Monday, April 13, 2009

Booming Kredit Mikro

Oleh: Sri Adiningsih
Sumber: Jawa Pos, 13 April 2009

Sektor informal berkembang pesat pada saat ekonomi terpuruk. Ini juga terjadi di Indonesia. Usaha informal berkembang pesat sejak krisis ekonomi, hingga sekarang. Sehingga jumlah usaha mikro meningkat dengan pesat, lebih dari satu juta usaha mikro baru muncul tiap tahun.

Jumlahnya pada 2007 mencapai 47,7 juta unit, atau lebih dari 95% jenis usaha yang ada di Indonesia. Pada saat ini jumlahnya diperkirakan sudah mendekati 50 juta unit, dan akan terus meningkat, mengingat krisis ekonomi global juga semakin berat.

Apalagi, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih up to date meramalkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Ekonomi dunia diramalkan akan kontraksi antara 0,5%-1,5% pada 2009.

Laporan terbaru Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi negara maju Asia Timur 2009 yang pada Desember 2008 lalu akan tumbuh 6,7% diperkirakan turun menjadi 5,3%. Indonesia yang diramalkan tumbuh 3,8% pada 2009, turun menjadi 3,4% pada periode yang sama.

Bank Indonesia (BI) juga menurunkan ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 3%-4% untuk 2009. Jelas itu semua menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih akan memburuk hingga 2009. Ini berarti usaha informal akan makin berkembang di Indonesia.

Usaha informal yang berkembang, selain disebabkan oleh semakin banyaknya PHK di dalam negeri mulai kuartal 2, juga disebabkan makin banyaknya TKI ataupun TKW yang dipulangkan dari tempat kerjanya.

Jelas hal itu membuat semakin besarnya pengangguran. Akibatnya, makin banyak orang yang masuk ke usaha informal. Tidak adanya sistem jaminan sosial yang memadai, memaksa orang yang terkena PHK harus bekerja jika ingin makan.

Jadi, tidak seperti welfare state yang memberikan tunjangan bagi penduduknya yang menganggur. Dengan demikian, semakin banyak usaha informal akan meningkatkan kebutuhan dana mereka untuk berbisnis. Sayang, sumber dana yang tersedia bagi usaha mikro terbatas, sehingga bunga yang harus mereka bayar jauh lebih mahal dibanding kalau meminjam pada lembaga formal seperti bank umum.

LKM Panen?

Semakin berkembangnya usaha mikro dan kecil di masyarakat membuat lembaga keuangan mikro (LKM) juga makin berkembang pesat. Ada bermacam-macam LKM, namun menurut BI digolongkan menjadi dua kategori, yaitu: (1) LKM yang berwujud bank, seperti BRI Unit Desa dan BPR; dan (2) LKM yang bersifat nonbank, seperti koperasi simpan pinjam, baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat, arisan, kelompok swadaya masyarakat. Semuanya melayani kredit mikro yang disalurkan dengan plafon hingga 50 juta rupiah.

Meskipun bisnis yang dilayani LKM meningkat, jumlah BPR tidak banyak berubah. Menurut data BI, ada 8.905 BPR yang memiliki 14.133 kantor pada 2000, menjadi 8.975 BPR dengan jumlah kantor 10.075 pada 2005 (data terbaru BI).

Terbatasnya jumlah BPR diperkirakan membuat bisnis pada kredit mikro tidak bersaing dengan baik, sehingga ada kecenderungan lembaga keuangan mikro, termasuk BPR, dapat mematok suku bunga tinggi untuk kreditnya. Meskipun bunga yang lebih tinggi itu dapat ditelusuri dari rsiko kredit yang lebih tinggi, jaminannya longgar, dana mudah cair, dan jumlahnya kecil.

Berbagai BPR di Indonesia mematok bunga kredit 20-30 persen, sementara bank umum biasanya di sekitar 13%-14%. Memang sangat tinggi. Namun, di luar negeri pun suku bunga untuk kredit mikro pada umumnya juga tinggi, seperti Bank Grameen di Bangladesh yang terkenal mematok bunga 20%. Demikian juga LKM di berbagai negara mematok bunga yang tinggi, di atas 20%.

Meski demikian, ditengarai ada kecenderungan baru di berbagai LKM mulai menerapkan bunga yang sangat tinggi hingga 40%-50%, bahkan bisa lebih besar. Akibatnya, "rentenir" model baru sekarang ini bisa berkedok LKM resmi.

Fenomena ini dapat terjadi karena kebutuhan dana usaha mikro dan kecil yang jumlahnya semakin membengkak tidak diikuti dengan jumlah LKM yang melayani mereka. Akhirnya yang terjadi ialah bunga tinggi.

Meskipun sudah banyak juga bank besar yang merebut pasar kredit mikro, bahkan pionernya, BRI sudah di pasar kredit mikro beberapa dekade, diikuti Bank Danamon, Bank Mandiri, dan Bank CIMB Niaga, toh tetap saja dijumpai bunga tinggi pada pasar kredit mikro.

Genjot LKM

Karena dominasi usaha mikro dalam perekonomian makin meningkat, dan makin meningkat seiring dengan krisis ekonomi yang harus kita hadapi pada saat ini, kekuatan ekonomi usaha mikro semakin dominan.

Selain itu, diperkirakan 75% masyarakat kita mengandalkan hidupnya pada usaha mikro. Karena itu, pendanaan usaha mikro tidak dapat dianggap ringan lagi. Apalagi, diserahkan pada mekanisme pasar. Jangan-jangan hal itu akan mengembangkan "rentenir" gaya baru, resmi, dan dilindungi negara.

Perlu pengaturan lebih baik pada pasar kredit mikro agar aman, efisien, kompetitif, serta dapat melayani lebih banyak usaha mikro, baik yang lama ataupun baru.

Usaha pemerintah dan pemda yang membantu usaha mikro melalui KUR, PNPM ataupun berbagai program seperti itu lainnya sudah diluncurkan, tapi masih jauh dari kebutuhan.

Untuk itu pemda, khususnya yang ekonominya "hanya" didukung UMKM, perlu campur tangan untuk memperkuat pendanaan usaha mikro. Sebagai gambaran, Pemda Jawa Tengah yang memiliki BPR BKK dengan jaringan luas di wilayahnya, dapat menggunakan jaringannya untuk memberikan layanan yang luas kepada usaha mikro.

Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi UGM

Monday, April 6, 2009

G-20 untuk Siapa?

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Republika, 6 April 2009

Adalah wajar kalau pasar modal di berbagai belahan dunia menyambut secara positif butir-butir keputusan dalam KTT G-20 di London. Salah satu yang dianggap spektakuler adalah komitmen untuk menambah modal IMF sebesar satu triliun dolar AS. Tentu saja, ini merupakan berita baik bagi pemodal besar yang notabene berasal dari negara-negara maju karena uang tersebut bisa menjadi katup pengaman bagi transaksi finansial global.

Bagi negara berkembang, justru tambahan modal IMF merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi, dana tersebut dapat dijadikan bantalan bagi negara yang sedang mengalami masalah neraca pembayaran. Banyak negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini sedang menghadapi bahaya krisis neraca pembayaran yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar dan berbaliknya arus hot money. Selain itu, pasokan devisa juga semakin seret karena jebloknya kinerja ekspor. Karena itu, banyak negara berkembang yang cadangan devisanya kini semakin tipis berharap dapat kucuran dana dari IMF.

Bahkan, seorang pejabat di Departemen Keuangan secara gamblang pernah berkata bahwa payung bagi penyelesaian krisis di Indonesia adalah IMF dan World Bank. Tak heran bila kemudian pemerintah kita pun dalam KTT G-20 sangat menyokong ide untuk memperbesar kemampuan finansial IMF dalam memberikan kredit ke negara-negara berkembang. Tampaknya, ada kesadaran yang sangat jelas bahwa suatu waktu Indonesia akan membutuhkan bantuan IMF.

Di sisi lain, kehadiran IMF dalam membantu negara-negara berkembang justru sangat berpotensi untuk membuat masalah menjadi rumit sehingga akan memperparah krisis yang dialami negara yang jadi pasien IMF. Indonesia sendiri pernah mengalami pengalaman buruk dalam berinteraksi dengan IMF sehingga kita menjadi negara yang paling parah dilanda krisis finansial sepuluh tahun yang lalu. Karena itu, saya ingin mengingatkan kembali bahwa keputusan G-20 bukanlah keputusan yang terbaik untuk negara berkembang.

Malahan, yang terjadi adalah sebaliknya, IMF akan menjadi semakin kuat sebagai kendaraan untuk mengeruk kekayaan di negara berkembang. Ada beberapa pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran.

Kita pernah dipaksa oleh IMF dan kawan-kawan untuk melunasi utang-utang swasta kepada kreditor asing melalui Frankfurt Agreement. Timbul pertanyaan mendasar waktu itu, sebenarnya siapa yang sedang di-bail out oleh IMF, negara Indonesia ataukah lembaga keuangan asing. Utang swasta Indonesia kepada lembaga keuangan internasional adalah murni urusan business to business. Karena itu, sangat mengherankan mengapa Pemerintah Indonesia dipaksa untuk menalangi mereka.

Dari kejadian itu, kita bisa belajar bahwa sebetulnya talangan yang diberikan oleh IMF dan World Bank bukanlah murni untuk membantu pemerintah. Talangan tersebut secara implisit adalah ditujukan bagi penyelamatan aset-aset lembaga keuangan asing yang tertanam di Indonesia.

Hampir bisa dipastikan, saat ini banyak aset-aset finansial internasional tertanam di negara-negara berkembang yang terjebak oleh krisis. Kalau kelak negara-negara ini terpaksa minta bantuan kepada IMF, mereka harus tunduk kepada resep-resep IMF yang salah satunya adalah pembayaran secara segera utang-utang kepada lembaga keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah utang-utang perusahaan swasta. Karena itu, menjadi tidak mengherankan kemudian para pelaku di bursa global sangat menyambut baik keputusan G-20.

Mereka merasa akan diselamatkan oleh bantuan IMF secara tidak langsung.
Pemerintah negara berkembang pada akhirnya harus berkubang dengan jumlah utang yang lebih banyak, yang kemudian akan membebani anak cucu mereka.

Pembengkakan beban utang kemudian mengharuskan mereka untuk gali lubang tutup lubang yang pada akhirnya menyebabkan negara terjebak dalam utang yang tak ada habisnya. Untuk bisa memecahkan masalah ini, kemudian mereka sering diberi saran untuk menjual aset-aset negara secara murah kepada investor asing. Itulah yang pernah kita lakukan selama periode 1999 sampai 2005.

Semua bank yang direkapitalisasi pada waktu itu terpaksa dijual murah. Tak ada satu pun bank yang berada di bawah BPPN yang tidak dijual kepada asing. Alasannya, kita perlu memperkuat perolehan devisa untuk membayar utang. Lagi-lagi, kita bisa belajar dari kasus ini bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para investor dari negara maju.

Saat ini, negara-negara yang mengalami krisis pembayaran pada umumnya mengalami depresiasi nilai tukar yang tajam. Artinya, aset di negara tersebut menjadi lebih murah kalau dibeli dengan mata uang asing. Dengan demikian, ruang untuk mengakuisisi aset di negara berkembang menjadi semakin terbuka. Sekarang merupakan waktu terbaik bagi kapitalis global untuk mengukuhkan penguasaan sumber daya ekonomi di negara berkembang. Krisis memang dimulai di negara maju, namun akhirnya penderitaan akan ditimpakan kepada penduduk di negara berkembang. Itulah agenda sesungguhnya.

Solusi yang terbaik untuk mengatasi krisis yang dihadapi oleh negara berkembang adalah pemotongan utang atau minimal penundaan pembayaran utang. Tapi, tentu hal ini menjadi kurang menarik bagi negara maju karena tidak menciptakan kesempatan untuk menguasai kekayaan di negara berkembang.

Dengan melakukan pemotongan utang, ada dua hal yang sekaligus bisa dicapai oleh negara berkembang. Pertama adalah penguatan posisi fiskal sehingga mereka dapat menciptakan stimulus yang lebih besar tanpa harus berutang lebih banyak. Dengan stimulus ini, perekonomian domestik dapat dipacu kembali sehingga pengangguran massal dapat dihindari. Kedua, karena tidak harus berutang, tambahan beban di masa mendatang menjadi tidak ada. Karena itu, mereka tidak harus melego aset-aset negara dengan harga murah. Ekonomi dalam jangka panjang menjadi lebih kuat karena tidak terganggu oleh kewajiban utang. Kecanduan terhadap utang pada akhirnya akan hilang.

Keputusan G-20 tidak banyak membawa keuntungan untuk negara berkembang. Walaupun kita boleh bangga bahwa butir-butir keputusan tersebut sesuai dengan yang kita usulkan, manfaatnya ternyata bukan untuk kita. Mulai dari sekarang Indonesia harus hati-hati dalam mengusulkan agenda dalam KTT apapun. Jangan-jangan draf yang kita buat memang sejak dari awal dimaksudkan untuk memajukan kepentingan negara maju.

Penulis adalah pengamat ekonomi

G-20, menuju tata ekonomi dunia baru?

Oleh: Muhammad Chatib Basri
Sumber: Bisnis Indonesia, 6 April 2009

Tanggal 2 April 2009 mungkin akan ditulis dalam sejarah dunia sebagai hari di mana tata ekonomi dunia baru coba dirumuskan. Ruang-ruang di Excel Centre, Dockland, London, pada hari musim semi yang cerah, menjadi saksi bagaimana argumentasi demi argumentasi disampaikan oleh kepala negara 20 ekonomi terbesar dunia, termasuk Indonesia.

Tujuannya satu, yaitu menghadapi krisis keuangan global. Prosesnya memang tidak mudah. Sebagian negara Eropa, misalnya, berpandangan tentang perlunya penekanan pada regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan global, baik soal standar akuntansi dan keterbukaan maupun soal tax heaven sampai dibutuhkannya Financial Stability Board.

Di sisi lain, sebagian anggota G-20 menekankan soal perlunya fokus pada upaya stimulus dengan counter cyclical policy dan soal peran negara berkembang dan komitmen terhadap masalah kemiskinan dan negara miskin. Bagaimana menarik garis keseimbangan di sini?

Barangkali itulah mood yang muncul dalam working breakfast, plenary, working lunch, dan sesi penutup. Hari itu dunia menunggu apakah pertemuan 20 negara ekonomi terbesar dunia ini datang dengan suatu konsensus yang dapat mengembalikan kepercayaan dunia.

Masih ada pertanyaan yang tersisa memang soal bagaimana mekanisme koordinasi makro global diatur. Atau persoalan bagaimana implementasi kesepakatan global di tingkat nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menawarkan sebuah jalan tengah. Soalnya, bukan dikotomi antara stimulus dan regulasi. Dunia jelas membutuhkan keduanya.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa krisis keuangan global disebabkan oleh bolongnya aturan sektor keuangan. Oleh karena itu, isu ini harus dijawab.

Namun, di sisi lain kita tidak bisa membiarkan kecenderungan untuk terus berkutat dengan regulasi, sementara pertumbuhan ekonomi dunia terus meluncur ke bawah dan diprediksikan mengalami pertumbuhan minus 0,5% sampai minus 1,5% pada tahun ini.

Itu sebabnya kita perlu counter cyclical policy. Kita perlu upaya penguatan sistem keuangan dan reformasi dalam lembaga keuangan internasional.

Adanya mismatch

Dari sini saja kita melihat ada sebuah langkah koreksi terhadap tata ekonomi dunia. Krisis yang terjadi menunjukkan adanya mismatch atau ketidakcocokan antara global event di satu sisi dan aturan di tingkat nasional.

Produk keuangan, misalnya, telah melampaui batas-batas negara. Satu produk keuangan di AS bisa dinikmati sekaligus membawa petaka di pelbagai belahan bumi lain.

Sementara itu, regulasi yang ada cenderung dan terbatas pada skala nasional. Lalu apakah kita membutuhkan sebuah tata aturan global?

Jika ya, itu jelas tidak bisa dilakukan hanya pada level nasional. Ia harus merujuk pada sebuah solusi multilateral.

Namun, jika itu dilakukan, bukankah lokalitas setiap negara berbeda. Tidak bisa dibuat sebuah regulasi yang sifatnya one size fits all.

Apakah ini tidak berakhir dengan sebuah kecenderungan micromanage atau upaya masuk mengatur sampai hal-hal kecil? Mampukah?

Oleh karena itu, harus ada titik temu di sini. Tidak bisa dihindarkan, dalam solusi ini, lembaga multilateral dan institusi keuangan dunia harus diperkuat.

Persoalannya, apakah institusi keuangan dunia yang ada sudah cukup mampu? Apakah memiliki sumber daya yang cukup dan apakah cukup adil merepresentasikan berbagai kepentingan negara di dunia ini? Misalnya, apakah ia juga mampu mewakili kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia?

Presiden Yudhoyono menyampaikan pandangan Indonesia mengenai pentingnya counter cyclical policy. Negara berkembang, seperti Indonesia, sampai dengan September 2008 praktis tumbuh relatif tinggi. Sampai dengan triwulan III/2008, ekonomi Indonesia masih tumbuh 6,4%.

Namun, krisis keuangan global telah membawa dampak yang dalam bagi negara berkembang. Indonesia sebenarnya merupakan satu dari sedikit negara yang diperkirakan masih mengalami pertumbuhan positif.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian mulai melambat. Untuk itu, sisi permintaan, seperti resep Keynes lebih dari 70 tahun lalu, harus didorong. Ini harus dilakukan pada level global.

Krisis global membutuhkan solusi global, demikian kalimat dalam komunike. Hanya dengan ini, pertumbuhan ekonomi dunia yang meluncur tajam dapat diminimalisasi.

Bersifat temporer

Di sisi lain, stimulus fiskal juga harus bersifat temporer. Jika ia dilakukan secara permanen, kesinambungan fiskal akan terganggu.

Persoalannya tidak semua negara, terutama negara berkembang, memiliki kemampuan untuk membiayai stimulusnya. Dalam situasi krisis keuangan global, akses terhadap pasar keuangan praktis tertutup.

Kalaupun terbuka, harganya sangat mahal. Di sini usulan Indonesia agar dibentuk global expenditure support fund diadopsi.

Negara anggota G-20 sepakat mengguyurkan dana sedikitnya US$100 miliar melalui bank pembangunan multilateral untuk membantu dukungan budget negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain itu, disediakan trade financing sebesar US$250 miliar untuk mengembalikan perdagangan global.

Jika perdagangan global tidak kembali, proses pemulihan ekonomi, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia, praktis akan terhambat, karena ekspor tidak tumbuh. Oleh karena itu, proteksionisme harus dicegah.

Sejarah pada 1930-an menunjukkan bahwa sebagai akibat dari resesi ekonomi dunia, negara-negara kemudian berubah menjadi proteksionis. Ini akhirnya membawa dunia ke dalam situasi depresi besar yang jauh lebih parah.

G-20 juga sepakat menyediakan alokasi dana yang lebih besar kepada IMF. Resources ini dapat digunakan untuk membantu persoalan neraca pembayaran.

Meksiko, seperti yang disebut dalam komunike, memutuskan untuk memanfaatkan skema Flexible Credit Line ini. Menariknya, dukungan ini sekarang dilakukan tanpa conditionalities atau persyaratan.

Kita mengetahui bahwa persyaratan IMF yang ketat telah menimbulkan trauma dan stigma di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Apa gunanya sumber daya diberikan kepada IMF jika dananya akhirnya tidak bisa dimanfaatkan, karena persoalan stigma?

Oleh karena itu, reformasi dalam IMF harus terus dilakukan. Ini mencakup soal voting rights, bantuan tanpa persyaratan, dan soal pemilihan posisi senior dalam lembaga keuangan internasional tersebut.

Bukan rahasia lagi bahwa selama ini Bank Dunia cenderung dipimpin oleh Amerika Serikat dan IMF oleh Eropa.

Satu hal yang saya pikir cukup radikal dalam kesepakatan G-20 adalah bahwa seleksi pimpinan lembaga keuangan internasional akan dilakukan berdasarkan sistem terbuka dan kemampuan.

Di sini pentingnya reformasi dalam institusi keuangan internasional.

Lalu segera berakhirkah krisis keuangan global? Masih ada soal jangka pendek yang tampaknya harus diselesaikan.

Restore lending

Stimulus fiskal yang tidak didukung oleh upaya mengembalikan transmisi moneter melalui pinjaman bank kepada sektor riil tidak akan berarti apa-apa. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk restore lending.

Jika perbankan tidak mau memberikan pinjaman karena risiko yang tinggi di sektor riil, seperti argumen Stiglitz-Weis tentang credit rationing, ekonomi tidak akan bergerak. Oleh karena itu, penyelesaian toxic asset, seperti yang diserukan dalam komunike harus dilakukan.

Di sini persoalannya bukanlah kepentingan negara maju atau negara berkembang. Jika perbankan tidak bisa mengembalikan bergeraknya kembali sektor riil, ekonomi dunia akan macet.

Krisis yang terjadi mengajarkan kita tentang sebuah risiko dari aturan sistem keuangan global yang tidak memadai.

Oleh karena itu, G-20 juga sepakat mendesak sebuah upaya untuk standar akuntansi, aturan mengenai hedge fund-yang selama ini dianggap tidak tersentuh-dan aturan mengenai tax heaven.

Bagi Indonesia, penghapusan tax heaven akan memberi manfaat untuk mengurangi insentif arus modal keluar, karena menghindari pajak. Di sini, perdebatan menjadi hangat tentang apa yang perlu dan apa yang tidak perlu.

Argumentasi demi argumentasi terjadi. Namun, akhirnya pada sore hari dicapai sebuah kesepakatan. Tanggal 2 April 2009, di Excel Dockland, London, tata baru ekonomi coba dibentuk.

Penulis adalah Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FE-UI

Pulihnya Ekonomi Cina dan Pertumbuhan Global

Oleh: Martin Feldstein
Sumber: Koran Tempo, 6 April 2009

Cina kemungkinan besar bakal menjadi negara besar pertama yang pulih dari downturn global saat ini. Laju ekspansi ekonominya mungkin tidak mencapai dua digit seperti tahun-tahun terakhir ini, tapi Cina pada 2010 mungkin bakal tumbuh lebih cepat dari negara mana pun di Eropa atau di belahan bumi Barat.

Walaupun Cina pulih dari slowdown saat ini, mereka tidak akan memberikan dorongan serupa kepada semua mitra dagangnya. Tidak adanya limpahan ini mencerminkan fokus pemulihan ekonomi Cina ini pada ekspansi permintaan di dalam negeri.

Jelas Cina menderita akibat ambruknya permintaan global atas berbagai produk industrinya. Anjloknya penjualan retail di Amerika Serikat dan Eropa berarti berkurangnya order produksi pabrik-pabrik di Cina. Sementara itu, tahun lalu nilai mata uang yuan Cina kurang-lebih tetap tidak berubah terhadap dolar Amerika Serikat, apresiasi tajam dolar terhadap euro dan mata uang lainnya menyebabkan nilai tertimbang perdagangan yuan meningkat secara keseluruhan sehingga makin menekan ekspor cina.

Pemutusan hubungan kerja buruh pabrik telah menyebabkan terjadinya kemerosotan permintaan akan barang dan jasa di dalam negeri, sementara rumah tangga mengurangi belanja. Perusahaan-perusahaan kecil yang mengekspor 100 persen hasil produksinya terpaksa gulung tikar. Jutaan buruh tidak terampil yang bekerja di pusat-pusat industri di kota-kota pesisir sekarang terpaksa pulang kembali ke desa-desa mereka. Keluarga yang biasa menerima kiriman uang dari kota sekarang juga terpaksa mengurangi belanja.

Pemerintah Cina bertekad menghentikan merosotnya pertumbuhan dan mencarikan pekerjaan lain kepada mereka yang di-PHK, di samping membuka lapangan kerja baru bagi jutaan orang yang setiap tahun masuk ke bursa kerja. Apabila Cina gagal mengatasi persoalan ini, mereka tidak hanya bakal menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan penganggur, tapi juga mengancam stabilitas politik yang bergantung pada kesinambungan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan awal pemerintah adalah meningkatkan permintaan secara keseluruhan yang berfokus pada belanja infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan sistem angkutan massal. Tapi strategi yang lebih penting adalah mengubah kebijakan pemerintah yang bakal berujung pada belanja konsumen yang lebih besar, dan yang meningkatkan belanja untuk sektor-sektor, seperti perawatan kesehatan, yang langsung membawa manfaat bagi keluarga.

Selama beberapa tahun ini laju belanja konsumen Cina turun jauh di bawah laju pertumbuhan keseluruhan di negeri itu. Penurunan ini mencerminkan turunnya pangsa tabungan dalam pendapatan keluarga. Untuk meningkatkan belanja konsumen, pemerintah Cina harus menghentikan kedua kecenderungan tersebut.

Kendati sektor swasta merupakan sektor ekonomi Cina yang paling cepat pertumbuhannya, perusahaan-perusahaan yang sebagian atau seluruhnya milik negara tetap merupakan pemberi kerja utama. Pemerintah bisa secara langsung mengatur upah di perusahaan-perusahaan ini dan dengan demikian mengatur upah pada umumnya dalam perekonomian Cina.

Tingginya laju tabungan keluarga mencerminkan tingginya laju tabungan yang normal di kalangan generasi muda serta kenyataan bahwa generasi tua mempunyai pendapatan yang sangat rendah, sehingga tidak banyak menabung ketika mereka masih muda. Laju tabungan keseluruhan keluarga mencerminkan beda antara besarnya tabungan mereka yang banyak menabung dan kecilnya tabungan mereka yang kurang menabung. Karena tingginya tabungan generasi muda dan rendahnya tabungan generasi tua, laju neto tabungan itu sekarang melambung tinggi.

Generasi muda Cina punya banyak alasan untuk menabung. Sistem pensiun publik tidak dapat diandalkan. Tidak banyak tersedia asuransi kesehatan untuk membayar tingginya biaya perawatan kesehatan gaya Barat, para orang tua harus membayar uang sekolah anak-anaknya, tidak banyak tersedia kredit untuk membeli perabotan rumah tangga, sementara membeli rumah butuh uang muka yang besar.

Saya yakin pemerintah Cina akan mengambil tindakan mengatasi alasan-alasan keluarga menghemat belanja ini dengan menyediakan lebih banyak kredit, mengadakan sistem asuransi kesehatan, dan meringankan ketentuan mengenai uang muka. Perdana Menteri Wen Jiabao menjelaskan dalam pidatonya di muka Kongres Rakyat Cina baru-baru ini bahwa ia akan berbuat segala-galanya untuk merangsang permintaan guna menjamin pertumbuhan ekonomi Cina. Saya tidak ragu terhadap kemauan dan kemampuannya untuk melakukan hal itu.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi pada Harvard University, mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi President Ronald Reagan

Pemilu dan Janji Perubahan

Oleh: Faisal Basri
Sumber: Kompas, 6 April 2009

Perubahan adalah kata yang paling banyak diusung selama masa kampanye Pemilihan Umum 2009 ini. Memang, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pembaruan kontrak politik, menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Partai yang sedang berkuasa mengklaim keberhasilan yang telah dicapai dan berjanji akan lebih baik lagi kalau kembali berkuasa. Sejumlah partai, terutama partai-partai baru, menawarkan perubahan mendasar, pembalikan haluan ekonomi, dan perombakan strategi pembangunan. Seberapa menjanjikan perubahan itu?

DPR mendatang akan sangat berbeda. Jumlah partai di DPR akan menciut, diperkirakan tak akan lebih dari 10 partai, sebagai konsekuensi penerapan parliamentary threshold 2,5 persen.

Ketentuan peraih suara terbanyak, bukan nomor urut calon anggota legislatif, yang berhak melenggang ke Senayan, membuat sebagian besar anggota DPR yang ada sekarang akan tergusur.

Muka-muka baru yang akan muncul adalah politisi yang sudah teruji paling dekat dengan rakyat. Hubungan mereka dengan pemilihnya lebih langsung, tak lagi tersekat oleh birokrasi partai.

Sebagai anggota DPR, mereka akan senantiasa menjaga hubungan dengan konstituennya. Berdasarkan mazhab rational choice (pilihan rasional), hanya dengan berbuat demikian mereka akan bisa berhasil sebagai politisi dalam menapaki jenjang-jenjang kekuasaan yang lebih tinggi.

Untuk itu, mereka akan memperjuangkan alokasi anggaran lebih besar bagi daerah pemilihannya, dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan tujuan.

Akan lebih lengkap lagi apabila anggota DPR mewujudkan janji-janji kampanye mereka dengan makin produktif menelurkan undang-undang yang bermutu.

Penataan institusi

Pembangunan dan penataan institusi adalah tantangan terberat bagi anggota DPR baru. Dengan institusi yang baik, kepastian bagi perbaikan yang terukur akan lebih terhadirkan.

Harapan tersebut akan terwujud apabila anggota DPR mau lebih banyak mendengar, mengundang, lebih sering melakukan public hearing, dan lebih kerap mendengar langsung keluhan konstituennya.

Tak boleh lagi proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup di hotel-hotel mewah.

Hubungan antara DPR dan pemerintah tampaknya juga akan mengalami perubahan. Dengan jauh lebih sedikit partai di DPR, pengelompokan antara partai-partai pendukung pemerintah dan partai-partai oposisi akan lebih tegas sehingga meningkatkan efektivitas pemerintahan dan fungsi checks and balances.

Pemilu legislatif kali ini sudah memberikan petunjuk sementara ke arah mana pengelompokan yang bakal terjadi. Pengelompokan tampaknya tak berdasarkan orientasi ideologis yang kental, atau bahkan tak berorientasi ideologi sama sekali.

Buktinya, penjajakan koalisi sangat cair dan bisa berubah setiap saat. Bertolak dari kecenderungan ini, bisa diduga bahwa perubahan mendasar masih sangat sulit terjadi.

Partai-partai besar yang ada sekarang masih akan menjadi penentu utama karena merekalah yang paling berpeluang untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan kemungkinan konfigurasi politik pascapemilu seperti itu, kita tak bisa berharap terjadi perubahan radikal. Ruang gerak yang cukup terbuka baru sebatas bagi perbaikan gradual. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tak cukup.

Harus ditata ulang

Dewasa ini kita sedang berada di tengah krisis ekonomi global. Persoalan-persoalan fundamental mengemuka. Makin disadari bahwa perekonomian dunia yang berlandaskan financially-driven capitalism dewasa ini sangat rapuh, dan oleh karena itu harus ditata ulang.

Ironisnya, perekonomian Indonesia berada di jalur yang sesat itu, dan kian terseret di dalamnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita tak memiliki jaring-jaring pengaman yang memadai sehingga sangat rentan dalam menghadapi guncangan eksternal.

Modal dasar kita yang sebetulnya cukup memadai untuk menggerakkan perekonomian domestik bisa porak-poranda seketika akibat kerapuhan sektor finansial kita.

Lalai

Kita lalai membangun basis kekuatan domestik. Segala potensi yang kita miliki, termasuk pendanaan, tak didayagunakan. Pemerintahan sekarang belum menunjukkan keberhasilan nyata dalam penerimaan pajak.

Nisbah pajak (tax ratio) tetap saja bertengger di aras 12 persen, dengan kecenderungan yang menurun. Juga kegagalan memoneterisasikan kekayaan alam kita sehingga belum kunjung menjadi berkah bagi pembangunan.

Kelalaian itulah yang membuat kita semakin bergantung pada luar negeri. Akibatnya, utang pemerintah kian menumpuk, itu pun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, untuk tahun ini semata.

Pemerintah tak mampu mengalokasikan cukup dana untuk paket stimulus agar perekonomian tak terempas dalam oleh dampak krisis global.

Tantangan berat yang kita hadapi tak bisa hanya dibebankan kepada partai dan politisi. Setelah mencontreng nanti, tugas kita belum selesai. Segala tuntutan dan konsep perubahan harus terus dikumandangkan dan dikawal.

Selama 11 tahun sejak reformasi, masyarakat dan dunia usaha sudah membuktikan bahwa mereka mampu berubah. Sekarang, saatnya kita mengawal perubahan yang lebih hakiki. Memilih wakil-wakil rakyat yang terbaik adalah langkah awalnya.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi

Menuju Negara Kesejahteraan

Oleh: Sri Adiningsih
Sumber: Jawa Pos, 6 April 2009

Kampanye partai politik telah berakhir. Tinggal kita yang harus menentukan sikap, ke mana akan mencontrengkan pilihan pada 9 April nanti. Meski banyak yang tidak percaya dengan janji partai politik, sebaiknya kita mencermati berbagai janji yang sudah disampaikan. Ini supaya kita tidak menyesal karena telah salah memilih. Apalagi, saat ini kita hidup di tengah-tengah krisis ekonomi global yang berat. Dengan begitu, berbagai pilihan akan membawa konsekuensi pada kebijakan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Krisis yang telah melanda dunia dan merusak ekonomi kita membuat kehidupan masyarakat semakin menderita. Tidak mengherankan jika dalam suatu acara bedah buku Menuju Welfare State yang ditulis Siswono Yudo Husodo di Semarang pekan lalu, muncul banyak keluhan dan ketidakpuasan peserta diskusi terhadap kondisi kehidupan bangsa saat ini. Bangsa Indonesia yang sudah merdeka lebih dari 63 tahun masih saja belum mencapai cita-cita kemerdekaannya. Yakni, masyarakat maju, adil, dan makmur. Bahkan, kita semakin tertinggal dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.Dari diskusi tersebut disimpulkan yang dianggap penyebab bangsa kita tidak dapat maju, makmur, dan sejatera adalah karena salah urus, khususnya di bidang ekonomi. Peter Drucker, pakar manajemen terkemuka menyatakan, ''There is no under-developed country, there is only under-managed country.''

Meski kehidupan masyarakat Indonesia masih jauh dari impiannya, ternyata banyak anak bangsa yang peduli dengan masa depan negaranya. Mereka memahami bahwa perlu adanya perubahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia jika ingin mencapai cita-citanya. Negara kesejahteraan ternyata banyak diimpikan oleh yang hadir dalam diskusi. Namun, ketidakpercayaan bahwa bangsa ini nanti mampu mencapai cita-citanya juga ada. Karena itu, menarik untuk mengetahui apakah bangsa Indonesia akan pernah meraih mimpinya? Atau akankah mimpi itu memang sekadar mimpi.

Amanat Konstitusi

Konstitusi kita, baik sebelum ataupun setelah diamandemen, mengamanatkan negara kesejahteraan sebagai cita-cita dari pendiri bangsa yang dituliskan dalam pembukaan ataupun batang tubuh UUD 1945. Meski diamandemen, sistem ekonomi kita yang dulunya sosialis sudah bergeser menjadi pasar sosial karena di dalamnya muncul unsur-unsur kapitalisme. Seperti diakuinya hak milik pribadi yang dilindungi negara (pasal 28H ayat 4).

Selain itu, pergeseran sistem ekonomi Indonesia dapat dilihat dalam bab yang memuat perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat yang dicantumkan dalam bab XIV pasal 33 dengan judul ''Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Rakyat''. Di dalam ayat 4 muncul unsur efisiensi berkeadilan, memberikan ruang gerak bagi bekerjanya mekanisme pasar, yang diperlukan suatu perekonomian. Walau pencapaian efisiensi mestinya tidak meninggalkan unsur-unsur keadilan. Demikian juga pentingnya kemandirian dan keberlanjutan dalam perekonomian dimandatkan dalam ayat tersebut. Di samping itu, hak-hak warga negara dalam bidang ekonomi dilindungi negara. Di antaranya, hak warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan aktivitas ekonomi untuk dapat hidup layak.

Dari berbagai ulasan ini dilihat bahwa adanya pergeseran yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan ekonomi pasca amandemen konstitusi kita. Kendati mekanisme pasar sudah diakomodasi dalam konstitusi kita, jangan dilupakan bahwa sisi sosialismenya juga kuat. Seperti dilihat dari ayat-ayat pasal 34. Dituliskan di ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Dalam amandemen ditambah dengan ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Demikian ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dalam aturan dasar tersebut ditunjukkan bahwa sistem ekonomi yang mestinya kita gunakan adalah ekonomi pasar sosialis, yang penyelenggaraannya mestinya menganut welfare state. Negara yang menganut welfare state, menurut Sir William Beveridge, negara harus menjamin terpenuhinya pendapatan, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pekerjaan bagi rakyat. Itu semua jelas ada dalam pasal-pasal ataupun ayat-ayat konstitusi kita. Meski demikian, bangsa Indonesia masih jauh dari impian tersebut.

Realitas

Bangsa Indonesia sejak merdeka hingga kini masih belum bisa menjadikan konstitusi sebagai living constitution. Pengaturan dan kebijakan ekonomi belum didasari aturan-aturan yang ada di pasal-pasal maupun ayat-ayatnya. Pengelolaan ekonomi Indonesia jauh dari penyelenggaraan ekonomi negara kesejahteraan. Sistem jaminan sosial yang ada masih ad hoc dan terbatas yang belum dapat melindungi kelompok masyarakat yang paling bawah. Demikian juga pengelolaan ekonomi yang liberal masih kita jumpai, lihat undang-undang penanaman modal. Selain itu, bangsa Indonesia semakin tidak mandiri, bergantung pada luar negeri, baik dari sisi modal, pangan, maupun energi. UUD belum menjadi panduan dalam penyeleggaraan ekonomi Indonesia.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UGM Jogjakarta

Kontroversi BLT

Oleh: Pande Radja Silalahi
Sumber: Jurnal Nasional, 6 April 2009

Belum lama kita menyaksikan di layar televisi kegiatan pemberian Bantuan Langsung Tunai yang dilakukan pemerintah Thailand kepada jutaan penduduknya. Dana tunai yang diberikan dalam bentuk cek adalah sekitar US$ 55 atau sekitar Rp.600.000. Ditengah terjadinya kemelut politik di Negara Gajah Putih tersebut masyarakat tampaknya memahami betapa pentingnya menggerakkan ekonomi yang tengah dilanda krisis melalui pemberian stimulus yang sekaligus menolong penduduk miskin.

Sebagai akibat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 yang lalu, diperkirakan jumlah penduduk miskin bertambah banyak sehingga untuk mengatasinya pemerintah menerapkan kebijakan pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada penduduk yang dianggap miskin. Sayangnya siapa orang miskin, dimana mereka berada, pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan tidak diketahui secara akurat oleh aparat pemerintah. Tidak tersedianya data akurat yang menjadi landasan pemberian BLT mengundang kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Kritikan pedas yang dikemukakan adalah kebijakan pemberian BLT adalah kebijakan yang tidak mendidik dan bahkan membodohkan masyarakat. Sejauh mana kritikan pedas tersebut mendapat tempat berpijak yang kokoh tampaknya perlu dikaji secara tenang dan tidak emosional.

Untuk dapat mengkajinya secara proporsional tampaknya perlu dikemukakan bahwa pemberian BLT adalah keputusan Indonesia, bukan keputusan pemerintah saja, bukan keputusan salah satu Partai Politik misalnya Partai Demokrat. Pemberian BLT adalah amanat Undang-undang yaitu Undang-undang APBN. Teknis pemberian BLT mungkin saja menyimpang dari harapan atau ketentuan yang seharusnya dan kalau demikian masalahnya maka usaha untuk menyempurnakannya harus dilakukan secara sungguh-sungguh.

Pemberian Bantuan

Di negara yang yang selama ini dianggap kapitalis dan masyarakatnya bersikap individualistis yaitu Amerika Serikat pemberian bantuan kepada sekelompok masyarakat yang dianggap miskin atau yang pendapatannya dibawah jumlah tertentu sudah menjadi kebiasaan atau merupakan suatu sistem. Dengan menunjukkan pendapatan anda dibawah standar minimum yang ditetapkan maka anda akan memperoleh bantuan, misalnya, dapat berupa kupon untuk memperoleh susu atau kebutuhan lainnya.

Masyarakat Amerika dan juga masyarakat Negara maju lainnya seperti Eropah memahami bahwa dengan pemberian bantuan secara otomatis ini bagi orang miskin dapat menyebabkan sebagian penduduk menjadi malas bekerja dan tidak berusaha keras meningkatkan taraf hidupnya. Walaupun akibat negatif mungkin saja ada tetapi masyarakat di negara tersebut yakin bahwa akibat positif masih jauh meninggalkan akibat negatif sehingga bantuan terus dilaksanakan sampai saat ini.

Berbeda dengan masyarakat di negara yang dianggap sangat individualistis, di Indonesia pemberian bantuan kepada orang miskin (Bantuan Langsung Tunai) yang jumlahnya jauh lebih kecil dari bantuan yang diberikan kepada yang tidak tergolong miskin justru dikritik tanpa didukung oleh bukti nyata. Dalam tahun anggaran 2009 ini Indonesia (melalui UU APBN) melaksanakan stimulus ekonomi yang jumlahnya diperkirakan sekitar 1,4% dari PDB. Sebagian stimulus ini dapat diartikan sebagai bantuan kepada mereka yang berpendapatan dengan jumlah tertentu. Ketentuan yang diberlakukan adalah dengan menaikkan Batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kehilangan pendapatan pajak negara sebagai akibat kenaikan PTKP ini diperkirakan sekitar sepuluh kali lebih besar dari yang diberikan dalam bentuk BLT kepada orang miskin yang jumlahnya sekitar Rp. 3,7 Triliun. Dengan keadaan seperti ini apakah tidak perlu dipertanyakan, "Ada apa sih yang ada di benak sebagian elite masyarakat Indonesia dewasa ini? Membantu penduduk miskin yang belum mampu memenuhi kebutuhan fiisik minimum dengan bantuan tunai di kecam, sementara pemberian bantuan tunai kepada masayarat "near poor" dalam jumlah yang berlipatganda distetujui atau paling sedikit didiamkan. Apakah Indonesia sekarang ini tidak memerlukan kesetiakawanan sosial lagi, atau apakah sebagian dari para elit masyarakat Indonesia dewasa ini asal bunyi dengan harapan mendapatkan simpatik semu dari masyarakat?

Perbaiki Data

Berlanjutnya resistensi pemberian BLT kepada orang miskin terutama adalah tidak tersedianya data akurat. Sangat sulit diterima akal sehat bahwa untuk menentukan seseorang (keluarga) dianggap miskin harus memenuhi 14 (empat belas) kriteria yang sangat merepotkan. Kerumitan kriteria yang diterapkan dalam prosesnya selain merepotkan telah menimbulkan interpretasi yang beraneka ragam sehingga tidak jarang berakibat hilangnya "trust" kepada mereka yang terkait dalam pelaksanaannya.

Belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, pemberian bantuan kepada golongan masyarakat miskin akan terus berlangsung di Indonesia, dan pemberian bantuan tersebut adalah suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kemampuan masyarakat Indonesia sendiri. Kalau hal ini dapat diterima maka usaha serius menyediakan data yang lebih akurat pada watu yang tepat dan yang perilakunya dinamis adalah tugas yang perlu mendapat prioritas.

Berdasarkan pengalaman di masa lalu dan tuntutan di masa depan maka kriteria penduduk miskin perlu disederhanakan misalnya menetapkan 10% penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah. Besaran ini dapat bersifat dinamis misalnya menjadi 15 atau bahkan 5 persen. Dengan penerapan kriteria yang lebih sederhana banyak manfaat yang dapat diraih. Dan yang paling penting masalah ini tidak mudah dijadikan "komoditi politik" sehingga dalam perputarannya tidak merusak kesetiakawanan sosial yang selama ini diakui manfaat dan keampuhannya.

Penulis adalah Ekonom Senior CSIS

Friday, April 3, 2009

Menuju Mata Uang Global

Oleh: M. Fadhil Hasan
Sumber: Koran Jakarta, 3 April 2009

Runtuhnya Perjanjian Bretton Woods menjadi titik awal penggunaan mata uang tunggal dunia-- dollar AS– sebagai penentu nilai mata uang asing dalam transaksi internasional. Dalam mekanisme ini, sebagian besar pembayaran transaksi internasional harus melalui konversi ke mata uang dollar AS. Sejak awal, banyak kalangan yang menilai keputusan tersebut sangat tidak adil karena hal ini secara langsung akan memengaruhi perekonomian negara asing (yang mata uangnya selain dollar AS).

Kini, penggunaan mata uang dollar AS sebagai alat transaksi dunia semakin dipertanyakan. Hal itu bermula dari krisis keuangan yang melanda AS. Sejumlah negara maupun lembaga internasional menilai AS lamban mengatasi subprime mortgage sehingga dampak semakin terasa bagi negara lain. Hal ini turut memengaruhi kepercayaan masyarakat untuk memegang dollar AS. Pengaruh krisis keuangan global bagi negara-negara lain tidak akan separah saat ini jika keterfokusan penggunaan dollar tidak terjadi sejak awal. Negara-negara mulai sadar akan kebergantungan mereka pada dollar yang justru terkadang memperburuk perekonomian negaranya.

Ancaman kelangkaan dollar di suatu negara secara nyata mampu memperburuk kondisi internal melalui kegagalan transaksi internasional seperti ekspor impor maupun transaksi keuangan lainnya. Selain itu, defisit dollar menjadi salah satu pemicu rentannya perekonomian negara lain terhadap gejolak nilai tukar serta risiko-risiko yang ditimbulkannya seperti inflasi (imported inflation). Bukan hanya itu, penggunaan mata uang dollar sarat dengan unsur spekulasi sehingga merugikan negara lainnya. Spekulan mampu mengolah penurunan dan kenaikan nilai mata uang suatu negara dan meraup keuntungan dari kondisi tersebut. Gambaran ini teridentifikasi dari besarnya pengaruh hedge funds yang memegang dana besar denominasi dollar dan mengejar pergerakan bunga tinggi. Kondisi inilah yang sering kali memperkeruh dan menghancurkan pasar keuangan maupun pasar modal internasional.

Memahami berbagai kelemahan penggunaan mata uang tunggal berujung pada mendesaknya pembentukan mata uang global. Meski demikian, skenario pembentukannya dihadapkan pada berbagai kendala. Pertama, kebutuhan penciptaan mata uang global memerlukan suatu sistem moneter yang baru dan kokoh. Padahal pembentukan tatanan sistem moneter yang kokoh serasa sulit saat kondisi perekonomian dunia tidak stabil. Sistem moneter ini yang akan bertanggung jawab untuk mengedarkan dan mengendalikan peredaran mata uang global. Kedua, dominasi cadangan devisa pada sejumlah negara (70 persen) masih menggunakan dollar AS. Jika realisasi penggunaan mata uang global diwujudkan, setiap negara harus mulai mengurangi secara bertahap porsi dollar dalam struktur cadangan devisanya. Hal ini biasanya akan mengancam nilai mata uang domestik serta lonjakan inflasi dari sisi luar negeri (imported inflation).

Keputusan penggunaan mata uang global bukan pekerjaan mudah karena pengalaman Eropa untuk merealisasi penggunaan euro memerlukan waktu sekitar 30 tahun. Kondisi ini menjadi hambatan bagi terwujudnya penggunaan mata uang global karena perbedaan struktur perekonomian dari negara-negara di dunia. Penolakan dimungkinkan muncul dari negara-negara yang struktur perekonomiannya lebih terbelakang.

Mengurangi Ketergantungan

Kekuatan dan daya tarik perekonomian AS semakin pudar setelah kegagalannya menangani subprime mortgage. Kekacauan perekonomian AS semakin dalam dan sukar ditangani karena tingginya proporsi mata uangnya yang berada di luar negaranya. Hampir 75 persen dollar tersebar di luar AS, sisanya 25 persen yang berada di AS. Sebenarnya proporsi dollar yang berada di luar AS telah berkurang seiring dengan penggunaan mata uang euro pada kawasan Eropa. Besarnya proporsi dollar yang berada di luar AS berujung pada kekeringan likuiditas sehingga pemulihan krisis finansial terkesan lamban.

Perjanjian Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) merupakan salah satu strategi pengurangan kebergantungan pada transaksi dollar. Kebijakan itu ditempuh mengingat nilai supply dollar AS semakin tidak terkendali. Dalam BCSA ini, suatu perekonomian membentuk cadangan bersama dengan denominasi mata uang kedua negara untuk memenuhi kemudahan transaksi internasional. Pada kesepakatan ini, dollar bukan lagi menjadi media transaksi antar kedua negara sehingga kelangkaan dollar dapat berkurang. Secara teori, kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi negara net importer sebab tidak perlu memburu dollar untuk melakukan transaksi internasionalnya karena langsung dapat menggunakan mata uang negara mitra dagang.

Skenario ini dapat menekan biaya yang ditanggung oleh importir maupun eksportir karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek. Untuk China dan Indonesia, misalnya, eksportir dan importir hanya menukar sekali mata uang untuk transaksinya dari renminbi ke rupiah atau sebaliknya, sedangkan sebelumnya diperlukan dua kali pertukaran, yakni dari rupiah ke dollar AS dan ke renminbi. Selain lebih sederhana, hal tersebut dapat menghemat fee pertukaran yang harus dibebankan kepada eksportir maupun importir. Dengan skema BCSA, setidaknya tekanan terhadap rupiah akan dapat diminilisasi, bahkan akan berdampak positif terhadap volatilitasnya. Bukan hanya itu, kestabilan rupiah akan berdampak positif bagi dunia usaha serta penanganan imported inflation.

Hingga kini, Indonesia telah melakukan BCSA dengan tiga mitra dagangnya, yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia setidaknya telah menandatangi BCSA senilai 15 miliar dollar AS (setara 175 miliar rupiah atau 100 renminbi miliar) dengan China, sementara dengan Jepang dan Korea Selatan masing-masing senilai 12 miliar dollar AS dan 2 miliar dollar AS. Rencananya perjanjian ini diperluas dan mencakup ASEAN + 3 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan. Selain memberikan kemudahan bagi eksportir maupun importir, dalam jangka pendek BCSA dapat diperuntukkan sebagai cadangan devisa jika terjadi permasalahan dalam neraca pembayaran.

Pembentukan mata uang global memang tepat dan perlu dilakukan, tetapi memerlukan perencanaan dan waktu yang relatif lama. Dalam proses pembentukannya, skenario Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dapat menjadi pilihan alternatif. Untuk itu, pemerintah (BI) harus segera memperluas cakupan BCSA ke negara lain, khususnya mitra dagang RI, sehingga kebergantungan dollar berkurang serta sebagai upaya menjaga kestabilan rupiah.

Penulis adalah Ekonom Senior INDEF

Thursday, April 2, 2009

Penanganan Krisis Mau ke Mana?

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Seputar Indonesia, 2 April 2009

Resesi ekonomi akhirnya datang juga seperti yang kami perkirakan tiga bulan lalu. BPS dan Bappenas sejak beberapa minggu lalu mulai rajin memberi konfirmasi tentang datangnya resesi ini.

Beberapa isu penting mengenai hal ini patut diberi catatan. Pemerintah cenderung terlalu lamban dalam menyadari bahwa resesi sudah berada di depan mata. Sebelumnya pemerintah bersikukuh bahwa pertumbuhan ekonomi masih akan berada di atas 5%,perbankan dalam kondisi yang mantap dan stabil, serta fundamental ekonomi masih kokoh.Kenyataannya jauh dari itu. Fundamental ekonomi ternyata sangat keropos yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar, harga saham, dan ekspor secara tajam.

Ancaman PHK juga semakin menyeruak dan sampai saat ini secara aktual telah mencapai lebih dari 100.000 orang yang kehilangan pekerjaan. Kelambatan dalam mengantisipasi memburuknya situasi telah mengakibatkan keterlambatan dalam merumuskan dan mengimplementasikan langkah-langkah penanganan krisis. Bahkan BI pernah salah langkah pada bulan Oktober yang lalu, yaitu pada saat menaikkan suku bunga. Padahal yang diperlukan justru adalah pelonggaran likuiditas yang juga berasosiasi dengan penurunan suku bunga.

Otoritas fiskal juga sangat lamban dalam merumuskan program stimulus ekonomi di mana besaran stimulus telah direvisi empat kali. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah kurang firm dalam menangani masalah krisis. Antisipasi menjadi penting karena kebijakan fiskal dan moneter memerlukan waktu untuk bisa secara efektif memengaruhi perekonomian. Implikasinya, kebijakan pemerintah harus ditetapkan dan diimplementasikan sebelum masalah betul-betul terjadi.

Dalam bahasa Greenspan, the policy has to be set ahead the curve, atau kebijakan akan lebih efektif kalau ditetapkan mendahului siklus bisnis. Fungsinya adalah mengarahkan perekonomian sesuai dengan yang diinginkan dan terutama untuk menghindari resesi yang dalam. Kalau resesi sudah terjadi, akan semakin sulit untuk melakukan koreksi yang pada gilirannya memerlukan energi yang lebih besar untuk mendorong recovery.

Selain lambat, pemerintah terkesan salah melakukan diagnosis permasalahan. Dari Rp73,3 triliun yang dialokasikan untuk dana stimulus, ternyata hanya sekitar satu triliun saja yang dialokasikan untuk pedesaan. Dana stimulus lebih banyak diperuntukkan bagi wilayah perkotaan, perusahaan besar, dan kalangan yang tidak miskin. Kebijakan ini tentu selain melukai kelompok miskin dan wilayah perdesaan, juga tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

Kenyataannya, wilayah perdesaan merupakan wilayah yang paling parah dilanda krisis.Hargaharga komoditas pertanian sudah lebih dahulu mengalami penurunan yang tajam sehingga pendapatan petani menjadi terpuruk. Selain itu, petani perkebunan pada umumnya menjual hasil produksinya kepada perusahaan besar, baik perusahaan inti ataupun bukan, yang sekarang ini sedang menghadapi penurunan permintaan ekspor. Ketika permintaan ekspor mulai turun, perusahaan akan mengutamakan penjualan dari hasil kebun sendiri dibandingkan menampung dari petani.

Saluran pemasaran bagi petani praktis menjadi tertutup. Karena itu petani adalah pihak yang paling pertama didera krisis. Perdesaan juga akan mengalami limpahan beban akibat PHK yang dilakukan di daerah perkotaan. Korban PHK akan kembali ke desa dan selama kesempatan kerja belum terbuka kembali, mereka akan menjadi beban bagi wilayah perdesaan. Karena itu,wilayah perdesaan akan merupakan wilayah yang paling parah dilanda resesi. Korban PHK yang paling menderita terutama adalah mereka yang tergolong buruh kasar dan buruh harian.

Ketika terjadi PHK, mereka sama sekali tidak punya saving yang bisa menjadi bantalan ketika mereka menganggur. Maklum, pendapatan mereka sebatas upah minimum saja yang hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Karena itu, masalah sosial akan lebih banyak timbul di kalangan mereka.

Melihat hal tersebut,kami bisa menilai bahwa stimulus yang digulirkan pemerintah tampaknya salah sasaran.Karena itu paket stimulus sebaiknya diubah komposisinya, yaitu lebih mengarah ke wilayah perdesaan serta membantu menyediakan lapangan kerja sementara bagi buruh kasar atau buruh harian. Ini bukan masalah keberpihakan, tetapi lebih pada efektivitas paket stimulus. Resep harus sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Kalaupun rancangan stimulus itu sudah sesuai dengan masalah yang akan dihadapi, dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada kendala teknis yang tak terhindarkan. Stimulus merupakan program dadakan atau crash program yang membutuhkan kemampuan pelaksanaan yang cepat.

Masalahnya ada di birokrasi kita yang cenderung sangat lelet. Untuk program yang tidak dadakan saja penyerapan anggaran biasanya menumpuk di penghujung tahun, antara Oktober sampai Desember. Tentunya para korban PHK tidak bisa menunggu sampai bulan Oktober. Artinya, kalau mau efektif, paket stimulus yang menyangkut pekerjaan fisik harus didesain untuk bisa dilaksanakan pada bulan-bulan mendatang.

Berarti kita tidak bisa bicara mengenai proyek-proyek besar yang membutuhkan persiapan yang lama. Program dan proyek yang mungkin dilaksanakan hanyalah sebatas perbaikan dan pemeliharaan atas prasarana yang sudah ada. Yang terlebih penting adalah tersedianya lapangan kerja.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa penanganan krisis akan menjadi efektif bila paket stimulus disusun sebagai antisipasi dari masalah yang kemungkinan akan terjadi dan bukan reaksi atas apa yang sedang atau telah terjadi. Selain itu, efektivitas juga sangat tergantung pada apakah kita mampu mendiagnosis masalahnya secara benar.(*)

Penulis adalah peneliti InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

G-20, Sovereign Wealth Fund dan Kapitalisme Baru

Oleh: Herry Juliartono
Sumber: Jawa Pos, 2 April 2009

PERTEMUAN pemimpin 20 negara, penguasa 85 persen perekonomian dunia, di London minggu ini sangat krusial bagi masa depan pranata sosial ekonomi dunia baru. Intensitas resesi yang melanda sekarang ini bakal menjadi katalis dominan arah dan substansi materi pertemuan kali ini.

Dalam pertemuan ini, pemimpin G-20 akan dihadapkan kepada sejumlah permasalahan mendasar yang membutuhkan pemikiran dan keputusan bernas. Perbedaan cara pandang AS dan Eropa terhadap penyelesaian krisis ekonomi ini, reformasi IMF, dan Bank Dunia dengan memberikan peran lebih besar kepada sejumlah negara kaya Asia dan masih layakkah pranata kapitalisme ini dipertahankan merupakan tiga materi utama yang bakal mendominasi diskusi.
Justify Full
Pada dasarnya, semua pihak sepakat harus segera menemukan jalan penyelesaian tercepat, terpendek, dan paling murah dari belitan resesi ini. Tetapi, ironisnya, ketika sampai pada tahap aksi dan koordinasi tindakan, para pemimpin itu jugalah yang justru memperlihatkan betapa tidak mudahnya memadukan kepentingan.

AS yang menjadi episentrum sumber prahara resesi saat ini masih percaya dengan resep model Keynessian. Yakni, pemerintah bertindak aktif menggerakkan ekonomi ketika masyarakat (pribadi dan perusahaan) tidak berdaya. Dalam model itu, stimulus dan kebijakan moneter selalu menjadi andalan dengan asumsi utama mempertahankan aktivitas perekonomian dan secara bertahap mengembalikan kepercayaan pelaku ekonomi.

Presiden AS Barack Obama tidak sendiri dalam gerbong ini. Sejumlah pemimpin mendukung, bahkan menerapkan resep yang sama, meskipun dengan sejumlah improvisasi dalam pelaksanaannya. Inggris, Australia, Tiongkok, dan Indonesia merupakan sebagian negara yang ikut gerbong itu -Inggris dan Australia bahkan siap menjadi pelobi model AS tersebut.

Sementara negara-negera Eropa daratan lebih memilih perlunya regulasi yang lebih ketat dan jelas atas fungsi dan mekanisme sistem keuangan dunia. Mereka yakin, krisis sekarang bersumber dari kelemahan faktor itu yang membuat labirin Wall St semakin menggurita tidak terkendali.

Argumen tersebut didasarkan pada fakta bahwa pemicu utama resesi ini adalah tindakan berlebihan yang tidak terkontrol dari hedge fund dalam transaksi derivatif, yang pada akhirnya tidak hanya berdampak pada kepercayaan pelaku pasar dan bisnis, melainkan juga berimplikasi kepada ekonomi riil.

Sovereign Wealth Fund

Krisis ekonomi dunia kali ini juga membuka pintu terhadap fakta yang selama ini diterima sebagai tatanan wajar bahwa negara-negara Barat sangat kaya dan selalu menjadi sumber dana dunia.

Persepsi demikian itu diperkuat dengan konstelasi sistem representasi yang masih berlaku hingga sekarang ini dalam dua lembaga utama keuangan, IMF dan Bank Dunia. AS dan G-7 yang defisit sangat mendominasi hak voting, sementara negara-negara kaya tidak terwakili secara proporsional ( Tiongkok 1,5% suara dan India hanya 0,5% suara).

Padahal, dua negara terkaya dengan cadangan devisa riil terbesar sekarang ini adalah Abu Dhabi dan Tiongkok. Bahkan, cadangan devisa Abu Dhabi dan 6 negara lain dalam Uni Emirat Arab hampir dua kali lipat Tiongkok. Belum lagi negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Brunei.

Dunia baru tersadar akan besarnya kekuatan ekonomi negara-negara Asia kaya baru itu setelah mereka belanja aset murah dalam jumlah luar biasa. Abu Dhabi lebih mengonsentrasikan investasinya pada sektor keuangan dan investasi dengan membeli saham sejumlah bank dan asuransi di AS dan Eropa. Akhir tahun kemarin Abu Dhabi merupakan pemegang saham terbesar (23,5%) bank terbesar di Eropa Barclay Bank.

Sedangkan Tiongkok menggunakan dananya untuk mengamankan pasokan bahan baku dan energi untuk industri mereka. Tiongkok menyiapkan miliaran dolar untuk membeli saham perusahaan tambang di Australia, termasuk 19% saham perusahaan terbesar ketiga di dunia Rio Tinto. Tiongkok juga mengamankan cadangan energi dengan investasi di Rusia, Balkan, dan Brazil hampir USD 200 miliar.

Yang membuat terbelalak Wall St dan pasar keuangan dunia adalah fakta ternyata Tiongkok -yang kebingungan memarkir uangnya- merupakan lembaga tunggal pemegang Treasury Bill terbesar.

Fakta-fakta itulah yang mendasari perlunya reformasi di IMF dan Bank Dunia karena negara-negara itu tidak bakal mau meminjamkan uangnya kalau tidak bisa ikut mengendalikan keputusan atas penggunaan dananya.

Matinya Pasar Bebas?

Besarnya momentum krisis ekonomi kali ini memang sangat luar biasa sehingga hampir tidak ada negara yang bakal selamat dari terpaannya. Ibarat tsunami, momentumnya bergerak melebar dari episentrum di AS ke seluruh dunia secara beruntun dan terkait satu sama lain.

Hal itu tidak bisa dihindari karena efek globalisasi dan saling keterkaitan dalam pasar bebas bahwa barang, jasa, dan dana mengalir mudah tanpa hambatan geografis batas-batas negara yang konvensional. Implikasinya ketika AS sebagai pasar terbesar dunia terkena resesi aliran pasar bebas menjadi tersendat, bahkan dalam beberapa sektor berhenti mendadak.

Kondisi itulah yang memicu kembalinya pemikiran nasionalisme ekonomi. Bahkan, ide itu kian mengkristal menjadi wacana utama di Eropa bahwa para demonstran menuntut agar unsur ekonomi yang berbau luar negeri ditempatkan dalam prioritas terakhir. Bukan hanya produk asing, pekerja imigran juga ditentang.

Sejarah membuktikan, krisis ekonomi selalu membawa serta perdebatan tentang pranata sosial ekonomi. Ketika Depresi 1930-an, pranata kapitalisme juga dipertanyakan sehingga lahirlah The FED untuk mengatur pasar uang dan SEC untuk pasar modal AS. Untuk meredam kemarahan rakyat atas keserakahan kapitalisme, negara-negara maju juga mulai menerapkan cikal bakal welfare state.

Sejarah terulang lagi kali ini. Hanya, para kapitalis yang menjadi sasaran bukan lagi kaum borjuis individual dalam konotasi Marx, tetapi lebih impersonal dalam bentuk lembaga keuangan/investasi.

Tetapi, pola dasar pertentangannya tidak berubah di mana kaum proletar (karyawan yang kehilangan pekerjaan) marah terhadap borjuis (eksekutif yang serakah). Bahkan, dalam kasus AIG, Obama sangat Marxian dan ikut mengutuki eksekutif yang mengantongi bonus, meskipun perusahaannya harus ditalangi dana dari pajak rakyat agar tidak bangkrut.

Meminjam teori Marx, tarik ulur kepentingan memang tidak bisa dihindari. Setiap tesa pasti akan memancing antitesa sebelum sintesa baru akhirnya muncul dan menjadi pranata sosial ekonomi yang disepakati sebagai norma bersama. Bagaimana bentuknya, itulah yang menjadi tugas para pemimpin di London minggu ini.

Penulis adalah alumnus Universitas Airlangga, pelaku bisnis, tinggal di Perth

Wednesday, April 1, 2009

Weak Bureaucracy Sulit Jangkau G-20

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Sumber: Jawa Pos, 1 April 2009

MINGGU ini, tepatnya 2 April 2009, pemimpin negara yang tergabung dalam forum G-20 kembali mengadakan pertemuan, yang tentu saja fokusnya membahas krisis ekonomi.

Secara khusus, Presiden AS Barack Obama jauh-jauh hari telah menghubungi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyukseskan acara tersebut. Seperti agenda yang dibawa dalam forum pendahuluan G-20 yang dilakukan sekitar 3 minggu lalu, Indonesia menginginkan pembentukan lembaga pendanaan baru untuk menopang kebutuhan dana bagi negara-negara berkembang.

Namun, gagasan itu baru dilakukan bila lembaga multilateral, misalnya Bank Dunia dan IMF, sudah tidak mampu lagi menolong pendanaan bagi negara berkembang.

Lepas dari isu itu, sebetulnya banyak sekali agenda yang perlu dibahas dalam pertemuan puncak G-20 tersebut, khususnya menyangkut model kerja sama penyelesaian krisis ekonomi yang komprehensif.

Stimulus dan Stagflasi

Tiga isu besar yang mestinya menjadi kesepakatan bersama negara-negara yang tergabung dalam G-20 dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, negara G-20 saat ini sekurangnya mengontrol 80% kegiatan ekonomi dunia. Artinya, jika kebijakan yang diproduksi negara-negara anggota itu bisa terpadu, prospek keberhasilan pemulihan ekonomi menjadi lebih cerah. Isu kebijakan yang harus ditekankan adalah soal pembukaan akses pasar dan harmonisasi kebijakan fiskal/moneter.

Saat ini hampir semua negara, termasuk negara maju, lebih protektif terhadap pasar domestiknya sehingga penetrasi perdagangan internasional menjadi lemah.

Implikasinya, pergerakan kegiatan ekonomi sulit tumbuh sehingga bisa mengganggu pemulihan ekonomi global. Sementara itu, kebijakan fiskal sudah berada di jalur yang benar, yakni ekspansi pengeluaran negara diperbesar. Namun, dalam hal kebijakan moneter belum berlaku kebijakan yang seragam.

Kedua, stimulus fiskal yang luar biasa besar berpotensi menjadi sumbu ledakan dalam jangka menengah/panjang. Penyebabnya, megastimulus itu dibiayai utang (domestik/asing) yang menimbulkan beban pada masa depan.

Beban itu akan berwujud dalam dua hal: (i) anggaran negara masing-masing negara akan terbebani dengan pembayaran utang sehingga dana bagi kepentingan pembangunan ekonomi/sosial bakal terpangkas akibat ruang fiskal yang sempit; (ii) eskalasi program yang didanai uang yang sedemikian besar tanpa diiringi penambahan barang/jasa dalam jumlah yang proporsional pasti berdampak inflatoir.

Jika problem inflasi berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung pulih, ini berpotensi terjadi stagflasi (stagnasi plus inflasi). Penyakit tersebut bakal sulit disembuhkan lagi jika tidak ditangani secara hati-hati. Karena itu, besaran stimulus ekonomi mesti dirasionalisasi secara cermat.

Ketiga, problem yang lebih fundamental saat ini sebetulnya bukan sekadar mengumpulkan dana global dan setelah itu dibagi-bagikan ke negara yang membutuhkan. Hampir semua ekonom percaya, seberapa pun sulitnya krisis sekarang pada saatnya konjungtur ekonomi kembali akan bergerak.

Masalahnya, pemulihan ekonomi itu bakal berlangsung lama bila pilar-pilar terpenting penyebab krisis ekonomi tidak dipagari secara ketat. Dalam hal ini, forum G-20 harus mengambil prakarsa yang lebih berani untuk memagari sektor keuangan dengan regulasi yang ketat sehingga tidak memiliki ruang gerak menjadi komoditas yang diperdagangkan sendiri.

Sektor keuangan harus dikembalikan ke khitahnya sebagai instrumen transaksi dan bukan sebagai komoditas transaksi. Lebih dari itu, sektor keuangan hadir untuk melayani pergerakan kegiatan ekonomi di sektor riil yang memberi nilai tambah atas setiap produksi barang/jasa.

Patologi Birokrasi

Indonesia perlu memanfaatkan forum G-20 tersebut sebagai panggung yang tepat untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang. Kepentingan negara berkembang sendiri adalah mengurangi ketergantungan dan intervensi negara maju. Ketergantungan terjadi sebagian karena kelemahan negara berkembang sendiri dalam mendesain kebijakan ekonomi yang rasional.

Namun, dalam banyak hal, ketergantungan berlangsung akibat dominasi kebijakan ekonomi yang disodorkan negara-negara maju. Dalam soal ini, kesepakatan yang diratifikasi dalam perjanjian-perjanjian di bawah payung WTO (Wolrd Trade Organization) sarat dengan manipulasi yang menggilas perekonomian negara berkembang.

Sementara itu, intervensi negara maju dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan di negara berkembang, misalnya dalam privatisasi, penanamam modal asing, dan sumber daya alam. Secara subtil, proses regulasi di bidang itu kerap diwarnai aroma suap dari negara maju.

Di luar itu, masalah besar justru timbul dari birokrasi Indonesia sendiri. Stimulus ekonomi telah dikritik bias kepada sektor ekonomi tertentu dan kaum kaya, sedangkan bagian stimulus kepada kelompok ekonomi lemah tidak memadai. Soal ini mesti segera diselesaikan agar tidak terjadi mala di kemudian hari.

Celakanya, cara kerja birokrasi dalam menghadapi krisis ini masih seperti dalam keadaan normal (business as usual). Bayangkan, sampai awal Maret 2009 penyerapan anggaran masih kurang dari 20%. Bahkan, realisasi belanja modal dan belanja barang baru sekitar 5%.

Jika anggaran yang sudah direncanakan jauh hari saja seperti itu bisa diprediksi bagaimana implementasi dari stimulus ekonomi. Hingga kini belum ada satu pun proyek stimulus ekonomi yang mulai berjalan.

Melihat kenyataan itu, rasanya forum G-20 seperti terlalu jauh bagi Indonesia karena setumpuk persoalan yang menghadang di depan justru bersumber dari kinerja birokrasi yang amat menyedihkan.

Penulis adalah ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, direktur eksekutif Indef di Jakarta