Monday, February 9, 2009

Mendorong kredit di tengah kewaspadaan

Oleh: Mirza adityaswara
Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2009

Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss Kahn mengatakan 'advance economy are already in a depression' (ekonomi negara maju sudah mengalami 'depresi') pada pekan lalu. Belum lama ini, IMF menurunkan secara signifikan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009 dari semula 2,2% menjadi 0,5%.

Pertumbuhan ekonomi negatif, kontraksi 1,5%-2,5 % akan dialami oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, sedangkan ekonomi China diprediksi tumbuh hanya 6,7% dan negara-negara anggota Asean tumbuh cuma 2,7%.

Krisis ekonomi dunia saat ini, yang berawal dari krisis perbankan di AS, mulai menjalar ke Eropa. Maka resepnya harus mengobati neraca perbankan AS dan Eropa agar perbankan global bisa berfungsi kembali sebagai penyalur kredit.

Biaya provisi kredit bermasalah pada perbankan global saat ini mencapai US$1 triliun, sekitar 7% PDB AS. Padahal, IMF memperkirakan biaya provisi tersebut meningkat ke level US$2,2 triliun, sekitar 15% PDB AS. Dengan biaya provisi kredit bermasalah setinggi itu, modal perbankan AS akan negatif.

Agar perbankan global dapat berkonsentrasi menjalankan fungsi intermediasi, CAR harus positif, di atas 8%. Kredit bermasalah harus dipindahkan ke lembaga yang khusus melakukan restrukturisasi dan divestasi aset bermasalah, semacam BPPN Indonesia pada era 1998-2003.

Seberapa besar biaya berbagai program penyelamatan ekonomi yang sudah dikeluarkan AS? Jumlahnya bukan main besarnya. Menurut data Bloomberg, angkanya sudah mencapai US$8,5 triliun.

Jumlah ini termasuk paket bailout senilai US$700 miliar pada zaman pemerintahan Presiden George Bush.

Termasuk pula bantuan likuiditas dan permodalan senilai US$1,2 triliun ke lembaga pembiayaan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac. Juga termasuk US$2,6 triliun kucuran likuiditas Federal Reserve ke pasar surat utang jangka pendek dan fasilitas swap dolar senilai US$387 miliar untuk 13 bank sentral dunia.

Jumlah tersebut ditambah dengan US$1,5 trilun penjaminan aset kredit bermasalah oleh lembaga penjamin deposit, FDIC ke beberapa bank besar di AS.

Selain itu, ada pula US$1,7 triliun fasilitas bantuan Federal Reserve untuk kucuran likuiditas ke pasar 'asset back securities' dan beberapa penjaminan lainnya.

Jadi, bank sentral AS sebenarnya sudah mencetak uang untuk menyelamatkan sistem ekonominya.

Dalam situasi krisis yang berisiko sistemik seperti sekarang, tindakan bank sentral AS itu dapat disetujui oleh masyarakatnya, tetapi pertanggungjawabannya pasti akan ditagih oleh DPR.

Pasar keuangan

Menghadapi situasi ekonomi global yang semakin lesu, pasar keuangan global juga masih menurun. Indeks bursa saham Dow Jones di AS turun 5,6% dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Indeks bursa saham London FTSE turun 3%, sedangkan indeks Nikkei Jepang turun 8,8%.

Berbeda dengan 2008 yang diwarnai oleh aksi jual besar-besaran di seluruh dunia, pada awal tahun ini beberapa investor saham ternyata mulai ada yang berani melakukan spekulasi beli di emerging market, sehingga indeks bursa di Brasil, China, dan Korea Selatan, misalnya, berkinerja positif.

Namun, kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI) belum positif, yaitu (- 0,3%), walaupun harga beberapa saham sektor komoditas pertambangan dan perkebunan mulai naik sedikit. Masalah 'governance' beberapa emiten di BEI juga menjadi keluhan investor.

Yang memprihatinkan adalah nilai perdagangan di bursa saham Indonesia yang turun drastis, dari rata-rata Rp7 triliun per hari pada 2008 menjadi hanya sekitar Rp1 triliun per hari.

Yang perlu kita waspadai adalah kemampuan perbankan global menyalurkan kredit dan minat investor global membeli aset di negara berkembang. 'Spread' bunga kredit valuta asing di pasar internasional saat ini meningkat, minimum 620 bp di atas 'yield' obligasi Pemerintah AS.

Walaupun likuiditas di pasar valuta asing tampaknya sudah tersedia, hal ini disebabkan oleh adanya likuiditas sementara dari bank sentral dunia.

Suku bunga dolar Fed Fund telah diturunkan ke posisi 0,25%, suku bunga Bank of England pada Jumat pekan lalu turun ke level 1,0%, dan suku bunga Bank Sentral Eropa tampaknya akan turun ke 1,5%.

Semoga fasilitas likuiditas dari bank sentral global tersedia sampai program rekapitalisasi perbankan AS selesai dilaksanakan.

Saat ini, pemerintahan Presiden Obama giat mengusulkan program rekapitalisasi dan stimulus senilai US$819 miliar kepada wakil rakyat.

Konsekuensi dari berbagai program bailout adalah naiknya utang Pemerintah AS. Tahun ini, utang tersebut diperkirakan meningkat US$2,5 triliun. Padahal, pada 2008 Pemerintah AS hanya menambah utang sebesar US$892 miliar.

Risiko dari penambahan utang adalah naiknya yield yang diminta investor untuk membeli surat utang. Sudah terlihat minggu lalu yield Treasury Bonds AS berjangka 10 tahun meningkat dari 2,2% ke 2,9%.

Jika yield di AS meningkat terus, pemerintah negara berkembang juga harus membayar yield surat utang yang lebih tinggi.

Saat ini, yield surat utang global Pemerintah Indonesia adalah 10,3%.

Perbankan nasional

Bagaimana perbankan di Indonesia bersikap menghadapi situasi global yang suram? Kita harus tetap optimis tetapi waspada.

Dibandingkan dengan Singapura yang akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, Indonesia harus optimistis karena ekonomi nasional masih mampu tumbuh 4%-5% pada 2009. Kredit perbankan semoga masih bisa tumbuh 15%-18%.

Situasi yang kita hadapi saat ini bukan situasi ekonomi seperti pada 1998-2001, yang mana kondisi politik tidak stabil dan suku bunga tinggi. Saat ini, likuiditas rupiah cukup banyak, perbankan memiliki SBI sebanyak Rp216 triliun. Suku bunga Bank Indonesia sudah turun ke posisi 8,25%, dan masih ada ruang penurunan apabila inflasi terus melandai.

Namun, perbankan juga perlu waspada, terutama kepada potensi naiknya kredit bermasalah, masih tidak menentunya likuiditas dolar AS, dan kecukupan modal. Potensi kredit bermasalah (NPL) di sektor ekspor harus dicermati, tetapi tidak semua debitor ekspor harus dihindari karena pasti ada perusahaan yang merupakan 'champion' di subsektor tertentu.

Likuiditas dolar AS saat ini tersedia, tetapi harus disadari bahwa likuiditas ini sementara, berasal dari bank sentral global. Maka bank dan debitor sebaiknya mengurangi kredit valuta asing.

Masalah permodalan juga akan dihadapi oleh perbankan nasional jika pasar modal tidak pulih pada 2009. Walaupun perbankan nasional masih memiliki CAR di atas 12%, dalam situasi potensi peningkatan NPL dan lesunya pasar keuangan global, modal perbankan harus dihemat.

Pemakaian modal untuk kredit harus selektif, sebaiknya disalurkan kepada sektor yang memiliki prospek cerah dan debitor yang baik. Inilah salah satu faktor yang membuat kenapa bunga kredit agak lambat turunnya, tidak secepat penurunan BI Rate.

Penulis adalah Chief Economist Bank Mandiri Group

No comments:

Post a Comment