Friday, February 27, 2009

Sektor Pertanian dan Stimulus Ekonomi

Oleh: Khudori
Sumber: Koran Tempo, 27 Februari 2009

Setelah maju-mundur seperti tari poco-poco, pemerintah menetapkan anggaran stimulus Rp 73,3 triliun. Apakah ini final? Belum jelas. Tiap minggu jumlah stimulus mengalami revisi. Boleh jadi, setelah dikritik tidak terfokus, jumlah itu akan diubah lagi. Stimulus dibagi dalam tiga klasifikasi. Pertama, stimulus tidak langsung berupa penghematan pembayaran pajak (PPh badan, pribadi dan pendapatan tidak kena pajak/PTKP). Kedua, subsidi pajak ditanggung pemerintah dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPN migas dan minyak goreng, PPh karyawan dan PPh panas bumi). Ketiga, subsidi dan belanja langsung (penurunan harga dan subsidi solar, diskon beban puncak, perluasan PNPM dan belanja infrastruktur).

Stimulus diharapkan menggerakkan sektor riil yang mengerut diterjang krisis, dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Penghematan pembayaran pajak diandaikan menekan pengeluaran usaha, sehingga kapasitas produksi bisa dijaga, dan--ujung-ujungnya--PHK massal bisa dihindari. Pengalaman di Amerika bisa disontek. Stimulus macam ini sudah diterapkan di Negeri Abang Sam. Tapi perusahaan yang disuntik stimulus tetap bangkrut atau melakukan PHK besar-besaran. Pertanyaannya, tepatkah paket stimulus seperti ini?

Potongan pajak belum tentu mendorong pergerakan ekonomi melalui konsumsi atau investasi. Pasalnya, para pembayar pajak merupakan golongan menengah-atas yang berada pada tingkat warga suka menabung. Peraih Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, menulis, stimulus berupa potongan pajak tidak efektif untuk masyarakat yang punya kecenderungan menabung (marginal propensity to save). Akibatnya, permintaan agregat tidak bergerak. Sebetulnya, potensi PHK terjadi pada buruh kontrak atau buruh outsourcing di lini produksi. Pendapatan mereka biasanya di bawah PTKP, dan tak kena pajak. Jadi, skema stimulus ini sebenarnya tidak akan menyentuh mereka (misleading).

Karena itu, ada benarnya ketika sejumlah pihak, termasuk DPR, mempertanyakan efektivitas stimulus ini. Apa yang diserukan oleh John Maynard Keynes lebih dari 80 tahun lalu tetap relevan saat ini. Ekonom legendaris Inggris itu menyerukan, stimulus bukan sesuatu yang gratis. Keberadaannya tidak menambah sumber daya dalam satu masa. Ia dibiayai utang, yang memindahkan pendapatan dari masa depan ke masa sekarang. Stimulus juga mendesak keluar penggunaan lain dari dana yang terbatas. Makanya, stimulus akan efektif meningkatkan pendapatan hanya apabila aktivitas yang dipilih lebih produktif ketimbang yang ditinggalkan (Modjo, 2008). Pemilihan aktivitas ini yang amat krusial.

Krisis ekonomi pasti akan menekan perekonomian kita. Ini bisa dibaca dari sikap pemerintah yang terus-menerus merevisi target pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Tapi, jika ditelusuri, tidak semua sektor ekonomi mendapat pukulan sama. Bahkan, dari sisi produksi, industri masih mengalami peningkatan dalam indeks produksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, indeks produksi manufaktur cenderung meningkat: dari rata-rata 117,34 pada 2004 menjadi 127,3 pada 2008 (hingga kuartal III). Lalu mengapa industri mendapat pukulan berat akibat krisis global? Ini terjadi bukan lantaran ketidakmampuan dari sisi produksi (supply side), melainkan karena lesunya pasar (demand side) penyerap produk mereka.

Karena itu, lagi-lagi petuah Keynes bisa menjadi penuntun: "Ketika rumah tangga dan dunia usaha melihat ketidakpastian ekonomi akibat resesi, pemerintah harus mengambil peranan yang lebih nyata lagi, tidak hanya mengatur perekonomian, tapi langsung terjun melakukan intervensi ke dalam perekonomian melalui stimulus fiskal." Lewat stimulus, pemerintah diharapkan bisa menerobos kebuntuan dengan meningkatkan permintaan melalui peningkatan belanja rumah tangga dan dunia usaha. Jadi, yang perlu didorong adalah demand side, bukan supply side seperti skema stimulus pemerintah. Artinya, pemerintah mencoba mengobati sakit kepala dengan obat batuk. Jelas tidak nyambung.

Beruntunglah perekonomian kita tidak seperti Malaysia, yang PDB-nya 100 persen bergantung pada ekspor. Sekitar 70 persen pertumbuhan PDB kita disumbang konsumsi rumah tangga (Basri, 2009). Konsumsi domestik ini bisa jadi obat mujarab mengurangi tekanan krisis. Bagaimana caranya? Menurut studi International Center for Applied Finance and Economic (Inter-CAFÉ) IPB (Koran Tempo, 9 Februari 2009), wilayah pedesaan dan sektor pertanian diperkirakan paling parah terimbas krisis. Anehnya, stimulus justru diarahkan ke perkotaan. Stimulus sektor pertanian dan wilayah pedesaan hanya Rp 1,05 triliun.

Menurut kajian Inter-CAFE, sektor pertanian dan pedesaan diterpa krisis tiga bulan lebih awal ketimbang sektor keuangan dan manufaktur. Ini ditunjukkan oleh merosotnya ekonomi desa di delapan provinsi (Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah) yang digerakkan oleh industri perkebunan. Jika dalam enam bulan tak ada perubahan paket stimulus, Inter-CAFE memperkirakan, enam provinsi lain (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Yogyakarta) nasibnya akan sama.

Saat harga komoditas di pasar dunia jatuh, harga di tingkat petani tertekan secara tidak proporsional. Ini ditunjukkan oleh elastisitas transmisi harga yang rata-rata 1,3 (Sugema, 2009). Artinya, ketika harga dunia turun 10 persen, ini akan diikuti penurunan harga di tingkat petani sebesar 13 persen. Para eksportir, pedagang besar, dan perusahaan inti menekan harga di tingkat petani untuk menutupi kerugian akibat penurunan harga. Saat permintaan pasar ekspor lesu, perusahaan inti mendahulukan mengolah produknya untuk memenuhi pasar ekspor, bukan membeli dari petani plasma. Petani jadi penanggung kerugian pihak lain. Ini terjadi pada petani sawit, karet, kakao, kopi, dan komoditas lain.

Akibatnya fatal. Petani menelantarkan tanamannya. Buruh kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, sektor pertanian dan pedesaan masih harus menanggung beban akibat PHK para pekerja di kota (diperkirakan 1-2 juta) dan para pekerja migran dari luar negeri (0,5-1 juta). Sektor pertanian dan pedesaan yang sudah tertekan krisis akan semakin tertekan. Sektor dan wilayah ini tidak hanya kian gurem, tapi juga akan mengalami involusi. Karena itu, seharusnya stimulus lebih banyak dialokasikan ke pertanian dan pedesaan. Stimulus ke sektor dan wilayah ini harus memiliki makna investasi ke depan, bukan semata-mata cara instan mengompensasi pengerutan oleh krisis dengan menyerap tenaga kerja. Caranya, melakukan investasi ke sektor pertanian, dari perbaikan/pembangunan irigasi, jalan desa, penyediaan bibit dan pupuk, hingga distribusi lahan ke petani gurem. *

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

No comments:

Post a Comment