Tuesday, February 3, 2009

Konversi, kunci menuju ekonomi energi

Oleh: Poernomo Yusgiantoro
Sumber: Bisnis Indonesia, 3 Februari 2009

Ekonomi energi adalah perekonomian yang mengonsumsi energi secara optimal dan memproduksi energi secara maksimal, untuk pemakaian domestik ataupun ekspor.

Mari kita kaji kenapa kekuatan ekonomi energi yang solid membuat suatu negara tidak saja teramat penting, tetapi juga teristimewa dalam tatanan dan pergaulan antarbangsa.

Kita mulai dengan krisis pangan dan energi yang terjadi pada 2008. Krisis yang dijuluki 'silent tsunami' tersebut telah terlupakan karena dunia mengalami resesi yang jauh lebih besar.

Namun, krisis tersebut seyogianya merupakan peringatan bahwa kebutuhan energi dunia sangat jauh di atas ketersediaan terutama ketika perekonomian dunia tumbuh dengan pesat secara bersama-sama.

Buktinya, butuh resesi global yang sangat parah seperti sekarang untuk membalikkan keadaan itu.

Padahal pertumbuhan ekonomi dunia yang didorong oleh pembangunan di negara-negara berkembang harus tetap berjalan.

Artinya ketika negara-negara besar kembali pulih dan mulai berekspansi lagi, kebutuhan atas energi juga akan kembali meningkat secara eksponensial.

Namun, siklus pertumbuhan ekonomi global berikutnya akan jauh berbeda struktur dan karakternya. Faktor penentu apakah sebuah negara menjadi pemenang atau sekadar pengikut dalam arsitektur perekonomian dunia yang baru juga akan berbeda.

Hal itu penting diperhatikan, karena posisi dan profil sebuah negara dalam arsitektur perekonomian dan politik internasional sangat memengaruhi proses pembangunan di dalam negeri, khususnya negara berkembang besar seperti Indonesia, India, China, Rusia, dan Brasil.

Menurut saya, ada dua tahapan besar dalam siklus pertumbuhan dan perubahan ekonomi dunia dalam rentang tiga dekade terakhir.

Pertama, siklus perekonomian dunia yang didorong oleh penguasaan akses pasar (1980-1994). Kedua, siklus yang didorong oleh penguasaan akses produksi murah dan akses distribusi massal (1999-2007).

Di antara dua tahapan tersebut, yaitu pada 1994 hingga 1999, terjadi diskontinuitas, karena perekonomian dunia dipaksa mengalami banyak penyesuaian fundamental akibat rentetan peristiwa di seluruh belahan dunia. Misalnya, krisis minyak dunia, krisis perdagangan dunia, krisis ekonomi Asia, krisis dot.com di Amerika, kembalinya Hong Kong ke pangkuan Cina dan masuknya China ke World Trade Organization (WTO).

Tidak lama kemudian terjadi serangan di New York pada 11 September 2001 yang memulai era perang di Afghanistan dan Irak. Setiap peristiwa itu memiliki dampak yang semakin tinggi dan meluas, terutama disebabkan inovasi di industri keuangan global serta kemajuan teknologi informasi (TI) dan telekomunikasi yang semakin mengintegrasikan perekonomian dunia.

Resesi mendalam kini kembali menyebabkan diskontinuitas dalam siklus pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini perlu kita manfaatkan dengan baik. Perlu dicatat bahwa setiap 'periode rehat' dalam siklus perekonomian global memunculkan kekuatan ekonomi dunia baru.


Dari krisis minyak pada era 1970-an dan 1980-an muncul Jepang sebagai kekuatan ekonomi baru. Dari krisis ekonomi Asia muncul China sebagai andalan baru dan dari krisis dot.com di Amerika akhir 1990-an muncul India sebagai sentra TI dunia.

Tentunya peristiwa eksternal bukan menjadi penyebab utama, melainkan sebagai katalis yang mempercepat dan menguatkan proses perubahan yang telah direncanakan dan sedang terjadi di setiap negara berkembang tersebut.

Namun, kemampuan negara-negara itu dalam memanfaatkan peristiwa eksternal dan mengubahnya menjadi momentum internal yang bernilai tambah terhadap proses pembangunan nasional telah mempercepat kelahiran mereka sebagai kekuatan ekonomi dunia baru.

'Sangkar emas'

Saya sangat percaya bahwa faktor utama dalam siklus perekonomian dunia yang berikutnya adalah penguasaan terhadap sumber energi.

Sebagai negara dengan sumber daya alam dan energi yang melimpah, Indonesia bisa melakukannya secara maksimal, independen, dan berkesinambungan baik untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional maupun untuk meningkatkan pendapatan negara.

Bahkan, ketika harga minyak dunia bisa serendah US$34 per barel, Indonesia memiliki kesempatan emas menjadi kekuatan ekonomi energi terkemuka di dunia.

Keseimbangan inilah yang dilupakan oleh Indonesia pada era 1970-an karena tergesa-gesa memosisikan diri menjadi negara penghasil bahkan pengekspor minyak dunia. Kita terlena dengan harga minyak dunia yang terus meningkat dan sumber minyak dalam negeri yang cukup banyak tanpa terlalu memikirkan 'biaya' pemenuhan kebutuhan domestik yang juga meningkat.

Akibatnya, Indonesia tidak pernah memiliki fasilitas pemrosesan minyak mentah menjadi bahan bakar, karena kita percaya lebih murah membeli bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura dan negara-negara lain dengan uang yang didapat dari menjual minyak mentah.

Ketergantungan terhadap minyak bumi baik untuk bahan bakar pembangunan maupun untuk meningkatkan penghasilan negara menjebak Indonesia dalam 'sangkar emas'.

Untuk keluar dari sangkar emas itu, Indonesia perlu dan mampu menjadi ekonomi energi yang solid. Langkah pertama menjadi ekonomi energi adalah dengan mengubah mentalitas minyak bumi menjadi mentalitas energi. Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah melalui program diversifikasi dan konservasi energi secara nasional, sistematis, cepat dan terukur.

Diversifikasi termasuk upaya konversi atau peralihan dari energi minyak menjadi nonminyak seperti gas dan batu bara. Keberhasilan pemerintah dan masyarakat selama 2 tahun terakhir dalam mendukung konversi minyak tanah menjadi elpiji perlu diteruskan dan ditingkatkan.

Konservasi energi termasuk upaya penghematan konsumsi BBM secara terencana dan terukur. Pengurangan subsidi BBM telah memaksa konsumen rumah tangga dan industri untuk lebih hemat dalam mengonsumsi BBM.

Langkah kedua adalah memasukkan program konservasi dan diversifikasi energi ke dalam struktur pembangunan nasional. Caranya antara lain dengan memaksa konversi penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan ke energi terbarukan seperti bahan bakar nabati, panas bumi, tenaga air dan tenaga surya atau bahkan nuklir.

Upaya PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mengonversi pembangkit listrik berbasis BBM menjadi non-BBM, misalnya batu bara, juga menunjukkan hasil menggembirakan. Tantangan yang sangat besar bagi PLN adalah bagaimana meneruskan proses konversi itu sambil meningkatkan kapasitas volume pembangkitan listrik melalui pembangunan pembangkit-pembangkit listrik baru yang butuh investasi sangat besar.

Langkah ketiga, mempersiapkan infrastruktur ekonomi energi termasuk perangkat hukum, riset, pembiayaan. dan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Kalau tidak disiapkan sejak sekarang, sulit bagi Indonesia untuk memasuki tahapan konversi energi yang berikutnya yaitu dari energi fosil menjadi energi terbarukan.

Selain kecepatan, Indonesia perlu meningkatkan kualitas proses diversifikasi dan konservasi energi agar lebih rapi, lebih terukur, lebih efektif sehingga lebih bermanfaat.

Yang pasti, dengan menjadi ekonomi energi yang solid, Indonesia lebih independen, lebih dipandang, dan lebih istimewa dalam tatanan politik dan perekonomian dunia.

Diversifikasi dan konservasi energi adalah kunci menjadi ekonomi energi. Proses itu sudah dimulai, terus ditingkatkan, dan perlu dilindungi dari segala bentuk gangguan dan hambatan. Jangan sampai harga minyak dunia yang murah saat ini membuat konsumen terlena sehingga melupakan pentingnya penghematan dan konversi energi.

Semua ini kita lakukan agar generasi berikutnya dapat melanjutkan pembangunan Indonesia supaya menjadi lebih makmur, lebih maju, lebih independen, lebih efisien, dan lebih dihormati.

Penulis adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Guru Besar Ekonomi Pembangunan ITB

No comments:

Post a Comment