Friday, February 27, 2009

E-money menuju less cash society

Harus ada pengaturan dan persyaratan yang ketat

Oleh: Puji Atmoko
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 Februari 2009

Kemajuan teknologi, adanya jaminan keamanan, semakin praktis dan nyaman penggunaannya sebagai alat bayar merupakan beberapa faktor kenapa e-money di Indonesia berkembang dan banyak diminati oleh masyarakat.

Secara sederhana, e-money didefinisikan sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik di mana nilai uangnya disimpan dalam suatu media elektronik tertentu. Sesuai dengan batasan dari Bank for International Settlements (BIS), e-money diartikan sebagai prabayar, penyimpan nilai dan store value, serta good fund.

Penggunanya harus menyediakan uangnya terlebih dahulu untuk disimpan dalam media elektronik tertentu sebelum menggunakannya untuk bertransaksi. Ketika digunakan, nilai uang pengguna dalam media elektronik akan berkurang sebesar nilai transaksi, dan setelahnya dapat mengisi kembali (top up). Untuk saat ini, Bank Indonesia menetapkan nilai maksimum e-money sebesar Rp1 juta.

Sementara itu, media penyimpan uang elektronik dapat berupa suatu chip yang dibawa oleh pengguna atau dalam suatu server penerbit e-money yang dapat diakses oleh pengguna. Penggunaannya dapat dilakukan secara offline ataupun online.

Contoh e-money dalam bentuk kartu yang diterbitkan oleh bank dan telah memperoleh izin dari Bank Indonesia adalah kartu Flazz, JakCard, GasCard, E-Tol Card, dan Kartu Tol. Sementara produk lain yang berbasis server yang diterbitkan oleh lembaga selain bank (perusahaan telekomunikasi) dan telah memperoleh izin dari Bank Indonesia adalah produk T-Cash dan Dompetku.

Acuan umum penerbitan kartu prabayar yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tahun 2005, dalam waktu dekat akan direvisi. Penerbitan e-money dapat dilakukan oleh bank atau lembaga selain bank dengan persyaratan tertentu. Sampai akhir Januari 2009 telah tercatat delapan penerbit e-money yang telah mengantongi izin dari BI, yaitu lima bank dan tiga selain bank.

Tak perlu izin

Dalam aturan baru, tidak semua pihak perlu izin jika penyelenggaraan penerbitan e-money. Hanya kepada para pelaku yang telah mencapai nilai tertentu dalam pengelolaan floating fund-nya (misalnya Rp1 miliar) yang wajib memperoleh izin dari bank sentral. Floating fund adalah seluruh nilai e-money yang diperoleh penerbit dari hasil penjualan e-money dan/atau pengisian ulang e-money yang masih merupakan kewajiban penerbit kepada pemegang dan merchant.

Untuk menjamin keamanan, keandalan dan aspek perlindungan pemegang e-money penerbit diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan seperti jaminan keandalan sistem, kejelasan hak dan kewajiban pemegang dan penerbit. Termasuk juga 'bersih tidaknya' para pengurus serta adanya jaminan 'tidak gagal bayar' dari penerbit.

Jaminan tidak gagal bayar tersebut juga diberikan kepada para pemegang jika ingin me-redeem dengan meminta kembali sisa e-money apabila pemegang sudah tidak melanjutkan penggunaan e-money. Kalau penerbitnya berasal dari lembaga selain bank, maka jaminan tersebut harus ditunjukkan oleh penerbit dengan adanya semacam garansi dari bank umum kepada penerbit.

Jaminan seperti ini diperlukan karena pemegang telah percaya dengan menyetorkan dananya terlebih dahulu (prabayar) kepada penerbit dan harus membayar kepada pedagang atas setiap transaksi yang dilakukan oleh pemegang. Dana pemegang yang telah ditatausahakan pada penerbit bukanlah simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan, sehingga untuk itu penerbit harus memberitahukan karakteristik dana tersebut kepada para pemegangnya.

Prinsip lain yang telah digariskan oleh bank sentral dalam penyelenggaraan e-money adalah bahwa penggunaannya harus dalam satuan hitung rupiah dan hanya dapat digunakan untuk transaksi pembayaran dengan pedagang di Indonesia.

Media penyimpan e-money dapat pula memiliki masa berlaku (expiry date) meskipun tidak serta-merta nilai uang yang tersimpan dalam media tersebut menjadi hilang. Dalam beberapa pertimbangan, selain untuk kontrol, pencatatan data pemegang e-money juga dimaksudkan untuk mencegah praktik money laundering. Itu berarti nama pemegang haruslah tercatat pada penerbit (registered).

Pencatatan data pemegang oleh penerbit, merupakan suatu kewajiban jika produk e-money tersebut dapat digunakan untuk tarik tunai dan kepentingan transfer dana antarpemegang. Jika sistem ini digunakan, maka aturan yang harus diikuti oleh penerbit, khususnya yang berasal dari lembaga selain bank, juga harus memperoleh izin dari bank sentral sebagai penyelenggara pengiriman uang. Contoh produk seperti ini antara lain M-Money dari Maxis di Malaysia dan GCash dari Globe di Filipina yang keduanya adalah perusahaan telekomunikasi seluler.

Dengan kerangka aturan seperti tersebut di atas, apakah pemegang telah merasa aman dan nyaman dalam melakukan transaksi? Tentu saja belum menjamin sepenuhnya, karena dalam kegiatan transaksi pembayaran juga melibatkan peran pihak lain, seperti prinsipal, dan kemungkinan juga ada acquirer, serta pihak yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban berikut penyelesaian akhirnya.

Prinsipal adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya yang biasanya terdiri dari penerbit sendiri dan/atau acquirer. Sementara itu, agar e-money dapat digunakan untuk transaksi di merchant, maka diperlukan peran acquirer yang bekerja sama dan bertanggung jawab dengan pedagang.

Dengan langkah pengaturan yang makin lengkap dan persyaratan yang ketat diharapkan akan memberikan keamanan dalam bertransaksi. Tidak menutup kemungkinan pada masa-masa yang akan datang, pembayaran nontunai bernilai kecil, makin menghemat waktu, dan secara masif makin diminati masyarakat maka produk e-money akan semakin terus berkembang. Dan itu sebenarnya yang diidamkan menuju less cash society. Jika cita-cita ideal itu terwujud, sistem pembayaran akan makin efisien, aman dan andal yang pada akhirnya akan berkontribusi besar dalam kegiatan perekonomian.

Penulis adalah Analis Madya Senior, Bank Indonesia

No comments:

Post a Comment