Wednesday, February 11, 2009

Tanpa Rokok Tahun 2010

Oleh: Ridwan Saifuddin
Sumber: Lampung Post, 11 Februari 2009

Menjelang Pemilu 2009, satu pertanyaan saya titipkan: Adakah partai peserta pemilu atau calon anggota legislatif yang berani terbuka mengampanyekan merokok haram? Atau, dalam kalimat lain--dengan kronisnya masalah kemiskinan, beranikah partai atau calon anggota Dewan menawarkan solusi: Stop merokok!

Bagi partai peserta pemilu, kampanye tersebut tentu dianggap terlalu berisiko: Tidak populis! Berdasar pada data Susenas (2004), lebih dari 30 persen penduduk dewasa di Indonesia punya kebiasaan merokok. Belum lagi anak usia sekolah yang berpotensi menjadi pemilih pemula, dan telanjur suka merokok. Jumlah yang terlalu sayang untuk dikecewakan, bukan?

Celakanya, menurut Menko Ekonomi Sri Mulyani, konsumsi rokok di Indonesia lebih banyak dilakukan kelompok rumah tangga miskin. Pengeluaran rumah tangga untuk rokok lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan (Sinar Indonesia, 8-9-2008).

Tahun 2004, peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia mengambil tema Kemiskinan dan merokok untuk mengingatkan kemiskinan dan kebiasaan merokok merupakan dua hal yang sangat berhubungan. Wakil WHO Indonesia Frits Reijsenbach menyampaikan masyarakat miskin adalah kelompok yang paling menjadi korban dari industri tembakau karena menggunakan penghasilan mereka untuk membeli sesuatu yang justru membahayakan kesehatan (Tempo Interaktif, 31-3-2004).

Karena begitu besar mudarat merokok, baik dalam skala keluarga maupun negara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan merokok makruh-haram. Bukan langkah populer karena MUI bukan partai politik yang haus popularitas.

Toh langkah popular tak selalu menyelesaikan masalah. Faktanya, Indonesia berada pada peringkat kelima tertinggi di antara negara-negara dunia dalam konsumsi rokok, pada saat yang sama menjadi negara miskin pada level terendah dunia.

Negara miskin yang menghamburkan uang untuk ditukar asap nikotin. Data Depkes pada 2002, rakyat Indonesia mengonsumsi 182 miliar batang rokok yang terus meningkat tiap tahun. Jika 200 miliar batang rokok dikonsumsi dalam satu tahun, dengan asumsi rata-rata harga per batang Rp500, berarti Rp100 triliun atau sekitar 10 persen APBN 2008 terbuang menjadi racun.

Respons negatif terhadap fatwa haram merokok juga tidak lepas dari peran media, yang untung besar dari iklannya. Lewat iklan media, perusahaan rokok ingin membantah pesan bahwa merokok mengganggu kesehatan, seperti tertulis dalam kemasannya. Hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak (2007) membuktikan 91,7% remaja berusia 13--15 tahun di Jakarta merokok karena didorong pengaruh iklan.

Makin sering remaja dan anak-anak menyaksikan iklan rokok yang nilainya miliaran rupiah per tahun--yang nyaris tanpa pengaturan dari pemerintah--peluang mereka mencoba merokok meningkat. Media senang, pengusaha rokok pun riang.

Tingginya konsumsi rokok di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang tinggi, tapi karena kuatnya pengaruh pikiran dan perasaan hasil pencitraan iklan. Demikian kuat sehingga keluarga miskin tak mampu bayar SPP anaknya yang sekolah, tapi mampu belanja rokok setiap hari.

Pengusaha rokok menangguk untung besar--termasuk 10 orang terkaya negeri ini--di atas derita rakyat miskin yang kecanduan nikotin. Perusahaan rokok berada pada skala negatif dalam hal tanggung jawab sosial: Kegiatan mereka merusak perekonomian dan kesehatan rakyat. Kepedulian sosial yang dicitrakan melalui iklan dan sponsor adalah kamuflase menutupi kerusakan yang ditimbulkannya.

Ekonomi Mikro Rokok

Dalam skala rumah tangga, belanja rokok bagi mereka yang telanjur kecanduan adalah hal wajib. Meski harus mengalahkan gizi keluarga dan pendidikan untuk anak-anaknya.

Persentase konsumsi rokok makin tinggi pada keluarga berpenghasilan rendah. Banyak hasil survei menunjukkan sebagian besar masyarakat yang merokok adalah dari keluarga berpenghasilan rendah. Keluarga miskin yang perokok menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi rokok. Menurut penelitian Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi UI (2005), dalam tahun 2005 rumah tangga perokok menghabiskan 11,5 persen pengeluaran rumah tangganya untuk konsumsi tembakau; 11 persen untuk membeli ikan, daging, telur, dan susu; 2,3 persen untuk kesehatan; dan 3,2 persen untuk pendidikan.

Di samping itu, dalam periode yang sama, biaya kesehatan untuk mengobati penyakit yang terkait asap rokok mencapai Rp2,9 triliun sampai Rp11 triliun per tahun atau setara dengan 0,12 persen sampai 0,29 persen dari produk domestik bruto.

Sebenarnya industri tembakau bukan industri strategis dalam perekonomian nasional, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja dan tingkat upah pekerja. Meski industri ini mengontribusi signifikan bagi pemasukan negara dari pos penerimaan cukai. Sektor tembakau hanya mencakup 1,2% dari seluruh sektor pertanian.

Besarnya nominal cukai rokok hingga 98 persen total penerimaan cukai negara telah membuat urusan kesehatan dan penyelamatan generasi muda tergadaikan. Pemerintah pun enggan mengusik sektor ini karena banyak pihak yang berutang budi pada industri rokok. Mulai seniman untuk menggelar konser pertunjukan, liga sepak bola yang perlu sponsor dananya, mahasiswa yang butuh beasiswa dan dana kegiatan darinya, dan sebagainya. Termasuk sumber dana politik.

Hal itu membuat pemerintah dan politisi ciut nyali untuk berani mengerem tingginya konsumsi rokok rakyat di negeri ini. Padahal, menurut simulasi FEUI, dengan kebijakan menaikkan cukai rokok saja, akan mengurangi tingkat konsumsi rokok rakyat dan memperkuat perekonomian nasional juga ekonomi keluarga. Dengan turunnya pengeluaran untuk konsumsi rokok, 60 sektor perekonomian akan diuntungkan. Pengeluaran rumah tangga yang semula untuk belanja rokok, bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting atau untuk investasi.

Dengan meningkatkan tarif cukai rokok output perekonomian dan pendapatan rumah tangga akan bertambah. Meningkatkan cukai rokok dua kali lipat akan menambah lapangan kerja 281.135 orang. Maka, salah satu sektor strategis untuk digarap pemerintah dalam rangka mengatasi kemiskinan adalah mendesain ulang kebijakan sistemik terkait industri rokok. Mulai riset pemanfaatan tembakau untuk produk nonrokok, ketenagakerjaan, tarif cukai, pengaturan iklan, dan ini sudah dimulai MUI dengan fatwa merokok makruh-haram.

Saya membayangkan, pemimpin dan wakil rakyat hasil Pemilu 2009 nanti akan berjuang (biar diam-diam demi menjaga popularitas) menjawab problem kemiskinan, salah satunya dengan membuat kebijakan melalui kajian mendalam dampak industri rokok terhadap kesehatan dan perekonomian rakyat. Dengan demikian, hasilnya pada 2010 rakyat lebih sehat dan sejahtera tanpa rokok; bukan basa-basi.

Fatwa MUI paling tidak untuk menguji sensitivitas dan rasa malu para pemimpin politik dan pemerintahan, termasuk para ulama, untuk memberi contoh perbuatan yang (menurut MUI) makruh (jika tidak sampai haram). Jika ternyata rasa malu sudah hilang, merokok enjoy aja.

Penulis adalah Penggiat Lampung Media Center, tinggal di Metro

No comments:

Post a Comment