Tuesday, February 10, 2009

Ekspor beras dan kedaulatan pangan

Tantangan terbesar bukan pada kemampuan teknis produksi

Oleh: Benyamin Lakitan
Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Februari 2009

Tujuan utama pemba?ngunan pertanian ta?naman pangan hendaknya tidak direduksi hanya untuk menghasilkan bahan pangan sebanyak-banyaknya, mencapai swasembada, lalu ekspor.

Ada hal yang lebih penting, yakni menyejahterakan petani dan buruh tani, serta menyediakan pangan yang terjangkau oleh konsumen miskin.

Produksi beras nasional dalam 2 tahun terakhir ini diberitakan telah meningkat tajam. Berdasarkan angka ramalan ketiga (ARAM III) Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional pada 2008 meningkat 5,46% dibandingkan dengan produksi tahun 2007. Jika menjadi kenyataan, hal itu merupakan sebuah capaian yang luar biasa.

Jika asumsinya penduduk tumbuh sekitar 1,3% dan konsumsi beras per kapita 139 kilogram per tahun, tahun 2008 tercapai surplus produksi beras yang dapat dijadikan cadangan nasional. Jika kecenderungan ini berlanjut, pada 2009 Indonesia akan kelebihan produksi beras. Jika memang sudah berlebih, tentu boleh saja untuk diekspor.

Secara teknis agronomis peningkatan produksi beras nasional masih mungkin untuk dicapai, yakni melalui peningkatan produktivitas lahan dan indeks pertanaman. Saat ini, penggunaan benih unggul bersubsidi belum dilakukan oleh mayoritas petani padi, ditaksir baru sekitar 30%.

Indeks pertanaman masih berkisar 1,5 sampai 1,6. Artinya, baru separuh lahan yang ditanami padi dua kali setahun. Separuhnya lagi hanya ditanami padi sekali dalam setahun.

Akan tetapi, tantangan terbesar bukan pada kemampuan teknis dalam memproduksi pangan, melainkan bagaimana agar keberhasilan peningkatan produksi beras, dapat diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para pihak yang berjasa dalam proses produksi tersebut, yakni petani dan buruh tani.

Selama ini peningkatan produksi beras tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani (NTP) tidak menjadi lebih baik.

Berdasarkan data BPS, NTP tanaman pangan pada Juni 2008 adalah 97,14. Khusus untuk petani padi, NTP-nya lebih rendah yakni 93,95 (NTP 2007=100). Maknanya, saat produksi beras naik 5,46%, kesejahteraan petani padi malah turun 6,05%.

Data NTP tersebut bermakna bahwa daya tukar (term of trade) dari produk pertanian-dalam hal ini gabah/beras- terhadap barang dan jasa yang dibeli petani-termasuk sarana produksi semakin menurun.

Fakta bahwa peningkatan produksi pangan yang tidak paralel dengan peningkatan kesejahteraan petani bukan merupakan isu spesifik untuk periode 2007-2008, melainkan hal serupa terjadi pada periode tahun-tahun sebelumnya, bahkan bisa ditarik ke belakang sampai beberapa dasa warsa sebelumnya. Kenyataan seperti ini menyiratkan bahwa ada masalah fundamental yang perlu ditengok kembali.

Pembangunan pertanian tanaman pangan selama ini terlalu terfokus pada upaya pencapaian kondisi ketahanan pangan (food security).

Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan).

Pengertian ketahanan pangan tersebut mengadopsi, tapi dalam versi tereduksi- dari definisi yang dianut Food and Agriculture Organisation (FAO): Food security exists when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life.

Nasib petani

Ketahanan pangan, sesuai dengan kedua definisi tersebut, jelas lebih terfokus pada upaya penyediaan pangan bagi konsumen, tidak sama sekali menyentuh nasib para petani dan buruh tani yang terlibat langsung dalam proses produksi. Peraturan perundangan ini hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan, penjaminan mutu, keamanan, dan keterjangkauan harga pangan bagi konsumen.

Sejatinya, petani dan buruh tani bukan diperlakukan hanya sebagai komponen mesin produksi. Mereka adalah anak bangsa yang perlu diberdayakan dan perlu ikut disejahterakan. Citra bahwa petani -khususnya padi- selalu identik dengan kemiskinan sudah terlalu lama dipelihara. Perlu mulai dilakukan perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Termasuk jika perubahan tersebut membutuhkan perubahan kebijakan yang fundamental.

Konsep ketahanan pangan yang sempit perlu diperluas. Beberapa pihak menggunakan istilah kedaulatan pangan (food sovereignty) untuk versi yang diperluas cakupannya tersebut.

Keterbatasan lingkup ketahanan pangan yang hanya fokus pada koridor teknis penyediaan pangan dan perlindungan konsumen, perlu diperluas untuk mencakup perlindungan dan upaya penyejahteraan petani dan buruh tani, serta masyarakat pengolah pangan.

Selain itu, jaminan ketersediaan lahan produksi perlu menjadi bagian integral dari upaya penumbuhan kedaulatan pangan.

Konversi dan fragmentasi lahan yang telah, sedang, dan akan terjadi, perlu dilakukan pemulihan dan/atau pengendalian secara serius dan tegas. Landasan legal juga diperlukan untuk menjamin agar petani mempunyai akses atas lahan produksi yang memadai luasnya.

Kegiatan produksi pangan tidak boleh hanya semata-mata untuk mencapai produktivitas maksimal pada musim tanam atau tahun tertentu.

Proses produksi pangan perlu dimaknai sebagai suatu proses yang wajib dipelihara keberlanjutannya.

Kearifan lokal dan prinsip-prinsip ekologis merupakan landasan penting dari proses produksi yang berkelanjutan.

Semua capaian dalam pembangunan pangan pantas untuk disyukuri, tetapi tentunya tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani perlu tetap disegerakan upaya merealisasikannya.

Pergeseran prioritas perlu dilakukan, dari memacu peningkatan produksi ke upaya menyejahterakan petani. Apalah artinya mengekspor beras, jika petani penghasilnya tetap melarat.

Penulis adalah Guru Besar Universitas Sriwijaya dan Ketua Komisi Teknis Bidang Pangan Dewan Riset Nasional

No comments:

Post a Comment