Monday, February 2, 2009

Membangun Industri Berbasis Sawit

Oleh: Khudori
Sumber: Republika, 2 Februari 2009

Presiden terus berganti, dari Soeharto-Habibie-Gus Dur-Megawati dan kini Yudhoyono. Tapi, strategi pengembangan agroindustri negeri ini tak berubah. Pemerintah Indonesia tergolong rakus sehingga harus menangani 300 komoditas pertanian secara bersamaan. Akibatnya, pengembangan agroindustri tidak fokus dan tidak punya prioritas yang jelas untuk membuat sektor ini sebagai duta dan juru bicara di tingkat dunia. Banyaknya komoditas yang ditangani mengindikasikan bahwa pemerintah tidak tahu persis keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa yang bisa dipertandingkan di pasar dunia. Berbeda dengan Malaysia, misalnya. Negeri Jiran itu fokus hanya pada enam komoditas (kakao, karet, kelapa sawit, kopi, tanaman pangan, dan kehutanan) yang semuanya jadi kebanggaan.

Dibandingkan Malaysia atau Thailand, kita lebih punya keunggulan sumber daya. Lahan kita subur, iklim bersahabat, dan diversitas plasma nutfah bernilai tinggi amat luas. Tanpa banyak bantuan pemerintah, setidaknya telah berkembang 10 komoditas pertanian (beras, lada, kopi, cokelat, minyak sawit, karet, lada, dan biji-bijian) yang menduduki peringkat satu hingga enam dunia (The Economist, 2003). Tapi, apa gunanya posisi 1-6 kalau petani 10 komoditas tersebut miskin.

Jadi, price taker tidak membuat kita sejahtera? Ini terjadi karena kita mengekspor komoditas dalam bentuk mentah, bukan mengolahnya dulu. Kita ingin cepat panen, bukan proses pendalaman, salah satu ciri masyarakat mental pemburu.

Itu pula yang terjadi pada kelapa sawit. Perkebunan sawit berkembang sejak 1970-an. Luas lahan meningkat dari 133.298 hektare (1970) menjadi 7,12 juta hektare (2008). Lewat Program Perkebunan Besar Swasta Nasional yang dibiayai utang dari Bank Dunia, negara mendorong perusahaan besar swasta masuk ke perkebunan dan industri sawit dengan insentif bunga rendah. Maka itu, perkebunan swasta mendominasi proporsi kebun sawit (53 persen), disusul perkebunan rakyat (35 persen), dan perkebunan negara (12 persen).

Masalahnya, perkembangan kebun tak diimbangi dengan pendalaman di industri hilir. Saat ini, 75 persen produksi sawit diekspor ke India, Cina, dan Eropa. Ekspor Indonesia hampir 85 persen berbentuk mentah (CPO), hanya 15 persen berbentuk produk turunan. Berbeda dengan Malaysia. Porsi ekspor minyak sawit dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi Negeri Jiran itu mencapai 90 persen dan hanya 10 persen dalam bentuk CPO. Implikasinya, Malaysia bisa meraih devisa yang besar karena ekspornya memiliki nilai tambah tinggi.

Ketika harga CPO jatuh seperti sekarang, Malaysia tidak terlalu terpukul. Untuk menyiasati rendahnya harga CPO, Malaysia bisa memaksimalkan industri hilirnya. Sebaliknya, Indonesia jatuh terhuyung-huyung bagai terkena pukulan upper cut. Tidak hanya petani sawit, kalangan industri pun menjerit. Kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Lebih setengah abad lalu, ekonom Argentina, Raul Prebisch, dan ekonom Jerman, Hans Singer, sudah mengingatkan bahwa nilai tukar (terms of trade) riil produk primer pertanian terhadap produk manufaktur menurun secara permanen. Tren itu masih terjadi. Produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi terus meningkat atau stabil.

Inilah paradoks globalisasi. Salah satu hasil globalisasi adalah produksi pangan dunia yang melimpah. Tapi, produksi pangan yang melimpah tidak membuat petani di negara-negara berkembang beruntung. Sebaliknya, mereka justru merugi. Salah satu indikator apakah negara-negara berkembang beruntung dari globalisasi dapat dilihat dari perkembangan harga-harga komoditas pertanian primer. Data 2001 World Development Indicator (World Bank, 2001) menunjukkan, harga minyak sawit pada 1960 sebesar 1102 dolar Amerika Serikat (AS) per ton dan tahun 2000 menjadi 307 dolar AS per ton. Ini juga menimpa gula, kopi robusta, karet, dan kedelai. Hampir semua komoditas pertanian harganya menurun sehingga indeks pertanian pada 1960 yang nilainya 208 dan turun menjadi 87 pada tahun 2000 (Pakpahan, 2004).

Jadi, dalam rentang 1960-2000, nilai riil pertanian berkurang 2,39 kali. Kalaupun awal 2008 harga CPO meroket yang dilihat dalam time series yang panjang, kenaikannya lebih kecil ketimbang penurunannya. Itu artinya pendapatan petani menurun sehingga mereka merasakan hidupnya semakin susah. Bukan saja mereka kesulitan melakukan re-planting, membeli pupuk atau memanen, pinjaman bank pun tidak bisa dilunasi. Tidak demikian halnya dengan produk jadi.

Saat harga CPO 500 dolar AS per ton pada awal 2007, harga minyak goreng baru Rp 6.500 per liter. Setelah harga CPO meroket menjadi 1.300 dolar AS per ton, harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter. Kini, setelah harga CPO terkoreksi 67 persen (429 dolar AS per ton) harga minyak goreng bertahan Rp 1.200 per liter.

Penurunan harga CPO saat ini harus dijadikan momentum untuk membangun industri hilir berbasis sawit. Dengan cara itu, ketergantungan yang tinggi pada pasar CPO luar negeri yang harganya fluktuatif harus diakhiri. Selama ini, sawit terbukti memiliki kontribusi besar dalam pendapatan devisa. Tahun 2007, CPO berada di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor 11,13 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin dipertahankan apabila industri hilir sawit tidak dikembangkan.

Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan, bahkan energi dan industri oleochemicals. Melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi, deodorisasi, esterifikasi, dan pemurnian, CPO bisa disulap menjadi 81 komoditas turunan, seperti minyak goreng, margarin, cocoa butter substitute, es krim, dan biodiesel. Dengan pengembangan industri oleochemicals, CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi produk farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, dan sumber energi alternatif untuk bahan bakar diesel.

Melalui reaksi hidrolisis dengan cara kimia ataupun enzimatis, CPO dapat dikonversi menjadi asam lemak dan gliserin. Kemudian, asam lemak yang terbentuk di-hidrogenasi dan di-fraksinasi untuk menghasilkan asam-asam lemak yang lebih murni. Saat ini, untuk kawasan Eropa, asam lemak banyak digunakan untuk industri pembuatan deterjen, sabun, sampo, kosmetika, pasta gigi, industri karet dan ban, industri cat dan tinta, serta minyak diesel. Dengan langkah-langkah strategis ini, tidak ada kesangsian lagi jika kita memiliki peluang besar menuju agroindustri sawit yang terintegrasi. Industri turunan ini dapat memberi manfaat ganda: selain membuka lapangan pekerjaan baru, juga akan menjadi penghasil devisa untuk mengisi pundi-pundi kas pemerintah yang kering. (-)

Penulis adalah penulis buku Ironi Negeri Beras

No comments:

Post a Comment