Wednesday, February 4, 2009

Sisi Lain Investasi Asing

Oleh: Ukay Karyadi
Sumber: Kontan, 4 Februari 2009

Dampak krisis ekonomi di negara-negara berkembang (emerging markets) masih bakal terasa di tahun ini. Bank Dunia memperkirakan, angka penanaman modal asing langsung alias foreign direct investment (FDI) di negara-negara berkembang bakal turun 31%, atau setara US$ 180 miliar. HItung-hitungan Bank Dunia, FDI di negara-negara berkembang di tahun 2009 hanya mencapai US$ 400 miliar (KONTAN, 22/1/2009).

Penurunan FDI di emerging markets, sesungguhnya sudah terjadi sejak tahun lalu. Catatan Bank Dunia menyebutkan, tingkat FDI di negera-negara berkembang pada 2008 turun 10%. Padahal, beberapa tahun terakhir ini, FDI menyumbang sekitar 38% terhadap arus dana yang masuk ke negara berkembang.

Wajah buruk

Tapi, penurunan FDI tersebut belum dirasakan di Indonesia. Tahun 2008, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi FDI alias penenaman modal asing (PMA) mengalami kenaikan 43,8% menjadi Rp 133,83 triliun (US$ 14,87 miliar) dari tahun 2007 yang sebesar Rp 93,06 triliun (US$ 10,34 miliar).

Torehan ini lebih baik ketimbang realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang anjlok 41,6%, dari Rp 34,88 triliun (US$ 3,88 miliar) pada tahun 2007 menjadi Rp 20,36 triliun (US$ 2,26 miliar) pada tahun lalu. Karena itu, tak berlebihan apabila BKPM memasang target investasi asing tumbuh sekitar 10%-11% di Tahun Kerbau ini.

Terlepas dari optimisme BKPM di satu sisi, dan prediksi buram dari Bank Dunia di sisi lain, persoalan yang menyangkut penanaman modal asing perlu disikapi secara hati-hati. Meski peran FDI cukup signifikan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, bukan berarti FDI tidak memiliki sisi negatif. Setidaknya ada empat hal yang menggambarkan wajah buruk dari investasi asing.

Pertama, masuknya investasi asing ke negara-negara berkembang secara substansial bukan dibiayai oleh sumber-sumber keuangan dari luar negeri, melainkan dibiayai oleh sumber-sumber keuangan di negara-negara berkembang itu sendiri melalui jaringan operasi lembaga-lembaga keuangan asing yang ada di negara di mana invetasi ditanamkan.

Kedua, masukknya investasi asing ke negara-negara berkembang sering tidak diikuti perilaku bisnis yang terpuji dari para investornya. Mereka kerap melakukan praktek-praktek meninggikan nilai impor (overinvoicing of imports) dan merendahkan nilai ekspor (underinvoicing of exports).

Ketiga, investasi asing telah banyak mengambil kegiatan-kegiatan usaha yang memberikan keuntungan tinggi. Dengan begitu, kesempatan investasi (bagi investor domestik) yang dapat menghasilkan keuntungan tinggi menjadi relatif langka. Malahan, di Indonesia, kita dengan mudah dapat menemukan jejak bahwa masuknya PMA ke industri-industri tertentu, membawa konsekuensi tergusurnya pelaku industri nasional dari pasar tanah air.

Sekedar contoh, hadirnya perusahaan miniman Coca-Cola harus dibayar dengan tenggelamnya merek-merek minuman lokal, seperti Saparila. Contoh lain, hadirnya jaringan ritel asing dalam format hipermarket kian meminggirkan pasar tradisional.

Secara makro, dikuasasinya sektor atau industri yang menghasilkan keuntungan tinggi oleh investor asing, berpotensi menimbulkan crowding out effect. Artinya, keuntungan (tinggi) yang diperoleh investor asing tersebut tidak bisa diharapkan sebagai potensi tabungan domestik (untuk tujuan investasi) .

Keempat, masuknya investasi asing, juga berpotensi mendorong konsumsi barang-barang mewah. Hal ini disebabkan investasi asing yang masuk banyak digunakan untuk memproduksi barang-barang mewah untuk konsumsi golongan berpenghasilan tinggi. Karena itu, terjadilah apa yang disebut demonstration effect (dalam artian negatif) yang telah mengalihkan potensi tabungan menjadi konsumtif.

Menjadi lokomotif

Jelaslah, meski di satu sisi investasi asing menimbulkan growth promoting effect, tetapi di sisi lain—apabila tidak diarahkan pemerintah—FDI berpotensi menimbulkan proses yang bersifat growth defeating, sehingga secara netto efeknya negatif.

Oleh karena itu, meski Indonesia sangat membutuhkan investasi asing sebagai salah satu sumber dana untuk mendorong perekonomian, demi kepentingan jangka panjang sebaiknya FDI diarahkan pada sektor-sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forwrd linkage) dengan pelaku usaha domestik--utamanya usaha kecil menengah (UKM). Dengan begitu, kehadiran FDI dapat menjadi lokomotif bagi industri-industri yang berada di pasar input maupun pasar outputnya.

Indonesia dapat juga meniru apa yang pernah dilakukan China. Negara Panda tersebut, pada tahun 1986 memberlakukan Undang-Undang (UU) tentang Usaha Investasi yang Sepenuhnya Milik Asing (Wholly Foreign Owned Investment Enterprise). UU ini memperbolehkan usaha-usaha yang sepenuhnya milik asing didirikan di wilayah China, asalkan badan usaha asing tersebut bergerak di bidang yang melibatkan peralihan teknologi (transfer of technology) atau industri-industri yang berorientasi ekspor.

Akhirnya, semoga para pengambil kebijakan tidak hanya berupaya agar FDI mangalir deras ke tanah air, tapi juga mengupayakan agar kehadiran FDI dapat berdampak pada kemajuan pelaku usaha domestik. Dengan begitu, baik pelaku usaha asing maupun domestik akan berkembang sesuai dengan level yang digumulinya (level of palying field).

Penulis adalah Peminat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik

No comments:

Post a Comment