalam pidatonya pada sidang tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Perdana Menteri Cina Wen Jiabao menjelaskan rencana pemerintahnya untuk melawan meltdown ekonomi global dengan belanja publik dan pinjaman. Ia menjamin pertumbuhan tahunan Cina akan tetap berada di atas 8 persen pada 2009. Pernyataan Wen ini bagaikan susu hangat bagi para pemimpin politik dan bisnis global yang mati rasa akibat resesi pada sidang tersebut.

Tapi apakah pemerintah Cina punya kelengkapan yang diperlukan untuk menjamin ekonominya tetap begitu kenyal? Mungkin, tapi semuanya belum jelas. Resesi yang semakin parah di Amerika telah memukul sektor ekspor Cina, seperti juga di mana-mana di Asia. Masalah mendesaknya terletak pada krisis kredit, bukan di Cina melainkan di Amerika Serikat dan Eropa, di mana banyak importir kecil dan menengah tidak bisa memperoleh kredit perdagangan yang mereka butuhkan untuk melakukan pembelian dari luar negeri

Walhasil, daerah-daerah pantai Cina, yang dulu mengalami booming, sekarang bagaikan kota hantu, sementara puluhan ribu pekerja yang terkena PHK berkemas-kemas pulang ke desanya masing-masing. Begitu juga di kawasan industri Korea di Beijing, di mana mungkin separuh dari 200-300 ribu orang, terutama para pekerja (dan keluarganya) yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Korea yang memproduksi barang di Cina untuk diekspor, kabarnya telah juga pulang ke kampungnya masing-masing.

Dengan cadangan devisa sekitar US$ 2 triliun, Cina memang punya banyak uang untuk mendanai kenaikan belanja pemerintah yang besar dan membantu memagari pinjaman bank agar tidak melimpah terlalu jauh. Banyak peneliti terkemuka masalah Cina yakin bahwa pemerintah akan berupaya sekuat tenaga mempertahankan pertumbuhan di atas 8 persen. Tapi ada triknya. Walaupun berhasil dalam jangka pendek, pergeseran yang begitu besar ke arah belanja pemerintah hampir pasti bakal memperlambat pertumbuhan pada tahun-tahun ke depan di ujung jalan.

Sederhananya, masih belum jelas bahwa proyek infrastruktur yang tidak begitu penting pantas dibangun, mengingat Cina sudah menginvestasikan lebih dari 45 persen dari pendapatannya sebagian besar di bidang infrastruktur. Benar, stimulus fiskal yang dikucurkan pemerintah Cina secara efektif terdiri atas pinjaman ke sektor swasta melalui sektor perbankan yang dikontrol dengan ketat. Tapi apakah ada alasan untuk meyakini bahwa pinjaman-pinjaman baru ini akan disalurkan ke proyek-proyek yang berarti, bukan kepada para debitor yang punya koneksi politik?

Sebenarnya keberhasilan Cina sampai saat ini terletak pada adanya keseimbangan antara ekspansi sektor pemerintah dan ekspansi sektor swasta. Meningkatkan profil pemerintah yang sudah terlalu besar itu dalam perekonomian Cina bisa merusak keseimbangan yang sangat sensitif ini, sehingga bisa menurunkan pertumbuhan di masa datang. Lebih baik Cina mencari jalan menggantikan permintaan konsumsi swasta di AS dengan konsumsi permintaan swasta di dalam negeri, tapi cara seperti ini tampaknya tidak mampu bergerak dengan cepat ke arah yang diinginkan. Jika investasi pemerintah harus menjadi kendaraan utamanya, jauh lebih baik membangun sekolah dan rumah sakit yang sangat dibutuhkan daripada "jembatan yang tidak tentu hendak ke mana", seperti yang dilakukan Jepang ketika menempuh jalan serupa pada 1990-an. Sayangnya, para pejabat lokal Cina perlu berlomba dalam "turnamen pertumbuhan" ini untuk naik jabatan. Sekolah dan rumah sakit jelas tidak menghasilkan pendapatan pajak yang cepat serta pertumbuhan PDB yang diperlukan untuk mengalahkan pesaing-pesaing politik dalam perlombaan ini.

Bahkan, sebelum mulai terjadi resesi global, sudah ada alasan yang kuat untuk merasa ragu terhadap keberlanjutan paradigma pertumbuhan Cina. Kerusakan lingkungan tampak jelas, bahkan di mata pengamat sepintas. Dan para ekonom sudah mulai berkalkulasi bahwa, jika Cina terus mempertahankan laju pertumbuhannya yang tinggi itu, ia segera bakal menempati pangsa ekonomi global yang terlalu besar untuk dapat mempertahankan trajectory ekspornya akhir-akhir ini. Maka, pergeseran ke arah konsumsi dalam negeri yang lebih besar bagaimanapun juga tidak terhindarkan. Resesi global telah membawa masalah itu ke depan beberapa tahun lebih cepat.

Menariknya, Amerika Serikat menghadapi sejumlah tantangan serupa. Selama bertahun-tahun AS telah mencatat pertumbuhan uang cepat dengan menunda perhatian terhadap berbagai persoalan, mulai dari persoalan lingkungan sampai persoalan infrastruktur dan pelayanan kesehatan. Bahkan, tanpa krisis finansial seperti yang dihadapinya saat ini, penanganan kelemahan di bidang-bidang ini sudah pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Bukannya hendak mengatakan bahwa AS dan Cina itu sama. Salah satu tantangan besar ke depan adalah menemukan jalan mengendalikan tabungan kedua negara ini, mengingat ketidakseimbangan perdagangan yang besar di antara kedua negara yang menurut banyak pihak merupakan bibit krisis finansial yang melanda dunia saat ini.

Saya teringat akan tantangan-tantangan tersebut baru-baru ini ketika seorang peneliti Cina menjelaskan bahwa laki-laki di Cina terpaksa menabung guna mendapatkan istri. Pada pekan yang sama, seorang mahasiswa saya yang kehilangan pekerjaan menjanjikan di sektor finansial mengatakan bahwa ia tidak bisa menabung karena hidup di New York sangat mahal! Perbedaan sosial ini tidak ada hubungannya dengan nilai tukar yuan-dolar, walaupun itu juga penting.

Bagaimanapun, krisis finansial sekarang ini mungkin bakal secara signifikan memperlambat pertumbuhan jangka menengah Cina. Tapi apakah para pemimpin Cina dapat menstabilkan situasi dalam waktu dekat ini? Saya harap begitu. Tapi saya lebih diyakinkan oleh rencana yang lebih condong ke arah konsumsi domestik, peningkatan kesehatan, dan pendidikan daripada rencana yang berpijak pada strategi pertumbuhan yang sama selama 30 tahun terakhir.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Harvard University, Mantan Chief Economist Dana Moneter Internasional

No comments:

Post a Comment