Monday, February 16, 2009

Ekpor Beras Mungkinkah?

Oleh: Masyhuri
Sumber: Jurnal Nasional, 16 Februari 2009

Kalau kita lebih dinamis, sebenarnya memang ada bulan-bulan surplus dan bulan defisit, sehingga jika kita ingin memanfaatkan situasi ini, bulan April ini kita ekspor beras kualitas tinggi.
Kenapa ekspor beras perlu dipertanyakan? Karena ekspor beras merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Selama ini dari tahun ke tahun, beritanya kita selalu impor beras. Keadaan ini dijadikan bahan bulan-bulanan untuk menyindir keadaan negara kita yang agraris tetapi kok impor beras melulu. Jadi ekspor beras merupakan sensasi besar dalam perberasan kita.

Swasembada beras saja sudah hebat, apalagi kita bisa ekspor beras. Begitulah kira-kira opini publik yang sedang dibangun. Untuk apa? Inilah yang menarik.

Tahun ini merupakan tahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono- Jusuf Kalla (SBY-JK). Pada tahun terakhir merupakan momentum untuk menunjukkan prestasi sebaik-baiknya. Bagi orang yang sholeh, seseorang akan berusaha untuk mencapai khusnul khotimah (akhir yang baik), sehingga akan dikenang sepanjang masa bahwa pemerintah tersebut prestasinya bagus. Bagi politikus, prestasi ini akan dijadikan untuk promosi dalam kampanye agar dapat terpilih kembali. Inilah yang menarik dari isu ekspor beras tahun ini.

Produksi padi

Melihat angka-angka pertumbuhan produksi beras dalam negeri akhir-akhir ini memang memungkinkan produksi melebihi konsumsi dengan berbagai asumsi. Kita simak data 5 tahun terakhir, di mana produksi padi mengalami kenaikan. Kenaikan produksi padi tersebut disebabkan karena kenaikan luas panen dan produktivitas. Luas panen 5 tahun terakhir merambat secara pasti dari 11.922.974 hektare tahun 2004 menurun sedikit sampai tahun 2006, kemudian naik menjadi 12.343.617 hektare tahun 2008. Kenaikan luas panen terutama disebabkan iklim tahun 2008 yang basah sehingga intensitas tanamnya tinggi. Walau tahun 2007 dan 2008 banyak terjadi kekeringan dan bencana banjir, nampaknya kerugian karena bencana tersebut dianggap masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan musim basah berupa kenaikan intensitas tanam.

Dilihat dari produktivitas padi, meskipun tingkat teknologi sering dikatakan stagnan tetapi produktivitas padi naik. Ini juga disebabkan oleh iklim basah yang menyebabkan kenaikan produvtifitas, terutama pada lahan sawah musim kemarau dan lahan tadah hujan dan padi ladang yang airnya tergantung curah hujan. Walau tahun 2008 terdapat masalah tidak lancarnya distribusi pupuk, tapi pengaruhnya kecil terhadap penurunan produktivitas atau dampaknya baru akan terlihat pada musim panen sekarang ini. Akibat dari kenaikan luas panen dan produktivitas maka produksi dari tahun ke tahun naik terus mulai dari 54.088.468 ton tahun 2004 menjadi 60.279.897 ton tahun 2008. Tahun 2009 direncanakan akan impor pupuk dan peningkatan jaminan KUR (kredit untuk rakyat) sehingga diperkirakan tahun 2009 produksi akan naik lagi.

Swasembada beras

Dengan kenaikan produksi diharapkan segera tercapai swasembada beras. Melihat perkembangan impor beras 5 tahun terakhir, impor terbesar tahun 2007, di mana Bulog melakukan impor sebesar 1.293.980 ton dari total sebesar 1.705.651 ton. Pada tahun ini terjadi keanehan dimana produksi padi dalam negeri mengalami kenaikan besar yaitu 57.157.435 ton dari tahun sebelumnya 54.454.937 ton tetapi impornya sangat besar. Kemudian tahun 2008, impor Bulog sebesar 30.200 ton dari total 110.596 ton. Impor beras tahun 2008 merupakan impor terendah. Tahun 2008 Bulog berhasil melakukan pengadaan sebesar 3.205.937 ton, suatu jumlah yang sangat besar dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan keadaan itulah pemerintah mengklaim kita sudah swasembada beras. Kalau sudah swasembada kenapa tidak kemudian ekspor. Keadaan inilah yang menyebabkan optimisme untuk melakukan ekspor beras tahun 2009. Mungkinkah?

Kebutuhan konsumsi masih akan naik, disebabkan karena adanya pertumbuhan penduduk. Tahun 2009 ini konsumsi per kapita diperkirakan tidak berubah karena pendapatan masyarakat dan harga-harga relatif tetap akibat krisis global, yaitu sekitar 139 kg per kapita. Tetapi kenaikan konsumsi beras ini diperkirakan lebih rendah daripada kenaikan produksi. Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan 229.366.700 jiwa, total konsumsi sebesar 31.881.971 ton beras. Kalau produksi sama dengan tahun 2009 jumlah beras tersedia sebanyak 39.181.933 ton beras. Jumlah tersedia masih mencukupi untuk konsumsi, bibit, susut dan lain-lain. Dari kalkulasi sederhana ini, tampaknya ekspor masih aman.

Mungkinkah kita ekspor beras?

Akan tetapi kalkulasi tersebut belum memperhitungkan adanya bencana alam seperti banjir, kekeringan, gempa dan lain-lain, akibatnya akan terjadi kerawanan pangan yang disebut kerawanan pangan transien. Sebagai contoh, Bulan Januari-Agustus 2008 dari sekitar 277.473 hektare sawah yang mengalami kekeringan terdapat 75.047 hektare yang mengalami puso/gagal panen atau sekitar kehilangan 352.700 ton gabah. Ini belum dihitung bencana lain seperti banjir. Hal seperti itulah mungkin yang menyebabkan data statistik dari BPS sering dituding overestimate.

Kalau data BPS overestimate 20 persen, berarti produksi beras kita belum mencukupi, sehingga akan berbahaya bila pemerintah akan mengekspor beras tahun ini. Kita ekspor beras awal-awal tahun ini tetapi akan mengalami risiko kekurangan beras pada akhir-akhir tahun. Kalkulasi ini mendasarkan perhitungan satu tahun.

Tetapi kalau kita lebih dinamis, sebenarnya memang ada bulan-bulan surplus dan bulan defisit, sehingga jika kita ingin memanfaatkan situasi ini, Bulan April ini kita ekspor beras kualitas tinggi tetapi menjelang akhir tahun kita siap-siap impor beras kualitas rendah/medium.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Pertanian/ Agribisnis dan Kepala Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM.

No comments:

Post a Comment