Friday, February 6, 2009

Risiko Stimulus Ekonomi

Oleh: A Prasetyantoko
Sumber: Kompas, 6 Februari 2009

Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) memberi konfirmasi suramnya prospek perekonomian global. Ekonomi dunia diprediksi hanya akan tumbuh 0,5 persen, sementara kawasan Asia yang semula diperkirakan tumbuh 4,9 persen pada 2009 dikoreksi menjadi 2,7 persen. Indonesia yang semula mematok pertumbuhan pada angka optimistis 5,5 persen beringsut menurunkan target.

Mengingat signifikannya koreksi pertumbuhan global serta kawasan, bisa jadi Indonesia hanya akan tumbuh tidak lebih dari 4,0 persen. China diperkirakan hanya tumbuh 6,7 persen meski otoritas Beijing tetap optimistis dengan angka 8,0 persen. Lebih tragis lagi, Korea Selatan diprediksi mengalami kontraksi minus 4,0 persen. Pemerintah China, Korea Selatan, dan Indonesia sama-sama optimistis akan mampu mencapai angka lebih tinggi dari prediksi suram IMF itu.

Apa yang mendorong optimisme itu? Paket stimulus diyakini akan memompa pertumbuhan lebih dinamis. Pemerintah Indonesia baru saja menetapkan paket stimulus senilai Rp 71,3 triliun. Terlepas dari efektivitas program stimulus dalam mendorong pertumbuhan, pola kebijakan ini menyisakan potensi risiko yang secara global bisa berbahaya.

Diyakini, obat perlambatan ekonomi global ini adalah pengeluaran pemerintah (government spending) yang besar untuk memompa laju konsumsi domestik tiap negara di hampir seluruh dunia. Konsekuensinya, defisit anggaran di hampir semua negara di dunia akan melebar. Pertanyaannya, dari mana defisit itu akan ditutup? Di situlah potensi risikonya.

Gelembung surat utang

Para ”peramal” ekonomi menyodorkan pilihan, harga emas, minyak, atau surat utang akan menjadi pemicu krisis berikut? Kandidat pertama adalah surat utang meski potensi lonjakan harga minyak tetap menyeramkan. Benarkah surat utang pemerintah akan menjadi pemicu krisis berikut?

Memang tak pernah ada yang tahu pasti krisis macam apa yang akan terjadi. Bahwa krisis tetap akan terjadi, hampir semua orang mengamini. Namun, mekanisme dan pemicunya apa, hal itu sulit diprediksi. Dan lagi, bila pemicu krisis bisa dideteksi, boleh jadi, krisis tak akan pernah terjadi. Justru, krisis selalu datang lewat pintu yang kita anggap paling aman.

Jika semua investor waspada pada potensi risiko yang dibawa surat utang, tentu gelembung surat utang (bond bubble) bisa dihindari. Namun, sulit mengajak para investor memikirkan potensi risiko saat semuanya tampak baik-baik saja (good time). Seperti sekitar dua tahun lalu Nouriel Roubini mengatakan krisis akan terjadi di pasar finansial Amerika Serikat, pelaku pasar tak peduli. Benar, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri.

Argumen yang mendukung risiko gelembung surat utang cukup beralasan. Setelah krisis melanda dunia, kekeringan likuiditas memacetkan perekonomian. Karena itu, hampir semua negara melancarkan program stimulus sebagai satu- satunya obat tersisa. Sementara itu, defisit anggaran akan memunculkan peningkatan penerbitan obligasi negara. Jika fenomena ini terjadi secara global, banjir pasokan akan terjadi sehingga untuk menarik peminat imbal hasil obligasi (yield) harus setinggi mungkin. Potensi munculnya gelembung surat utang pun terbayang.

Seperti kata Paul Krugman, penerima Nobel Ekonomi 2008, setiap gelembung pasti akan pecah. Jika gelembung surat utang itu pecah, dunia akan dilanda kepanikan kembali. Kebijakan suku bunga, kondisi nilai tukar kembali akan mentransmisikan persoalan ke sektor riil.

Kunci perekonomian pada dasarnya adalah kepercayaan. Siapa yang mengira perusahaan finansial global, seperti Morgan Stanley, Merril Lynch, dan Citigroup, akan menderita kerugian besar. Tak terbayangkan, jaminan yang diberikan Pemerintah AS melalui Troubled Asset Relief Program tak mampu mendorong kepercayaan pasar.

Dari kacamata investor, menghadapi tingginya risiko investasi di pasar saham, uang, dan obligasi swasta, instrumen obligasi negara menjadi tempat paling aman (safe haven). Dan, karena tingkat keuntungannya amat kecil, instrumen ini sering disebut kuburan bagi kemakmuran (wealth cemetery).

Potensi krisis

Lembaga penelitian konjungtur ekonomi terkemuka di Paris, l’Observatoire Français des Conjonctures Économiques (OFCE), mengeluarkan prediksi risiko krisis yang ditimbulkan surat utang. Negara- negara dengan cadangan devisa cukup kuat (Brasil, Rusia, India, dan China) diperkirakan lolos dari jebakan obligasi negara. Akan tetapi, sulit bagi negara-negara Eropa Timur dan kawasan Balkan menghindarinya.

Krisis surat utang akan menimbulkan efek berantai. Tingginya bunga obligasi sudah menunjukkan risiko yang tinggi. Bisa dibayangkan, bila surat utang sampai mengalami krisis atau gejolak, asuransi dan lembaga penjamin obligasi juga akan terguncang. Semakin tinggi potensi risikonya, kian tinggi pula kebutuhan asuransi dan jaminan.

Risiko gelembung surat utang bukan satu-satunya masalah. Harga minyak adalah potensi serius lainnya. Kini harga minyak di pasar dunia turun pada kisaran 40 dollar AS per barrel. Namun, rendahnya harga berkorelasi positif dengan suramnya prospek pertumbuhan ekonomi. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, Kanada, dan beberapa negara di Eropa diprediksi tumbuh negatif sepanjang 2009.

Ketika program stimulus sudah mulai berdampak, angka pertumbuhan akan meningkat. Diperkirakan pada 2010, kawasan Asia akan tumbuh lebih dari 5,0 persen, sementara negara-negara maju akan kembali tumbuh positif. Pada kondisi itu, dipastikan harga minyak kembali melonjak. Bahkan, ada prediksi yang menyatakan, di pengujung 2010 harga minyak bisa mencapai 100 dollar AS. Benarkah? Jika prediksi ini dipercaya, harga tidak akan pernah setinggi itu.

Penulis adalah Dosen Ekonomi Unika Atma Jaya, Jakarta

No comments:

Post a Comment