Monday, February 9, 2009

Jangan Hanya Terpaku pada Inflasi

Oleh: Purbaya Yudhi Sadewa
Sumber: Kompas, 9 Februari 2009

Kerangka kebijakan moneter inflation targeting mendominasi kebijakan bank sentral dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Akan tetapi, pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kebijakan ini, bila dipraktikkan secara terlalu kaku, cenderung membuat sebuah bank sentral terlambat bereaksi terhadap perkembangan ekonomi yang terjadi.

Pada masa mendatang tampaknya bank sentral harus memberi bobot yang lebih besar pada data ekonomi yang lain dalam menentukan kebijakan moneternya.

Dalam beberapa tahun ini banyak bank sentral di dunia mempraktikkan kerangka kebijakan inflation targeting (IT). Target suatu bank sentral, menurut kerangka kebijakan ini, hanyalah satu, yaitu inflasi. Biasanya pada awal tahun bank sentral tersebut akan menyebutkan target inflasinya. Kemudian, kebijakan moneter bank sentral tersebut sepanjang tahun akan ditujukan agar target inflasi tersebut tercapai.

Bank sentral akan menaikkan suku bunga bila inflasi berada di atas yang telah ditargetkan. Menaikkan suku bunga diharapkan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga tekanan inflasi dari sisi permintaan akan berkurang. Pada saat permintaan kurang, biasanya produsen akan mengalami kesulitan untuk menaikkan harga jual produknya. Maka, level harga secara umum akan terjaga.

Sebaliknya, pada saat tekanan inflasi dirasa terlalu rendah, bank sentral tidak memiliki insentif untuk menaikkan suku bunga. Bahkan, bank sentral dapat menurunkan suku bunga bila pertumbuhan ekonomi dirasakan lebih lambat dari yang seharusnya. Kerangka kebijakan IT timbul karena kepercayaan banyak ekonom bahwa kebijakan moneter kurang efektif dalam memengaruhi fluktuasi jangka pendek yang terjadi pada suatu perekonomian. Dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat memengaruhi inflasi (harga). Jadi, menurut mereka, tidaklah tepat bila kebijakan moneter ditujukan untuk merespons fluktuasi jangka pendek (seperti fluktuasi pertumbuhan ekonomi).

Kebijakan moneter seharusnya ditujukan untuk mengendalikan hal yang memang benar-benar dapat dikendalikannya, yaitu inflasi. Inflasi yang terkendali merupakan prasyarat untuk terjadinya keadaan makroekonomi yang lebih baik, seperti terciptanya pertumbuhan ekonomi yang baik, penciptaan lapangan kerja, dan kenaikan tingkat kemakmuran.

Dampak buruk

IT menjadi amat populer dalam beberapa puluh tahun terakhir karena keberhasilan negara-negara seperti Jerman dan Selandia Baru dalam menciptakan tingkat inflasi yang rendah dan laju pertumbuhan ekonomi yang baik. Banyak negara saat ini sudah secara resmi menyatakan menjalankan kerangka kebijakan ini. Walaupun masih banyak juga negara yang belum mengadopsi kebijakan IT secara formal, dalam praktiknya mereka amat memerhatikan inflasi dan cenderung mengabaikan fluktuasi jangka pendek dari perekonomian. Dengan kata lain, sebuah bank sentral tidak akan serta-merta melonggarkan kebijakan moneternya di tengah ancaman perlambatan ekonomi bila laju inflasi dianggap masih tinggi.

The Fed, misalnya, belum mengadopsi kerangka kebijakan IT secara formal. Akan tetapi, dalam menentukan kebijakan moneternya, bank sentral AS tersebut amat memerhatikan inflasi. Terkadang mereka agak mengabaikan hal yang lain. Praktik tersebut tampaknya telah membuat bank sentral AS tersebut terlambat bertindak, yang pada dasarnya turut memperburuk keterpurukan ekonomi AS pada saat ini.

Misalnya, pada pertengahan tahun 2004, ketika laju pertumbuhan ekonomi dianggap terlalu cepat (di atas 4 persen per tahun) dan tekanan inflasi mulai meningkat, The Fed segera menaikkan suku bunga. Tindakan ini dilakukan agar perekonomian AS tidak kepanasan. Suku bunga dinaikkan terus sampai pertengahan tahun 2006. Dalam periode ini suku bunga naik dari 1 persen pada pertengahan 2004 menjadi 5,25 persen pada pertengahan tahun 2006.

Bila melihat angka inflasi yang terjadi, memang tampaknya kebijakan The Fed menaikkan suku bunga ini amat tepat. Pada pertengahan tahun 2005 sampai pertengahan tahun 2006 inflasi berkisar 3,5 persen sampai 4 persen. Di AS, inflasi di atas 3 persen dianggap sudah terlalu tinggi. Tetap bertahannya inflasi di atas 3 persen membuat The Fed terus menaikkan suku bunga sampai pertengahan tahun 2006. Setelah inflasi tampak mulai dapat dikendalikan, barulah The Fed menahan kenaikan suku bunga. Kebijakan ini tampak cukup berhasil, seperti terlihat dari turunnya inflasi tahunan ke bawah level 3 persen pada paruh kedua tahun 2006 (lihat gambar 1).

Namun, langkah pengendalian inflasi ini tampaknya harus dibayar dengan biaya yang terlalu mahal. Terlalu asyik memerhatikan angka inflasi membuat The Fed terlena dan agak melupakan variabel-variabel ekonomi yang lain.

The Fed seharusnya juga memberi perhatian yang lebih besar terhadap data ekonomi yang lain, misalnya data angka penjualan rumah. Memerhatikan sektor ini amat penting karena kontribusi sektor ini terhadap perekonomian AS cukup signifikan. Total kredit yang disalurkan ke sektor real estat, misalnya, mencapai 38,5 persen (per November 2008) dari total kredit perbankan AS. Laju pertumbuhan penjualan rumah di AS mulai mengalami penurunan sejak The Fed menaikkan suku bunga pada pertengahan tahun 2004. Menjelang akhir tahun 2005 pertumbuhan penjualan rumah sudah negatif, dengan tren yang menurun (gambar 2).

Artinya, sektor perumahan sudah mengalami tekanan yang cukup berat sejak awal tahun 2006. Seandainya The Fed memberi perhatian yang lebih besar pada angka penjualan rumah ini, seharusnya bunga berhenti dinaikkan sejak awal tahun 2006. Pada waktu itu bunga berada pada level sekitar 4 persen. Apabila ini yang dilakukan, mungkin keadaan di sektor perumahan tidak akan seburuk seperti saat ini.

Namun, keasyikan fokus dengan inflasi membuat peringatan dari data sektor perumahan ini agak terabaikan. Akibatnya, bunga dinaikkan terus walaupun sebenarnya ada data ekonomi yang menunjukkan keadaan sudah semakin memburuk. Jadi, fokus yang berlebihan pada inflasi telah membuat bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan terlalu tinggi. Dengan kata lain, bank sentral AS menginjak ”rem pertumbuhan” terlalu dalam sehingga ekonominya lantas terpuruk.

Bank sentral kita pun hampir melakukan kesalahan yang sama. Ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi bulan Mei, laju inflasi pun meningkat signifikan. Untuk mengendalikan tekanan inflasi, Bank Indonesia menaikkan suku bunga. BI menaikkan terus BI Rate sampai 9,5 persen pada Oktober 2008. Padahal, ada indikasi ekonomi kita mulai melambat sejak Juli 2008.

Perlambatan ekonomi

Adanya perlambatan ekonomi terlihat dari pergerakan Coincident Economic Index (CEI). CEI adalah indeks yang menggambarkan keadaan ekonomi pada suatu saat. CEI disusun dari data penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan indeks penjualan ritel. CEI yang naik menggambarkan ekonomi yang membaik, dan sebaliknya. Sejak Juli 2008 CEI menunjukkan tren penurunan yang terus berlangsung sampai November 2008 (gambar 3).

Akan tetapi, laju inflasi yang masih dua digit telah memaksa BI menaikkan terus suku bunga sampai dengan bulan Oktober. Keterpakuan pada angka inflasi cenderung membuat bank sentral kita agak mengabaikan perlambatan ekonomi yang terjadi. Untungnya, BI segera mengubah arah kebijakan moneternya sejak Desember lalu, dengan mulai menurunkan BI Rate. Kalau tidak, mungkin ekonomi kita saat ini sudah memasuki resesi yang parah.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa terlalu fokus terhadap inflasi membuat bank sentral AS menjalankan kebijakan moneter yang ”terlalu ketat”, yang membuat perekonomian AS mengalami resesi amat parah.

Inflation targeting mungkin merupakan kerangka kebijakan moneter yang baik. Namun, pada praktiknya, fokus terhadap inflasi secara membabi buta dapat memberi dampak buruk. Jadi, dalam menetapkan kebijakan moneter, suatu bank sentral tetap harus memerhatikan data ekonomi yang lain.

Penulis adalah Chief Economist Danareksa Research Institute

No comments:

Post a Comment