Sunday, February 8, 2009

Dilema Industri Rokok

Oleh: Ukay Karyadi
Sumber: Sinar Harapan, 7 Februari 2009


Efektif mulai 1 Februari 2009, pemerintah—melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang terbit 9 Desember 2008—menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 7 persen. Berbeda dengan kebijakan pada waktu-waktu sebelumnya, di mana besaran kenaikan cukai dihitung dari harga jual eceran (HJE) atau yang biasa disebut tarif cukai advalorum, ditambah kenaikan cukai spesifik, kali ini hanya berupa kenaikan cukai spesifik. Kebijakan tersebut ditempuh untuk mengamankan target penerimaan APBN 2009 dari sektor cukai hasil tembakau. Dalam APBN 2009 penerimaan cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp 48,2 triliun atau naik Rp 2,7 triliun dari APBN-P 2008.


Meski kenaikan cukai tersebut bakal mengerek harga jual rokok ke level yang lebih tinggi, tapi pemerintah memperkirakan produksi rokok tahun ini akan tetap tumbuh, yakni sebesar 5 persen atau sekitar 240 miliar batang. Laju pertumbuhan tersebut lebih rendah bila dibanding tahun lalu yang mencapai sekitar 7 persen. Namun demikian, perlu dipertegas industri rokok kelas mana yang menikmati pertumbuhan 5 persen tersebut.

Sesungguhnya, bila dianalisis lebih dalam, dampak yang ditanggung produsen rokok akibat kenaikan cukai berbeda satu sama lainnya. Jumlah pabrik rokok saat ini sekitar 4.416 pabrik, di mana pabrik yang termasuk golongan I (produksi di atas 2 miliar batang per tahun) berjumlah enam pabrik, golongan II (produksi antara 500 juta hingga 2 miliar batang per tahun) 27 pabrik, dan sisanya termasuk golongan III (produksi maskimal 500 juta batang per tahun).

Pabrik yang termasuk golongan I dan golongan II memproduksi tipe rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sementara itu, pabrik rokok golongan III hanya bermain di tipe rokok SKT.


Tergantung Elastisitas

Menurut riset Danareksa Sekuritas, kenaikan cukai paling besar bakal dirasakan oleh rokok di golongan bawah, atau di bawah golongan I. Selain itu, rokok jenis SKT akan mengalami kenaikan cukai jauh lebih tinggi dibanding rokok jenis SKM. Misalnya, industri rokok Golongan I yang memproduksi SKM dengan harga banderol Rp 600-630/batang, kenaikan cukainya paling tinggi 3,6 persen. Bandingkan dengan jenis rokok SKT yang diproduksi oleh pabrik golongan III, dengan harga banderol minimal Rp 234/batang harus menanggung kenaikan cukai sebesar 33 persen (Kontan Minggu I, Januari 2009).


Ironisnya, persaingan pasar rokok yang dihasilkan produsen golongan III sangat ketat. Selain pemain di segmentasi kelas bawah ini jumlahnya ribuan, mereka juga harus berkompetisi dengan rokok ilegal (tanpa cukai atau cukai palsu) yang banyak beredar di pasaran. Sementara itu, untuk produsen rokok golongan I yang pemainnya hanya beberapa perusahaan raksasa, seperti Djarum, Gudang Garam dan Sampoerna (Philip Moris), persaingannya tidak seketat di level bawah. Apalagi dengan disokong image dan promosi yang gencar, kenaikan cukai diyakini tidak akan menghalangi volume penjualan mereka untuk terus tumbuh. Begitu juga dengan produsen golongan II, kenaikan cukai dampaknya tidak seberat yang ditanggung produsen rokok golongan III.


Untuk produsen golongan III (segmentasi bawah), kenaikan cukai membuat kondisi serbasulit. Saat ini mereka menjual produk rokoknya paling murah Rp 2.500 per bungkus. Dengan adanya HJE baru akan memaksa mereka menaikkan harga rokok buatannya. Padahal, rokok ilegal dijual dalam kisaran Rp 2.000-2.500 per bungkus. Bisa dikatakan, kurva permintaan rokok segmen bawah lebih elastis dibanding kurva permintaan rokok kelas menengah (golongan II) dan kelas atas (golongan I). Dengan demikian, rokok kelas bawah tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga. Sedikit kenaikan harga saja, akan direspons dengan penurunan permintaan. Konsumen pun akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang substitusinya.


Tekanan Bertambah Berat

Akan tetapi, kondisi tersebut relatif tidak terjadi pada rokok kelas menengah-atas. Karena untuk rokok kelas ini, konsumen memiliki loyalitas. Bagi konsumen, merokok jenis merek tertentu merupakan kebutuhan yang susah dicari substitusinya. Dengan demikian, produsen rokok golongan I dan II akan lebih mampu menggeser beban cukai kepada konsumen.


Sementara itu, produsen rokok golongan III memiliki kemampuan yang kecil untuk menggeser beban cukai kepada konsumen. Pada posisi ini produsen rokok golongan III ibarat maju kena mundur kena, menaikkan harga jual ditinggal konsumen, mempertahankan harga jual berarti keuntungan yang didapat makin tipis.


Saat ini, beban yang harus ditanggung industri rokok (terutama kelas bawah) terasa kian berat, mengingat mereka kini dihadapkan pada masalah lain yang mengancam kelangsungan usahanya, seperti turunnya daya beli masyarakat, lahirnya regulasi antirokok di beberapa daerah, kian gencarnya kampanye bahaya merokok, dan dikeluarkannya fatwa MUI yang mengharamkan rokok (meski sebatas untuk anak-anak, ibu hamil, pengurus MUI, dan merokok di tempat umum).


Sepertinya, tekanan pada industri rokok akan bertambah berat, mengingat desakan agar pemerintah segera meratifikasi Framework Convention Tobacco Control (FCTC) kian hari kian kencang, mengingat Indonesia menjadi negara satu-satunya negara di Asia Tenggara atau bahkan di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC. Oleh karena itu, sebelum terlambat, sebaiknya para pengambil kebijakan mencari jalan keluar agar para pelaku industri rokok (terutama yang kelas UMKM) dapat beralih menekuni industri lain. Begitu pun halnya petani tembakau sebaiknya dibantu agar beralih menekuni budi daya tanaman produktif lainnya.


Mempertahankan industri rokok sebagai industri unggulan di Tanah Air, dalam jangka panjang tidak strategis. Hal ini mengingat kehadiran industri rokok, meski di satu sisi sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan menciptakan lapangan kerja, di sisi lain (menurut banyak studi), lebih banyak membawa dampak negatif bagi masyarakat.


Penulis adalah peminat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik. Alumnus FE Unila dan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FE UI.

1 comment: