Wednesday, February 18, 2009

Mengubur Sakralnya Investasi Asing

Oleh: Agus Suman
Sumber: 18 Februari 2009

Laporan Bank Dunia meramalkan, pada tahun 2009, investasi dari negara maju ke negara berkembang akan turun tajam.

Tentu ini menjadi berita duka bagi negara-negara berkembang karena lebih dari 36 persen ongkos pembangunan di negara-negara itu dikasiri investasi asing.

Peran PMDN

Bagaimana dengan Indonesia? Kita juga memerlukan peran investasi asing untuk menjadi bahan bakar pembangunan. Bahkan, sejak 2005, pemerintah selalu mengemukakan akan mengedepankan peningkatan investasi dan ekspor guna menyokong pertumbuhan ekonomi.

Memang bila dilacak ke belakang, kencangnya pertumbuhan kita capai tahun 1970-1978. Indonesia menjadi bintang panggung bagi investasi asing. Tidak sedikit negara berlomba membenamkan investasinya di sini.

Meski ”nujum” Bank Dunia seolah menjadi lonceng pesimisme, kita tak boleh kehilangan daya hidup pada ladang investasi.

Memang tahun 2009 dengan gagah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memprediksi pertumbuhan investasi 10,7-11,2 persen. Pangan, infrastruktur, dan energi adalah tiga sektor yang menjadi pilar pertumbuhan itu.

Pertumbuhan sebesar itu terutama dari penanaman modal dalam negeri (PMDN). Apresiasi patut diberikan karena selama ini hanya sektor industri, transportasi, dan telekomunikasi yang menjadi andalannya. Jadi, kepercayaan diri terhadap mata air investasi yang bersumber dari dalam negeri harus disematkan.

Mengingat selama ini gelanggang pangan menjadi kawasan yang masih menarik pemodal pribumi meski untuk sementara masih di peringkat ketiga dalam rencana investasinya, dan nilainya baru mencapai Rp 18,1 triliun, sektor ini perlu terus digosok dengan aneka kebijakan agar lebih menarik investor.

Menjadikan sektor pertanian/perkebunan sebagai panggung investasi bukan tanpa argumentasi. Tahun 2008, harga banyak komoditas pangan dunia melejit. Bahkan, beberapa komoditas mencetak rekor harga tertinggi, seperti beras putih dari 274,67 dollar AS per ton menjadi 324,8 dollar AS per ton atau naik 18,25 persen.

Harga gandum dari 180,01 dollar AS per ton menjadi 374,45 dollar AS per ton, meroket 108,02 persen. Jagung, dari 53,98 dollar AS per ton menjadi 80,3 dollar AS per ton. Bahkan, minyak sawit dari 420,23 dollar AS per ton naik menjadi 1.395 dollar AS per ton.

Khusus untuk sawit, harga awal tahun ini kembali baik setelah suram pada semester II- 2008. Bahkan, berbagai bencana di Amerika Selatan, seperti Brasil dan Argentina, yang selama ini banyak menggunakan minyak kedelai, akibat kekeringan telah menggerus 25 persen panennya. Akibatnya, penggantinya jatuh pada CPO. Dapat dipastikan permintaan sawit melonjak.

Pada semester I-2008, komoditas ini menjadi primadona. Hingga Mei 2008, harganya meroket di pasar dunia, dari 420,23 dollar AS per ton menjadi 942,5 dollar AS per ton, naik 124,28 persen.

Gemerlap perdagangan CPO dunia dipadamkan gejolak krisis global hingga harga CPO dibanderol 473,93 dollar AS per ton pada pertengahan Oktober 2008.

Namun, kondisi rendahnya harga CPO yang terjadi hingga akhir tahun lalu mulai berbalik di bursa internasional pada awal Januari 2009 dengan harga tertinggi 566,21 dollar AS per ton.

Maka, jika BKPM mengisyaratkan bahwa topangan utama masih ditumpukan kepada investasi dalam negeri, tampaknya tidak keliru. Apalagi faktanya, krisis global yang kini melanda dunia membuat perekonomian menjadi sedikit limbung.

Makna strategis

Ada makna strategis saat pertumbuhan investasi diprioritaskan pada pertanian. Berbagai multiplier effect langsung dapat dirasakan.

Sementara itu, pada persetujuan investasi, peringkat pertama penanaman modal diberikan kepada investor yang bermain pada industri manufaktur, nilainya cukup tinggi, investasi dari PMDN menggelontorkan Rp 140,7 triliun. Adapun dari PMA berniat menggerojokkan 29,2 miliar dollar AS. Padahal, investasi pada sektor manufaktur ini amat ringkih terhadap empasan gejolak ekonomi global.

Untuk itu, pemerintah harus memberi ruang yang cukup bagi pertumbuhan investasi dalam negeri melalui penciptaan iklim yang lebih kondusif, seperti pengurusan perizinan satu pintu, penyediaan infrastruktur memadai, serta terjaganya keamanan pemodal, sekaligus mampu mengobati fobia terhadap menyusutnya investasi asing.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan kita pada peran asing dalam berinvestasi. Negara akan tampak kokoh bila tidak bergantung pada peran asing. Cakrawala inilah yang harus ditatap pemerintah meski investasi asing akan mengerut tahun ini, tetapi daya hidup pembangunan harus terus berkobar.

Penulis adalah Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang

No comments:

Post a Comment