Wednesday, February 11, 2009

Desentralisasi Multisektor

Oleh: Robert Endi Jaweng
Sumber: Jurnal Nasional, 11 Februari 2009

Dalam suatu forum diskusi di Bappenas belum lama ini, berkembang polemik ihwal siapa yang berwenang menangani Perda: Depdagri ataukah juga instansi pusat lainnya? Tapi seperti biasa, polemik beginian ujungnya mudah ditebak. Cara pandang, tafsir yuridis dan versi kepentingan yang bersilangan antar pihak menyebabkan selalu saja sulit untuk merunding jawaban akhir.

Meski sewindu sudah desentralisasi diterapkan di negeri ini, kita belum kunjung beres dengan isu krusial semacam itu. Masih banyak pihak yang melihat otonomi daerah, termasuk masalah Perda di dalamnya sebagai domain penuh Depdagri. Ini bahkan tak hanya mewakili cara pikir pejabat di departemen tersebut, tetapi juga praktik kebijakan pemerintah pusat secara umum dan pola sikap sebagian pemerintah daerah.

Pertama, pihak pusat. Di ranah ini terlihat bahwa dampak otonomi masih belum signifikan terhadap skala otoritas sektoral, sementara jumlah Dep/Kementerian tetap tak berkurang dari era sebelumnya. Meski UU No.22/1999 jo UU No.32/2004 dan PP No.25/2000 jo PP No.38/2007 membagi sekitar 30 urusan ke level daerah, tapi postur kelembagaan di pusat tetap gemuk, regulasi sektoral juga kerap bertentangan dengan garis desentralisasi.

Jangan heran jika kemudian pola relasi instansi sektoral dengan Pemda sering tak berjalan dalam skema desentralisasi, termasuk urusan konkurent. Yang justru dominan adalah skema tugas pembantuan (medebewind), dekonsentrasi, lalu intervensi langsung dalam kerangka sentralisme. Akibatnya sama fatalnya: (1) distorsi dan bahkan alienasi peran daerah; atau (2) tumpang-tindih dengan program serupa milik Pemda.

Kedua, pihak Pemda. Mispersepsi atas posisi Depdagri, persisnya atas makna otda, menempatkan Depdagri sebagai induk daerah-daerah. Daerah bahkan seakan jadi milik atau setidaknya kepanjangan departemen tersebut. Kab/Kota amat intens berhubungan dengan sang induk, secara terbatas dengan Depkeu untuk urusan fiskal, dan selebihnya menyepelekan instansi pusat lain dan Provinsi. Celakanya, seperti diurai sebelumnya, ini diperkuat cara hadirnya instansi sektoral ke daerah kerap di luar skema desentralisasi.

Pendekatan Multisektor

Desentralisasi jelas terlalu besar dan kompleks untuk hanya diurus satu instansi seperti Depdagri. Dari segi jenis/jumlah urusan, yang ditangani suatu daerah nyaris sama dengan pusat. Bedanya lebih pada skala dan magnitude, di mana pusat menangani urusan secara nasional, sementara Pemda menanganinya pada level lokal. Selain itu, ada 6 urusan yang mutlak ditangani pusat, yakni politik internasional, agama, fiskal nasional, moneter, justisia, keamanan dan pertahanan.

Dengan jenis dan jumlah urusan yang kompleks tersebut, tentu aneh menjadikan Depdagri sebagai satu-satunya cantolan daerah di pusat. Pertama, otonomi tak cuma soal politik dan administrasi publik, tetapi juga berisi puluhan urusan di sektor ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan, teknologi, dll. Kedua, kompetensi SDM di Depdagri jelas terbatas pada masalah politik dalam negeri, sementara kompleksitas urusan daerah tentu memerlukan fasilitasi kebijakan dan asistensi dari beragam instansi pusat lainnya.

Isu penanganan Perda bermasalah, misalnya. Jenis Perda yang dibuat daerah amat bervariasi, mencakup aneka isu pembangunan, pelayanan dan pemerintahan. Namun faktanya, penanganan Perda hanya menjadi domain Depdagri, sementara peran instansi lain sebatas konsultasi yang hasilnya tidak mengikat. Yang lazim terjadi, rekomendasi instansi sektoral selama ini masih akan dikaji lagi oleh Biro Hukum di Depdagri sebagai dasar pengambilan keputusan akhir.

Dominasi satu departemen dan penafikan peran instansi sektoral di atas, antara lain, membuat desentralisasi kita sulit bergerak ke aras substantif seperti perbaikan kehidupan ekonomi, pelayanan sosial dasar, dll. Sebaliknya, desentralisasi yang terlalu didominasi oleh Depdagri, yang tugasnya banyak mengurus aspek pemerintahan dan kelembagaan desentralisasi, menyebabkan agenda kerja otonomi di daerah macet pada ranah negara (Pemda) dan berpusat pada agenda administrasi pemerintahan.

Tak heran jika hingga di tahun ke-8 ini, otonomi daerah itu masih sebatas otonomi Pemda, yang ditandai hiruk-pikuk agenda pembagian urusan, manajemen fiskal, parade pilkada, regulasi pungutan ketimbang jaminan pelayanan masyarakat, dll. Dampak bagi kehidupan publik lebih sebagai tetesan (trickle down effect) ketimbang alokasi. Pada hal, tak kunjung terintegrasinya rakyat dalam sistem desentralisasi sama artinya kita sedang bertaruh dengan masalah kepercayaan masyarakat sebagai dasar eksistensial otonomi.

Catatan Akhir

Pasca sewindu otonomi saat ini mesti sungguh menjadi momentum pembuktian masuknya rakyat dalam sistem permainan yang ada, membuat desentralisasi bermakna riil bagi kehidupannya, dan menjadikan mereka sebagai dasar baru ke depan. Dalam kerangka itu, poros baru kerja desentralisasi tidak terutama lagi pada agenda teknis-administrasi dan otonomi pemerintahan tetapi menyentuh ranah nyata, yakni pelayanan publik dan jaminan hak masyarakat atas segala bentuk kesejahteraan dasar.

Hemat saya, salah satu ikhtiar ke arah sana adalah meretas jalan bagi bekerjanya desentralisasi multi sektor. Baik secara horisontal dalam tata hubungan antar instansi di level nasional maupun pola keterlibatan ke ranah daerah harus mencerminkan sinerjitas, rasa memiliki dan berbagai tanggung jawab bersama atas agenda besar desentralisasi. Menyadari bahwa desentralisasi adalah agenda multifaset, yakni menyangkut hampir semua matra kehidupan kita, maka yang dituntut adalah pendekatan kerja multi sektor dan keterlibatan multi pihak.

Semua itu mensyaratkan kemauan politik Depdagri untuk melepaskan egoisme dan dominasi peran selama ini yang telah menjadi vested intereset. Selanjutnya adalah prasyarat kepemimpinan yang kuat dalam mengkoordinasi multi-stakeholders agar tidak malah berekses kontraproduktif, seperti ketakjelasan pembagian kerja, tumpang-tindih wewenang, dan bahkan berebut pengaruh. Maka, patut diwacanakan agar pemerintahan hasil Pemilu 2009 nanti bisa mengangkat agenda desentralisasi ke level Presiden/Wapres, yang secara teknis dijalankan oleh Kementerian Otonomi Daerah.

Penulis adalah Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta

No comments:

Post a Comment