Monday, February 16, 2009

Pro-kontra paket stimulus fiskal

Oleh: Anggito Abimanyu
Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Februari 2009

Beberapa pengamat dan elite pengurus Kadin Indonesia meragukan paket stimulus fiskal akan memadai dan efektif. Pemerintah yakin paket tersebut akan dapat mengurangi dampak krisis global.

Jika stimulus ditambah lagi, jumlahnya dapat saja meningkatkan manfaat. Namun, kebijakan stimulus tetap harus terukur dan dibatasi oleh sumber utang yang tersedia untuk membiayainya. Jangan sampai stimulus diberikan terlalu berlebihan, sehingga harus berutang di luar kemampuan.

Pokok-pokok kebijakan stimulus fiskal dan dampak APBN 2009 akan diputuskan pemerintah dan Panitia Anggaran DPR minggu ini. Artikel ini diharapkan menjawab keraguan tersebut.

Pemerintah menyampaikan paket stimulus fiskal 2009 dengan nilai nominal sebesar Rp71,3 triliun, setara dengan 1,4% PDB. Paket stimulus ini dalam bentuk penurunan beban pajak bagi wajib pajak (tax cut) dan alokasi belanja (government expenditure), khususnya belanja subsidi kepada rumah tangga dan belanja infrastruktur.

Substansi paket stimulus itu memang bukan merupakan kebijakan baru sama sekali, seperti penurunan tarif PPh wajib pajak perorangan atau perusahaan dan kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Kebijakan ini adalah hasil kesepakatan DPR dan pemerintah dalam UU Pajak Penghasilan (PPh).

Demikian juga dengan berbagai macam subsidi pajak (pajak ditanggung pemerintah) sudah tertuang dalam UU APBN 2009. Namun, karena pelaksanaannya pada 2009, bersamaan dengan terjadinya krisis, pengurangan beban pajak tersebut tergolong stimulus fiskal. Akan halnya tambahan belanja untuk infrastruktur dan berbagai macam subsidi tergolong kebijakan baru dan merupakan stimulus fiskal.

Menurut berbagai literatur kebijakan publik, stimulus fiskal merupakan suatu instrumen ekonomi yang potensial untuk menahan perlambatan ekonomi. Bentuk dan komposisi dari stimulus fiskal secara garis besar terdiri atas dua sumber, yakni pengurangan beban pajak dan tambahan belanja (increased spending).

Studi empiris di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pengurangan beban pajak lebih berhasil untuk menstimulasi pertumbuhan daripada ekspansi belanja. Salah satu penilaian adalah bahwa kebijakan stimulus itu harus memenuhi prinsip tiga 'T', yakni timely (cepat), targeted (mengena), dan temporary (sementara).

Namun, yang lebih efektif adalah apabila kebijakan tersebut bersifat otomatis dan menjadi 'stabilizers' serta 'built-in' dalam perekonomian. Indonesia dewasa ini menerapkan cara tersebut, misalnya, pajak ekspor CPO dan harga bensin.

Studi empiris juga menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan kebijakan moneter (penurunan suku bunga dan pelonggaran likuiditas atau kebijakan moneter lainnya), kebijakan fiskal lebih lambat dan kalah efektif. Hanya saja dalam suasana penurunan permintaan global dan suku bunga yang rendah di banyak negara, stimulus fiskal menjadi tumpuan harapan.

Volume stimulus fiskal setara dengan 1% dari PDB di masing-masing negara, menurut pengalaman, akan meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,1%-0,2%.

Tiga tujuan

Kebijakan stimulus fiskal yang dirancang pemerintah pada hakikatnya dimaksudkan untuk memenuhi prinsip-prinsip di atas. Pertama, jumlahnya memadai, yakni setara dengan 1,4% PDB sehingga dapat menahan laju perlambatan ekonomi.

Kedua, komposisi stimulus berasal dari pengurangan beban pajak dan tambahan belanja. Proporsi penurunan beban pajak lebih besar.

Ketiga, didesain dan dilaksanakan dengan cepat, sesuai, dan temporer. Penurunan tarif dan kenaikan PTKP (sudah dilaksanakan), penurunan harga solar (sudah terjadi), pemberian DTP Pajak dan BM dianalisis.

Yang belum adalah tambahan belanja dan sumber pembiayaannya. Keduanya dijadwalkan dibahas minggu ini.

Desain kebijakan stimulus fiskal dilakukan melalui tiga tujuan. (1) mempertahankan dan/ atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk dapat menjaga laju pertumbuhan konsumsi di atas 4,5%, (2) mencegah PHK dan meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha menghadapi krisis ekonomi dunia, dan (3) menambah belanja infrastruktur padat karya.

Peningkatan daya beli masyarakat dilakukan lewat penurunan tarif PPh orang pribadi dan kenaikan penghasilan tidak kena pajak, pemberian subsidi harga untuk obat generik dan minyak goreng, dan PPN untuk produk akhir ditanggung pemerintah (DTP), dan penurunan harga BBM. Dalam UU APBN 2009 terdapat belanja kenaikan gaji PNS, TNI/Polri, dan pensiunan, guru/ dosen, dan pemberian bantuan langsung tunai (BLT).

Peningkatan daya saing dan daya tahan usaha dan ekspor ditempuh melalui penurunan tarif PPh badan dan perusahaan terbuka, pemberian fasilitas bea masuk, PPh pasal 21 (karyawan) dan 25 (badan), PPN dan bea masuk impor ditanggung pemerintah, dan potongan tarif listrik untuk industri pada beban puncak. Juga penurunan harga solar dan penyertaan modal negara (PMN) dalam rangka kredit usaha rakyat dan penjaminan ekspor.

Penciptaan lapangan kerja dan pencegahan/pengamanan dampak PHK dilakukan lewat penambahan anggaran untuk infrastruktur yang terkait dengan bencana alam, proyek tahun jamak, jaringan kereta api, dan instalasi pengolahan air minum. Juga proyek perumahan rakyat, pembangkit dan transmisi listrik, rehabilitasi jalan usaha tani, pelabuhan pasar, dan pembangunan infrastruktur pergudangan pangan.

Pembiayaan program

Program stimulus yang didesain itu memerlukan biaya. Ditambah dengan adanya potensi penurunan pajak akibat krisis global, dipastikan defisit APBN 2009 membengkak. Perkiraan awal menunjukkan adanya potensi kenaikan defisit lebih dari Rp85 triliun.

Dari mana defisit itu harus dibiayai? Dalam keadaan normal, penerimaan perpajakan masih dapat diintensifkan dan ditambah. Pemotongan anggaran belanja yang tidak prioritas juga akan membantu mengurangi defisit APBN.

Namun, keduanya bersifat kontraktif pada perekonomian, dan justru dihindari pada saat terjadinya krisis. Beruntung APBN 2008 telah membukukan surplus sebesar Rp51 triliun dan dapat dipakai tahun ini. Maka sisanya harus dicarikan dari tambahan utang.

Tambahan utang itu akan diupayakan dari penerbitan surat berharga negara (SUN), baik di dalam maupun di luar negeri. Menyadari kondisi pasar keuangan dunia yang belum kondusif dan semakin mahal, volume penerbitan SUN sangat terbatas dan harus di-back up dengan pinjaman luar negeri sebagai dana siaga atau kontigensi untuk berjaga-jaga.

Para investor obligasi sekarang cenderung konservatif dan memilih menahan diri hanya investasi ke obligasi peringkat tinggi (investment grade).

Seperti pemberitaan media massa, pemerintah telah mengadakan pembicaraan intensif dengan kreditor konvensional dari lembaga multilateral dan/atau negara-negara pemberi pinjaman bilateral untuk memberikan dukungan berupa pemberian pinjaman siaga dalam hal penerbitan SUN tidak dapat dilakukan secara optimal.

Sampai dengan saat ini, beberapa kreditor sudah menyatakan komitmen mereka untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada 2009 dalam rangka pemberian stimulus fiskal lewat mekanisme pinjaman siaga. Hingga kini, total pinjaman siaga yang tersedia lebih dari US$5 miliar.

Pemerintah terus mengadakan pembicaraan bilateral dan multilateral dengan pihak lain, lewat forum G-20, Bank Dunia, dan ADB untuk mendapatkan tambahan dukungan dana. Kita tidak pernah tahu sampai kapan krisis global ini berlangsung, dan mengganggu akses Indonesia memasuki pasar keuangan dunia. Selain itu, masuknya modal asing akan membantu memasok kebutuhan kecukupan cadangan devisa kita.

Pemerintah bersama DPR terus berupaya mencari strategi yang tepat dan mempercepat proses pelaksanaan kebijakan stimulus tersebut. Kedua pihak tetap optimistis, stimulus fiskal akan dapat dilaksanakan tepat waktu, yakni pada waktu keadaan ekonomi membutuhkan ekspansi fiskal.

Kalangan pengusaha tentu tidak akan berdiam diri dan menyerah pada keadaan. Pandangan pesimistis dan kritik terus-menerus yang dilancarkan oleh kalangan elite Kadin Indonesia justru akan counter-productive terhadap upaya serius pemerintah dan DPR untuk mencari kebijakan terbaik guna menahan laju perlambatan ekonomi.

Membuat kebijakan ekonomi yang solid pada masa krisis dan memasuki masa kampanye Pemilu 2009 memerlukan kesabaran, kearifan, dan kebersamaan dari semua pihak.

Penulis adalah Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan, dan staf pengajar FE-UGM

No comments:

Post a Comment