Wednesday, February 25, 2009

Swasembada Beras, Usaha Siapa?

Oleh: Mufid A. Busyair
Sumber: Koran Tempo, 25 Februari 2009

Dalam salah satu iklannya, Partai Golkar mengklaim kadernya di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat berhasil membuat kita berswasembada beras pada 2008. Pada 2007 kita masih mengimpor beras, sedangkan pada 2009 bahkan akan mengekspor beras. Belakangan sebuah iklan menyusul, juga mengklaim bahwa keberhasilan swasembada beras di Indonesia berkat Menteri Pertanian Anton Apriyantono, kader Partai Keadilan Sejahtera. Mari kita urai apa sesungguhnya yang menyumbang peningkatan produksi padi pada 2008.

Selama dua tahun terakhir (2007-2008), kondisi iklim amat bersahabat. Tidak ada kemarau berkepanjangan atau banjir yang meluas yang berujung pada padi yang puso. Pola tanam tidak bergeser, estimasi produksi dan persediaan pangan lebih mudah diprediksi. Ini rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Karena iklim yang baik itu, luas tanam bertambah 120 ribu hektare. Dengan tingkat produksi 4,6 ton per hektare dan dua kali tanam setahun, ini menyumbang 1,1 juta ton gabah.

Sumbangan berikutnya dari aneka kebijakan pemerintah. Sejak 2007 digulirkan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). P2BN menumpukan pada lima program: subsidi benih, pengembangan tata air mikro, rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani dan jaringan irigasi desa, pencetakan sawah baru, dan pengendalian organisme pengganggu. Juga digulirkan program kredit untuk petani kecil, menghidupkan kembali penyuluh pertanian, dan mendirikan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Dalam hal ini, layaknya sebuah fraksi, seluruh anggota Komisi IV setuju dan mendorong kuat program tersebut.

Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Soetarto Alimuso, subsidi benih menyumbang 5-15 persen peningkatan produksi. Pada 2008, pemerintah memberikan subsidi benih dalam APBN sebanyak 37.500 ton dengan sasaran area tanam 1,5 juta hektare. Ini belum termasuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), subsidi harga benih, dan benih hibrida. Menurut angka ramalan III BPS, produksi padi 2008 mencapai 60,280 juta ton gabah, naik 5,7 persen dari produksi pada 2007 (57,051 juta ton gabah). Peningkatan produksi padi sebesar ini hanya pernah dicapai oleh Orde Baru pada rentang 1969-1984.

Untuk memberikan insentif ekonomi agar petani tetap tertarik berusaha tani, DPR, khususnya Komisi IV, meminta pemerintah menyubsidi pupuk dan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah/beras. Dari tahun ke tahun nilai subsidi pupuk naik: dari Rp 7,8 triliun (2007), jadi Rp 14,1 triliun (2008), dan Rp 17,5 triliun (2009). Pada 2007, Komisi IV mendesak pemerintah menaikkan HPP. Ini kesepakatan bulat dari semua fraksi, tetapi pemerintah tetap bergeming saat itu. Kenaikan HPP baru dilakukan April 2008. Itu artinya, selama 2007 petani tidak menikmati harga baru. Dari sisi waktu, kenaikan HPP per April 2008 tidak tepat. Lazimnya, HPP dibuat sebelum musim tanam dan diberlakukan saat panen raya. Saat HPP dinaikkan, panen tinggal sebulan. Bahkan sebagian besar petani sudah tidak memiliki gabah/beras lagi.

Pada 2008, Komisi IV DPR kembali meminta pemerintah menaikkan HPP. Alasannya, setelah kenaikan harga BBM dua kali selama 2008, ongkos produksi usaha tani naik berkali lipat. Tanpa kenaikan HPP, petani akan merugi. Saat usulan ini dibahas di Panitia Anggaran, pemerintah dan anggota panitia anggaran dari kader partai tertentu justru keberatan dengan alasan kenaikan HPP akan menimbulkan inflasi, walau akhirnya setuju. Baru pada akhir 2008 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan. Dalam inpres yang mulai berlaku 1 Januari 2009 itu, harga per kilogram gabah kering panen (GKP) naik dari Rp 2.200 menjadi Rp 2.400, gabah kering giling (GKG) meningkat dari Rp 2.840 menjadi Rp 3.000, dan beras dari Rp 4.300 menjadi Rp 4.600. Harga gabah/beras yang relatif stabil telah memberikan insentif ekonomi kepada petani.

Prestasi swasembada beras juga tidak lepas dari kerja-kerja di lapangan, seperti yang diemban para penyuluh pertanian dan pegiat LSM. Mereka menularkan inovasi-inovasi, temuan, dan pengetahuan baru kepada petani. Kerja keras itu didiseminasikan melalui Sekolah Lapang Pengelolaan dan Sumber Daya secara Terpadu. Lewat sekolah lapang, petani saling belajar, bereksperimen, dan memecahkan aneka persoalan, mulai dari bibit, hama, ihwal iklim, hingga pupuk. Namun, dari semua level, sesungguhnya keberhasilan ini adalah buah "semangat dan kerja keras petani" yang tak kenal lelah walau masalah--yang seharusnya bisa diselesaikan pemerintah--berulang menghadang, seperti kelangkaan pupuk setiap musim tanam dan harga gabah yang turun saat panen. Bisa dibayangkan bagaimana terganggunya berbagai sektor, jika semusim saja petani mogok tanam. Sungguh terlalu, jika peran petani yang sedemikian menentukan ini tak disebut.

Dalam banyak hal, justru pemerintah yang lalai menunaikan tugasnya: pupuk subsidi tak tersedia saat dibutuhkan, jaringan irigasi dibiarkan merana dan rusak, infrastruktur desa tidak memadai, harga gabah anjlok saat panen raya, dan masih banyak lagi. Adalah tugas pemerintah untuk merakit kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan rakyat. Karena itu, bagi pemerintah yang berkuasa (incumbent), klaim yang berlebihan jelas bukan pada tempatnya. Sebab, pada saat prestasi swasembada beras diraih, dalam banyak hal, justru petanilah yang jadi korban dan menanggung beban-derita paling berat.

Dalam kondisi demikian, petani tetap bersemangat berusaha tani. Bahkan, ketika didera kelangkaan pupuk atau harga (pupuk) melambung tinggi, sebagian petani kreatif mencoba melepaskan diri dari ketergantungan akut pada pupuk kimia. Mereka membuat pupuk organik dan mempraktekkan SRI (system of rice intensification), sebuah cara budi daya yang dapat meningkatkan hasil panen. Di Pesantren Pabelan di Jawa Tengah, misalnya. Dengan menerapkan SRI, produktivitas varietas padi Mertani mencapai 9 ton per hektare, hampir dua kali dari rata-rata produktivitas nasional (4,6 ton per hektare). Secara nasional, pola SRI telah dipraktekkan di lahan seluas 36 ribu hektare lebih dengan rata-rata produksi 7,47 ton per hektare.

Untuk meningkatkan, atau paling tidak mempertahankan, swasembada, Komisi IV DPR meminta pemerintah, pertama, memperluas subsidi benih. Kini sudah ada banyak varietas baru dengan produktivitas yang makin baik dan umur semakin genjah. Produktivitas bisa 8-9 ton per hektare, bahkan ada yang sampai 11 ton per hektare. Sebenarnya petani amat responsif terhadap varietas unggul baru. Namun, varietas-varietas ini tidak maksimal diadopsi petani karena kurangnya promosi sebelumnya.

Kedua, subsidi pupuk harus dikaji ulang. Tidak hanya sistem distribusi, besaran, dan jenis, tapi juga keseimbangan antara subsidi pupuk organik dan anorganik. Selama ini proporsi subsidi pupuk organik dan anorganik tidak seimbang. Pada 2008, dari Rp 14,1 triliun dana subsidi pupuk, alokasi untuk pupuk organik cuma Rp 345 miliar. Skema subsidi seperti ini membuat petani tergantung pada pupuk anorganik. Untuk mengurangi ketergantungan, semua ini harus ditata-ulang. Proporsi pupuk organik dalam bentuk penyediaan sarana/faktor pendukung agar petani dapat memproduksi pupuk organik di setiap desa perlu ditingkatkan, seperti pengembangan ternak penghasil kompos.

Ketiga, realokasi anggaran. Pada 2009 ini anggaran Departemen Pertanian cuma Rp 8,4 triliun dari lebih Rp 1.000 triliun nilai APBN. Ini adalah keputusan presiden dengan persetujuan DPR. Tahun lalu, dengan anggaran Rp 8,3 triliun, kinerja Departemen Pertanian cukup mencorong. Salah satunya adalah peningkatan produksi padi (5,6 persen), jagung (14,7 persen), tebu (12,9 persen), daging ayam (16,1 persen) dan buah-buahan (11,1 persen). Adalah sebuah keniscayaan, kapasitas departemen ini akan meningkat jika anggarannya dinaikkan.

Keempat, pembangunan irigasi yang tidak hanya terfokus pada pembangunan bendungan besar tetapi juga pembangunan irigasi yang bisa dikelola oleh masyarakat secara mandiri seperti pengelolaan sumber-sumber air yang ada di masyarakat.

Sekali lagi, berterimakasihlah kepada petani. Mereka, yang kata Ajip Rosidi “terbungkuk sejak pagi, melalui hari-hari keras nan sunyi”, telah menyubsidi nasi penguasa, pengusaha, dan orang-orang kaya di kota. Harus diakui, karena kebijakan yang amat takut kepada asumsi inflasi, karena kebijakan yang bias kepentingan industri, harga keringat petani masih tak sebanding dengan kontribusi mereka untuk negeri ini. Maka, kepadanya kita mesti menghaturkan keberadaban, meski hanya lewat sepenggal iklan. *

Penulis adalah anggota Komisi IV (pertanian, kehutanan, kelautan-perikanan) DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

No comments:

Post a Comment