Wednesday, February 11, 2009

Konstruksi Pemekaran Wilayah

Oleh: Dr Ali Masykur Musa
Sumber: Seputar Indonesia, 11 Februari 2009

Konsep Otonomi Daerah kini dipertanyakan.Politik desentralisasi sebagai antitesis sentralisasi rezim Orde Baru itu mulai goyah.

Pemekaran daerah sebagai langkah teknis implementasi otonomi daerah menuai hasil kontraproduktif dengan rencana capaian pembangunanpasca-Reformasi.Orientasi kesejahteraan sebagai wujud dari keinginan konsep itu senyatanya masih jauh panggang dari api.

Pelbagai upaya pun dilakukan seperti memberikan suntikan dana lebih besar dari APBN kepada daerah pemekaran melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).

Selain itu, manfaat yang bisa dipetik dari hasil otonomi daerah, antara lain, daerah mampu mandiri dan ketergantungan kepada pusat dapat dikurangi.Namun idealitas ini hanya ”diwiridkan” tanpa perwujudan. Tak pelak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri mengimbau kepada DPR dan DPD untuk melakukan moratorium dan evaluasi pemekaran daerah.

Implikasi

Tidak semua pemekaran wilayah berhasil. Ia sekaligus membuktikan bahwa selama ini belum ada kematangan grand design otonomi daerah. Politik desentralisasi itu senyatanya lebih banyak dilahirkan dari motif reaktif dan tarik ulur kepentingan sehingga kian jauh dari orientasi kesejahteraan dan pemerataan kemakmuran rakyat.

Pemekaran wilayah menjadi kian problematis karena kegagalan itu berakibat langsung ke jantung realitas masyarakat. Sebut saja disintegrasi, ketakjelasan wilayah, dilema kepemimpinan daerah, dan meningkatnya kemiskinan menjadi warna dominan kegagalan pemekaran wilayah.

Hasil pemekaran daerah yang tak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan suprastruktur pada gilirannya menghasilkan daerah miskin baru yang selalu ”menyusu” kepada daerah induk. Kondisi pemekaran wilayah yang kian mengkhawatirkan ini mesti disikapi secara bijak oleh pemerintah dan DPR.

Tentu saja selain moratorium, harus pula dilakukan langkah strategis lain dalam mengamankan jaring ekonomi dan sosial masyarakat di daerah pemekaran yang dikategorikan gagal. Lantas, agar tidak mengulangi kesalahan berlapis atas ketidakjelasan orientasi otonomi daerah, selain moratorium, terdapat dua cara yang mesti dilakukan oleh pihak eksekutif dan legislatif.

Pertama, memperketat mekanisme pemekaran wilayah.Di titik ini, PP No 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mesti ditinjau dan dikaji ulang. Fakta kegagalan pemekaran mesti menjadi apresiasi yang komprehensif: di mana letak kelemahan aturan tersebut? Itu adalah tanggung jawab pemerintah.

Kedua, mengevaluasi hasil daerah pemekaran. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya membicarakan standardisasi tingkat keberhasilan dan kegagalan pemekaran wilayah, baik dilihat dari aspek ekonomi dan keuangan, efektivitas pemerintahan maupun kondisi sosial kemasyarakatannya. Jika dianggap gagal, daerah pemekaran bisa dikembalikan ke daerah induk. Karena itu pemerintah diniscayakan membuat peraturan baru tentang penggabungan wilayah.

Konstruksi Konstitusi

Implikasi lain dari distorsi pemekaran wilayah adalah dijadikannya tuntutan itu sebagai alat untuk menggertak pemerintah pusat dengan cara mengembangkan isu disintegrasi nasional. Tidak jarang strategi itu berpengaruh bagi pemegang kekuasaan legislasi,yaitu DPR,pemerintah, dan DPD. Untuk memahami hal ini patut dikemukakan konstruksi konstitusi.

Pertama, pluralisme Indonesia adalah wujud dari karakter bangsa sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Kebangkitan nasional 1908 yang ditandai dengan Gerakan Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan puncak dari semangat persatuan nasional.

Para pejuang kemerdekaan dan pergerakan pemuda sadar betul untuk menyatukan diri ke dalam Republik Indonesia dengan menanggalkan semangat kedaerahan. Jadi, sesungguhnya yang melatarbelakangi berdirinya negara Indonesia adalah semangat kebangsaan, bukan semangat kedaerahan. Jika motivasi pemekaran wilayah ini untuk menyuburkan kembali semangat kedaerahan, itu bertentangan dengan semangat kemerdekaan.

Kedua, para pendiri negara (the founding fathers) kita sadar betul bahwa negara kesatuan adalah pilihan yang dapat mengikatkan seluruh entitas bangsa. Karena itu negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1), baik sebelum maupun sesudah amendemen UUD 1945. Itu adalah landasan konstitusional yang patut untuk direnungkan dan dipegang teguh.Federalisme memang sengaja tidak dipilih, disebabkan pendiri negeri kita ingin menjalankan konsep kekeluargaan dalam sistem ekonomi kita.

Ketiga, elaborasi dari bentuk negara kesatuan tersebut dirumuskan secara baik dalam Pasal 18 UUD 1945,yaitu ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Terminologi ”dibagi atas” tersebut bukanlah dirumuskan tanpa maksud.

Terminologi itu dengan sadar dirumuskan dalam rangka menunjukkan kepada penerus bangsa ini bahwa negara Indonesia itu adalah ultimate goal dari sejarah pergerakan bangsa. Jadi, dalam pengertian ini, negara Indonesia dalam konsep pemerintahan lebih dahulu terbentuk dari konsep pemerintahan daerah. Karena itu bunyinya ”dibagi atas”, bukan ”terdiri dari” provinsi, kabupaten,dan kota.

Merujuk original intent, soal perumusan dan amendemen UUD 1945 tersebut, sudah saatnya para elite nasional atau elite daerah menyadari bahwa pemekaran wilayah bukanlah satu-satunya cara untuk mempercepat kesejahteraan rakyat. Itu semua sesungguhnya terletak pada manjerial pemerintah pusat-daerah dan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Kesenjangan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota di provinsi dapat diselesaikan dengan politik anggaran yang berbasis kebutuhan dasar pembangunan. Di sinilah makna keahlian membuat APBN dan APBD oleh pemerintah dan legislator perlu pendapat perhatian semua pihak.

Desentralisasi pemerintahan terhadap urusan pembangunan bukan berarti harus dijawab dengan pembentukan atau pemekaran wilayah baru, melainkan dengan penyerahan urusan kepada daerah. Memang,tatkala nafsu menyeruak untuk meng-ego-kan kepentingan daerah,sulit untuk dihentikan secara mendadak.

Paling tidak ajakan Presiden SBY untuk melakukan moratorium pemekaran wilayah patut direnungkan semua pihak. Pelajaran dari negara besar USSR yang terbagi menjadi negara-negara kecil sebagai korban dari kebijakan Glasnost– Perestroika–Demokratizatia patut menjadi catatan berharga. Jamur pemekaran wilayah di musim demokratisasi di Indonesia jangan melahirkan korban baru.Menyesal memang tidak pernah di depan!(*)


Penulis adalah Anggota FPKB DPR dan Sekretaris Pah I BP MPR 2000–2003

No comments:

Post a Comment