Tuesday, March 31, 2009

Kerja sama internasional, solusi krisis finansial

Oleh: Alistair Darling
Sumber: Bisnis Indonesia, 31 Maret 2009

aat ini, dunia menghadapi kondisi ekonomi yang terburuk dalam beberapa generasi. Oleh karena itu, komunitas internasional harus bersatu mengatasi kemerosotan guna menentukan jalan menuju masa depan yang berkelanjutan.

Untuk itu, kita harus melakukan tiga hal. Pertama, meningkatkan keinginan dan membantu menciptakan lapangan kerja.

Kedua, mendapatkan kembali pinjaman bank dan memperbaiki regulasi mereka. Ketiga, menegaskan kembali komitmen untuk mempertahankan perdagangan bebas dan melindungi lingkungan hidup.

Hanya dengan kerja sama seperti itu kita dapat menjawab tantangan ini. Oleh karena itu, pertemuan para pemimpin G-20 dan menteri keuangan dalam forum London Summit pada April 2009 menjadi sangat penting.

Anggota G-20 akan mewakili lebih dari 80% ekonomi global. Tidak ada masalah yang terlalu besar atau terlalu sulit yang tidak dapat ditangani bersama.

Berbagai usaha bersama untuk mendukung ekonomi akan memberikan dampak lebih luas dan membantu negara anggota keluar dari kemerosotan global lebih cepat dan lebih kuat.

Negara G-20 juga harus siap mempergunakan banyaknya kesempatan yang dihasilkan oleh perbaikan ekonomi. Meski situasi sedang sulit, banyak pihak masih mengharapkan ekonomi global menjadi berlipat ganda dalam 20 tahun mendatang.

Tidak ada solusi yang bisa dicapai dalam waktu semalam. Namun, kita akan melalui krisis ini dan membangun sebuah dunia yang lebih hijau, lebih adil, dan lebih makmur.

Bagaimanapun kita berhadapan dengan sebuah masalah yang terus-menerus berputar, membuat hidup rakyat setiap negara menjadi semakin sulit. Sejak November 2008, kita menyaksikan sebuah kejatuhan dalam perdagangan dunia, yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Juga terjadi resesi global yang lebih dalam dan lebih meluas yang berdampak terhadap semua negara, lebih dari yang diperkirakan sebelumnya.

Resesi global

Pada kuartal terakhir 2008, untuk pertama kalinya sejak 1945, ekonomi dunia menyusut. Bukan hanya Amerika Serikat, Inggris, dan Italia yang mengalami resesi, melainkan juga Jerman dan Jepang mengalami hal serupa.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009 negatif. Ini merupakan kontraksi global tahunan pertama selama 60 tahun terakhir ini.

Namun, berbagai kesulitan tersebut tidak dapat mengalihkan perhatian dari tujuan kita selama krisis finansial global ini. Kerja sama internasional dalam setiap bidang sangat diperlukan guna meningkatkan perekonomian.

Di Eropa, Inggris sudah bekerja sama mengenai stimulus fiskal yang terkoordinasi, mempromosikan perdagangan bebas, dan pertahanan melawan proteksionisme. Namun, kerja sama itu tidak dapat dibatasi hanya di Eropa.

Ada sedikitnya tiga prioritas dalam kerja sama tersebut. Pertama, di bidang ekonomi dan lapangan kerja. Harus ada peningkatan permintaan lewat serangkaian tindakan, yaitu menurunkan suku bunga, mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal, dan penurunan kredit.

Secara substansial kita harus meningkatkan sumber daya IMF, sehingga bisa membantu menghindari penyebaran krisis dari perusahaan ke negara. Seiring dengan hal itu, kita harus mereformasi IMF dan Bank Dunia, sehingga kedua lembaga ini dapat lebih diandalkan.

Kedua, mengembalikan pinjaman bank guna membantu masyarakat dan bisnis. Para menteri keuangan G-20 sepakat mempertimbangkan serangkaian pilihan yang ada, termasuk bantuan likuiditas, rekapitalisasi, dan berurusan dengan aset-aset lemah.

Kita juga harus mereformasi peraturan finansial yang dibutuhkan, baik secara nasional maupun internasional. Segala tipe risiko bagi konsumen, pasar, dan ekonomi harus dipulihkan, termasuk penggabungan makro ekonomi dan kesalahan finansial, membuka tempat yang aman bagi pajak, dan mempromosikan transparansi.

Penanganan risiko melalui kapabilitas peringatan awal dan pemantauan harus dilakukan lebih baik. Kita harus memperkenalkan daya, sehingga bank-bank dapat membangun kekuatan pada tahun-tahun mendatang dan menghentikan mereka untuk bergerak di luar batas kemampuan. Ketika kemerosotan ekonomi melanda dunia, bank-bank dapat terus memberi pinjaman.

Perdagangan bebas

Ketiga, harus menegaskan kembali komitmen perdagangan bebas. Sebagai contoh, di Eropa, unifikasi ekonomi selama beberapa dekade telah memberikan kemakmuran yang lebih besar.

Di seluruh dunia, membuka diri terhadap perdagangan bebas telah memudahkan jutaan orang terhindar dari kemiskinan. Pada masa mendatang, perdagangan akan terus menjadi kendaraan untuk kemakmuran.

Untuk mempertahankan perdagangan bebas, kita juga membutuhkan lingkungan yang berkesinambungan pada masa depan. Penciptaan sebuah ekonomi karbon rendah tidak harus datang dari akibat penempatan tenaga kerja atau pertumbuhan.

Setiap langkah tersebut, jika dikombinasikan, dapat berarti sangat besar. London Summit akan menjadi sebuah langkah yang sangat penting dan jalan menuju pemulihan global.

Kita seharusnya tidak mengharapkan dampaknya dalam semalam, tetapi dapat mulai membangun sebuah konsensus dengan mengakui bahwa ketertarikan kita yang sama seharusnya tidak bertentangan dengan ketertarikan negara sendiri. Dalam kenyataannya satu ketertarikan bisa melengkapi lainnya.

Pada masa lalu, ketika berbicara mengenai ekonomi global, yang dimaksudkan adalah Barat dan Jepang. Sekarang hal itu sudah berlalu. Pelajaran dari krisis ekonomi ini adalah ketika ekonomi negara maju dapat memimpin, kita harus bekerja sama dalam kemitraan dengan negara maju dan berkembang.

Krisis besar seperti ini sering kali dapat menyatukan seluruh negara. Kita harus mempergunakan momen ini dan segera bertindak bersama guna menghadapi krisis finansial seiring dengan pembangunan menuju pemulihan yang kuat dan berkelanjutan.

*) Tulisan ini dikirim khusus untuk Bisnis Indonesia

Penulis adalah Menteri Keuangan Inggris

Monday, March 30, 2009

Transisi Menuju Pertumbuhan yang Berkelanjutan

oleh: Jeffrey D. Sachs
Sumber: Koran Tempo, 30 September 2009

Krisis ekonomi global bakal beserta kita selama satu generasi, bukan satu-dua tahun, karena ia sebenarnya merupakan transisi menuju ke pertumbuhan yang berkelanjutan. Langkanya komoditas primer dan kerusakan yang timbul akibat perubahan iklim pada tahun-tahun terakhir ini menyumbang kepada destabilisasi ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya krisis saat ini. Melonjaknya harga pangan dan bahan bakar serta berbagai bencana alam memainkan peran penting dalam merusak pasar keuangan, daya beli masyarakat, bahkan stabilitas politik.

Dipandang dari sudut ini, kebijakan utama yang harus diusung, baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk mengatasi krisis ini adalah membangun infrastruktur yang sesuai bagi abad ke-21. Termasuk membangun jaringan listrik yang efisien yang dibangkitkan energi terbarukan; jaringan nirkabel dan serat optik yang mampu menyalurkan arus telepon dan Internet pita lebar; sistem air, irigasi, dan pembuangan limbah yang dengan efisien menggunakan dan mendaur ulang air tawar; sistem angkutan umum kota dan antarkota; jalan raya yang lebih aman; serta jaringan suaka alam yang melestarikan keragaman hayati dan habitat spesies yang terancam punah.

Investasi dalam proyek-proyek seperti ini diperlukan dalam jangka pendek guna mengimbangi turunnya belanja konsumsi dunia yang mendasari resesi global saat ini. Lebih penting lagi investasi ini diperlukan dalam jangka panjang, karena dunia yang sudah sesak dengan 6,8 miliar manusia (dan terus bertambah) jelas tidak mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan kecuali diadopsi teknologi yang menghemat pemakaian sumber daya alam yang langka itu.

Dalam prakteknya, krisis global berarti dipangkasnya dan bukan diperluasnya investasi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Sementara itu, akses untuk memperoleh pinjaman bank internasional, penawaran obligasi, dan investasi asing langsung tertutup. Proyek-proyek infrastruktur yang banyak dibicarakan di masa lalu sekarang dilupakan sehingga mengancam stabilitas politik dan ekonomi puluhan negara berkembang.

Sebenarnya setiap bagian dunia memiliki banyak proyek infrastruktur yang vital dan yang belum dilaksanakan. Sudah waktunya dilakukan upaya global terpadu untuk merealisasi proyek-proyek itu. Upaya ini memang tidak mudah. Sebagian besar investasi membutuhkan kepemimpinan sektor publik untuk menempa kemitraan dengan sektor swasta. Sektor publik harus mengadakan kesepakatan dan kontrak dengan pihak swasta tidak hanya untuk membangun infrastruktur, tapi juga mengoperasikannya sebagai pemegang konsesi atau monopoli yang diregulasi.

Pemerintah di banyak negara umumnya tidak memiliki kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk merancang proyek-proyek semacam itu sehingga membuka kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemberian kontrak. Tuduhan semacam ini mungkin saja dilemparkan terhadap pemerintah walaupun tidak benar, tapi sering kali banyak juga yang terbukti benar. Menumpuknya proyek yang belum direalisasi ini telah mengacaukan ekonomi dunia. Kemacetan lalu lintas dan polusi menimpa banyak kota besar di dunia. Udara tercemar gas rumah kaca akibat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terkendali. Kelangkaan air boleh dikatakan melanda setiap pusat ekonomi, dari Amerika Utara, Eropa, Afrika, India, sampai Cina.

Karena itu, pemerintah di banyak negara harus memperkuat kementerian yang menangani pembangunan infrastruktur (termasuk jaringan listrik, jalan, air dan sanitasi, serta teknologi informasi dan komunikasi) dan memperkuat bank pembangunannya agar mampu merancang dengan baik proyek dan program infrastruktur jangka panjang. Kemampuan mengimbangi krisis yang terjadi secara konstruktif melalui perluasan kemitraan publik dan swasta bakal menentukan keberhasilan di negara dan kawasan bersangkutan. Menariknya, untuk pertama kalinya pemerintah AS segera akan membentuk sebuah Bank Infrastruktur Nasional.

Namun, para penasihat ekonomi Amerika dan Eropa umumnya percaya bahwa suatu stimulus yang singkat dan tajam sudah cukup untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini salah. Apa yang dibutuhkan adalah merombak ekonomi dunia menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Lagi pula pembuat kebijakan di negara-negara kaya juga percaya bahwa mereka bisa terus mengabaikan negara-negara berkembang, atau membiarkannya menemui nasibnya sendiri di pasar global. Sikap semacam ini merupakan resep yang jitu menuju kegagalan global, bahkan konflik di masa depan. Negara-negara maju harus berbuat lebih banyak untuk membantu negara-negara miskin mengatasi transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu, sebagian besar dari "stimulus" yang sudah diundangkan sampai saat ini sifatnya jangka pendek dan inward looking, peningkatan dana untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan di negara-negara miskin akan memberikan dorongan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya itu sendiri.

Negara-negara maju harus mau menyalurkan dana yang memadai dari tabungan yang mereka miliki ke negara-negara berkembang untuk membiayai peningkatan investasi yang berkelanjutan. Penyaluran dana dapat dilakukan secara langsung atau secara bilateral, misalnya melalui pinjaman jangka panjang dari badan-badan ekspor-kredit negara-negara maju. Ia juga bisa dilakukan secara multilateral, dengan meningkatkan arus investasi infrastruktur dari Bank Dunia dan bank pembangunan regional (termasuk Inter-American Development Bank, European Investment Bank, African Development Bank, dan Asian Development Bank). Kedua saluran ini harus digunakan.

Negara-negara maju juga gagal menyadari bahwa tanpa pembiayaan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan yang lebih besar di negara-negara berkembang--terutama untuk pembangunan pembangkit dan transmisi listrik yang berkelanjutan--tidak mungkin bakal tercapai kesepakatan global mengenai perubahan iklim tahun ini (atau dalam waktu dekat ini). Negara-negara kaya mengharapkan negara-negara miskin membatasi penggunaan bahan bakar fosil tanpa memberi bantuan untuk pembiayaan yang memadai guna mendanai pencarian sumber-sumber energi yang baru dan berkelanjutan. Hampir semua usulan yang diajukan negara-negara kaya mengenai target, batas, komitmen, dan izin emisi gas rumah kaca tidak satu kata pun menyinggung bantuan kepada negara-negara miskin guna membiayai upaya transisi menuju teknologi yang berkelanjutan.

Sidang G-20 di London pada 2 April 2009, yang akan datang memberi harapan akan adanya upaya global yang benar-benar akan memperbaiki ekonomi dunia. Inilah waktu dan tempatnya untuk melancarkan upaya global menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Jika kita gagal menghadapi tantangan ini, krisis global bakal terus berlanjut selama bertahun-tahun ke depan.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University, Penasihat Khusus Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Millennium Development Goals

Peran Indonesia Mengatasi Krisis Global

Oleh: Suryo Suwignjo
Sumber: Koran Tempo, 30 Maret 2009

Pertemuan G-20 yang akan diselenggarakan di Kota London pada 2 April 2009 akan dihadiri oleh sejumlah kepala negara. Satu hal yang membanggakan, Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang akan hadir pada acara akbar tersebut. Pertemuan ini memiliki tiga tujuan penting: stabilisasi pasar keuangan, reformasi dan restrukturisasi sistem perekonomian global, serta bagaimana menyelaraskan perekonomian global dengan upaya mencari pertumbuhan yang berkesinambungan.

Anggota G-20 mewakili 85 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, dua pertiga populasi global, serta lebih dari 80 persen kepemilikan saham di Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Anggota negara G-20 adalah Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Turki, dan Uni Eropa.

Negara-negara G-20 memiliki peluang untuk memberi contoh dan mengkoordinasikan upaya stimulus perekonomiannya di seluruh dunia. Runtuhnya perekonomian dunia yang begitu cepat menggambarkan bagaimana sistem layanan keuangan dunia--dan perekonomian global--saling terinterkoneksi.

Di seluruh dunia, nilai proyek-proyek stimulus yang sering kali dibicarakan mencapai lebih dari US$ 3 triliun. Dengan pengeluaran sebesar itu, penting untuk tidak hanya membangun atau memperbaiki infrastruktur fisik, tapi juga membangun infrastruktur digital "pintar" yang akan menciptakan lapangan kerja abad ke-21.

Di Indonesia, tim ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan stimulus fiskal sebesar Rp 71.3 triliun. Kabar baiknya, pemerintah akan segera mengucurkan stimulus bea masuk yang ditanggung pemerintah untuk komponen elektronik, otomotif, telematika, dan galangan kapal dalam waktu dekat ini. Saat ini pemerintah, melalui PT Surveyor Indonesia, sedang memverifikasi perusahaan yang mendaftarkan pengajuan untuk memperoleh paket stimulus ini. Tujuannya untuk mempermudah para pelaku industri dalam memperoleh bahan baku yang akan berdampak pada peningkatan produksi mereka.

Jerman, misalnya, sedang mempertimbangkan sebuah paket stimulus sebesar 4,2 persen dari PDB negara tersebut. Banyak negara lainnya sedang mendiskusikan tujuan stimulus untuk negara mereka masing-masing. Hal ini meliputi rencana untuk membangun jalan raya yang lebih pintar dan jalur kereta api yang dilengkapi sistem terinterkoneksi untuk menilai pola lalu lintas, mengusulkan jalur alternatif untuk mengurangi kemacetan dan polusi, serta, di jangka panjang, mengurangi biaya.

Selain itu, terdapat kesepakatan bahwa negara-negara maju harus menyediakan lebih banyak dana untuk IMF, yang akan digunakan untuk menstimulasikan pemulihan di negara-negara berkembang, tapi jumlah pastinya masih akan dibicarakan oleh pemimpin-pemimpin dunia di Konferensi Tingkat Tinggi G-20. Sementara ukuran paket perekonomian masih diperdebatkan, tampaknya terdapat konsensus bahwa sistem keuangan dunia harus diperbaiki dan dianggap stabil agar perekonomian dunia dapat pulih.

Sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan IBM Institute of Business Value terhadap lebih dari 2.600 eksekutif keuangan, pejabat pemerintah, serta perwakilan dari dunia hukum dan akademis menemukan bahwa inovasi keuangan yang sehat harus diimbangi oleh transparansi dan stabilitas keuangan. Pada waktu yang lalu, kesuksesan bisnis perbankan sering kali dikaitkan dengan kemampuannya untuk menyimpan rahasia. Jelas bahwa diperlukan transparansi, sistem "pintar", dan kebijakan manajemen yang proaktif dalam sistem layanan keuangan dunia yang terinterkoneksi.

Keberhasilan membutuhkan sistem permodelan dan penerapan informasi yang dapat memberi peringatan jika terjadi peningkatan risiko yang berlebih di sistem keuangan dan memberi usulan untuk mengatasi masalah yang ada. Pemerintah AS mengeluarkan undang-Undang yang mengotorisasikan pengeluaran sebesar US$ 787 miliar untuk proyek-proyek stimulus, termasuk proyek-proyek berpandangan ke depan yang dirancang untuk membangun jaringan yang "lebih pintar", memperluas akses broadband ke daerah-daerah permukiman, serta membuat sebuah sistem catatan kesehatan elektronis yang dapat menghemat biaya kesehatan dan meningkatkan keselamatan pasien.

Untuk memungkinkan dan mempercepat pemulihan ekonomi, tentunya kita harus mempertahankan pasar yang terbuka. Penutupan pasar dan restriksi perdagangan hanya akan menghalangi efek positif dari inisiatif stimulus keuangan yang dicanangkan di seluruh dunia. Krisis keuangan global memberi peringatan kepada kita untuk berubah. Semakin banyak negara yang berinovasi dengan mengambil berbagai kebijakan baru untuk merespons berbagai kejadian yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Tapi hal ini tidak dapat dilaksanakan hanya oleh satu lembaga atau satu pemerintahan.

Membangun kembali kepercayaan dan beranjak ke pemulihan perekonomian membutuhkan upaya bersama yang dilandasi komitmen yang tinggi dari kalangan industri, pemerintah, dunia bisnis, dan kita sebagai individu. Pertemuan G-20 dan berbagai keputusan yang akan diambil oleh kelompok yang mewakili 85 persen perekonomian dunia ini dapat menjadi awal yang baik untuk menuju pemulihan ekonomi dunia dan tentunya kita harapkan berdampak positif bagi Indonesia.

Penulis adalah Presiden Direktur IBM Indonesia

Prospek Pemulihan Ekonomi

Oleh: A Prasetyantoko
Sumber: Kompas, 30 Maret 2009

Hampir semua orang bertanya, kapan krisis global ini berakhir? Sudahkah batas terbawah terlalui atau masih akan menyusur lebih dalam lagi? Benarkah perekonomian dunia akan pulih pada tahun 2010 sebagaimana diramalkan Ketua Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke? Tak seorang pun memiliki jawaban meyakinkan.

Dana Moneter Internasional (IMF) terpaksa berkali-kali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, terakhir pada 0,5 persen untuk tahun 2009. Baru-baru ini, Bank Dunia bahkan meramalkan ekonomi global akan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 1-2 persen. Pertanyaannya, mengapa lembaga sekaliber IMF dan Bank Dunia tidak mampu memprediksi dengan baik?

Di situlah letak gawatnya persoalan. Perekonomian tak lagi digerakkan oleh ”faktor-faktor fundamental”, tetapi didominasi oleh ”faktor spekulatif”. Itulah mengapa resesi lebih cepat datang dan lebih dalam dari perkiraan. Jangan kaget pula kalau nanti perekonomian juga pulih lebih cepat dari dugaan. Semua itu karena faktor spekulasi. Apa risikonya bagi kita, jika pemulihan ekonomi didorong faktor spekulasi?

Akar masalah

Ada banyak argumen menjelaskan akar krisis global ini. Tapi, satu hal krusial yang mengerucut, berkembangnya secara liar sistem perbankan bayangan (shadow banking system). Dalam sistem perbankan tradisional, uang yang dikumpulkan sebagai dana pihak ketiga (DPK) akan disalurkan kembali dalam bentuk kredit, baik produktif (industri) maupun konsumtif (kredit rumah, kartu kredit).

Dalam sistem perbankan bayangan, uang tak dikembalikan dalam bentuk kredit, melainkan diputar dalam instrumen-instrumen investasi yang semakin lama semakin canggih. Mulai dari commercial mortgage-backed securities (CMBS) hingga collateralized debt obligations (CDO). Aktor yang terlibat pun banyak, yaitu bank investasi, hedge funds, money-market funds, hingga perusahaan keuangan lain.

Sistem perbankan bayangan telah meniupkan gelembung ekonomi hingga meletus dengan pemicu subprime mortgage yang terjadi mulai Juli 2007 di AS. Rentetan masalahnya begitu panjang, krisis finansial telah menyebabkan kekeringan likuiditas sehingga menyeret krisis manufaktur. Dan, bukannya mereda, kini justru memicu krisis tenaga kerja (The Economist, 14-20/3).

Kegusaran dunia tecermin dalam pertemuan para menteri keuangan G-20 yang baru lalu. Ada ketegangan dalam penyusunan agenda, apakah fokus pada pengetatan regulasi sistem keuangan (agenda Uni Eropa) atau menambahkan dana stimulus untuk menggerakkan ekonomi (agenda AS). Gaung yang terasa di negeri kita, dana stimulus harus ditambah karena amanat G-20 menyatakan defisit anggaran harus minimal 2 persen terhadap PDB.

Memang pengeluaran pemerintah menjadi satu-satunya kekuatan yang masih bisa diandalkan menggerakkan perekonomian. Tapi, benarkah uang yang mengucur akan membenahi faktor-fakor fundamental dalam perekonomian atau justru menambah amunisi perilaku spekulasi. Untuk itulah pengetatan regulasi sistem keuangan tidak bisa ditawar lagi.

Jebakan krisis

Dampak krisis global pada perekonomian Indonesia makin terasa. Pertama, krisis likuiditas (credit crunch) sektor perbankan makin terasa tingkat kegawatannya. Meski BI Rate sudah diturunkan ke level 7,75 persen, bunga kredit masih pada kisaran 14-16 persen. Memang benar pada saat krisis instrumen suku bunga tak akan efektif. Bank ketakutan menyalurkan kredit karena tidak yakin terhadap kondisi keuangan para peminjam. Bahkan, pasar uang antarbank (PUAB) juga seret sehingga memerlukan jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kedua, sektor-sektor industri yang terpukul karena mandeknya permintaan semakin hari semakin banyak. Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi pun diperkirakan tak akan melampaui 3,5 persen. Sementara tambahan dana stimulus juga mengundang persoalan, siapa yang berhak mendapatkan talangan dan dengan cara apa. Sudah jamak di negeri ini, setiap pengucuran dana disertai ”kutipan” dalam persentase tertentu. Jika begitu, muara pada politik uang terkait pemilu tak terhindarkan.

Malaysia dan Korea Selatan mengalami guncangan lebih besar karena perekonomian mereka sangat bergantung pada pasar ekspor. Kita masih beruntung karena dua hal, perekonomian lebih ditopang permintaan domestik dan pasar finansial belum terlalu maju. Namun, kita juga punya risiko lebih besar karena krisis sangat mungkin akan berlangsung lebih lama. Ada kekhawatiran, Indonesia bersama Filipina, Pakistan, dan negara-negara Eropa timur akan mengalami fase krisis lebih lama dari yang lain.

Secara umum, negara maju akan mengalami fase krisis cukup panjang sebelum akhirnya bangkit (U-shape). Namun, saya menduga, begitu situasinya tenang, lebih mudah bagi negara maju untuk bangkit karena ditopang faktor spekulasi para investor di pasar finansial. Tak lama lagi, Pemerintah AS akan mengeluarkan surat utang negara sebesar lebih kurang 2 triliun dolar AS. Maka, minat para investor global akan tersedot pada instrumen tersebut, sementara untuk mempertahankan peminat, pemerintah kita harus mematok bunga obligasi hingga kisaran 15 persen.

Itulah salah satu sebab mengapa AS cenderung enggan meregulasi secara ketat sistem finansialnya. Hidup matinya perekonomian AS masih akan bergantung pada pasar finansial. Justru negara sedang berkembang seperti kita, risiko jebakan krisis akan semakin menguat.

Melihat peliknya persoalan ekonomi domestik, tak mengherankan jika nanti negara tetangga, seperti Malaysia dan Korea Selatan, bisa keluar dari krisis, kita justru diam-diam terjerat dalam krisis yang makin dalam.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Kelenturan dalam Krisis Global

Oleh: Syamsul Hadi
Sumber: Seputar Indonesia, 30 Maret 2009

Dari penggagas teori evolusi, Charles Darwin, kita dapat belajar satu hal: kunci sukses manusia menghadapi tekanan-tekanan perubahan alam yang keras adalah kemampuannya melakukan adaptasi yang mengagumkan.

Kelenturan atau fleksibilitas manusia telah memenangkannya dalam kompetisi survival of the fittest, meninggalkan dinosaurus perkasa yang hanya menyisakan fosil. Sudah pasti modal utama di belakang kemampuan manusia beradaptasi adalah kecerdasannya yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks teori evolusi, ilmu pengetahuan terlihat sebagai cara manusia untuk menghadapi, mengadaptasi, dan merancang masa kini dan masa depan yang lebih baik. Sifat teori sebagai elemen sentral dalam ilmu pengetahuan dengan demikian adalah relatif dan ”historis”, menjawab tantangan sejarah kemanusiaan pada zamannya.

Meminjam ungkapan George T Krane dan Abla Amawi, ”Teori bukanlah semata hasil proses ilmiah universal yang melampaui batasan waktu; ia adalah produk dari sebuah konteks sejarah. Argumen (teoritis) yang dipercaya sekarang tampil ke depan karena lokasinya yang tepat dalam lingkungan ekonomi dan politik masanya...” (Theoretical Evolution of International Political Economy,1997).

Summer dan Teknokrasi

Ketika ilmu pengetahuan dijadikan instrumen ”ilmiah”untuk menghasilkan kebijakan ekonomi dan politik, terbentuklah apa yang disebut teknokrasi, sebuah pemerintahan yang secara signifikan melibatkan kalangan teknokrat untuk menggodok kebijakan publik. Ignas Kleden (Prisma, Maret 1984) mendefinisikan teknokrat sebagai seseorang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup mendalam atas bidangbidang tertentu dan atas dasar itu bekerja berdasarkan rasionalitas di bidangnya.

Keterlibatan teknokrat bukan hanya dominasi pemerintah negara berkembang, tetapi juga negara maju seperti AS. Larry Summer, yang dijuluki Newsweek sebagai the brainiest of the best and the brightest dalam tim ekonomi Obama, adalah teknokrat penting yang kini menjabat sebagai Kepala Dewan Ekonomi Nasional AS.

Summer, profesor ekonomi dan mantan rektor Universitas Harvard yang pernah menjadi menteri keuangan di era presiden Bill Clinton, diharapkan akan berperan sentral untuk membangkitkan ekonomi AS yang terpuruk di jurang krisis finansial. Semasa Clinton, Summer menjadi penganjur liberalisasi dan pasar bebas yang vokal.

Namun, kini dia beralih menjadi seorang Keynesian yang dengan gigih menganjurkan keterlibatan pemerintah secara besar-besaran dalam ekonomi guna mengendalikan pasar dan menstimulasinya untuk bangkit. Summer adalah otak di balik paket dana stimulus besarbesaran yang dikeluarkan Pemerintah AS untuk menyehatkan kembali ekonomi AS.

Dari sisi keberadaan Summer, yang semula adalah neoliberalis tulen, langkah ini jelas bisa dibaca sebagai sebentuk inkonsistensi. Namun itu dapat pula dibaca sebagai cerminan dari kecerdasan seorang ilmuwan-teknokrat yang mau terus belajar dan cepat menyerap perubahan, melakukan adaptasi, dan kemudian memilih kebijakan yang dibutuhkan. Akarnya, sudah pasti, pemilikan sense of crisis yang kuat, yang mengharuskannya untuk menyesuaikan pandangan ilmiahnya selaras dengan tuntutan situasi demi menyelamatkan ekonomi bangsanya.

Fundamentalisme vs Fleksibilitas

Banyak ilmuwan menolak fundamentalisme tanpa menyadari bahwa dia telah terjebak di dalamnya. Para teknokrat pendukung rezim komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur terjebak pada fundamentalisme antipasar dengan menutup ruang bagi kompetisi dalam sistem ekonomi karena prasangka ideologis terhadap pasar yang didominasi kaum kapitalis.

Sebaliknya, para teknokrat AS sejak masa Presiden Ronald Reagan terjebak pada fundamentalisme antinegara dengan kepercayaan yang berlebihan pada mekanisme pasar. Tanpa regulasi yang memadai, kebebasan dalam mekanisme pasar telah dimanfaatkan untuk beragam aksi spekulasi finansial yang dilatari keserakahan menumpuk kekayaan yang secara akumulatif mengantarkan AS pada krisis finansial dewasa ini.

Intelektual, menurut sejarawan Arnold Toynbee, adalah kekuatan creative minority yang selayaknya menjadi motor perubahan sejarah karena kecerahan dan keterbukaan dalam cara pandang dan cara pikirnya. Konsistensi jelas merupakan keharusan bagi intelektual.

Namun, setelah mendapatkan ”pandangan ilmiah lain” yang lebih teruji dan meyakinkan, merevisi pandangan ilmiah yang semula diyakini juga merupakan bagian dari konsistensi untuk menjunjung tinggi kebenaran dan kemanusiaan.

Sikap konsisten berbeda dengan sikap fundamentalis. Seperti yang terjadi pada sebagian pemeluk agama, bersikap fundamendalis dalam meyakini pengetahuan, termasuk dalam hal paradigma pembangunan, dapat mengantarkan seorang ilmuwan pada kejumudan dan kepicikan.

Mengorbankan keyakinan ilmiah yang telah mendarah daging, dengan mengadopsi alternatif kebijakan berparadigma lain demi kemaslahatan rakyat, bukanlah sebuah dosa intelektual. Sebaliknya, ia adalah bentuk kejujuran dan sikap rendah hati dalam mengabdi pada kemanusiaan.

Sewaktu PM Malaysia Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control semasa krisis Asia, caci maki dari media massa internasional mainstream tak terbendung lagi. Padahal, seperti dituturkan Wakil Direktur Insitute for Strategic and International Studies/ISIS Malaysia Dr Stephen Leong kepada penulis, kebijakan Mahathir itu diambil setelah dia mengundang puluhan ahli ekonomi, politik, sosial, dan pembangunan untuk berdebat panjang tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah perluasan krisis di Malaysia.

Hasilnya, kebijakan capital control telah mencegah Malaysia dari instabilitas ekonomi berkepanjangan akibat fluktuasi nilai mata uang. Sebaliknya, Indonesia yang begitu patuh pada rumusrumus neoliberalisme IMF (yang belakangan disesali oleh para petinggi IMF sendiri) sampai detik ini justru terus-menerus menjadi bulan-bulanan aksi spekulasi di balik fluktuasi dalam sistem finansial internasional dan tak kunjung mampu membangun fundamen ekonomi nasional yang kuat.

Para teknokrat kita bungkam seribu bahasa ketika menjelang Mahathir melepaskan jabatan di tahun 2004. Sejumlah besar ekonom dunia berkumpul di London untuk mendiskusikan dan mengapresiasi kebijakan capital control sebagai ”inovasi ilmiah” yang cerdas guna menanggulangi krisis finansial.

Mengutip John Maynard Keynes, Larry Summer menyatakan, ”When circumstances change, I change my opinion” (Newsweek, 2/3/). Summer tampaknya setuju dengan Darwin bahwa kemampuan adaptasi adalah kata kunci bagi kemenangan manusia dalam sejarahnya yang panjang.

Bagaimana dengan para teknokrat dalam pemerintah kita? Sudahkah mereka beranjak dari cari pandang neoliberalisme ”karatan” yang kini justru telah dicampakkan di negeri asalnya?(*)

Penulis adalah Dosen Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI

Efektifkan Penurunan Suku Bunga

Oleh: Sri Adiningsih
Sumber: Jawa Pos, 30 Maret 2009

Problem ekonomi yang kita hadapi tampaknya belum akan berkurang. Padahal, berbagai program penyelamatan sudah diluncurkan, baik lewat stimulus fiskal maupun ekspansi moneter melalui penurunan BI rate. Yang terbaru, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini turun menjadi 3-4 persen. Itu berarti hampir separo dari proyeksi awal yang ditargetkan mencapai 6,5 persen. Jelas ini menunjukkan 2009 merupakan tahun yang berat bagi bangsa Indonesia sejak krisis ekonomi 1997 lalu.

Jika laju pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 3-4 persen, itu berarti hampir sama dengan periode 2001 ketika Indonesia masih berada dalam krisis ekonomi. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi 2000 (4,9 persen) masih lebih tinggi daripada 2001. Demikian pula 2002. Ini menunjukkan masalah ekonomi yang kita hadapi semakin serius. Semakin seriusnya masalah ekonomi perlu diikuti upaya serius mengatasinya. BI memang sudah agresif menurunkan suku bunga. Jika November 2008 BI rate masih 9,5 persen, pada Maret ini sudah 7,75 persen atau turun 1,75 persen dalam tempo empat bulan. Apakah penurunan suku bunga dapat mengerem turunnya pertumbuhan? Belum tentu. Sebab, banyak hal yang memengaruhi kemampuan ekspansi moneter.

Kredit Tak Searah Suku Bunga

Krisis memaksa semua negara menyelamatkan ekonomi domestiknya dengan berbagai cara. Di antaranya dengan stimulus fiskal, menjadi proteksionis, ataupun menurunkan suku bunga. Gelombang penurunan suku bunga besar-besaran sudah meluas. Apalagi, G-20 yang merupakan grup negara-negara yang memiliki peran besar dalam perekonomian dan perdagangan dunia juga aktif meminta anggotanya dan negara lain untuk melonggarkan kebijakan moneter.

Suku bunga Bank Sentral AS (Federal Reserve) kini berada di kisaran 0-0,25 persen. Sangat rendah dan belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ini, suku bunga tiga bulan di AS tinggal 0,44 persen (The Economist Maret 2009). Demikian pula Jepang yang biasa dengan suku bunga rendah memangkas lebih rendah lagi rate-nya. Suku bunga tiga bulan di Negeri Sakura itu tinggal 0,57 persen. Negara ASEAN seperti Malaysia juga menurunkan suku bunga menjadi 2,09 persen, dan di Singapura 0,63 persen untuk maturity yang sama. Bahkan, negara seperti Thailand yang suhu politiknya memanas juga memangkas suku bunga tinggal 1,82 persen. Dapat kita lihat bahwa secara global pemangkasan suku bunga besar-besaran sudah terjadi.

Indonesia masih sangat ketinggalan. Suku bunga untuk pasar uang dengan tenor tiga bulan masih bertengger pada 9,35 persen. Ini jelas jauh lebih tinggi daripada beberapa negara tersebut. Sayangnya, gelombang penurunan suku bunga global belum dapat mengerem pemburukan ekonomi dunia. Tak heran, lembaga think thank internasional maupun lembaga multilateral terus merevisi laju pertumbuhan ekonomi global. Hingga akhir tahun ini, diperkirakan terjadi kontraksi 0,5-1,5 persen. Bagaimana dengan Indonesia?

Secara teoretis, kita berharap turunnya suku bunga akan mendorong kredit ataupun investasi sehingga memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataan tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan. Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan turunnya suku bunga tidak serta merta mendongkrak kredit. Data BI menunjukkan saat suku bunga SBI 1 bulan turun dari 17,62 persen (2001) menjadi 12,93 persen (2002), hingga 8,31 persen (2003), bahkan mencapai titik terendah 7,43 persen (2004), ternyata pertumbuhan kredit tidak searah dengan gerakan suku bunga.

Pertumbuhan kredit 2002 sebesar 34 persen, lebih besar dibanding tahun-tahun berikutnya di mana bunga lebih rendah. Lihat pertumbuhan kredit pada 2003 adalah 26,1 persen dan 2004 tumbuh 28 persen. Namun saat suku bunga naik yang mencapai 12,75 persen pada (2005), pertumbuhan kredit sempat turun menjadi 12,8 persen. Sebab, saat itu terjadi guncangan ekonomi makro ketika ada kenaikan harga BBM. Sedangkan saat BI rate naik dari 8 persen (2007) ke 9 persen (2008), pertumbuhan kredit rupiah bank umum malah melonjak 33,2 persen. Dari situ, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pergerakan suku bunga dan kredit rupiah bank umum.

Karena itu, mulai muncul banyak diskusi mengenai semakin tidak efektifnya penurunan suku bunga dalam mendorong kredit ataupun investasi serta pertumbuhan. Tidak efektifnya suku bunga dalam memengaruhi penyaluran kredit dipengaruhi banyak faktor. Salah satu penjelasannya adalah penurunan BI rate tidak serta merta diikuti turunnya suku bunga kredit dalam waktu yang cepat. Bunga kredit biasanya baru turun setelah koreksi BI rate berlangsung beberapa bulan. Dan, penurunan bunga kredit pada umumnya di bawah 1 persen atau jauh dari penurunan BI rate selama ini.

Selain respons lembaga keuangan (bank ataupun nonbank) yang lamban dalam menurunkan suku bunga, ada kecenderungan banker ataupun masyarakat yang semakin pruden saat terjadi krisis ekonomi. Banker mulai khawatir dengan meningkatnya kredit bermasalah atau NPL (Januari NPL naik Rp 9 triliun), sehingga semakin berhati-hati menyalurkan kredit. Demikian juga pengusaha ataupun masyarakat semakin berhati-hati dalam berutang. Apalagi, kondisi ekonomi diperkirakan masih memburuk. Ketakutan terkena PHK (diperkirakan meningkat setelah April 2009), ataupun turunnya omzet penjualan dan turunnya pendapatan membuat pengusaha ataupun masyarakat tidak berani mengambil risiko dengan berutang. Ini juga terjadi pada krisis 1997 lalu.

Ketika penyaluran kredit kian seret, ternyata masyarakat bawah ataupun usaha informal banyak yang terjebak rentenir. Sebab, mereka kesulitan mendapat akses dana dari bank ataupun berbagai program pemberdayaan UMKM. Praktik kredit berbunga tinggi yang membelenggu usaha mikro dan kecil di pasar tradisional ditengarai dilakukan koperasi simpan pinjam ataupun berbagai lembaga keuangan mikro. Padahal, usaha mikro dan kecil menjadi penyelamat kelompok masyarakat bawah yang terkena PHK maupun kesulitan mendapatkan pekerjaan. (*)

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta

Realistis, tapi Tetap Optimistis

Oleh: Mirza Adityaswara
Sumber: Republika, 30 maret 2009

Masyarakat Jakarta hari Jumat pekan lalu dikejutkan dengan berita sedih, yaitu jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan banyak korban jiwa. Kita lihat, reaksi masyarakat Indonesia menolong sesamanya sangat besar, suatu sifat positif bangsa ini yang harus selalu kita jaga.

Semoga musibah seperti ini bisa kita hindari di masa depan dengan melakukan antisipasi sedini mungkin, meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan terus berkoordinasi antarinstansi.

Di bidang ekonomi, kita juga sangat memerlukan kemampuan antisipasi dan koordinasi. Kita membaca, akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 menjadi 3,0 persen-4,0 persen karena dampak negatif resesi ekonomi dunia.

Dibandingkan pertumbuhan ekonomi 6,1 persen yang berhasil dicapai pada 2008, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan hanya sekitar 3,5 persen pada 2009 adalah suatu penurunan yang drastis. Di sektor riil, data ekonomi memang menunjukkan terjadinya perlambatan ekonomi yang signifikan. Mereka yang bekerja di sektor ekspor dan impor adalah yang paling merasakan dampak resesi ekonomi dunia. Angka ekspor bulanan turun drastis dari 12,8 miliar dolar AS (Juni 2008) menjadi 7,1 miliar dolar AS (Januari 2009).

Nilai impor turun drastis dari 10,7 miliar dolar AS (Juli 2008) menjadi 5,1 miliar dolar AS (Januari 2009). Penurunan daya beli masyarakat sudah terasa. Penjualan alat berat pada dua bulan 2009 di sektor pertambangan dan perkebunan yang didistribusikan oleh United Tractor turun 49 persen dibandingkan Januari-Februari 2008.

Pada Februari 2009, penjualan mobil turun 27 persen dan sepeda motor turun 11 persen terhadap Februari tahun lalu. Penjualan semen di pasar domestik turun tiga persen terhadap Februari 2008. Sedangkan, pertumbuhan kredit perbankan dari Desember sampai pertengahan Maret kecil sekali, hanya sekitar Rp 1 triliun.
Kita memang harus realistis menghadapi kenyataan pemburukan ekonomi. Tapi, kita juga harus tetap optimistis, menunggu perkembangan positif di Amerika Serikat (AS). Di seluruh dunia, pemburukan data-data ekonomi masih terjadi.

Tapi, di lain pihak, pasar saham di berbagai belahan dunia malah menunjukkan peningkatan dalam dua minggu terakhir. Apa yang menyebabkan investor pasar keuangan berspekulasi membeli saham di berbagai negara, sedangkan data-data ekonomi global sebenarnya belum pulih?

Di sinilah seninya membaca perilaku pasar keuangan. Investor pasar keuangan selalu menjual dan membeli sebelum data-data fundamental ekonomi secara permanen menurun atau meningkat. Contohnya, investor pasar keuangan mulai menjual saham di seluruh dunia sejak kuartal IV/2007.

Padahal, pada saat itu belum ada tanda-tanda resesi ekonomi dunia bakal melanda dunia pada 2009. Banyak investor pasar keuangan sudah melihat bakal adanya kerusakan ekonomi global setelah mereka mendengar naiknya kredit bermasalah subprime mortgage di perbankan Amerika. Kekhawatiran tersebut yang membuat pasar saham mulai turun sejak kuartal IV/2007 dan semakin parah di semester II/2008.

Berita gembira yang membuat investor pasar keuangan antusias adalah kabar tentang rencana Pemerintah Amerika mengambil alih kredit macet (Itoxic asset) dari perbankan Amerika sebanyak satu triliun dolar AS. Walaupun jumlah satu triliun dolar AS masih kurang, kebijakan ini diharapkan menolong perbankan Amerika untuk kembali berfungsi memberikan kredit.

Berita lain, bank sentral AS berkata akan menambah pemberian kedit langsung ke sektor riil sampai jumlah satu triliun dolar AS. Praktik ini sama dengan mencetak uang. Tapi, pada saat ini, kebijakan tersebut tampaknya memang dibutuhkan berhubung perbankan Amerika sedang rugi dan modalnya tergerus signifikan sehingga tidak mampu memberikan kredit.

Pencetakan mata uang dolar telah membuat persepsi negatif terhadap dolar sehingga dolar AS melemah. Akibatnya, rupiah menguat beberapa hari terakhir. Investor saat ini sudah terbiasa mendengar berita negatif, asalkan berita tersebut sesuai ekspektasi awal. Contohnya, pertumbuhan ekonomi Amerika turun 6,3 persen di kuartal IV/2008 yang tidak membuat pasar keuangan panik. Investor pasar keuangan saat ini haus akan berita positif.

Investor berusaha mencari informasi, apakah pasar keuangan sudah mencapai titik terbawahnya. Kita tidak tahu pasti kapan itu tercapai. Tapi, investor antusias ketika direksi Citigroup dan Bank of Amerika mengatakan, dalam dua bulan pertama di 2009, kedua bank tersebut memiliki kinerja yang lebih baik daripada kwartal IV/2008.Investor semakin optimistis ketika data penjualan rumah di Amerika pada Februari 2009 meningkat 4,7 persen dibandingkan Januari dan pembelian durable goods naik 3,4 persen pada bulan yang sama.

Berita-berita positif tersebut membuat indeks bursa Dow Jones, Eropa, dan bursa Asia meningkat. Indeks bursa saham Indonesia sudah meningkat delapan persen sejak awal tahun. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) rupiah membaik dari 14 persen menjadi 12 persen dalam waktu satu bulan. Tanda-tanda positif lain yang menunjukkan bahwa penurunan ekonomi mungkin sudah mencapai titik terbawah adalah naiknya Baltic Dry Index, yaitu indeks tarif angkutan kargo laut yang sudah meningkat 121 persen sejak awal tahun.

Bagaimana kita menerjemahkan data-data ekonomi Indonesia supaya kita mendapat rasa optimisme? Contohnya, data penjualan mobil. Walaupun penjualan mobil pada Februari turun 27 persen terhadap Februari 2008, dibandingkan Januari 2009, angka tersebut naik sembilan persen. Data penjualan sepeda motor Februari, walaupun turun 11 persen terhadap Februari tahun lalu, sebenarnya meningkat 13 persen ketimbang Januari 2009.

Data penjualan semen Februari 2009 memang turun 11 persen dibandingkan Januari, tapi penjualan semen selama dua bulan tahun 2009 hanya turun tiga persen dibandingkan Januari-Februari 2008. Jadi, bila nantinya volume penjualan semen di akhir 2009 turun enam persen, hal tersebut masih menunjukkan daya tahan ekonomi kita yang cukup kuat.

Bayangkan saja, ekonomi Singapura, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang tahun ini diperkirakan turun sebanyak empat persen sampai tujuh persen tahun ini. Sedangkan, ekonomi Indonesia diharapkan masih tumbuh positif sekitar empat persen. Jadi, marilah kita hadapi resesi ekonomi dunia ini dengan realistis, tapi tetap dengan optimisme sambil melakukan antisipasi menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi dan kerja keras berkoordinasi agar aktivitas ekonomi bisa terus berjalan.

Penulis adalah Chief Economist, Bank Mandiri Group

Paket stimulus tak bergizi

Oleh: Faisal Basri
Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2009

Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kesekian kalinya merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009. Jika pada Januari diperkirakan masih tumbuh 0,5%, dalam revisi terakhir yang dikeluarkan pada pertengahan Maret, perekonomi-an dunia akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sekitar 0,5%-1%.

Indonesia tampaknya tidak kalah sigap dengan urusan revisi ini. Sekalipun asumsi APBN 2009 mencantumkan angka 6% (www.depkeu.go.id), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat di bidang ekonomi berulang kali menegaskan bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi berkisar 4,5%-5,5%.

Sementara itu, akhir minggu lalu Bank Indonesia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 dari 4%-5% menjadi 3%-4%.

Kalau ikut arus pesimisme perekonomian dunia, sangat boleh jadi setiap bulan pemerintah dan BI harus terus mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi. Guna keberadaan pemerintah adalah memelihara dan memperkuat pertahanan empat "tanggul" agar arus deras kemerosotan perekonomian dunia bisa terbendung.

Ekspor jebol

Tanggul ekspor sudah hampir bisa dipastikan jebol. Di antara negara anggota G-20-yang menyelenggarakan KTT di London, pada awal April 2009-kemerosotan ekspor Indonesia pada Januari 2009 paling parah kedua setelah Rusia.

Namun, hal ini tidak akan sampai menimbulkan air bah yang memorak-porandakan perekonomian, karena peranannya dalam produk domestik bruto (PDB) relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Bahkan masih bisa memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi seandainya kemerosotan impor lebih tajam daripada penurunan ekspor sebagaimana yang terjadi di China dewasa ini dan yang kita alami pada saat krisis 1998.

Investasi (pembentukan modal tetap bruto) merupakan tanggul yang diperkirakan masih bisa bertahan dengan pertumbuhan positif, tetapi dayanya terkikis dibandingkan dengan pada 2008.

Ada sejumput optimisme tambahan daya yang berasal dari investasi asing langsung, mengingat beberapa perusahaan multinasional melihat Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang lumayan besar dan minat pemodal di sektor pertambangan dan energi tetap menjanjikan.

Tanggul pengeluaran pemerintah (konsumsi dan investasi) tidak banyak bisa diharapkan. Komponen konsumsi pemerintah hanya menyumbang 8% terhadap PDB.

Komponen investasi dalam bentuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp12,2 triliun-yang merupakan bagian kecil dari paket stimulus total senilai Rp73,3 triliun-bisa diibaratkan seperti menggarami air laut, mengingat porsinya hanya 0,2% dari PDB.

Yang terbesar adalah tanggul konsumsi rumah tangga. Pada 2008, tanggul ini menyumbang 61% PDB.

Menyadari betapa pentingnya tanggul konsumsi rumah tangga, pemerintah tampaknya mengerahkan hampir seluruh daya agar peningkatan daya beli masyarakat tidak melorot dan gelombang PHK bisa ditekan. Pemerintah mengklaim dana stimulus di luar belanja infrastruktur sebesar Rp61,1 triliun bisa menjawab dua persoalan tersebut sekaligus.

Sungguh sangat disayangkan harapan pemerintah itu jauh panggang dari api. Sangat keterlaluan kalau pemerintah memasukkan penurunan tarif pajak penghasilan perseorangan, pajak keuntungan perseroan, dan peningkatan pendapatan tidak kena pajak ke dalam paket stimulus.

Bukankah semua ini sudah berlaku otomatis sesuai dengan undang-undang PPh baru untuk memenuhi tuntutan perubahan lingkungan makro dan eksternal, yang tidak terkait sama sekali dengan krisis global?

Lebih keterlaluan lagi adalah dengan memasukkan pula potongan pembayaran cicilan pajak badan sebesar 25% ke dalam paket stimulus. Untuk usaha-usaha tertentu yang tahun lalu menikmati lonjakan laba karena harga komoditas yang meroket, perkiraan laba tahun ini turun lebih dari 50%. Mereka harusnya dapat potongan jauh lebih besar.

Bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan itu akan mengalihkan "tabungan pajak" untuk meningkatkan pendapatan pegawainya kalau yang sebenarnya terjadi adalah kekeringan likuiditas, karena harus membayar pajak di muka berdasarkan laba tahun lalu walau dengan potongan 25%.

Bagi perusahaan yang memperoleh dampak neto positif dari tabungan pajak, mungkin sedikit menolong persoalan likuiditas yang disebabkan meminjam di bank lebih sulit dan dengan suku bunga yang tetap tinggi, sehingga mengalihkannya untuk tambahan pendapatan karyawan mungkin bukan prioritas utama.

Hal serupa berlaku pula untuk insentif PPh karyawan dengan pendapatan di atas PTKP hingga Rp5 juta per bulan. Pemerintah beralasan, kelompok ini dipilih karena hampir semua tambahan pendapatan mereka akan dibelanjakan (marginal propensity to consume tinggi), sehingga memiliki efek berganda yang tinggi terhadap pendapatan nasional.

Namun, bukankah kelompok sasaran ini sangat kecil, mengingat 70% pekerja kita menyemut di sektor informal? Berapa persen dari 30% sisanya yang di sektor formal akan menikmati? Niscaya kecil sekali.

Bukan stimulus

Bagaimana dengan BLT? BLT sebetulnya paling efektif untuk mendongkrak daya beli.

Namun, karena hanya untuk dua bulan senilai Rp3,7 triliun, berarti tidak menambah daya dongkrak dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp13 triliun. Itu namanya bukan stimulus, tetapi penggembosan.

Jika demikian halnya, pantas saja kalau pemerintah dan BI lebih sigap berulangkali menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Sekalipun demikian, saya masih berharap perekonomian Indonesia tidak akan terjerembab dan pengangguran tidak menggelembung.

Ini karena dunia usaha dan masyarakat tampaknya sudah lama tidak terlalu banyak berharap pada uluran tangan pemerintah. Bagi mereka, sudah cukup kalau pemerintah tidak banyak mengganggu. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tidak cukup.

Penulis adalah Staf Pengajar FE-UI

Menuju Sistem Moneter Dunia Baru

Oleh: A Tony Prasetiantono
Sumber: Kompas, 30 Maret 2009

Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang, penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan menguat oleh penyebab yang sepele.

Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51 miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan oleh mulai masuknya modal asing ke pasar modal di Jakarta, selain karena masuknya dana penjualan obligasi pemerintah di luar negeri (global medium-term notes).

Kedua, BI meneken perjanjian bilateral currency swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 triliun atau 100 miliar renminbi. Di bawah payung perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-masing dengan negara mitra dagang.

Dalam hal ini, importir Indonesia bisa langsung menukar rupiahnya dengan renminbi, sebaliknya importir China menukar renminbinya langsung dengan rupiah. Kini tidak perlu lagi ada mata uang ”perantara”, yakni dollar AS, dalam setiap transaksi kedua negara. Perjanjian semacam ini akhir-akhir ini mulai marak dilakukan, terutama oleh ASEAN + 3, yakni kesepuluh negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.

Banyak hal positif dapat ditarik dari skema baru ini. Bagi para importir maupun eksportir, mereka bisa berhemat karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek dari rupiah-dollar AS-renminbi menjadi langsung rupiah-renminbi. Berarti, akan dapat dihemat sejumlah fee penukaran.

Dari sisi ekonomi makro, kebutuhan (permintaan) terhadap dollar AS dapat ditekan. Implikasi dari turunnya permintaan dollar AS oleh pemegang rupiah akan menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah, atau sebaliknya rupiah bakal menguat. Ini sangat positif sebagai upaya untuk menurunkan volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS.

Dengan kata lain, kurs rupiah ke depannya akan cenderung lebih stabil, tidak terlalu berfluktuasi. Ini bagus bagi dunia usaha yang pada umumnya amat memerlukan kepastian (certainty), termasuk kepastian kurs. Sementara itu, variabel inflasi juga diuntungkan karena stabilitas kurs akan menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

Ketiga, rupiah harus berterima kasih kepada situasi politik di Tanah Air. Sejauh ini kampanye pemilu legislatif berlangsung aman. Masyarakat tampaknya sudah penat dan ”kapok” untuk tidak mau lagi mengulang pemilu bergejolak seperti sebelumnya, terutama 1999. Timbul kesadaran baru bahwa euforia demokrasi sudah tidak zamannya lagi diekspresikan dengan letupan-letupan di jalanan. Lagi pula, mengapa harus secara fanatik membela calon anggota legislatif jika yang bersangkutan kelak pada akhirnya juga diseret Komisi Pemberantasan Korupsi? Jumlah partai peserta pemilu yang amat banyak juga memberi andil memecah penumpukan massa. Ini semua berujung pada penguatan rupiah.

Sistem moneter baru

Secara pelan tapi pasti, krisis ekonomi global telah menginspirasi negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi penggunaan dollar AS. Dulu, pada Juli 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire—sejam perjalanan dari Boston—untuk menggunakan dollar AS sebagai mata uang dunia, yang didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral, pertimbangannya adalah dominasi AS dalam perekonomian dunia. Saat itu setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) pun dapat diberlakukan.

Kesepakatan yang juga dihadiri ekonom top Inggris, John Maynard Keynes, itu berakhir awal 1970-an. Ketika AS mulai sibuk berperang, anggaran pemerintahnya defisit besar, maka kurs dollar AS pun jadi fluktuatif. Seiring dengan kesulitan untuk menimbun emas dalam jumlah yang sebanding dengan perkembangan ekonomi dunia yang kian pesat, standar emas pun dihapus.

Kurs mata uang bisa bergerak dinamis berdasarkan kekuatan kinerja ekonomi negara masing-masing, bukan dikaitkan dengan tumpukan emas di gudang bank sentral.

Kini, setelah hampir 40 tahun, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto yang mencapai 14,3 triliun dollar AS (2008). Namun, juga muncul kekuatan lain yang mulai mendekat, yakni kawasan Euro (juga sekitar 14 triliun dollar AS), Jepang (4,8 triliun dollar AS), dan China (4,2 triliun dollar AS). Bahkan, jika semua negara Eropa bersatu (termasuk Inggris), kekuatannya bahkan lebih besar, yakni 19,2 triliun dollar AS.

Sebagai ilustrasi, kekuatan ekonomi dunia berturut-turut (dalam dollar AS) adalah: Jerman (3,8 triliun), Perancis (3 triliun), Inggris (2,8 triliun), Italia (2,4 triliun), Rusia (1,8 triliun), Brasil (1,7 triliun), India (1,3 triliun), Meksiko (1,1 triliun), Australia (1,1 triliun), Korea Selatan (1 triliun), Turki (0,8 triliun), Arab Saudi (0,53 triliun), Indonesia (0,5 triliun), Argentina (0,34 triliun), dan Afrika Selatan (0,3 triliun). Indonesia berada di peringkat ke-13 kekuatan ekonomi dunia.

Berdasarkan konfigurasi ini, sangat logis bahwa dollar AS selanjutnya tidak lagi menjadi satu-satunya mata uang yang mendominasi transaksi perekonomian dunia. Peran euro, yen, renminbi, dan poundsterling seharusnya menjadi lebih besar, seiring dengan menyurutnya peran AS yang tergerus krisis. Krisis ekonomi global kali ini tampaknya akan menjadi tonggak bersejarah bagi menyurutnya dominasi AS. Era baru sistem moneter dunia sudah mulai terkuak, menggantikan era sebelumnya, Bretton Woods (1944), dan pasca-Bretton Woods (awal 1970-an).

Munculnya era baru ini akan berdampak positif terhadap stabilitas rupiah. Karena itu, skema perjanjian bilateral currency swap arrangement harus terus diperluas oleh BI, karena ini sudah menjadi tren dunia yang tak terelakkan. Pelajaran dari kasus ini adalah, dalam setiap krisis, ternyata selalu ada blessing in disguise yang bisa kita petik manfaatnya.

Selamat datang era baru sistem moneter dunia!

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Mata Uang Global

Oleh: Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Sumber: Seputar Indonesia, 30 Maret 2009

BARU-BARU ini, Gubernur Bank Indonesia menyatakan, Indonesia perlu memikirkan kemungkinan penggunaan mata uang global lain selain USD.

Seiring pernyataan tersebut,Bank Indonesia juga menjajaki kemungkinan menggunakan renmimbi dalam perdagangan negara ini dengan Cina. Perkembangan tersebut merupakan suatu hal yang menarik.

Bahwa hal itu akhirnya menjadi pemikiran Bank Indonesia menunjukkan bank sentral negara kita telah berpikir proaktif menyiapkan hal-hal yang belum bisa diprediksi saat ini. Perkembangan ini jauh lebih maju dibandingkan dengan percaya buta bahwa USD tetap akan menjadi mata uang dunia dalam jangka waktu yang terpikirkan sampai saat ini.

Pengalaman sejarah

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa penggunaan sebuah mata uang global tidaklah berlaku tetap selamanya. Dalam sejarah tersebut, mata uang global sudah pernah mengalami perubahan secara dramatis pada saat berakhirnya Perang Dunia II.

Sampai dengan Perang Dunia II, mata uang global, yaitu yang menjadi referensi perdagangan internasional dan yang menjadi cadangan devisa bank-bank sentral di seluruh dunia, adalah poundsterling. Ini bisa dimaklumi mengingat peran imperium Inggris yang akhirnya melahirkan negara-negara persemakmuran.

Peran tersebut menyebabkan mata uang poundsterling dipergunakan sebagai mata uang perdagangan global saat itu. Meski demikian, peran perekonomian Inggris menurun tajam dalam Perang Dunia II. Gempuran yang terus-menerus dari Jerman pada akhirnya banyak merusak kemampuan Inggris.

Itulah sebabnya pada saat terjadi Konferensi Keuangan Internasional di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada 1–22 Juli 1944, diputuskan bahwa mata uang yang menjadi jangkar perekonomian dunia adalah USD.

Keputusan tersebut berkaitan dengan pembentukan sistem moneter dunia yang dikenal sebagai sistem Bretton Woods, yaitu mata uang USD dikaitkan dengan emas, sementara mata uang lain di seluruh dunia dikaitkan dengan mata uang USD dalam suatu kaitan nilai tukar yang tetap. USD juga ditetapkan kaitannya dengan emas seharga USD35 setiap ounce.

Perubahan peran mata uang Inggris akhirnya memaksa negara tersebut untuk bersedia menukarkan mata uang poundsterling negara lain dengan USD. Karena sedikitnya dolar USD yang dimiliki Inggris, akhirnya dibuat suatu perjanjian utang yang disebut dengan Anglo American Loans di mana USD yang diterima Inggris akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menjadi sumber penukaran cadangan devisa dalam poundsterling negara-negara lain.

Meskipun demikian, ternyata jumlah itu pun belum cukup. Itulah sebabnya Inggris menjadi pasien pertama IMF dengan meminjam ”hanya” USD60 juta pada September 1947. Inggris akhirnya menjadi pasien pertama IMF dan status tersebut berlangsung lebih dari 20 tahun lamanya.

Prospek Mata Uang USD

Dengan melihat sejarah tersebut, bukanlah suatu ”pikiran liar” untuk tetap berpikir alternatif. Perkembangan mata uang dolar AS saat ini ternyata telah melahirkan volatilitas yang begitu besar. Mata uang yang semestinya melemah karena tidak didukung oleh fundamental perekonomian yang kuat ternyata justru menguat karena kembalinya likuiditas USD dari seluruh dunia dalam proses yang disebut de-leveraging.

Ke depan prospek mata uang USD rasanya tidaklah menjanjikan suatu hal yang cerah. Perkembangan ekonomi negara adidaya tersebut membutuhkan suatu stimulus yang sangat besar untuk memulihkan keadaan. Bahkan suatu angka yang fantastis disebutkan, yaitu sebesar USD9 triliun, dalam jangka waktu 10 tahun ke depan.

Angka ini sangat mungkin terjadi mengingat dalamnya krisis yang dialami negara tersebut.Jika ini terjadi, batas kehati-hatian pengelolaan keuangan pemerintah akan jauh terlampaui. Saya menduga rasio utang pemerintah terhadap PDB bukan tidak mungkin akan mencapai lebih dari 150% sehingga setiap terjadi kenaikan suku bunga, hal tersebut akan menjadi beban yang sangat besar bagi keuangan pemerintah.

Sementara itu kita mengetahui bahwa suku bunga di AS sudah sangat rendah sehingga pergerakan suku bunga hanya mungkin stabil atau ke atas. Dengan melihat perkembangan tersebut, mata uang manakah yang layak dipertimbangkan menjadi mata uang global pada periode mendatang? Jawabannya bermacam-macam.

Euro jelas memiliki prospek untuk menggantikan,minimal melengkapi kekurangan mata uang USD. Mata uang renmimbi juga memiliki potensi yang besar untuk mengisi peran tersebut, minimal untuk perdagangan di Asia atau paling tidak dalam penggunaan mata uang secara bilateral.Sementara itu special drawing rights(SDR) yang dikembangkan IMF pada 1969 memiliki karakteristik sebagai mata uang (karena memenuhi 2 dari 3 fungsi suatu mata uang, kecuali sebagai ”media penukaran”).

Bukan tidak mungkin Asia akan mengembangkan mata uang regional sendiri,semacam Euro,karena kebetulan sekali benua ini sudah menjadi benua yang kuat dan mampu mandiri (self contained). Dengan melihat perkembangan tersebut, upaya untuk mencari alternatif penggunaan mata uang bagi perdagangan internasional maupun dalam hal penggunaan uang untuk cadangan devisa dan denominasi utang pemerintah, patut kita hargai.

Upaya ini dapat menghindarkan Indonesia dari situasi keblusuk. Dalam hal cadangan devisa, misalnya, sudah sejak lama banyak berkembang usulan untuk melakukan diversifikasi yang lebih luas sehingga cadangan devisa yang berharga tersebut tidak hanya berisikan mata uang USD saja.Sebagai gambaran, mata uang SDR yang dilahirkan di tahun 1969 dengan nilai sama dengan USD1 dewasa ini bernilai sekitar USD1,50.

Ini berarti investasi pada ”mata uang” (portfolio cadangan devisa yang menyamai) SDR akan menghasilkan nilai yang lebih kuat dibandingkan dengan mata uang USD saja.Itulah sebabnya suatu saat Indonesia juga mengembangkan sistem nilai tukar terkendali terhadap ”sekeranjang” mata uang.

Sayangnya keranjangnya tersebut di sebagian besar waktu didominasi USD. Semoga langkah-langkah yang ditempuh Bank Indonesia ini akan berujung pada keamanan devisa yang lebih baik dan berkurangnya volatilitas mata uang yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.(*)

Penulis adalah Pengamat Ekonomi

Friday, March 27, 2009

Fokus pembangunan infrastruktur berkeadilan

Daya saing sektor ini tidak berubah

Oleh: Joseph Henricus Gunawan
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 maret 2009

Infrastruktur berupa jaringan irigasi, air bersih, sanitasi dan berbagai bangunan pelengkap permukiman adalah mo?dal sosial masyarakat yang menjadi prasyarat pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah mesti mempercepat pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, apalagi di tengah ancaman gelombang pengangguran dan PHK besar-besaran akibat imbas krisis ekonomi global.

Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia menunjukkan sejak Oktober 2008 hingga Januari 2009 saja, sudah 24.000 karyawan pabrik tekstil terkena PHK. Sebuah rilis yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mengungkapkan bahwa hingga 13 Maret, sebanyak 41.109 pekerja terkena PHK dan 16.229 telah dirumahkan di 14 provinsi, meningkat tajam dibandingkan dengan 6 Maret di mana angka PHK tercatat 37.909 pekerja.

Indonesia mesti mempercepat pembangunan infrastrukturnya karena perlambatan ekonomi global sudah menunjukkan taringnya dan terkena implikasi langsung, dengan angka PHK dari hari ke hari terus bertambah.

Kajian langkah-langkah penanganan krisis harus segera diambil untuk ditelaah seberapa efisien dan efektif, dan stimulus dalam infrastruktur diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi domestik. Masyarakat Indonesia perlu berkaca dari pengalaman pahit AS dengan mengencangkan ikat pinggang agar tidak lebih besar pasak dari pada tiang.

Laporan yang dilansir oleh World Competitiveness 2008-2009 di mana tidak ada perubahan yang signifikan mengenai daya saing infrastruktur Indonesia, semestinya membangkitkan kesadaran pemerintah begitu mendesaknya pembangunan infrastruktur Indonesia.

Daya saing infrastruktur Indonesia ditempatkan di urutan ke-96 dari 134 negara. Peringkat Indonesia ini tidaklah menggembirakan apalagi dibandingkan dengan sesama negara ASEAN yang berperingkat lebih baik seperti Malaysia (19) dan Thailand (35). Hanya lebih baik sedikit dibandingkan dengan Vietnam (97) dan Brasil (98). Jauh di bawah Korea Selatan (18) dan China (58). Argentina pun masih di atas Indonesia berada pada posisi ke-89. Itulah sebabnya mengapa daerah-daerah terluar Indonesia bukan saja tidak mendapatkan pengamanan yang memadai, tetapi terancam dikuasai oleh negara lain.

Laporan World Competitiveness 2008-2009 merilis bahwa Indonesia ditempatkan pada peringkat ke 105 untuk kategori infrastruktur kondisi jalan, di bawah Korea Selatan (13), Malaysia (14), Thailand (32), China (51), Filipina (94) dan Vietnam (102).

World Competitiveness 2008-2009 dalam laporannya menyebutkan Indonesia berada pada posisi ke-58 untuk kategori infrastruktur kondisi jalan rel kereta api, posisi ke-104 untuk kondisi transportasi pelabuhan laut, Indonesia menempati peringkat ke-75 untuk kondisi angkutan transportasi udara, posisi ke-82 untuk kelistrikan dan telekomunikasi pada posisi ke-100.

Perlu stimulus

Pemerintah harus benar-benar merencanakan dan menghasilkan dengan tepat sasaran, terukur, spesifik, terarah, efisien dan efektif mengenai alokasi dana stimulus infrastruktur Rp12,2 triliun (16,6%) yang telah disetujui DPR dari paket stimulus fiskal sebesar Rp73,3 triliun atau setara 1,4% PDB.

Departemen Keuangan (Depkeu) pun sudah mengingatkan apa pun usaha menambah alokasi dana untuk stimulus infrastruktur dalam APBN 2009 menghadapi dua kendala yakni sumber pembiayaan dan defisit APBN yang melonjak.

Jika alokasi dana tidak tepat sasaran dan penggunaannya tidak secermat mungkin, dana yang hilang pastilah dalam jumlah besar. Meskipun alokasi anggaran stimulus fiskal masih kurang dari yang diusulkan dalam pertemuan tingkat menteri keuangan forum G-20 pada 14 Maret 2009 yakni 2% dari PDB pada 2010 (Bisnis, 19 Maret).

Lalu, pertanyaan selanjutnya apakah kebijakan tersebut akan menyentuh sendi-sendi kehidupan perekonomian masyarakat? Pemerintah seyogianya memprioritaskan infrastruktur kategori energi, telekomunikasi, pengadaan air minum, penyediaan waduk, bendungan, irigasi, lampu jalan, kelistrikan, pelabuhan laut, transportasi bandara internasional, pembangunan dan rehabilitasi jalan tol, jalur kereta api, perbaikan sarana pergudangan, pembangunan jalur transmisi dan distribusi.

Adalah urgen untuk segera diberlakukan infrastruktur padat karya karena bersentuhan langsung dengan upaya meredam ledakan pengangguran dan tingkat kemiskinan yang melejit. Stimulus perekonomian tidak hanya diukur dari size atau quantity, melainkan juga implementasinya harus the right time, the right place di mana dapat mendatangkan big multiplier effect.

Pemerintah seyogianya mendorong dan fokus dengan memusatkan perhatian pada produk tekstil, sepatu dan elektronik yang merupakan industri yang sarat dengan tenaga kerja.

Populasi Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa atau menduduki posisi keempat tertinggi di dunia masih tetap merupakan daya tarik utama bagi investor asing, walaupun tentu harus ditunjang dengan infrastruktur fisik yang memadai dan hal lain yang menunjang iklim investasi.

Tersedianya infrastruktur yang baik akan menolong proses produksi, pemasaran hasil produksi sampai pada masyarakat sebagai konsumen.

Akan sangat luar biasa dampak penyerapan dan penampungan jutaan tenaga kerja yang sekaligus meningkatkan produktivitas dan mengarah ke pembentukan nilai tambah menjadi langkah berikutnya.

Infrastruktur yang baik sesungguhnya sangat bermanfaat untuk mendukung terwujudnya Indonesia yang aman, damai dan adil. Infrastruktur mesti menjadi salah satu sarana penting yang harusnya digenjot dan all out oleh pemerintah.

Kebutuhan ini untuk Indonesia adalah sangat mendesak di tengah ancaman gelombang pengangguran yang tentunya mengakibatkan berbagai persoalan lainnya termasuk persoalan keamanan. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat terhindar dari bencana resesi atau malah depresi.

Pembangunan infrastruktur tidak hanya penting bagi peningkatan daya saing Indonesia yang bermuara pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta demi melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Namun, pembangunan infrastruktur adalah pembangunan yang berkeadilan, satu pembangunan yang bermanfaat bagi semua orang dengan mendorong penciptaan lapangan kerja baru, menambah daya beli, peningkatan daya saing, daya tahan usaha khususnya masyarakat pada daerah-daerah yang tertinggal yang merupakan tanda positif dari stimulus tersebut.

Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion and Society & Alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Pengarusutamaan dan Kepemimpinan Kelautan

Oleh: Arif Satria
Sumber: Koran Tempo, 27 Maret 2009

Pada 13 Maret 2009, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) berseminar tentang kelautan di Manado. Sebulan sebelumnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) juga menggelar Rembug Nasional Kelautan di Lemhannas, dan Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) menggelar dialog dengan partai politik. Ketiganya berusaha menjawab mengapa sektor kelautan dan perikanan belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan. Apakah proses Pemilu 2009 dapat menjadi titik masuk mainstreaming itu?

Gagalnya mainstreaming kelautan terlihat dalam berbagai kebijakan selama ini, dalam bidang pangan, energi, kemiskinan dan lapangan kerja, lingkungan, pertumbuhan, tata ruang, geopolitik, serta manajemen pembangunan. Pertama, dalam pangan, ikan belum menjadi komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, terigu, dan daging. Ukurannya, harga ikan belum menjadi pertimbangan dalam kebijakan perdagangan. Kedua, dalam energi, saat ini kita masih sangat bergantung pada energi fosil, padahal laut memiliki potensi sebagai salah satu sumber energi, baik energi angin, OTEC, energi gelombang, energi surya, maupun mikroalga. Hingga saat ini belum ada peta jalan pengembangan energi dari laut itu.

Ketiga, dalam hal kemiskinan, nelayan dan masyarakat pesisir belum menjadi target utama desain kebijakan antikemiskinan. Ukurannya, belum tersedianya data kemiskinan nelayan, lemahnya antisipasi terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak 2005 dan 2008 sehingga nelayan menjadi korbannya. Juga tidak dipertimbangkannya sektor kelautan dan perikanan (KP) dalam desain Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sistem KUR justru menjauhkan akses nelayan dan masyarakat pesisir dari pemodalan. PNPM pun belum menjangkau semua kota/kabupaten pesisir. Keempat, dalam bidang lingkungan, isu pemanasan global seolah hanya milik sektor kehutanan. Padahal serapan karbon oleh fitoplankton mencapai 40-50 miliar ton karbon per tahun, dan hampir sama dengan tumbuhan sekitar 52 miliar ton. Kelima, dalam pertumbuhan ekonomi, sektor kelautan, yang terdiri atas perikanan, transportasi laut, pertambangan, wisata bahari, dan sebagainya, juga belum diprioritaskan. Industri pengolahan ikan belum maksimal dan hanya beroperasi dengan 45 persen kapasitas terpasang. Sekitar 40 persen lalu lintas perdagangan internasional melewati laut Indonesia, dan kita belum mampu menangkap peluang ini untuk mendongkrak pertumbuhan. Terakhir, stimulus fiskal Rp 73 triliun bias ke perkotaan, dan alokasi untuk pesisir kurang dari Rp 1 triliun. Padahal pulau-pulau kecil sangat butuh sentuhan infrastruktur.

Keenam, dalam bidang geopolitik, sarana pertahanan di laut jauh di bawah darat. Dan banyak persoalan wilayah perbatasan belum diselesaikan. Ketujuh, dalam manajemen pembangunan, nomenklatur pembangunan belum berpihak ke sektor KP. Dalam penghitungan PDB, misalnya, formula yang saat ini ada bias darat dan underestimate terhadap sektor KP. Pertanyaannya, bagaimana kita memulai dan memperkuat mainstreaming?

Ocean leadership

Kegagalan mainstreaming di atas adalah kegagalan politik kelautan-perikanan, yang salah satu faktornya lemahnya ocean leadership kita. Ocean leadership diperlukan dalam mainstreaming KP, baik dalam keputusan politik (kebijakan) maupun manajemen pembangunan. Ada beberapa komponen penting dalam ocean leadership. Pertama, adanya visi kelautan yang selanjutnya tecermin dalam ocean policy yang komprehensif, sebagaimana Vision for Marine Policy of Korea atau Australia's Oceans Policy. Keberanian Gus Dur membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan adalah bagian dari kekuatan visinya tentang kelautan.

Kedua, kemampuan interaksi politik dengan legislatif untuk menghasilkan produk legislasi dan politik anggaran yang pro-KP. Ketiga, kemampuan membuat terobosan serta mobilisasi sumber daya nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung sektor KP. Ini mengingat masalah KP banyak di luar sektor KP itu sendiri. Di sinilah sebabnya Gerbang Mina Bahari ala Megawati dan Revitalisasi Perikanan ala SBY belum berhasil, karena kedua presiden itu masih setengah hati dalam mobilisasi sumber daya nasional untuk KP.

Keempat, keberanian membentuk Menteri Koordinator Kelautan, yang berfungsi mendorong koordinasi dan kerja sama lintas sektor dalam mendorong penguatan sektor KP. Fungsi itu selama ini dipegang Dekin, namun belum maksimal. Kelima, kemampuan mengontrol kesesuaian desain kebijakan dan payung program dengan satuan proyek. Ini penting karena sering kali yang menerjemahkan kebijakan/program nasional menjadi proyek APBN adalah eselon 4 ke bawah. Apa artinya kebijakan ideal tanpa didukung program-program APBN. Keenam, kemampuan menggalang dukungan daerah dalam kerangka mempertahankan NKRI. Negara kepulauan ini memerlukan kemampuan pemersatu melalui instrumen keadilan ekonomi. Pulau-pulau di perbatasan potensial terlepas bila keadilan ekonomi tidak terwujud. Dan sektor KP dapat menjadi jalan menuju keadilan ekonomi itu.

Kaukus kelautan

Meski demikian, seolah persoalan mainstreaming hanya ranah eksekutif, padahal legislatif dan partai politik memiliki kekuatan besar. Legislatif memiliki fungsi legislasi dan politik anggaran, dan di sinilah justru pangkal persoalannya. Dalam kerangka mainstreaming KP, hal yang perlu dilakukan di lingkungan legislatif adalah membentuk kaukus kelautan, yang lintas komisi dan fraksi, yang fungsinya memperjuangkan kepentingan KP dalam setiap keputusan legislatif. Karena itu, perlu identifikasi anggota legislatif yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk mainstreaming KP, dan lalu diikat dalam bentuk kaukus kelautan ini. Di sinilah kualitas anggota legislatif menjadi taruhannya, sehingga penting untuk memilih mereka yang punya komitmen membangun kelautan dan perikanan. Dan Pemilu 2009 merupakan momentum strategis untuk menghasilkan anggota legislatif dan presiden yang pro-KP. Dengan demikian, diharapkan ocean leadership makin kuat dan mainstreaming KP terwujud. *

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekologi Manusia, Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor

G-20 dan Megastimulus Ekonomi

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Sumber: Jurnal Nasional, 27 maret 2009

G-20 pada 1-2 April 2009 kembali akan menggelar pertemuan untuk menyikapi krisis ekonomi yang cenderung meluas saat ini. Diperkirakan pertemuan tersebut akan mengupas soal stimulus ekonomi, penguatan sektor finansial, dan kerjasama internasional yang lebih kokoh. Dalam beberapa aspek, efektivitas dari pertemuan ini pantas diragukan karena eksklusivitas yang berlebihan. Artinya, hanya 20 negara itu yang dianggap berperan penting dalam penyelesaian krisis. Namun, dalam aspek yang lain, bisa juga forum itu diprediksi memiliki gema yang luas karena penetrasi ekonomi yang sangat kuat dari para anggotanya (diperkirakan sekitar 85% perekonomian dunia digenggam oleh anggota G-20). Oleh karena itu, pertemuan ini penting bukan dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan masalah, tapi soal pilihan kebijakan yang hendak diambil dalam forum tersebut. Sebab, kebijakan itu implikasinya akan merembet ke negara-negara lainnya.

Jebakan Megastimulus

Terdapat sekurangnya tiga masalah pokok yang mesti diagendakan dalam pertemuan tersebut. Pertama, stimulus ekonomi yang telah diagendakan oleh sebagian besar negara yang terkena krisis di masa depan berpotensi menjadi 'tsunami' yang lebih dahsyat. Data yang tersedia menyebutkan, China dirancanakan memberikan stimulus sebesar 13,3% dari PDB, Korea Selatan (5,7%), AS (5,5%), Rusia (5,4%), Afrika Selatan (3,8%), Jerman (3,25%), Kanada (2,5%), Turki (1,5%), Prancis (1,3%), dan Indonesia sendiri sekitar 1,3% (Reuters, 2009).

Megastimulus tersebut sebetulnya menimbulkan ketidakseimbangan baru karena uang dipompa tanpa memerhatikan daya serap perekonomian. Implikasinya, dalam jangka pendek, penggelembungan uang ini akan mendepresiasi nilai tukar mata uang domestik (khususnya negara berkembang) dan mendorong inflasi. Sementara itu, dalam jangka panjang anggaran negara akan jebol karena dihajar pembayaran utang domestik dan luar negeri.

Kedua, sektor keuangan (perbankan, pasar modal/saham, obligasi, asuransi, dan lain-lain) bukan cuma perlu penguatan dan penyehatan dengan menyuntikkan dana, tapi yang jauh lebih penting adalah mendesain regulasi secara ketat agar perilaku "seronok" tidak terulang lagi. Sejak dekade 1980-an sektor keuangan dibiarkan menjadi komoditas sendiri yang dapat diperdagangkan, bukan melulu melayani sektor riil. Hasilnya, percepatan pertumbuhan sektor keuangan mencapai 3 kali lipat ketimbang sektor perdagangan. Sementara itu, dalam satu dekade terakhir, sektor keuangan mencoba menganakkan uang dengan jalan menyusun transaksi derivatif yang bertingkat-tingkat tanpa melakukan kalkulasi risiko yang ketat.

Implikasinya, begitu satu hulu korporasi keuangan jeblok, maka kumpulan korporasi hilir lainnya yang terkait juga ikut hancur. Gelombang "bunuh diri massal" inilah yang terjadi dalam krisis ekonomi saat ini sehingga penyembuhannya tidak bisa dengan kebijakan parsial.

Ketiga, kerjasama internasional selama ini dibangun dan dikerjakan dengan fokus kepada kemitraan penggalangan dana di tengah kesulitan likuiditas. Indonesia kerap kali dalam berbagai forum mengusulkan perlunya pembentukan lembaga dana global (polling fund) yang dapat memasok dana bagi negara berkembang yang membutuhkannya. Hal yang perlu dipahami, krisis ekonomi sekarang tidak mungkin hanya diselesaikan dengan dana sehingga gagasan polling fund tersebut mengandung kesalahan pikir yang mendasar. Kerjasama ekonomi internasional yang merusak tatanan ekonomi selama ini sebagian (besar) justru dipicu oleh lembaga dana (multilateral) yang memaksa negara berkembang menyerap dana demi kepentingan lembaga/negara donor. Negara berkembang mestinya lebih krisis lagi dalam menyusun kerjasama internasional ini, jangan sampai kebijakan yang dilakukan pada masa silam terulang lagi dengan pola yang sama.

Krisis dan Agenda G-20

Pertemuan G-20 kali ini harus bisa membahas secara jernih mengenai tiga isu pokok di atas. Stimulus ekonomi jangan dipakai sebagai satu-satu kerangka penyelesaian krisis. Memang benar bahwa krisis kali ini menimbulkan penyakit kronis yang teramat dalam, khususnya kemiskinan dan pengangguran. Tetapi, ambisi yang berlebihan untuk menuntaskan krisis hebat ini dalan hitungan satu atau dua tahun melalui stimulus ekonomi tentu merupakan hal yang menggelikan. Stimulus ekonomi hanya laik diberikan kepada korban krisis, tetapi tidak layak dihibahkan kepada pihak (korporasi) penyebab krisis. Ini tidak hanya berlaku di negara sumber krisis (AS), namun juga di negara-negara yang terkena efek krisis, seperti Indonesia. Oleh karena itu, menyangkut stimulus ekonomi ini harus ada pembatasan dana agar rakyat tidak dikorbankan di masa depan dan struktur stimulus ekonomi bertul-betul berpihak kepada "korban", bukan afirmasi kepada "penyebab" krisis.

Hal lainnya, kerjasama internasional seyogianya dipusatkan kepada dua hal pokok. Pertama, menyusun blue-print aturan-aturan yang boleh (do's) dan tidak boleh (don't) dilakukan oleh lembaga keuangan. Sektor keuangan memiliki karakteristik yang spesifik dan rumit sehingga dibutuhkan pagar yang kokoh agar tidak mudah terjadi penyimpangan (moral hazard). Jadi, penguatan sektor keuangan dikonsentrasikan untuk menyusun regulasi, bukan menyuntikkan dana. Kedua, lembaga/negara donor diberi mandat untuk memberikan bantuan sepanjang terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan di antara pihak yang bertransaksi, tanpa kompensasi kebijakan apapun di belakangnya. Tidak boleh dibiarkan lagi lembaga multilateral dibentuk sebagai instrumen menganeksasi ekonomi negara berkembang. Jika pilar-pilar ini bisa dibangun di forum G-20, maka prospek ke depan barangkali akan lebih baik. Tapi jika gagal dirumuskan, lebih baik lupakan saja forum itu dan hadapi krisis dengan cara sendiri.

Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Penghargaan untuk Lapindo

Jeruk Kecut bagi Korban Lumpur

Oleh: Andi Irawan
Sumber: Jawa Pos, 27 Maret 2009

Pada 2001, George Akerloff diganjar hadiah Nobel Ekonomi atas artikelnya yang dimuat di Quarterly Journal of Economics (QJE) pada 1970. Artikel seminal itu berjudul Market for 'Lemons', mengupas implikasi ketidakseimbangan informasi pada mekanisme pasar dengan mengambil kasus transaksi yang terjadi pada pasar mobil bekas. Intinya, jika salah satu pihak yang bertransaksi (penjual) memiliki informasi lebih dan melakukan manipulasi, pihak lain (pembeli) akan buntung.

Alih-alih mendapat mobil bagus, yang bersangkutan akan merasakan 'kecutnya lemons', suatu metafor untuk produk busuk. Selanjutnya, berhadapan dengan harga reservasi pembeli yang lebih rendah sebagai respons atas keterbatasannya terhadap akses informasi dan pengalaman buruk, penjual yang memiliki mobil berkualitas bagus terpaksa mencari outlet lain untuk menjual barangnya. Akibatnya, pasar pada akhirnya justru dibanjiri produk berkualitas rendah, tidak sebanding dengan harga.

Sekarang kita menyaksikan bahwa karakter pasar yang digambarkan Akerloff tersebut tidak hanya berlaku pada pasar mobil bekas, tapi juga dapat terjadi pada pasar uang/modal, pasar politik/kebijakan, dan pasar penghargaan. Ironi pun terjadi, yang 'gorengan' menggerus yang prospektif, yang busuk meminggirkan yang tulus, proyek berkuasa atas rencana strategik, dan pragmatisme menang atas pesan ideal.

Saya membayangkan, jika Akerloff menyaksikan dan memberi penjelasan ekonomi bagaimana bisa gubernur Jawa Timur memberikan penghargaan zero accident kepada Lapindo Brantas Inc (Jawa Pos, 13 Maret 2009), bisa jadi dia mendapat Nobel untuk kali kedua. Yang tersisa untuk publik, khususnya korban lumpur, lagi-lagi hanya 'jeruk kecut' dan horor ala Friday the 13th. 'Jeruk kecut' dan horor itu di antaranya, seperti diberitakan oleh Kompas.com (Minggu, 22/3), adalah 12 hari terkatung-katung di Jakarta tanpa ada kepastian apakah dapat menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Reduksi Kriteria

Menurut sumber Lapindo yang dimuat dalam berita Jawa Pos tersebut, penghargaan yang diberikan tidak ada kaitannya dengan bencana lumpur, tapi berdasarkan penilaian kecelakaan industri pada periode Oktober 2005 sampai September 2008. Jika bukan bualan, pernyataan dan penghargaan itu merupakan 'angin sorga' di tengah 'badai angin sorga' Pemilu 2009.

Pertama, terdapat ketidakseimbangan informasi tentang kriteria dan cara pengukuran 'kecelakaan industri nol'. Kalaupun standar yang diacu gubernur memang melahirkan statistik kecelakaan nol, kecelakaan industri tidak bisa dipisahkan dari bencana industri, yaitu bencana besar dan masal dengan dampak ekosistem, sosial, dan ekonomi luar biasa yang diakibatkan oleh suatu aktifitas industri akibat kecerobohan, ketidakpedulian, atau ketidakbecusan. Lapindo tidak bisa dipisahkan dari bencana industri semburan lumpur panas itu.

Di luar soal faktor alam (lagi-lagi perdebatan yang sarat ketidakseimbangan informasi), yang tampak lebih nyata adalah bahwa semburan lumpur panas terkait juga dengan ketidakmampuan teknis Lapindo dalam mangelola risiko ketika melakukan aktivitas produksi. Akibat bencana industri ini, sektor transportasi, sektor properti, sektor usaha kecil dan menengah, sektor pariwisata terpukul. Kerugian kegiatan ekspor-impor, perdagangan antarwilayah, dan investasi amatlah luar biasa.

Saya berharap gubernur tidak mengalami miopik keputusan, di mana 'kuman di seberang lautan tampak, namun gajah di pelupuk mata tak terlihat'. Harapan ini adalah bentuk penghormatan saya terhadap posisi gubernur yang merupakan pemimpin wilayah, bukan mantri kecelakaan kerja. Jadi, statistik struktur ekonomi regional pasca semburan lumpur panas tentu tidak dapat diabaikan begitu saja ketika melakukan penilaian statistik kecelakaan kerja, apa pun definisinya.

Kedua, awal mula terjadinya semburan lumpur panas adalah sekitar Mei 2006 (Haryono, 2008) dan sejak itu banyak dilaporkan media massa berbagai peristiwa kecelakaan kerja terkait upaya penutupan semburan lumpur panas. Semuanya terjadi dalam kisaran periode 2005-2008. Juga, praktik lebih umum adalah penilaian dilakukan tahunan. Jika memang Lapindo begitu hebat dalam hal keselamatan kerja, mengapa penghargaan tidak diberikan tahun-tahun lalu? Mengapa baru diberikan setelah pemilihan gubernur dan menjelang seri Pemilu 2009?

Ketiga, penghargaan (penalti) simbolik juga merupakan instrumen ekonomi dalam situasi ketidaksempurnaan informasi. Instrumen ini dapat memberikan sinyal pada pasar dan pada gilirannya dapat memberikan dampak ekonomi penerima penghargaan (penalti). Banyak penelitian empirik menunjukkan asosiasi antara tingkat kepedulian lingkungan, hak asasi manusia, dan sosial dalam praktik bisnis perusahaan dengan nilai sahamnya di pasar modal.

Jika hukum dan politik dianggap belum mampu 'menyentuh' Lapindo, masyarakat dan pasar dapat 'menghukum' Lapindo secara ekonomi. Misalnya, melakukan divestasi atau membatasi aktivitas di kemudian hari atau di lain tempat dengan regulasi dan monitoring lebih ketat.

Penghargaan yang diberikan oleh gubernur kepada Lapindo sungguh dapat mengirim sinyal yang salah pada pasar mengenai jati diri Lapindo. Masih belum hilang pahit yang dirasakan masyarakat korban lumpur dan, sekarang, mereka merasakan 'rasa kecut' penghargaan itu. Dan, ketidakmampuan Presiden SBY memenuhi janjinya pada korban lumpur adalah bagaikan tambahan rasa cuka.

Penulis adalah mahasiswa doktoral Urban and Regional Planning pada University of Illinois at Urbana-Champaign, USA

Wednesday, March 25, 2009

Stimulus Pemilu 2009

Oleh: Bambang PS Brodjonegoro
Sumber: Seputar Indonesia, 25 Maret 2009

PEMILIHAN umum (pemilu) tahun ini mungkin menjadi pemilu yang paling unik pada masa reformasi. Perhelatan demokrasi terbesar di Indonesia ini terjadi bersamaan dengan puncak krisis finansial global,yang mulai terasa akibatnya sejak triwulan terakhir 2008.

Bagi pemerintah yang berkuasa sekarang, waktu yang bersamaan tersebut jelas menyulitkan upaya mereka untuk menarik hati rakyat agar memberi mandat sekali lagi memerintah lima tahun ke depan. Segala upaya yang sudah dilakukan dari 2004 seolah tertutup oleh ketidakpastian dampak krisis pada 2009 ini, yang bahkan bisa membuat perekonomian Indonesia melambat signifikan sampai 3% per tahun—separuh dari tingkat pertumbuhan 2008.

Bagi pihak yang ingin merebut hati rakyat dalam pemilu legislatif, 9 April mendatang, maupun pemilu presiden pada Juli (dan September), momentum dampak krisis global tentu bisa menjadi tema kampanye untuk menunjukkan pemerintah saat ini tidak sehebat yang diperkirakan masyarakat.

Pemilu yang dibayangi dampak krisis global itu akhirnya memaksa pemerintah dan partai politik yang berkuasa, maupun oposisi serta partai-partai baru, untuk mengerahkan segala upaya dan strategi yang memungkinkan agar memenangkan pertarungan bulan April maupun Juli, atau bahkan sampai September apabila diperlukan pilpres putaran kedua.

Upaya dan strategi tersebut, dalam konteks pemilu modern, akhirnya berujung pada konsumsi berbentuk iklan TV, iklan koran, sampai spanduk dan foto calon legislatif, yang hari-hari ini memenuhi semua sudut tempat umum. Dalam era komunikasi dan informasi saat ini,partai atau caleg yang paling gencar menggunakan media komunikasi dan informasi, itulah yang mempunyai kemungkinan besar untuk dipilih rakyat.

Secara implisit,semakin besar konsumsi kampanye pemilu, semakin besar pula kemungkinan untuk menang. Partai-partai besar akhirnya mengerahkan segala sumber daya upaya untuk berkampanye secara luas, sekaligus melakukan konsumsi yang tidak kalah besarnya.

Karena konsumsi pasti meningkat selama pemilu, dapatkah kita mengatakan Pemilu 2009 sebagai bagian dari stimulus ekonomi Indonesia yang pasti terkena dampak krisis global? Kalau melihat definisi stimulus, yang secara sederhana merupakan masuknya ”uang segar” ke dalam perekonomian, yang dapat mendongkrak permintaan, terutama dalam bentuk konsumsi masyarakat, pemilu layak disebut sebagai bagian dari stimulus.

Pemilu tingkat nasional hanya berlangsung lima tahun sekali dan kondisi tersebut sesuai dengan stimulus yang hanya diberikan dalam kondisi tertentu, bukan merupakan kegiatan rutin. Secara kasatmata, kegiatan terkait pemilu yang marak secara langsung maupun tidak langsung akan ikut memengaruhi kegiatan perekonomian lokal dan nasional.

Bahkan dalam periode Maret sampai Juli atau September, ada kemungkinan pemilu bisa ”menutupi” dampak krisis global, meskipun tentu hanya bersifat semu. Dampak ekonomi pemilu bisa dilihat dari dua sisi, yaitu penyelenggaraan pemilu itu sendiri serta aktivitas peserta pemilu.

Dari sisi penyelenggaraan, anggaran yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU) berikut hibah dari beberapa pemerintah negara sahabat akan dibelanjakan untuk menunjang operasional pelaksanaan pemilu. Pembuatan kertas suara, bilik suara, kotak suara sampai sistem informasi untuk melakukan perhitungan suara akan mempunyai dampak pengganda (multiplier), yang tidak kecil.

Kegiatan manufaktur akan terdorong melalui produksi kertas, papan kayu, kotak kayu, dan pembelian komputer dengan jumlah yang jauh di atas produksi biasanya. Dalam kondisi lesunya sektor manufaktur, bahkan sebelum terjadinya krisis global, lonjakan permintaan tersebut cukup menolong beberapa subsektor manufaktur.

Selain dampak pengganda output, kegiatan pemilu berskala nasional akan menciptakan dampak pengganda lapangan pekerjaan cukup signifikan melalui kebutuhan tenaga yang besar untuk menjadi petugas, pengawas, maupun tenaga operator penghitungan. Yang tentunya tidak boleh dilupakan adalah bergeraknya sektor transportasi, yang peranannya sangat vital dalam menjaga kelancaran pemilu.

Dari sisi aktivitas peserta pemilu, seperti yang terlihat di segala penjuru Nusantara saat ini, sektor manufaktur mengalami booming kecil, terutama permintaan spanduk (kain) dan kertas. Dengan 38 partai politik dan puluhan ribu caleg yang berusaha semaksimal mungkin membuat diri mereka ”terlihat”, tidak sulit untuk memastikan bahwa pemilu merupakan stimulus untuk manufaktur, terutama kertas, barang cetakan, dan tekstil.

Meski mungkin tidak seintensif tahun 2004, bagi-bagi kaos tentu masih merupakan praktik umum yang menguntungkan industri garmen. Terkait dengan barang-barang yang diproduksi untuk keperluan peserta pemilu, tidak boleh dilupakan berkembangnya jasa ”konsultan” pemilu, dari yang paling sederhana seperti juru foto caleg, sampai konsultan politik yang sekaligus juga merangkap sebagai lembaga survei pemilu.

Pentingnya komunikasi dan informasi selama masa kampanye pemilu membuat para caleg yang mempunyai dana memadai untuk mencari bantuan konsultan atau ahli dalam bidang tersebut.Tentu biaya ini tidak murah. Dampak pengganda yang lebih besar diciptakan oleh peserta pemilu, baik partai maupun caleg, dibanding dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Ada dua faktor lagi yang membuat pemilu layak menjadi stimulus di masa krisis finansial global tahun ini, yaitu waktu pelaksanaan yang panjang serta dampak langsungnya ke masyarakat. Meski pemilu resminya hanya berlangsung tiga hari, yaitu masingmasing satu hari untuk pemilu legislatif, pemilu presiden tahap pertama, dan pemilu presiden tahap kedua, tetapi dampak ekonomi dari pemilu sudah berlangsung sejak awal 2009 dan baru akan berakhir bulan Juli alias tujuh bulan apabila pemilihan presiden berlangsung satu putaran.

Apabila pemilihan presiden berlangsung sampai dua putaran, dampak tersebut akan berlangsung sampai September atau hampir sembilan bulan. Praktis pemilu akan mewarnai kegiatan ekonomi 2009, yang harus menyaksikan merosotnya kegiatan ekonomi sektor riil rutin.

Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan,pemilu di kawasan yang masyarakatnya tergolong miskin tidak ubahnya bantuan langsung tunai (BLT), yang sebagai suatu kebijakan, masih bersifat pro dan kontra. Meski sudah tidak cocok lagi situasinya, pembagian uang atau bahan pokok kepada masyarakat miskin masih merupakan cara tradisional yang lazim dipakai.

Dampak negatifnya jelas terlihat karena tidak mendidik masyarakat menjadi kelompok produktif. Tetapi dampak positifnya adalah adanya aliran langsung kepada kelompok masyarakat yang mungkin bisa menjaga daya beli mereka selama masa krisis, sebagai tambahan dari kebijakan pemerintah lain yang sudah tertuang dalam APBN 2009.

Pemilu memang pesta demokrasi. Layaknya sebuah pesta,pasti banyak uang yang berputar di dalamnya.Dalam masa krisis 2009, pemilu bisa diibaratkan sebagai siraman air sejuk di tengah udara yang panas, meskipun cuma sekejap.(*)

Penulis adalah Guru Besar dan Dekan FEUI