Monday, February 2, 2009

Mengamankan Sektor Mikro Informal

Oleh: Bramantyo Djohanputro, Phd
Sumber: Sinar Harapan, 2 Februari 2009

Sektor mikro informal menjadi pengaman ekonomi, baik pada saat krisis maupun normal. Tetapi, para pelaku sektor ini tidak merasa aman dalam menjalankan ekonominya. Perlu perhatian tambahan dari pemerintah untuk mendorong perkembangan ekonomi mereka.

Pelaku sektor mikro informal umumnya berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian khusus yang dapat dijual ke sektor formal. Skala usahanya pun kecil. Umumnya usaha ini dijalankan sendiri atau bersama anggota keluarga. Proses produksi, bagi yang menjalankan usaha produksi, sederhana dengan menggunakan teknologi sederhana. Penduduk miskin yang mencapai 13,5% dari penduduk nasional nyaris semuanya berada di sektor ini.

Salah satu kesulitan pelaku sektor mikro informal adalah masalah pendanaan. Dalam hal jumlah, banyak lembaga yang menyediakan dana untuk mereka. Mulai dari lembaga keuangan resmi seperti bank umum termasuk BPD dan BPR, koperasi, PNPM, Bank Kredit Desa, lembaga keuangan nonbank BUMD, dan masih banyak variannya. Tetapi dalam hal nilai nominal, tidak terlalu besar nilai uang yang ditawarkan ke mereka.

Kebutuhan dana mereka sebenarnya tidak besar, tidak lebih dari lima juta rupiah. Sebagian besar pinjaman digunakan untuk modal kerja. Kebutuhan investasi tidak terlalu besar. Pengembalian mereka pun lancar. Beberapa koperasi mencatat, tingkat kemacetan pinjaman mereka bahkan nol persen. Secara umum, kredit macet sektor mikro informal tidak lebih dari dua setengah persen.

Kredit macet bagi sekor mikro informal umumnya terjadi pada bentuk pendanaan yang dilakukan oleh bukan lembaga keuangan. Misalnya, program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD. Atau penyaluran dana yang dilakukan oleh kantor dinas. Di beberapa wilayah muncul persepsi, dana yang mereka salurkan dianggap bukan pinjaman tetapi hibah. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan.

Lembaga keuangan yang perlu mendapat dorongan untuk melayani sektor mikro informal adalah BPR, bank pasar, BPD, dan koperasi khususnya koperasi simpan pinjam (KSP). BPR dan BPD memiliki porsi khusus untuk sektor UMKM. Untuk BPD, masih disayangkan karena ada kecenderungan memperlakukan sektor mikro informal sebagai nasabah kredit konsumtif. Selain itu, upaya BPD kurang gencar dalam menangani sektor ini karena dianggap kurang menguntungkan dan kurangnya SDM bank yang cakap menangani kredit berskala supermikro ini.

Bank pasar sudah memiliki kebiasaan menangani. Dengan strategi jemput bola, mereka berada di pasar-pasar, mendekati pada pedagang skala mikro, memberikan pinjaman dengan nilai yang kecil, hanya sekitar Rp 300.000, dengan cicilan pengembalian setiap hari. Cara ini tidak memberatkan peminjam, sekalipun dengan biaya bunga atau cost of fund yang tinggi.

Beberapa koperasi, khususnya KSP, memberi pinjaman dengan cara yang mendidik. Nasabah mikro informal bukan saja mendapatkan pinjaman, tetapi juga diwajibkan menabung di koperasi tersebut dengan pola tertentu. Hasilnya, pada setiap akhir periode peminjaman mereka memiliki tabungan dalam jumlah yang cukup besar. Sebagai contoh, seorang nasabah meminjam Rp 100.000. Pada saat pencairan dana, nasabah diwajibkan menabung sejumlah tertentu, misalnya sepuluh persen dari pinjaman. Pencicilan dilakukan setiap minggu selama setahun, dan setiap mencicil nasabah diwajibkan menabung sejumlah tertentu, misalnya seribu rupiah. Dengan cara ini, setiap satu putaran pinjaman seorang nasabah memiliki tabungan sebesar Rp 62.000. Belum lagi tabungan tambahan yang secara sukarela dimasukkan nasabah setiap saat ada dana berlebih.

Untuk mengurangi risiko, beberapa KSP menerapkan skema pemberian pinjaman skala mikro informal secara kelompok dengan sistem tanggung renteng. Skema ini efektif selama pinjaman masih berskala mikro. Pada saat pinjaman sudah melewati lima juta rupiah per nasabah, skema kelompok sudah kurang efektif, tetapi lebih tepat menggunakan skema pinjaman individual.

Upaya pendanaan mikro informal seperti di atas memang tidak menarik bagi kaum kapitalis sejati, yang berpikir skala besar dengan menekankan profitabilitas sebagai pertimbangan utama. Itulah sebabnya dana yang tersedia tidak pernah besar sampai saat ini. Seharusnya pola hubungan (linkage) antara lembaga keuangan besar dan kapitalis dengan lembaga keuangan mikro seperti KSP dan BPR perlu didorong untuk berkembang.

Dukungan berbagai pihak, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga asuransi kredit diperlukan untuk mengamankan proses bisnis pendanaan tersebut. Dengan demikian, masyarakat yang 13,5% tersebut dapat menikmati hasil pembangunan, sekaligus menjadi salah satu katup pengaman ekonomi nasional.n

Penulis adalah staf pengajar PPM Manajemen Jakarta

No comments:

Post a Comment