Friday, February 27, 2009

Perang Proteksi

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Februari 2009

Seperti yang sudah bisa diduga, proteksionisme di negara-negara maju kian marak. Barack Obama mengusulkan “Buy American “ yang mendapatkan banyak kritikan pedas dari Uni Eropa.

Intinya, ini paket stimulus hampir USD800 miliar hanya untuk membeli barang dan jasa made in America. Program semacam ini tentu dapat mengundang retaliasi dari mitra dagang dan mengirimkan sinyal bahwa semua negara dapat melakukan hal yang sama. Perang proteksi secara terbuka menjadi tak terelakan,terutama di antara negaranegara besar.

Negara kecil,tentu,bisa juga ikut-ikutan. Namun, kita tentu harus maklum bahwa program proteksi secara terang-terangan seperti itu hanya ditujukan untuk memuaskan tuntutan publik domestik di negara yang bersangkutan. Dalam kenyataannya, ini hanya sebuah program populis yang kemudian harus diperhalus supaya tidak mengundang retaliasi atau pembalasan dari negara lain.

Karena itu, kemudian nantinya bentuk proteksionisme yang betulbetul dijalankan biasanya dilakukan secara tidak terang-terangan dan sangat selektif, yaitu dengan cara menciptakan hambatan atau barrier. Ada yang berbentuk hambatan teknis berupa syarat-syarat teknis dan kualitas yang harus dipenuhi, ada pula yang menggunakan alasan kesehatan, karantina, saniter, dan bahaya biologis.

Ada lagi yang menggunakan strategi antidumping. Barang-barang yang dikenai hambatan juga biasanya sangat selektif, terutama yang memiliki pesaing domestik. Intinya, barang impor semakin dipersulit masuk ke suatu negara. Proteksi yang sangat selektif justru akan sangat merugikan negara berkembang karena sulit untuk dibalas.

Pejabat di negara berkembang sering tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam menegosiasikan proteksi nontarif.Di samping itu,proteksi yang sangat spesifik sangat menyulitkan untuk merumuskan retaliasi yang sepadan.

*** Melihat hal tersebut, tampaknya negara-negara maju tidak akan mengambil jalan yang terang-terangan walaupun kini banyak politikus melontarkan slogan nasionalisme. Namun, sebagai negara berkembang, kita justru harus lebih waspada terhadap proteksi melalui cara yang tersamar karena dampaknya akan jauh lebih merugikan.

Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan dalam mengantisipasi ini. Pertama, Indonesia harus mempersiapkan tim negosiator yang andal dan dalam jumlah yang banyak.Kalau ada 10 negara yang menerapkan proteksi terhadap sekitar 25 produk,kita menghadapi 250 kasus dalam jangka waktu yang bersamaan.

Problemnya memang kita tak memiliki negosiator yang cukup banyak sehingga praktis akan banyak kasus yang tak bisa ditangani. Kedua, setiap asosiasi komoditas harus menyiapkan tim negosiasi sendiri tanpa menunggu pemerintah. Pejabat pemerintah akan terlalu sibuk dengan maraknya proteksi nontarif yang sangat spesifik.

Karena itu, pengusaha yang menjadi korban proteksi harus proaktif dalam mencari penyelesaian. Ketiga, agar kita dapat mempersiapkannya dengan baik, kita harus bisa mengantisipasi kira-kira produk apa yang rawan proteksi.

Kaidah umumnya adalah bahwa proteksi akan lebih sering terjadi pada produk-produk yang nilai transaksinya signifikan, kompetitor domestiknya sedang mengalami kesulitan atau hampir bangkrut, penggunaannya dapat disubstitusi oleh barang domestik walaupun tidak begitu sempurna, dan mudahnya mencari alasan teknis.

Tampaknya dengan kriteria di atas, barang-barang yang akan mendapat hambatan yang besar adalah kertas dan pulp, CPO, produk perikanan, garmen, alas kaki, barang elektronik, suku cadang kendaraan bermotor,dan mainan anak.CPO dan kertas merupakan produk yang sangat sensitif terhadap isu lingkungan.

Produk perikanan sangat sensitif terhadap isu kesehatan.Garmen,alas kaki, barang elektronik, dan suku cadang kendaraan bermotor memiliki pesaing domestik di negara maju yang sedang kolaps. Mainan anak sangat sensitif dengan isu keamanan dan kesehatan anak.

Keempat,tentu kita sebagai negara berkembang dan berdaulat harus juga pintar untuk melindungi diri sendiri. Kita perlu untuk merumuskan produk apa saja yang patut kita beri proteksi. Jangan lupa bahwa produkproduk murah dari berbagai negara berkembang akan membanjiri pasar domestik kita. Yang harus kita waspadai adalah praktik dumping dan impor ilegal.

*** Setiap perusahaan,tak peduli dari negara berkembang atau negara maju, tentu saat ini sedang mengalami kesulitan untuk mengatasi turunnya permintaan.Negara-negara yang memiliki keleluasaan keuangan seperti China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat tentu tidak segan-segan memberikan subsidi besar-besaran terhadap perusahaan mereka demi menghindari PHK massal.

Dengan demikian produk murah akan membanjiri pasar domestik Indonesia, bukan hanya dari China, tetapi juga dari negara-negara maju. Dengan demikian, adalah sudah saatnya kita memikirkan secara serius untuk melakukan proteksi nontarif agar kita bisa menghindari PHK massal.

Sektor-sektor yang harus diberi perhatian khusus adalah yang padat tenaga kerja dan memiliki nilai tambah yang tinggi.Sektor pertanian tampaknya akan menjadi medan perang proteksi yang paling sengit.Di negara maju,petani dianggap sebagai pihak yang lemah dan selalu mendapat bantuan dari pemerintah dalam jumlah yang besar.

Karena itu, produk-produk pertanian dan olahannya akan dilempar ke pasar negara berkembang dengan harga miring. Produk-produk massal yang melibatkan proses produksi padat karya juga akan diperlakukan sama.

Dalam masa resesi, semua negara akan cenderung menyelamatkan diri masing-masing. Karena itu, mengapa kita tidak mencoba menyelamatkan diri sendiri? Jangan sampai pejabat kita terlalu percaya pada liberalisasi yang di negeri asalnya saja sudah tidak laku.(*)

Penulis adalah Peneliti InterCAFE, IPB

E-money menuju less cash society

Harus ada pengaturan dan persyaratan yang ketat

Oleh: Puji Atmoko
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 Februari 2009

Kemajuan teknologi, adanya jaminan keamanan, semakin praktis dan nyaman penggunaannya sebagai alat bayar merupakan beberapa faktor kenapa e-money di Indonesia berkembang dan banyak diminati oleh masyarakat.

Secara sederhana, e-money didefinisikan sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik di mana nilai uangnya disimpan dalam suatu media elektronik tertentu. Sesuai dengan batasan dari Bank for International Settlements (BIS), e-money diartikan sebagai prabayar, penyimpan nilai dan store value, serta good fund.

Penggunanya harus menyediakan uangnya terlebih dahulu untuk disimpan dalam media elektronik tertentu sebelum menggunakannya untuk bertransaksi. Ketika digunakan, nilai uang pengguna dalam media elektronik akan berkurang sebesar nilai transaksi, dan setelahnya dapat mengisi kembali (top up). Untuk saat ini, Bank Indonesia menetapkan nilai maksimum e-money sebesar Rp1 juta.

Sementara itu, media penyimpan uang elektronik dapat berupa suatu chip yang dibawa oleh pengguna atau dalam suatu server penerbit e-money yang dapat diakses oleh pengguna. Penggunaannya dapat dilakukan secara offline ataupun online.

Contoh e-money dalam bentuk kartu yang diterbitkan oleh bank dan telah memperoleh izin dari Bank Indonesia adalah kartu Flazz, JakCard, GasCard, E-Tol Card, dan Kartu Tol. Sementara produk lain yang berbasis server yang diterbitkan oleh lembaga selain bank (perusahaan telekomunikasi) dan telah memperoleh izin dari Bank Indonesia adalah produk T-Cash dan Dompetku.

Acuan umum penerbitan kartu prabayar yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tahun 2005, dalam waktu dekat akan direvisi. Penerbitan e-money dapat dilakukan oleh bank atau lembaga selain bank dengan persyaratan tertentu. Sampai akhir Januari 2009 telah tercatat delapan penerbit e-money yang telah mengantongi izin dari BI, yaitu lima bank dan tiga selain bank.

Tak perlu izin

Dalam aturan baru, tidak semua pihak perlu izin jika penyelenggaraan penerbitan e-money. Hanya kepada para pelaku yang telah mencapai nilai tertentu dalam pengelolaan floating fund-nya (misalnya Rp1 miliar) yang wajib memperoleh izin dari bank sentral. Floating fund adalah seluruh nilai e-money yang diperoleh penerbit dari hasil penjualan e-money dan/atau pengisian ulang e-money yang masih merupakan kewajiban penerbit kepada pemegang dan merchant.

Untuk menjamin keamanan, keandalan dan aspek perlindungan pemegang e-money penerbit diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan seperti jaminan keandalan sistem, kejelasan hak dan kewajiban pemegang dan penerbit. Termasuk juga 'bersih tidaknya' para pengurus serta adanya jaminan 'tidak gagal bayar' dari penerbit.

Jaminan tidak gagal bayar tersebut juga diberikan kepada para pemegang jika ingin me-redeem dengan meminta kembali sisa e-money apabila pemegang sudah tidak melanjutkan penggunaan e-money. Kalau penerbitnya berasal dari lembaga selain bank, maka jaminan tersebut harus ditunjukkan oleh penerbit dengan adanya semacam garansi dari bank umum kepada penerbit.

Jaminan seperti ini diperlukan karena pemegang telah percaya dengan menyetorkan dananya terlebih dahulu (prabayar) kepada penerbit dan harus membayar kepada pedagang atas setiap transaksi yang dilakukan oleh pemegang. Dana pemegang yang telah ditatausahakan pada penerbit bukanlah simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan, sehingga untuk itu penerbit harus memberitahukan karakteristik dana tersebut kepada para pemegangnya.

Prinsip lain yang telah digariskan oleh bank sentral dalam penyelenggaraan e-money adalah bahwa penggunaannya harus dalam satuan hitung rupiah dan hanya dapat digunakan untuk transaksi pembayaran dengan pedagang di Indonesia.

Media penyimpan e-money dapat pula memiliki masa berlaku (expiry date) meskipun tidak serta-merta nilai uang yang tersimpan dalam media tersebut menjadi hilang. Dalam beberapa pertimbangan, selain untuk kontrol, pencatatan data pemegang e-money juga dimaksudkan untuk mencegah praktik money laundering. Itu berarti nama pemegang haruslah tercatat pada penerbit (registered).

Pencatatan data pemegang oleh penerbit, merupakan suatu kewajiban jika produk e-money tersebut dapat digunakan untuk tarik tunai dan kepentingan transfer dana antarpemegang. Jika sistem ini digunakan, maka aturan yang harus diikuti oleh penerbit, khususnya yang berasal dari lembaga selain bank, juga harus memperoleh izin dari bank sentral sebagai penyelenggara pengiriman uang. Contoh produk seperti ini antara lain M-Money dari Maxis di Malaysia dan GCash dari Globe di Filipina yang keduanya adalah perusahaan telekomunikasi seluler.

Dengan kerangka aturan seperti tersebut di atas, apakah pemegang telah merasa aman dan nyaman dalam melakukan transaksi? Tentu saja belum menjamin sepenuhnya, karena dalam kegiatan transaksi pembayaran juga melibatkan peran pihak lain, seperti prinsipal, dan kemungkinan juga ada acquirer, serta pihak yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban berikut penyelesaian akhirnya.

Prinsipal adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya yang biasanya terdiri dari penerbit sendiri dan/atau acquirer. Sementara itu, agar e-money dapat digunakan untuk transaksi di merchant, maka diperlukan peran acquirer yang bekerja sama dan bertanggung jawab dengan pedagang.

Dengan langkah pengaturan yang makin lengkap dan persyaratan yang ketat diharapkan akan memberikan keamanan dalam bertransaksi. Tidak menutup kemungkinan pada masa-masa yang akan datang, pembayaran nontunai bernilai kecil, makin menghemat waktu, dan secara masif makin diminati masyarakat maka produk e-money akan semakin terus berkembang. Dan itu sebenarnya yang diidamkan menuju less cash society. Jika cita-cita ideal itu terwujud, sistem pembayaran akan makin efisien, aman dan andal yang pada akhirnya akan berkontribusi besar dalam kegiatan perekonomian.

Penulis adalah Analis Madya Senior, Bank Indonesia

Sektor Pertanian dan Stimulus Ekonomi

Oleh: Khudori
Sumber: Koran Tempo, 27 Februari 2009

Setelah maju-mundur seperti tari poco-poco, pemerintah menetapkan anggaran stimulus Rp 73,3 triliun. Apakah ini final? Belum jelas. Tiap minggu jumlah stimulus mengalami revisi. Boleh jadi, setelah dikritik tidak terfokus, jumlah itu akan diubah lagi. Stimulus dibagi dalam tiga klasifikasi. Pertama, stimulus tidak langsung berupa penghematan pembayaran pajak (PPh badan, pribadi dan pendapatan tidak kena pajak/PTKP). Kedua, subsidi pajak ditanggung pemerintah dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPN migas dan minyak goreng, PPh karyawan dan PPh panas bumi). Ketiga, subsidi dan belanja langsung (penurunan harga dan subsidi solar, diskon beban puncak, perluasan PNPM dan belanja infrastruktur).

Stimulus diharapkan menggerakkan sektor riil yang mengerut diterjang krisis, dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Penghematan pembayaran pajak diandaikan menekan pengeluaran usaha, sehingga kapasitas produksi bisa dijaga, dan--ujung-ujungnya--PHK massal bisa dihindari. Pengalaman di Amerika bisa disontek. Stimulus macam ini sudah diterapkan di Negeri Abang Sam. Tapi perusahaan yang disuntik stimulus tetap bangkrut atau melakukan PHK besar-besaran. Pertanyaannya, tepatkah paket stimulus seperti ini?

Potongan pajak belum tentu mendorong pergerakan ekonomi melalui konsumsi atau investasi. Pasalnya, para pembayar pajak merupakan golongan menengah-atas yang berada pada tingkat warga suka menabung. Peraih Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, menulis, stimulus berupa potongan pajak tidak efektif untuk masyarakat yang punya kecenderungan menabung (marginal propensity to save). Akibatnya, permintaan agregat tidak bergerak. Sebetulnya, potensi PHK terjadi pada buruh kontrak atau buruh outsourcing di lini produksi. Pendapatan mereka biasanya di bawah PTKP, dan tak kena pajak. Jadi, skema stimulus ini sebenarnya tidak akan menyentuh mereka (misleading).

Karena itu, ada benarnya ketika sejumlah pihak, termasuk DPR, mempertanyakan efektivitas stimulus ini. Apa yang diserukan oleh John Maynard Keynes lebih dari 80 tahun lalu tetap relevan saat ini. Ekonom legendaris Inggris itu menyerukan, stimulus bukan sesuatu yang gratis. Keberadaannya tidak menambah sumber daya dalam satu masa. Ia dibiayai utang, yang memindahkan pendapatan dari masa depan ke masa sekarang. Stimulus juga mendesak keluar penggunaan lain dari dana yang terbatas. Makanya, stimulus akan efektif meningkatkan pendapatan hanya apabila aktivitas yang dipilih lebih produktif ketimbang yang ditinggalkan (Modjo, 2008). Pemilihan aktivitas ini yang amat krusial.

Krisis ekonomi pasti akan menekan perekonomian kita. Ini bisa dibaca dari sikap pemerintah yang terus-menerus merevisi target pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Tapi, jika ditelusuri, tidak semua sektor ekonomi mendapat pukulan sama. Bahkan, dari sisi produksi, industri masih mengalami peningkatan dalam indeks produksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, indeks produksi manufaktur cenderung meningkat: dari rata-rata 117,34 pada 2004 menjadi 127,3 pada 2008 (hingga kuartal III). Lalu mengapa industri mendapat pukulan berat akibat krisis global? Ini terjadi bukan lantaran ketidakmampuan dari sisi produksi (supply side), melainkan karena lesunya pasar (demand side) penyerap produk mereka.

Karena itu, lagi-lagi petuah Keynes bisa menjadi penuntun: "Ketika rumah tangga dan dunia usaha melihat ketidakpastian ekonomi akibat resesi, pemerintah harus mengambil peranan yang lebih nyata lagi, tidak hanya mengatur perekonomian, tapi langsung terjun melakukan intervensi ke dalam perekonomian melalui stimulus fiskal." Lewat stimulus, pemerintah diharapkan bisa menerobos kebuntuan dengan meningkatkan permintaan melalui peningkatan belanja rumah tangga dan dunia usaha. Jadi, yang perlu didorong adalah demand side, bukan supply side seperti skema stimulus pemerintah. Artinya, pemerintah mencoba mengobati sakit kepala dengan obat batuk. Jelas tidak nyambung.

Beruntunglah perekonomian kita tidak seperti Malaysia, yang PDB-nya 100 persen bergantung pada ekspor. Sekitar 70 persen pertumbuhan PDB kita disumbang konsumsi rumah tangga (Basri, 2009). Konsumsi domestik ini bisa jadi obat mujarab mengurangi tekanan krisis. Bagaimana caranya? Menurut studi International Center for Applied Finance and Economic (Inter-CAFÉ) IPB (Koran Tempo, 9 Februari 2009), wilayah pedesaan dan sektor pertanian diperkirakan paling parah terimbas krisis. Anehnya, stimulus justru diarahkan ke perkotaan. Stimulus sektor pertanian dan wilayah pedesaan hanya Rp 1,05 triliun.

Menurut kajian Inter-CAFE, sektor pertanian dan pedesaan diterpa krisis tiga bulan lebih awal ketimbang sektor keuangan dan manufaktur. Ini ditunjukkan oleh merosotnya ekonomi desa di delapan provinsi (Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah) yang digerakkan oleh industri perkebunan. Jika dalam enam bulan tak ada perubahan paket stimulus, Inter-CAFE memperkirakan, enam provinsi lain (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Yogyakarta) nasibnya akan sama.

Saat harga komoditas di pasar dunia jatuh, harga di tingkat petani tertekan secara tidak proporsional. Ini ditunjukkan oleh elastisitas transmisi harga yang rata-rata 1,3 (Sugema, 2009). Artinya, ketika harga dunia turun 10 persen, ini akan diikuti penurunan harga di tingkat petani sebesar 13 persen. Para eksportir, pedagang besar, dan perusahaan inti menekan harga di tingkat petani untuk menutupi kerugian akibat penurunan harga. Saat permintaan pasar ekspor lesu, perusahaan inti mendahulukan mengolah produknya untuk memenuhi pasar ekspor, bukan membeli dari petani plasma. Petani jadi penanggung kerugian pihak lain. Ini terjadi pada petani sawit, karet, kakao, kopi, dan komoditas lain.

Akibatnya fatal. Petani menelantarkan tanamannya. Buruh kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, sektor pertanian dan pedesaan masih harus menanggung beban akibat PHK para pekerja di kota (diperkirakan 1-2 juta) dan para pekerja migran dari luar negeri (0,5-1 juta). Sektor pertanian dan pedesaan yang sudah tertekan krisis akan semakin tertekan. Sektor dan wilayah ini tidak hanya kian gurem, tapi juga akan mengalami involusi. Karena itu, seharusnya stimulus lebih banyak dialokasikan ke pertanian dan pedesaan. Stimulus ke sektor dan wilayah ini harus memiliki makna investasi ke depan, bukan semata-mata cara instan mengompensasi pengerutan oleh krisis dengan menyerap tenaga kerja. Caranya, melakukan investasi ke sektor pertanian, dari perbaikan/pembangunan irigasi, jalan desa, penyediaan bibit dan pupuk, hingga distribusi lahan ke petani gurem. *

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Thursday, February 26, 2009

Daerah Meredam Krisis

Oleh: Fadel Muhammad
Sumber: Seputar Indonesia, 26 Februari 2009

Akhir tahun lalu muncul skeptisisme di berbagai kalangan terhadap ekonomi Indonesia dalam menapaki tahun 2009. Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia merisaukan akan adanya gelombang PHK yang semakin membesar pada tahun 2009.

Jumlahnya bisa mencapai hingga satu juta orang. Ini karena sektor industri terpaksa harus menurunkan kinerjanya akibat pasar ekspor yang mengerut. Para pelaku industri akan memangkas produksinya antara 20%-30%.

Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen juga menyampaikan hal yang sama, pada awal Desember 2008 dilaporkan bahwa PHK bahkan sudah terjadi di sejumlah perusahaan besar di berbagai daerah sejak beberapa bulan sebelum munculnya krisis keuangan global.

Bahkan, pada tahun 2009, diperkirakan lebih dari tiga juta buruh akan terkena PHK, terutama buruh yang bekerja di sektor riil, seperti manufaktur dan perdagangan. Untunglah masih ada secercah optimisme. Faisal Basri, ekonom UI,melihat dari sisi yang berbeda. Jangan terlalu merisaukan pengangguran. Munculnya kekhawatiran akan adanya PHK besar-besaran tahun depan merupakan sesuatu yang ”berlebihan”.

Melihat pola pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja pada tahun-tahun sebelumnya diperoleh angka bahwa 1% pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan lapangan kerja baru bagi sekitar 700.000 orang. Kalau memang benar demikian, pertumbuhan produk domestik bruto 4% sekalipun niscaya tak akan membuat angka pengangguran terbuka menggelembung.

Namun optimisme yang dipompakan oleh Faisal Basri ini bukan tanpa syarat. Pemerintah harus menggenjot belanja modal sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan undang-undang. Artinya, defisit APBN bisa dinaikkan hingga 3% dari PDB, bukan justru diturunkan sebagaimana tercantum di dalam APBN 2009.

Belanja modal diarahkan untuk pembangunan infrastruktur di sentra produksi pertanian dan industri manufaktur, serta pelabuhan berikut perangkat penunjangnya. Mencermati pandangan Faisal Basri saya berpikir bahwa pesan yang ingin disampaikan olehnya adalah pemerintah harus berani dan jangan takut malu untuk menerapkan kebijakan intervensionis seperti yang direkomendasikan oleh John Maynard Keynes untuk mengoreksi kegagalan pasar.

Kebijakan Intervensionisme

Menekan angka pengangguran, menurunkan jumlah penduduk miskin dengan memberi mereka kesempatan kerja produktif secara berkelanjutan, adalah agenda mendesak yang harus segera dilakukan. Pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan program-program yang bersifat padat karya produktif melalui kebijakan belanja daerah yang efektif dan relevan dengan situasi krisis.

Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto meski baru mencapai 54%-57%. Namun kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%.

Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara sisanya sebesar 8,8% berhubungan langsung dengan pembeli/ importir di luar negeri. 8,8% pengusaha inilah yang harus diberdayakan oleh pemerintah daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh World Economic Forum tahun 2008 dengan responden para pelaku bisnis menunjukkan bahwa tiga permasalahan utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia adalah (1) birokrasi pemerintah yang tidak efesien,dari penelitian tersebut ternyata sebanyak 19,3% responden menganggap bahwabirokrasipemerintah yang tidak efisien adalah yang paling problematik; (2) keterbatasan dan kualitas infrastruktur 16,4% responden menyatakan bahwa kualitas jalan raya, transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang artinya sangat buruk., dan (3) korupsi,10,7% responden menilai bahwa korupsi merupakan faktor yang menjadi penghambat dalam menjalankan bisnis.Masalah ini tidak hanya terjadi di pusat melainkan juga di daerah.

Percepatan Penyelesaian APBD

Kapasitas manajemen pemerintah daerah hingga saat ini masih jauh dari memuaskan, terutama dalam bidang manajemen keuangan. Per 30 Januari 2009 baru 318 pemerintah daerah atau 66,7% yang berhasil menyelesaikan APBD.Namun yang benar-benar APBDnya sudah berbentuk Peraturan Daerah baru 156.

Sedangkan sebanyak 162 baru terbatas pada pembahasan penyelesaian dengan DPRD atau masih dalam proses evaluasi di pemerintahan yang lebih tinggi. Kondisi ini tentu memunculkan skeptisme mampukah pemerintah daerah mengelola uang sebesar 327,08 triliun (37,72%) dari APBN yang berupa dana perimbangan?

Selain dana perimbangan Pemerintah Daerah juga terlibat dalam pengelolaan dana subsidi yang besarnya mencapai Rp323, 34 triliun (37,28%). Hasil studi tentang profil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang dilakukan oleh PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad 2008 menunjukkan bahwa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang memiliki daya saing yang tinggi dilihat dari indikator total input sebagian besar didorong oleh kekayaan sumber daya alam.

Sedangkan untuk kabupaten/ kota di Jawa yang memiliki daya saing tinggi ekonominya berbasis pada sektor industri dan jasa. Di lain pihak, peringkat 10 terendah berdasarkan indikator agregat input didominasi oleh daerah kabupaten/ kota yang aktivitas ekonomi utamanya bergerak dalam sektor pertanian dan merupakan daerah yang miskin sumber daya alam.

Pembelanjaan APBD yang Cepat

Pembelanjaan APBD yang lebih cepat untuk menjaga ekonomi tetap berputar membutuhkan kebijakan intervensionis.Fokus kebijakan ini diarahkan untuk mendorong laju perkembangan ekonomi daerah melalui tiga pilar yaitu infrastruktur,pertanian,dan energi. Namun mungkinkah itu semua dilakukan dengan keterbatasan alokasi anggaran? Menurut saya semua serbamungkin.

Memang, belanja modal yang dianggarkan pemerintah pusat hanya Rp90, 71 triliun (10,46%) dari total APBN. Namun, jika dibelanjakan secara efisien, efektif, dan relevan untuk peningkatan ketersediaan infrastruktur, niscaya hal itu akan membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian daerah karena mobilitas arus barang menjadi semakin lancar.

Kita memang dibuat tertegun oleh belanja untuk subsidi yang sangat besar.Alokasi APBN untuk subsidi mencapai Rp323,34 triliun atau setara dengan 37,28% belanja APBN. Subsidi ini diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.

Kita harus mampu mengelola subsidi dengan baik.Di benak kita harus ditanamkan bahwa subsidi itu bersifat temporer dan ad hoc tujuannya adalah untuk menyehatkan perekonomian dan menjaga daya beli masyarakat.Subsidi memberikan celah bagi munculnya grey area dalam perekonomian.

Munculnya black market dan spekulan adalah hal yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu subsidi harus dikawal dengan penegakan yang tegas dan tanpa pandang bulu. Agenda yang sangat mendesak dan tidak kalah penting adalah mendorong pemerintah daerah melakukan reformasi birokrasi pemerintah daerah, terutama dalam manajemen keuangan, sumber daya manusia,dan teknologi informasi.

Terobosan reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan model pencangkokan atau pendampingan. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah akan lebih baik dalam membuat perencanaan pembangunan daerah, penyusunan kebijakan dan program, penganggaran dan monitoringhingga ke pengendalian dan evaluasi. Ini relevan dengan anggaran yang relatif terbatas yang harus dikelola dengan ketat dan fokus.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara bersama-sama untuk menerapkan kebijakan yang mungkin kurang popular, tapi harus diambil, yaitu kebijakan pendampingan manajemen keuangan daerah.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah memfasilitasi DPRD untuk pelatihan keuangan daerah agar memiliki mindset yang sama dengan eksekutif. Adanya sinergi dalam public spending antara pemerintah pusat dan daerah yang fokus pada upayaupaya penanggulangan krisis dimungkinkan sekali dampaknya dapat diredam.(*)


Penulis adalah Gubernur Gorontalo

Pengangguran dan Perekonomian

Oleh: Jousairi Hasbullah
Sumber: Seputar Indonesia, 26 Februari 2009

Di masa kampanye saat ini,salah satu topik populer yang selalu diperdebatkan adalah angka pengangguran. Perdebatan di media massa tampak bersemangat dan penuh percaya diri walau sejatinya terkadang menjurus ke pertunjukan pemahaman yang masih jauh dari situasi faktual.

Besarannya melulu hanya dikaitkan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran yang meningkat disimpulkan sebagai kegagalan dalam mengelola pertumbuhan ekonomi.Padahal, keterkaitan antara keduanya cukup kompleks.

Tiga Pola Hubungan

Menghubungkan keduanya membutuhkan kehati-hatian.Setiap angka perlu dipahami tidak saja dari konsep definisi yang melatarbelakanginya, tetapi juga dari karakteristik masyarakat yang membangun bunyi dari suatu angka.

Jika ini kurang dipahami, kita akan bingung sendiri.Sebagai contoh ketika angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan (TW) II/2008 (year on year) sebesar 6,4%, angka pengangguran pada Februari tahun tersebut menunjukkan 8,46%; ketika pertumbuhan di TW III turun menjadi 6,1%, angka pengangguran juga turun ke angka 8,39%.

Menjelaskan fenomena angka pengangguran dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi memang tidak mudah.Untuk kasus Indonesia, dari perspektif sosial budaya, angka pengangguran sekaligus merefleksikan tiga karakteristik perkauman besar sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pertama, kelompok masyarakat yang sensitif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Penambahan atau penurunan persentase pertumbuhan ekonomi akan, secara umum,sangat berpengaruh terhadap naik turunnya angka pengangguran. Di sini akan berlaku hukum elastisitas tenaga kerja di mana 1% pertumbuhan ekonomi akan menurunkan sekian persen angka pengangguran.

Domain ini sebagai karakteristik dari kelompok pencari kerja terdidik yang tinggal di lingkungan elite atau menengah kampung-kampung urban.Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang membuka kesempatan kerja baru akan ditangkap oleh kelompok ini untuk bekerja di sektor formal.

Dinamika perekonomian sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar kerja kelompok tersebut. Kecenderungan ini pun tidak begitu saja dapat diasumsikan secara linier. Karena, jika pertumbuhan ekonomi menghasilkan kesempatan kerja yang kurang diminati dan mereka yang sedang mencari pekerjaan masih memiliki daya topang ekonomi keluarga yang relatif baik, mereka tetap akan berada di kelompok yang menunggu dan akan tergolong sebagai penganggur.

Kedua adalah kelompok kurang terdidik dan miskin,tinggal di daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan perdesaan yang berbudaya tradisional monodoksi (yang dalam istilah Piere Bourdieu, tokoh postmodernisme, disebut sebagai kelompok doxa). Kelompok ini tidak akan terpengaruh langsung oleh dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Pada saat ekonomi tumbuh atau melamban, mereka tetap bekerja guna menyambung hidup.Apa saja yang bisa dikerjakan,mulai dari jenis pekerjaan serabutan, buruh tani, pedagang asongan,menjual jasa sebagai tukang semir sepatu, tukang becak, tukang cukur,kuli angkut atau bahkan bekerja sebagai pemulung.

Kelompok ini justru merupakan lapisan terbesar dari total angkatan kerja Indonesia. JH Boeke, peneliti Belanda ternama di akhir abad ke-19 yang mengkaji tentang dualisme ekonomi di Hindia Belanda dan Clifford Geertz yang memberi pencerahan tentang proses involusi di sektor pertanian, memiliki pandangan yang sama bahwa di kelompok masyarakat bawah, tekanan ekonomi justru acap disiasati dengan peningkatan kebersamaan membagi kue kesempatan ekonomi yang kecil (involusi).

Penduduk akan beramai-ramai bekerja melakukan sharing labour (sekaligus sharing poverty).Dapat dipahami jika semakin sulit perekonomian di daerah kantongkantong kemiskinan, angka pengangguran justru mendekati nol%. Ketiga, kompleksitas dinamika hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh proses transformasi budaya pada lapisan menengah di Indonesia.

Di antaranya transisi pola hubungan emosional dalam rumah tangga (antara suami dan istri) ke arah yang lebih terbuka, terjadinya penurunan fertilitas yang memungkinkan seorang ibu memiliki waktu yang lebih luang, dan semakin renggangnya norma yang restriktif terhadap wanita untuk bekerja.

Maka peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mendorong kaum perempuan “rumahan” (yang semula tidak digolongkan sebagai angkatan kerja) untuk bekerja di luar rumah. Kecenderungan ini akan mendesak para pencari kerja aktif untuk tetap menganggur.

Pertumbuhan ekonomi, dalam konteks tertentu dan pada tahapan pembangunan yang masih transisional, dapat saja justru akan meningkatkan angka pengangguran. Angka pengangguran akan berkorelasi secara negatif dan prediktif dengan pertumbuhan ekonomi, berlaku di negara-negara yang telah maju yang semua penduduknya berpendidikan tinggi dan perekonomiannya didominasi sektor formal.

Jangan Gegabah

Angka pengangguran memang terlihat sederhana dan dengan semena- mena digunakan untuk mengkritik kinerja pembangunan atau sebaliknya mengukur keberhasilan pembangunan. Padahal di balik angka tersebut jalinan kompleksitasnya tidak cukup sederhana, terkandung beragam dimensi sistemik pembangunan yang sangat kompleks.

Sangat gegabah untuk terlalu berani membuat target-target angka pengangguran yang dipatok pada posisi rendah hanya karena latar belakang asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan tinggi.Terlalu menyesatkan kalau serta-merta secara linier dan terkesan menggampangkan kita mengatakan: setiap pertumbuhan perekonomian makro pasti akan menurunkan angka pengangguran atau sebaliknya.

Setiap kelompok spektrum budaya dan lapisan sosial masyarakat memiliki pola-pola sendiri yang kalau disatukan dalam suatu pola nasional akan menghasilkan pola yang terkadang tidak berpola.(*)

Penulis adalah Kepala Biro Humas dan Hukum Badan Pusat Statistik

Wednesday, February 25, 2009

Swasembada Beras, Usaha Siapa?

Oleh: Mufid A. Busyair
Sumber: Koran Tempo, 25 Februari 2009

Dalam salah satu iklannya, Partai Golkar mengklaim kadernya di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat berhasil membuat kita berswasembada beras pada 2008. Pada 2007 kita masih mengimpor beras, sedangkan pada 2009 bahkan akan mengekspor beras. Belakangan sebuah iklan menyusul, juga mengklaim bahwa keberhasilan swasembada beras di Indonesia berkat Menteri Pertanian Anton Apriyantono, kader Partai Keadilan Sejahtera. Mari kita urai apa sesungguhnya yang menyumbang peningkatan produksi padi pada 2008.

Selama dua tahun terakhir (2007-2008), kondisi iklim amat bersahabat. Tidak ada kemarau berkepanjangan atau banjir yang meluas yang berujung pada padi yang puso. Pola tanam tidak bergeser, estimasi produksi dan persediaan pangan lebih mudah diprediksi. Ini rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Karena iklim yang baik itu, luas tanam bertambah 120 ribu hektare. Dengan tingkat produksi 4,6 ton per hektare dan dua kali tanam setahun, ini menyumbang 1,1 juta ton gabah.

Sumbangan berikutnya dari aneka kebijakan pemerintah. Sejak 2007 digulirkan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). P2BN menumpukan pada lima program: subsidi benih, pengembangan tata air mikro, rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani dan jaringan irigasi desa, pencetakan sawah baru, dan pengendalian organisme pengganggu. Juga digulirkan program kredit untuk petani kecil, menghidupkan kembali penyuluh pertanian, dan mendirikan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Dalam hal ini, layaknya sebuah fraksi, seluruh anggota Komisi IV setuju dan mendorong kuat program tersebut.

Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Soetarto Alimuso, subsidi benih menyumbang 5-15 persen peningkatan produksi. Pada 2008, pemerintah memberikan subsidi benih dalam APBN sebanyak 37.500 ton dengan sasaran area tanam 1,5 juta hektare. Ini belum termasuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), subsidi harga benih, dan benih hibrida. Menurut angka ramalan III BPS, produksi padi 2008 mencapai 60,280 juta ton gabah, naik 5,7 persen dari produksi pada 2007 (57,051 juta ton gabah). Peningkatan produksi padi sebesar ini hanya pernah dicapai oleh Orde Baru pada rentang 1969-1984.

Untuk memberikan insentif ekonomi agar petani tetap tertarik berusaha tani, DPR, khususnya Komisi IV, meminta pemerintah menyubsidi pupuk dan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah/beras. Dari tahun ke tahun nilai subsidi pupuk naik: dari Rp 7,8 triliun (2007), jadi Rp 14,1 triliun (2008), dan Rp 17,5 triliun (2009). Pada 2007, Komisi IV mendesak pemerintah menaikkan HPP. Ini kesepakatan bulat dari semua fraksi, tetapi pemerintah tetap bergeming saat itu. Kenaikan HPP baru dilakukan April 2008. Itu artinya, selama 2007 petani tidak menikmati harga baru. Dari sisi waktu, kenaikan HPP per April 2008 tidak tepat. Lazimnya, HPP dibuat sebelum musim tanam dan diberlakukan saat panen raya. Saat HPP dinaikkan, panen tinggal sebulan. Bahkan sebagian besar petani sudah tidak memiliki gabah/beras lagi.

Pada 2008, Komisi IV DPR kembali meminta pemerintah menaikkan HPP. Alasannya, setelah kenaikan harga BBM dua kali selama 2008, ongkos produksi usaha tani naik berkali lipat. Tanpa kenaikan HPP, petani akan merugi. Saat usulan ini dibahas di Panitia Anggaran, pemerintah dan anggota panitia anggaran dari kader partai tertentu justru keberatan dengan alasan kenaikan HPP akan menimbulkan inflasi, walau akhirnya setuju. Baru pada akhir 2008 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan. Dalam inpres yang mulai berlaku 1 Januari 2009 itu, harga per kilogram gabah kering panen (GKP) naik dari Rp 2.200 menjadi Rp 2.400, gabah kering giling (GKG) meningkat dari Rp 2.840 menjadi Rp 3.000, dan beras dari Rp 4.300 menjadi Rp 4.600. Harga gabah/beras yang relatif stabil telah memberikan insentif ekonomi kepada petani.

Prestasi swasembada beras juga tidak lepas dari kerja-kerja di lapangan, seperti yang diemban para penyuluh pertanian dan pegiat LSM. Mereka menularkan inovasi-inovasi, temuan, dan pengetahuan baru kepada petani. Kerja keras itu didiseminasikan melalui Sekolah Lapang Pengelolaan dan Sumber Daya secara Terpadu. Lewat sekolah lapang, petani saling belajar, bereksperimen, dan memecahkan aneka persoalan, mulai dari bibit, hama, ihwal iklim, hingga pupuk. Namun, dari semua level, sesungguhnya keberhasilan ini adalah buah "semangat dan kerja keras petani" yang tak kenal lelah walau masalah--yang seharusnya bisa diselesaikan pemerintah--berulang menghadang, seperti kelangkaan pupuk setiap musim tanam dan harga gabah yang turun saat panen. Bisa dibayangkan bagaimana terganggunya berbagai sektor, jika semusim saja petani mogok tanam. Sungguh terlalu, jika peran petani yang sedemikian menentukan ini tak disebut.

Dalam banyak hal, justru pemerintah yang lalai menunaikan tugasnya: pupuk subsidi tak tersedia saat dibutuhkan, jaringan irigasi dibiarkan merana dan rusak, infrastruktur desa tidak memadai, harga gabah anjlok saat panen raya, dan masih banyak lagi. Adalah tugas pemerintah untuk merakit kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan rakyat. Karena itu, bagi pemerintah yang berkuasa (incumbent), klaim yang berlebihan jelas bukan pada tempatnya. Sebab, pada saat prestasi swasembada beras diraih, dalam banyak hal, justru petanilah yang jadi korban dan menanggung beban-derita paling berat.

Dalam kondisi demikian, petani tetap bersemangat berusaha tani. Bahkan, ketika didera kelangkaan pupuk atau harga (pupuk) melambung tinggi, sebagian petani kreatif mencoba melepaskan diri dari ketergantungan akut pada pupuk kimia. Mereka membuat pupuk organik dan mempraktekkan SRI (system of rice intensification), sebuah cara budi daya yang dapat meningkatkan hasil panen. Di Pesantren Pabelan di Jawa Tengah, misalnya. Dengan menerapkan SRI, produktivitas varietas padi Mertani mencapai 9 ton per hektare, hampir dua kali dari rata-rata produktivitas nasional (4,6 ton per hektare). Secara nasional, pola SRI telah dipraktekkan di lahan seluas 36 ribu hektare lebih dengan rata-rata produksi 7,47 ton per hektare.

Untuk meningkatkan, atau paling tidak mempertahankan, swasembada, Komisi IV DPR meminta pemerintah, pertama, memperluas subsidi benih. Kini sudah ada banyak varietas baru dengan produktivitas yang makin baik dan umur semakin genjah. Produktivitas bisa 8-9 ton per hektare, bahkan ada yang sampai 11 ton per hektare. Sebenarnya petani amat responsif terhadap varietas unggul baru. Namun, varietas-varietas ini tidak maksimal diadopsi petani karena kurangnya promosi sebelumnya.

Kedua, subsidi pupuk harus dikaji ulang. Tidak hanya sistem distribusi, besaran, dan jenis, tapi juga keseimbangan antara subsidi pupuk organik dan anorganik. Selama ini proporsi subsidi pupuk organik dan anorganik tidak seimbang. Pada 2008, dari Rp 14,1 triliun dana subsidi pupuk, alokasi untuk pupuk organik cuma Rp 345 miliar. Skema subsidi seperti ini membuat petani tergantung pada pupuk anorganik. Untuk mengurangi ketergantungan, semua ini harus ditata-ulang. Proporsi pupuk organik dalam bentuk penyediaan sarana/faktor pendukung agar petani dapat memproduksi pupuk organik di setiap desa perlu ditingkatkan, seperti pengembangan ternak penghasil kompos.

Ketiga, realokasi anggaran. Pada 2009 ini anggaran Departemen Pertanian cuma Rp 8,4 triliun dari lebih Rp 1.000 triliun nilai APBN. Ini adalah keputusan presiden dengan persetujuan DPR. Tahun lalu, dengan anggaran Rp 8,3 triliun, kinerja Departemen Pertanian cukup mencorong. Salah satunya adalah peningkatan produksi padi (5,6 persen), jagung (14,7 persen), tebu (12,9 persen), daging ayam (16,1 persen) dan buah-buahan (11,1 persen). Adalah sebuah keniscayaan, kapasitas departemen ini akan meningkat jika anggarannya dinaikkan.

Keempat, pembangunan irigasi yang tidak hanya terfokus pada pembangunan bendungan besar tetapi juga pembangunan irigasi yang bisa dikelola oleh masyarakat secara mandiri seperti pengelolaan sumber-sumber air yang ada di masyarakat.

Sekali lagi, berterimakasihlah kepada petani. Mereka, yang kata Ajip Rosidi “terbungkuk sejak pagi, melalui hari-hari keras nan sunyi”, telah menyubsidi nasi penguasa, pengusaha, dan orang-orang kaya di kota. Harus diakui, karena kebijakan yang amat takut kepada asumsi inflasi, karena kebijakan yang bias kepentingan industri, harga keringat petani masih tak sebanding dengan kontribusi mereka untuk negeri ini. Maka, kepadanya kita mesti menghaturkan keberadaban, meski hanya lewat sepenggal iklan. *

Penulis adalah anggota Komisi IV (pertanian, kehutanan, kelautan-perikanan) DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

Monday, February 23, 2009

Kalimantan, Potensi yang Terabaikan

Oleh: Bambang PS Brodjonegoro
Sumber Kompas, 23 Februari 2009

Dalam periode krisis ekonomi global seperti saat ini, fokus kebijakan ekonomi lebih banyak menyentuh permasalahan ekonomi makro, sektor keuangan, dan berdimensi jangka pendek. Berbagai analisis dan estimasi mengenai dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia membuat semua pihak terpaku pada upaya menahan pelambatan laju pertumbuhan ekonomi, mencegah bertambahnya pengangguran, serta menekan pertambahan jumlah orang miskin.

Tingkat keberhasilan berbagai upaya tersebut pada akhirnya akan bergantung pada fundamental perekonomian Indonesia sendiri yang tidak hanya terdiri atas sederetan indikator ekonomi makro, tetapi juga pada kekuatan perekonomian domestik. Meskipun sudah diakui mempunyai pasar domestik yang besar dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pertanyaan besarnya adalah sudahkah Indonesia mengoptimalkan potensi tersebut dengan memberdayakan seluruh wilayah negara dari Sabang sampai Merauke.

Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2009, yang belum lama ini dipublikasikan oleh Bank Dunia, menyampaikan pentingnya perekonomian suatu negara mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayah yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas apabila berhasil menelurkan kebijakan ekonomi yang sudah mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayahnya.

Sukses kelola kepadatan ekonomi

Singkatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah harus memerhatikan 3D, yaitu density (kepadatan), distance (jarak), dan division (bagian). Laporan itu menyimpulkan, kemajuan perekonomian di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang terjadi karena perekonomian berhasil mengelola kepadatan ekonomi yang tinggi (PDB per kilometer persegi), memperpendek jarak antarpusat ekonomi, serta menciptakan integrasi ekonomi yang menembus segala macam batas administratif.

Laporan itu juga memperkirakan, India, China, dan ASEAN akan menjadi wilayah perekonomian berikutnya yang mengalami pertumbuhan tinggi berkesinambungan. Tingkat kepadatan ekonomi yang tinggi di India, makin dekatnya pusat-pusat ekonomi di China, serta integrasi ekonomi ASEAN adalah alasan utama dari perkiraan tersebut.

Secara kontras juga ditampilkan fakta tentang perekonomian Afrika yang sulit berkembang pesat karena tidak adanya upaya mengoptimalkan penduduk dan wilayah mereka.

Di berbagai perekonomian yang sudah digolongkan maju, kebijakan perekonomian sudah langsung menyentuh dinamika penduduk dan wilayah yang ditunjukkan dengan fenomena aglomerasi (sinergi berbagai aktivitas ekonomi yang berkaitan), migrasi (perpindahan penduduk antarwilayah), serta spesialisasi ekonomi wilayah. Agar fenomena tersebut dapat dioptimalkan, perekonomian harus mampu mengelola kebijakan urbanisasi, pembangunan berbasis kewilayahan, serta integrasi wilayah.

Terjadinya konsentrasi ekonomi Indonesia yang luar biasa di Pulau Jawa bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif terlihat dari munculnya urbanisasi di Pulau Jawa yang kemudian menciptakan aglomerasi serta tumbuhnya sejumlah kota besar yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dan Indonesia.

Jarak antarpusat aktivitas ekonomi di Pulau Jawa juga semakin dekat dengan infrastruktur yang relatif lengkap dan terpelihara. Integrasi ekonomi antarwilayah di Jawa juga semakin kentara dengan munculnya beberapa daerah metropolitan di sekitar kota besar serta spesialisasi ekonomi di tingkat kabupaten dan kota.

Sisi negatif muncul sebagai akibat makin beratnya beban Pulau Jawa menopang perekonomian nasional serta belum dioptimalkannya perekonomian luar Jawa dengan strategi pembangunan wilayah yang mencerminkan unsur-unsur yang ditampilkan dalam laporan Bank Dunia di atas.

Perhatian khusus perlu diberikan kepada Pulau Kalimantan yang luas wilayahnya, sedikit jumlah penduduknya, tetapi berperan penting sebagai penghasil devisa dari kekayaan alamnya dan lebih jauh lagi akan sangat menentukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.

Ekspedisi Kompas menunjukkan betapa menyedihkannya kondisi infrastruktur pulau yang demikian penting bagi Indonesia dan bahkan bagi dunia apabila dilihat dari fungsi hutan tropis dalam kelestarian lingkungan hidup. Unsur-unsur 3D jelas tidak muncul dalam perekonomian wilayah Kalimantan.

Hampir tidak ada konsentrasi kegiatan ekonomi perkotaan yang bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (kecuali mungkin Balikpapan dalam skala kecil), jauhnya jarak antarpusat ekonomi (ditambah buruknya kondisi jalan), serta hampir tidak adanya integrasi ekonomi antarwilayah (kecuali Samarinda-Balikpapan-Tenggarong dalam skala kecil).

Kombinasi kebijakan urbanisasi

Tersebarnya penduduk di hampir keseluruhan wilayah pulau jelas akan menyulitkan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang belakangan ini tidak secepat pertumbuhan ekonomi Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kombinasi kebijakan urbanisasi, pembangunan wilayah, serta integrasi ekonomi wilayah harus menjadi dasar kebijakan ekonomi wilayah.

Suka tidak suka, percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan akan bergantung pada pertumbuhan beberapa wilayah kota besar yang akan tercipta apabila kebijakan urbanisasi dikelola dengan baik.

Konsekuensinya, akan tercipta kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang harus segera diatasi dengan pembangunan wilayah yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat pedesaan sekaligus mendorong integrasi ekonomi di tingkat provinsi.

Tuntutan pada pemerintah

Para bupati dan wali kota dituntut untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar warganya, sedangkan gubernur harus menunjukkan kepiawaiannya menciptakan integrasi ekonomi provinsinya dengan mendorong spesialisasi perekonomian setiap kabupaten dan kota yang kemudian diintegrasikan menjadi kekuatan ekonomi dan daya saing provinsinya.

Pemerintah pusat, dalam kerangka strategi pembangunan wilayah pulau, harus berkomitmen membangun trans-Kalimantan bersama pemerintah daerah agar 3D sebagai syarat percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan bisa terwujud.

Syarat 3D juga berimplikasi pada pentingnya peran perbatasan dengan Malaysia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus mematahkan mitos yang berlaku di Indonesia bahwa daerah perbatasan hampir pasti menjadi daerah tertinggal. Bakal terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN seharusnya akan menciptakan peluang berlimpah bagi daerah perbatasan.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI

Friday, February 20, 2009

Memutus Rantai Kemiskinan

Oleh: Arif Satria
Sumber: Kompas, 20 Februari 2009

Pelajarilah laut, sebelum laut memberi ”pelajaran” kepada kita. Cuaca buruk sepanjang musim angin barat sebenarnya hal biasa. Nelayan sudah terbiasa dan biasanya memanfaatkan musim itu untuk memperbaiki jaring atau perahu.

Persoalannya, cuaca buruk yang terjadi saat ini berlangsung lebih lama dan fluktuasinya sulit diprediksi nelayan. Oleh karena itu, sampai saat ini nelayan belum melaut lagi meski biasanya pada Februari mereka sudah melaut.

Kondisi ini membuat nelayan belum bisa gembira kendati pemerintah sudah menurunkan harga bahan bakar minyak. Mestinya, kebijakan ini melegakan karena 40-50 persen biaya operasional melaut untuk BBM.

Ujung dari situasi tersebut, untuk menutupi kebutuhan hidupnya, utang nelayan makin memuncak. Kemiskinan pun mengancam. Bagaimana rantai persoalan nelayan bisa diputus?

Ada tiga strategi mata pencarian yang bisa dilakukan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda agar nelayan tidak hanya bergantung pada hasil penangkapan.

Strategi ini dilakukan nelayan dengan tujuan berbeda. Nelayan lapisan atas melakukannya untuk akumulasi modal, sementara yang lapisan bawah hanya agar dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, penguatan dan pengembangan strategi nafkah ganda nelayan lapisan bawahlah yang harus dilakukan.

Untuk itu, perlu dua macam strategi nafkah ganda, yakni perikanan dan nonperikanan. Kegiatan alternatif perikanan adalah usaha budidaya, pengolahan ikan tradisional, dan bakul ikan. Di sini, istri nelayan berperan besar, khususnya dalam pengolahan dan bakul ikan.

Selain itu, budidaya laut maupun air tawar perlu didorong karena potensinya sangat besar. Namun, mengubah nelayan menjadi pembudidaya ikan bukan hal mudah.

Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Problemnya tidak semata teknologi, tetapi juga modal dan budaya. Banyak program bantuan pemerintah untuk ini gagal karena variabel yang dipertimbangkan hanya teknologi. Padahal, menangkap ikan di laut lepas sangat kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring, dan sebagainya.

Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Diversifikasi alat tangkap memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, kecuali saat musim angin barat.

Untuk ketiga strategi mata pencarian itu perlu strategi permodalan yang khusus, sesuai siklus usaha nelayan.

Sebenarnya, kita patut berterima kasih kepada tengkulak, punggawa, atau toke, yang saat paceklik berperan penting menyelamatkan rumah tangga nelayan. Kegiatan penangkapan penuh ketidakpastian dan institusi patron-klien antara toke dan nelayan mampu mengatasi ketidakpastian itu. Sulit bagi nelayan lepas dari ikatan itu selama kita tidak mampu menciptakan institusi baru yang lebih baik.

Nelayan butuh uang kontan dengan prosedur mudah dan fleksibilitas tinggi, termasuk waktu dan besaran pembayaran yang sesuai dengan karakteristik usaha nelayan. Bunga pinjaman bukan variabel terpenting bagi nelayan meski bunga rendah tentu lebih baik.

Kredit usaha rakyat (KUR) yang diagung-agungkan pemerintah kenyataannya sangat kaku dan sulit diterima nelayan. KUR terperangkap pada aturan bank pelaksana. Yang paling memungkinkan adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) karena relatif independen sehingga bisa fleksibel dalam mekanisme pinjaman.

LKM sebenarnya dikembangkan pemerintah sejak 2004 di 255 kabupaten/kota. Namun, sejak 2008 dihentikan, diganti KUR dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

Bisa meniadakan LKM

Ada kekhawatiran, program baru itu bisa meniadakan LKM yang sebenarnya diinisiasi oleh pemerintah juga.

Selain dananya kecil, PNPM belum menyentuh semua kabupaten/kota pesisir. Mekanisme dana bergulir ala PNPM yang diusulkan Kantor Menko Kesra bertentangan dengan aturan Menteri Keuangan. Sistem administrasinya pun rumit.

Strategi mata pencarian dan strategi permodalan itu sangat bergantung pada strategi makro. Sejauh mana sektor perikanan dan kelautan mendapat tempat dalam kebijakan strategis nasional. Kelautan dan perikanan belum menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan strategis nasional.

Saat mendesain KUR, misalnya, sektor ini tidak masuk dalam pertimbangan. Dalam kenaikan harga BBM, sektor ini juga tidak dipikirkan dampaknya meski nelayan jadi korban utamanya.

Dalam stimulus fiskal yang diluncurkan pemerintah, dari Rp 71,3 triliun, alokasi untuk pedesaan hanya Rp 1,05 triliun, atau sekitar 1,4 persen. Untuk desa pesisir tentu tak lebih dari 0,7 persen.

Padahal saat nelayan menderita, stimulus fiskal bisa untuk menggerakkan ekonomi perikanan rakyat. Gambaran ini menegaskan, kebijakan pemerintah masih bias kota dan darat. Mungkinkah pasca-Pemilu 2009 bisa membalikkan keadaan sehingga sektor ini tidak marjinal lagi?

Penulis Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB

Pentingnya Stimulus Infrastuktur

Oleh: Pande Radja Silalahi
Sumber: Jurnal Nasional, 20 Februari 2009

Pemerintah dan DPR pada tingkat pertama perlu menyamakan pemahaman atas pengertian stimulus ekonomi yang masih berbeda.

Belum lama berselang, pemerintah melalui Menteri Keuangan menyampaikan rencana stimulus perekonomian Indonesia. Total dana stimulus fiskal diperkirakan mencapai Rp71,3 triliun yang terdiri dari (1) penghematan pajak sebesar Rp43 triliun, (2) subsidi pajak dan bea masuk Rp13,3 triliun, (3) subsidi energi Rp4,2 triliun, (4) PNPM sebesar Rp0,6 triliun, (5) tambahan belanja infrastruktur sebesar Rp7,7 triliun, dan (6) KUR dan BLK sebesar Rp2,5 triliun.

Rencana stimulus mendapat tanggapan yang beraneka ragam dari masyarakat dan berbagai tanggapan muncul dan mengemuka terutama karena belum ada pemahaman yang sama atas stimulus ekonomi. Sebagian anggota masyarakat beranggapan bahwa yang dimaksud dengan stimulus adalah tambahan pengeluaran, dan sebagian lagi menafsirkannya sebagai peningkatan daya beli, yang berarti, tidak hanya terbatas pada penambahan pengeluaran. Perbedaan pendapat tersebut tidak dapat dibiarkan semakin meruncing. Oleh karenanya pemerintah dan DPR pada tingkat pertama perlu menyamakan pemahaman atas pengertian stimulus ekonomi tersebut. Hanya dengan cara seperti itu pembahasan yang menjurus pada pembentukan persetujuan berjalan mulus sehingga tujuan yang diinginkan darinya dapat tercapai dengan baik.

Defisit APBN

Untuk menghadapi dampak krisis ekonomi global masing-masing negara di dunia berusaha menciptakan dan atau memberi stimulus pada ekonominya agar jangan sampai menciut ke besaran yang tidak diinginkan. Amerika Serikat (AS) yang dalam beberapa tahun belakangan terus mengalami defisit APBN diatas 2% dari PDB nya terpaksa memperbesar defisitnya. Peningkatan defisit tersebut terkait dengan peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi, dan untuk menutupi defisit tersebut AS akan memperbesar utangnya walaupun dewasa ini utang pemerintah AS telah sangat besar.

Realisasi APBN 2008 ternyata berbeda secara signifikan dari APBN-P 2008 yang telah disetujui oleh DPR. Defisit yang semula diperkirakan akan mencapai 2,1 persen dari PDB atau sekitar Rp94,5 triliun realisasinya jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 0,1persen dari PDB atau hanya sekitar Rp4,2 triliun. Selanjutnya dalam UU APBN 2009 defisit APBN diperkirakan sebesar 1 persen dari PDB atau sekitar Rp51,3 triliun. Tetapi setelah memperkirakan dampak dari krisis ekonomi dunia terhadap Indonesia, pemerintah beranggapan perlu melakukan berbagai penyesuaian. Penyesuaian diperlukan karena besaran-besaran pos penerimaan dan pengeluaran mengalami perubahan. Untuk dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan justru lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya pemerintah merencanakan memperbesar defisit APBN 2009 menjadi 2,5 persen dari PDB atau mencapai Rp129,5 triliun, atau meningkat sebesar Rp78,1 triliun. Berbarengan dengannya pemerintah merencanakan menambah dana stimulus sebesar Rp15 trilun diatas stimulus sebesar Rp56,3 triliun yang telah disepakati bersama DPR sebelumnya (UU APBN 2009).

Salah satu pos pengeluaran yang akan meningkat adalah belanja untuk infrastruktur yang ditambah sebesar Rp7,7 triliun. Usulan pemerintah untuk menambah belanja infrastuktur ekonomi adalah usulan yang baik yang perlu mendapat dukungan. Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1997 yang lalu pembangunan infrastuktur ekonomi seperti, jalan, pelabuhan, jembatan dan lainnya sangat seret. Bahkan pemeliharaan infrastuktur ekonomi tidak seperti yang seharusnya sehingga data atau hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa kondisi jalan, jembatan dan pelabuhan di Indonesia sangat memprihatinkan.

Walaupun pembangunan dan atau perbaikan infrastuktur ekonomi pantas mendapat dukungan tidak berarti dukungan harus diberikan secara membabi buta. Dewasa ini dan dalam tahun-tahun mendatang Indonesia akan menghadapi masalah yang sangat berat yaitu tingginya tingkat pengangguran dan besarnya jumlah penduduk miskin. Mempertimbangkan hal ini tidak berlebihan bila anggota masyarakat dan wakilnya di DPR meminta kepada pelaksana berbagai proyek mempertimbangkan penciptaan lapangan kerja dan kemiskinan dalam kegiatan proyeknya. Pertimbangan akan hal tersebut semakin penting karena dampak krisis ekonomi dunia akan semakin terasa pada tahun 2009 ini.

Pertumbuhan Melambat

Baru-baru ini BPS telah mengumumkan kinerja ekonomi Indonesia tahun 2008. Secara keseluruhan PDB mencapai pertumbuhan sebesar 6,1persen yang berarti sedikit dibawah yang diperkirakan sebelumnya. Raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 tersebut adalah relatif tinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara di dunia. Namun bila diamati secara lebih rinci perasaan waswas tidak dapat disembunyikan. Pada triwulan terakhir tahun 2008 PDB secara keseluruhan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 3,6 persen dibandingkan triwulan sebelum, dan kontraksi tersebut lebih besar dan mencapai 3,8 persen untuk PDB Tanpa Migas. Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan pada triwulan terakhir tahun 2008 mengalami kontraksi sebesar 22,9 persen. Sedang Sektor Industri Pengolahan mengalami kontraksi sebesar 2,5 persen dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mengalami kontraksi sebesar 2,6 persen. Perkembangan yang memprihatinkan dari ketiga sektor ini memberi indikasi bahwa masalah penciptaan lapangan kerja dan masalah penduduk miskin tampaknya akan semakin mengemuka pada tahun 2009 yang akan datang.

Kecenderungan perkembangan yang memprihatinkan ini akan dijadikan komoditi politik bila perbaikan secara berarti tidak dapat diciptakan. Seperti dikemukakan oleh pemerintah, pada tahun 2009 yang sedang berjalan ini pengeluaran pemerintah secara total akan mengalami penurunan dibandingkan dengan yang dianggarkan sebelumnya. Selanjutnya pemerintah telah merevisi kebawah tingkat pertumbuhan ekonomi yang mungkin diraih dari 6 persen menjadi (4%-5%). Dengan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan ini hampir dapat dipastikan bahwa tingkat pengangguran akan dapat ditekan secara berarti. Data mutakhir dari ekonomi Indonesia dapat diketahui bahwa Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang jauh diatas 5 persen agar pengangguran dapat ditekan dan jumlah orang miskin dapat dikurangi secara berarti.

Para ekonom di dunia dewasa ini sependapat menyatakan bahwa stimulus ekonomi perlu dilakukan oleh masing-masing Negara dan mereka menganjurkan agar stimulus disesuaikan dengan kondisi masing-masing Negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia keraguan pentingnya stimulus ekonomi hampir tidak ada. Walau demikian yang perlu dijawab adalah bagaimana stimulus tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus mengobati penyakit ekonomi Indonesia yaitu pengangguran dan kemiskinan.

Penulis adalah Ekonom senior CSIS

Thursday, February 19, 2009

Entrepreneurship makes new job creation possible

By: Agung B. Waluyo
Source: The jakarta Post, february 19, 2009

Unemployment among university graduates in Indonesia reached the alarming figure of 1.1 million at the end of 2008. One way of reducing this number is through a systematic entrepreneurship education program for students. For this to have any chance of sustainable success, a synergy is needed involving government, university, business and social figures.

Entrepreneurship is demonstrated by the power of turning ideas into reality, no matter how silly or how crazy they are. Entrepreneurship has the power of equipping and empowering students who do not even have any business background, to get to the stage of innovative venture creation.

This has been happening in the United States for more than 35 years. Donald F. Kuratko in Entrepreneurship: Theory and Practice noted that the number of colleges offering entrepreneurship-related programs has grown from a handful to more than 1,600 between 1995 and 2005.

The US venture creation record is too good to be true. Kuratko shows that within that same decade, the average number of new business incorporations was astonishingly high. Each year, the country saw an average of 600,000 business startups, expansions, or development. The highest was in 1995, when 807,000 new small firms were established. Since 1980, Fortune 500 companies have shed more than 5 million jobs, but at the same time, more than 34 million new jobs have been created.

What is entrepreneurship? In Indonesia, it has been mistakenly reduced to trading, which is really a subset of entrepreneurship. This misconception has led to entrepreneurship programs becoming merely training grounds for trading activities. A huge part of entrepreneurship training should indeed involve opportunity creation, innovation and calculated-risk taking.

Tina Zeelig, executive director for Stanford Technology Ventures Program, defines entrepreneurship as the pursuit of opportunity beyond the resources you control. William J. Baumol, senior economist and professor emeritus at Princeton University and co-author of Good Capitalism, Bad Capitalism, and the Economics of Growth and Prosperity cited that entrepreneurial processes involve the discovery and fulfillment of opportunity.

A successful entrepreneur will steer an idea into a commercial reality. In order to realize it, one needs to acquire knowledge and skills in addition to being bold, imaginative, resourceful and constantly learning.

Ciputra, the founder of the Ciputra Group, defines entrepreneurship as the skill that would turn trash and scrap into gold. His four-decade experience leads him to believe that true entrepreneurs generate added-value by creating opportunity to use innovation and are willing to take calculated mental and financial risks in order to propel his idea into a commercial success.

If entrepreneurship is such an appealing factor for job creation and eventually drive the Indonesian economy forward, can entrepreneurship be taught? If yes, what are the best approaches and practices of entrepreneurship training for Indonesian university students?

This takes us to the perennial debate about whether entrepreneurs are created or born. Peter Drucker, the leading management thinker of our time, went straight to the heart of the issue when he said: "The entrepreneurial mystique? It's not magic, it's not mysterious, and it has nothing to do with the genes. It's a discipline. And, like any discipline, it can be learned."

We do not need to go far to prove Drucker's statement. In 2007, the Universitas Ciputra Entrepreneurship Center initiated the Campus Entrepreneur Program (CEP) in cooperation with the Graduate School of the University of Gadjah Mada (UGM).

The result was amazing. This experience convinced us that entrepreneurship can be taught.

Theoretically, similar programs should be created in Indonesian major cities to scale up the impact of the CEP in Indonesia. However, its success depends highly on the quality of the trainers who have had years of experience in the real business world and are knowledgeable in entrepreneurship based learning methods.

Our first priority is therefore to focus on training and creating teams of trainers that will be able to create similar success throughout Indonesia. Two hundred professors from 60 universities throughout Indonesia have been trained to perform such a task. However, it is not enough because the five-day Training of Trainers (TOT) covers only the foundation and the philosophy of the CEP.

What we need is that these going-to-be entrepreneurship trainers experience the full course of the CEP in order to really deal with the experiential learning the CEP students have. This is so that the trainers will gain their own personal experience of becoming an entrepreneur.

If we talk about 2,800 existing colleges and universities in Indonesia, we need a greater commitment from every stakeholder: Government, Academicians, Business society and Social figures (GABS). The synergy should work hand in hand to create a fertile breeding ground and atmosphere for new job creation; a great amount of government funding, university entrepreneurship program development by academicians, mentorship from business society and social value guidelines from social figures.

The writer is an entrepreneurship education manager at the Universitas Ciputra Entrepreneurship Center.

Benar-benar Kebal Krisiskah Cina?

Oleh: Kenneth Rogoff
Sumber: Koran Tempo, 19 Februari 2009

Dalam pidatonya pada sidang tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Perdana Menteri Cina Wen Jiabao menjelaskan rencana pemerintahnya untuk melawan meltdown ekonomi global dengan belanja publik dan pinjaman. Ia menjamin pertumbuhan tahunan Cina akan tetap berada di atas 8 persen pada 2009. Pernyataan Wen ini bagaikan susu hangat bagi para pemimpin politik dan bisnis global yang mati rasa akibat resesi pada sidang tersebut.

Tapi apakah pemerintah Cina punya kelengkapan yang diperlukan untuk menjamin ekonominya tetap begitu kenyal? Mungkin, tapi semuanya belum jelas. Resesi yang semakin parah di Amerika telah memukul sektor ekspor Cina, seperti juga di mana-mana di Asia. Masalah mendesaknya terletak pada krisis kredit, bukan di Cina melainkan di Amerika Serikat dan Eropa, di mana banyak importir kecil dan menengah tidak bisa memperoleh kredit perdagangan yang mereka butuhkan untuk melakukan pembelian dari luar negeri

Walhasil, daerah-daerah pantai Cina, yang dulu mengalami booming, sekarang bagaikan kota hantu, sementara puluhan ribu pekerja yang terkena PHK berkemas-kemas pulang ke desanya masing-masing. Begitu juga di kawasan industri Korea di Beijing, di mana mungkin separuh dari 200-300 ribu orang, terutama para pekerja (dan keluarganya) yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Korea yang memproduksi barang di Cina untuk diekspor, kabarnya telah juga pulang ke kampungnya masing-masing.

Dengan cadangan devisa sekitar US$ 2 triliun, Cina memang punya banyak uang untuk mendanai kenaikan belanja pemerintah yang besar dan membantu memagari pinjaman bank agar tidak melimpah terlalu jauh. Banyak peneliti terkemuka masalah Cina yakin bahwa pemerintah akan berupaya sekuat tenaga mempertahankan pertumbuhan di atas 8 persen. Tapi ada triknya. Walaupun berhasil dalam jangka pendek, pergeseran yang begitu besar ke arah belanja pemerintah hampir pasti bakal memperlambat pertumbuhan pada tahun-tahun ke depan di ujung jalan.

Sederhananya, masih belum jelas bahwa proyek infrastruktur yang tidak begitu penting pantas dibangun, mengingat Cina sudah menginvestasikan lebih dari 45 persen dari pendapatannya sebagian besar di bidang infrastruktur. Benar, stimulus fiskal yang dikucurkan pemerintah Cina secara efektif terdiri atas pinjaman ke sektor swasta melalui sektor perbankan yang dikontrol dengan ketat. Tapi apakah ada alasan untuk meyakini bahwa pinjaman-pinjaman baru ini akan disalurkan ke proyek-proyek yang berarti, bukan kepada para debitor yang punya koneksi politik?

Sebenarnya keberhasilan Cina sampai saat ini terletak pada adanya keseimbangan antara ekspansi sektor pemerintah dan ekspansi sektor swasta. Meningkatkan profil pemerintah yang sudah terlalu besar itu dalam perekonomian Cina bisa merusak keseimbangan yang sangat sensitif ini, sehingga bisa menurunkan pertumbuhan di masa datang. Lebih baik Cina mencari jalan menggantikan permintaan konsumsi swasta di AS dengan konsumsi permintaan swasta di dalam negeri, tapi cara seperti ini tampaknya tidak mampu bergerak dengan cepat ke arah yang diinginkan. Jika investasi pemerintah harus menjadi kendaraan utamanya, jauh lebih baik membangun sekolah dan rumah sakit yang sangat dibutuhkan daripada "jembatan yang tidak tentu hendak ke mana", seperti yang dilakukan Jepang ketika menempuh jalan serupa pada 1990-an. Sayangnya, para pejabat lokal Cina perlu berlomba dalam "turnamen pertumbuhan" ini untuk naik jabatan. Sekolah dan rumah sakit jelas tidak menghasilkan pendapatan pajak yang cepat serta pertumbuhan PDB yang diperlukan untuk mengalahkan pesaing-pesaing politik dalam perlombaan ini.

Bahkan, sebelum mulai terjadi resesi global, sudah ada alasan yang kuat untuk merasa ragu terhadap keberlanjutan paradigma pertumbuhan Cina. Kerusakan lingkungan tampak jelas, bahkan di mata pengamat sepintas. Dan para ekonom sudah mulai berkalkulasi bahwa, jika Cina terus mempertahankan laju pertumbuhannya yang tinggi itu, ia segera bakal menempati pangsa ekonomi global yang terlalu besar untuk dapat mempertahankan trajectory ekspornya akhir-akhir ini. Maka, pergeseran ke arah konsumsi dalam negeri yang lebih besar bagaimanapun juga tidak terhindarkan. Resesi global telah membawa masalah itu ke depan beberapa tahun lebih cepat.

Menariknya, Amerika Serikat menghadapi sejumlah tantangan serupa. Selama bertahun-tahun AS telah mencatat pertumbuhan uang cepat dengan menunda perhatian terhadap berbagai persoalan, mulai dari persoalan lingkungan sampai persoalan infrastruktur dan pelayanan kesehatan. Bahkan, tanpa krisis finansial seperti yang dihadapinya saat ini, penanganan kelemahan di bidang-bidang ini sudah pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Bukannya hendak mengatakan bahwa AS dan Cina itu sama. Salah satu tantangan besar ke depan adalah menemukan jalan mengendalikan tabungan kedua negara ini, mengingat ketidakseimbangan perdagangan yang besar di antara kedua negara yang menurut banyak pihak merupakan bibit krisis finansial yang melanda dunia saat ini.

Saya teringat akan tantangan-tantangan tersebut baru-baru ini ketika seorang peneliti Cina menjelaskan bahwa laki-laki di Cina terpaksa menabung guna mendapatkan istri. Pada pekan yang sama, seorang mahasiswa saya yang kehilangan pekerjaan menjanjikan di sektor finansial mengatakan bahwa ia tidak bisa menabung karena hidup di New York sangat mahal! Perbedaan sosial ini tidak ada hubungannya dengan nilai tukar yuan-dolar, walaupun itu juga penting.

Bagaimanapun, krisis finansial sekarang ini mungkin bakal secara signifikan memperlambat pertumbuhan jangka menengah Cina. Tapi apakah para pemimpin Cina dapat menstabilkan situasi dalam waktu dekat ini? Saya harap begitu. Tapi saya lebih diyakinkan oleh rencana yang lebih condong ke arah konsumsi domestik, peningkatan kesehatan, dan pendidikan daripada rencana yang berpijak pada strategi pertumbuhan yang sama selama 30 tahun terakhir.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Harvard University, Mantan Chief Economist Dana Moneter Internasional

Wednesday, February 18, 2009

Perbankan Nasional Belum Efisien

Oleh: Ukay Karyadi
Sumber: Investor Daily, 18 Februari 2009

Harian Investor Daily edisi Jumat (13/2) lalu, menurunkan tulisan yang menyebutkan perbankan nasional dinilai tidak efisien. Padahal efisensi perbankan merupakan sarana penting untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk upaya menggerakan sektor riil

Belum efisiennya perbankan nasional itu bisa dilihat dari masih tingginya selisih (spread) suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan. Inefisiensi di tubuh perbankan nasional, juga tercermin dari tingginya rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO).

Menurut data Bank Indonesia (BI) per Desember 2008, BOPO rata-rata perbankan nasional mencapai 88,59%, jauh di atas rasio ideal yang berkisar 70-80%. Padahal efisiensi perbankan merupakan sarana penting untuk efektivitas kebijakan moneter. Artinya, kebijakan moneter untuk menggerakan sektor riil hanya akan berjalan bila ditunjang sektor perbankan yang efisien.

Maka tidak mengherankan, meski BI telah menurunkan suku bunga acuan ke posisi 8,5% dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menurunkan bunga penjaminan menjadi 9%, kalangan dunia usaha belum merasakan dampaknya. Mereka masih harus menaggung beban suku bunga kredit yang tinggi (rata-rata 16%), malahan untuk sektor konsumsi dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dikenakan suku bunga yang jauh lebih tinggi.

Secara umum, efisiensi perbankan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi biaya dan sisi keuntungan. Menurut Berger dan Master (1997) model pendekatan efisiensi profit lebih unggul dibanding pendekatan efisiensi biaya. Alasannya. Pertama, efisiensi profit telah memperhitungkan inefisiensi dari dua sisi, yaitu sisi input dan output. Sementara efisiensi biaya lebih ditekankan pada sisi input.

Kedua, secara konsep ekonomi, efisiensi profit dapat diterima daripada efisiensi biaya. Ketiga, efisiensi biaya pada prinsipnya didasarkan pada biaya minimum pada suatu level output tertentu, padahal tingkat output tersebut belum tentu berada pada level output optimal.

Struktur Pasar

Mengingat struktur pasar kredit perbankan berpengaruh terhadap efisiensi bank-bank, maka sangat penting untuk mengetahui seperti apa struktur pasar kredit perbankan di Indonesia.

Bila menengok jauh ke belakang, struktur pasar kredit di Indonesia sebenarnya sangat dinamis. Sebelum Paket Kebijakan 1988, bank-bank milik pemerintah (BUMN) sangat mendominasi pasar kredit perbankan di Indonesia. Namun pascapaket kebijakan tersebut diberlakukan, secara perlahan bank swasta mengambil alih share pasar kredit dari bank persero (BUMN), hingga akhirnya pada tahun 1994 bank swasta telah mendominasi pasar kredit.

Pangsa pasar kredit bank persero menurun dari 72% pada tahun 1982 menjadi 42% pada tahun 1994. Di sisi lain, share dari bank swasta meningkat dari 12% (1982) menjadi 45% (1994). Tren ini terus berlangsung sampai krisis ekonomi menerjang Indonesia pada tahun 1997/1998.

Lalu, bagaimana kondisi pasar kredit bank saat ini? Meski jumlah bank umum di Indonesia per Desember 2008 tercatat 124 bank, tapi sifat industri perbankan masih sangat terkonsentrasi. Lihat saja, dengan jumlah hanya empat bank persero saja (Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN), bank-bank milik negara ini pada akhir 2008 menguasai 36,68% aset perbankan, 38,20% dana pihak ketiga (DPK), dan 35,99% pasar kredit perbankan.

Sementara itu, berdasarkan data BI, sudah kian jelas bahwa pada akhir tahun 2008, 10 bank terbesar menguasai 62,22% total aset perbankan, 65,03% DPK, dan 60,76% pasar kredit perbankan. Kondisi industri perbankan yang terkonsentrasi tersebut, dapat membawa konsekuensi bagi perilaku individual bank dalam pasar, termasuk dalam hal perilaku penawaran kredit.

Entitas Bisnis

Pada prinsipnya, bank adalah sebuah entitas bisnis sehingga dapat diperlakukan sebagai sebuah perusahaan lainnya. Sebuah bank akan bereaksi secara optimal terhadap lingkungannya, termasuk struktur industri dan pasar di mana bank tersebut beroperasi. Reaksi optimal bank terhadap lingkungannya ini dapat tercermin dengan perilaku maksimisasi keuntungan ataupun minimisasi biaya.

Namun demikian, perlu digarisbawahi ketika kondisi bank-bank tidak efisien, maka perilaku maksimisasi profit yang dilakukan bank-bank tersebut adalah berupa transfer biaya kepada debitur. Dan ironisnya, hal ini akan terus berlangsung apabila struktur industri perbankan tersebut tidak kompetitif.

Jelas, perilaku maksimisasi profit semacam ini tidak mencerminkan kondisi ideal bagi fungsi intermediasi perbankan, terutama menyangkut tingginya spread suku bunga kredit dan suku bunga simpanan. Tingginya spread ini berpotensi memunculkan permasalahan adverse selection dalam pasar kredit.

Dengan demikian, untuk meningkatkan efisiensi perbankan nasional, maka maka hal utama yang mesti dilakukan adalah dengan cara mendorong kompetisi di pasar kredit. Ini dapat ditempuh salah satunya dengan meningkatkan peran lembaga keuangan di luar bank konvensional, yakni bank syariah dan lembaga keuangan nonbank sebagai sumber-sumber pembiayaan bagi dunia usaha (sektor riil).

Penulis adalah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Alumnus Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI.

Penguatan Sinergi Ekonomi Lokal

Oleh: Mukhaer Pakkanna
Sumber: Koran Jakarta, 18 Februari 2009

Bank Dunia, pada awal 2009, menyampaikan laporan menarik yang berjudul World Development Report (WDR) 2009: Reshaping Economic Geography. Kendati laporan ini memuat perkembangan ekonomi negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia, dalam konteks ekonomi Indonesia, ada dua hal penting yang perlu dicermati, yakni sebagai berikut.

Pertama, pasar pasti menyukai suatu tempat lebih daripada tempat lain. Memerangi terjadinya konsentrasi di suatu tempat sama dengan memerangi kemakmuran. Pemerintah perlu memfasilitasi konsentrasi produksi geografis, tetapi juga membuat kebijakan penyediaan kebutuhan dasar yang lebih universal, misalnya jalan, keamanan, sekolah, dan sanitasi.

Kedua, pemerintah tidak perlu khawatir dengan urbanisasi pesat yang terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta karena hal itu menunjukkan terjadinya kemajuan dalam pembangunan. Kuncinya, mengurangi aspek-aspek negatif dari urbanisasi, seperti kemacetan, kejahatan, dan polusi. Karena itu, urbanisasi harus dikelola dengan baik.

Mencermati Laporan WDR mengingatkan pada Simon Kuznets tentang teori “U Terbalik”. Menurut Kuznets, dalam jangka panjang, kegiatan ekonomi mampu mereduksi disparitas pendapatan. Artinya, kesenjangan pendapatan di awal pembangunan menjadi niscaya, termasuk kesenjangan antara kota dan desa serta antara kaya dan miskin. Laporan WDR yang beraroma neoliberalisme itu mengisyaratkan urbanisasi melalui migrasi masif penduduk desa ke kota adalah hal lumrah jika negara berkembang ingin lebih maju, sebagaimana laiknya Korsel dan Jepang yang dijadikan benchmarking Laporan WDR.

Problem Urbanisasi

Justifikasi urbanisasi tidak sekadar dibidik dalam konteks migrasi dan mobilitas penduduk desa ke kota, tapi ia harus dibidik dalam dinamika penduduk di kawasan perkotaan. Kepadatan penduduk perkotaan bisa dilihat dalam dinamika ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut Prijono (2001), konsentrasi penduduk memiliki korelasi positif terhadap aktivitas ekonomi. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana lengkap.

Data berbicara, suatu negara atau daerah dengan tingkat perekonomian lebih tinggi juga memiliki tingkat urbanisasi lebih tinggi. Begitu pun sebaliknya. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang tingkat urbanisasinya masih sekitar 35–40 persen.

Konsentrasi penduduk juga memiliki korelasi positif terhadap persoalan sosial dan budaya. Meningkatnya angka kriminalitas dan patologis sosial diyakini karena kepadatan penduduk yang tidak diiringi perluasan akses terhadap sumber-sumber sosial-ekonomi formal. Dengan demikian, yang terjadi adalah aktivitas informalisasi sosial-ekonomi yang muaranya melahirkan underground economy.

Kerap kali problem underground ini diiringi dengan gejala urban deprivation (DT Herbert, 1975). Gejala ini ditandai dengan penurunan tingkat kualitas penduduk perkotaan diiringi peningkatan pesat sektor informal, memburuknya kualitas kondisi ekonomi dan infrastruktur, serta fungsi public services terdegradasi. Lebih jauh dari itu, eskalasi tingkat kesenjangan sosial terus menganga lebar, yang diikuti tingkat konsumsi memburuk dan kualitas manusia terpuruk. Problem urban deprivation ini semakin sulit ditangani tatkala limpahan krisis ekonomi global terus melahirkan angka pengangguran dan kemiskinan baru perkotaan.

Dinamika ekonomi perkotaan dengan pola urbanisasi setidaknya hanya mampu memompa disparitas ekonomi. Tidak mengherankan jika kemiskinan akut justru terjadi di sekitar wilayah perkotaan, yang besar kemungkinan mereka adalah produk dari migrasi penduduk desa ke kota. Mereka inilah yang memenuhi sektor jasa informal, seperti pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, tukang bangunan, ojek, dan buruh rendahan.

Sinergi Ekonomi

Mengikuti alur berpikir Laporan WDR meniscayakan pembangunan ekonomi lokal/desa menjadi tersendat. Para pengambil kebijakan jelas akan mengikuti pola penguatan ekonomi urban dengan meninimalisasi efeknya berupa pengadaan infrastruktur dan kelembagaan ekonomi kota. Pola ini hanya menempatkan ekonomi lokal sebagai penyuplai sumber daya potensial ketimbang menguatkan keterkaitan ekonomi lokal-kota yang saling bersinergis.

Pola ini jelas kontradiktif dengan sprit otonomi daerah yang lebih memprioritaskan penguatan ekonomi lokal. Padahal dalam spirit itu seyogianya setiap daerah otonom dirancang untuk dijadikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan basis pengembangan ekonomi lokal. Dengan demikian, karakteristik dan keunggulan khas masing-masing daerah akan tampak. Hal ini sangat penting dalam membangun struktur ekonomi nasional di tengah badai krisis ekonomi.
Dalam pengembangan ekonomi lokal, yang dibutuhkan adalah membangun dialog, kolaborasi, atau kemitraan para pihak yang meliputi pemerintah daerah, para pengusaha, dan organisasi-organisasi masyarakat lokal (Ellwein et al, 2006). Tentu bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi dan berkelanjutan serta kesempatan kerja penuh melalui meningkatnya kegiatan investasi di daerah.

Pengembangan ekonomi lokal tidak semata menekankan pada aspek ekonomi, tetapi lebih pada pendekataan partnership, baik pemerintah, pengusaha, dan organisasi masyarakat lokal. Oleh karena itu, seluruh pelaku pembangunan harus terlibat dalam proses diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal (Afifi, 2008). Lebih dari itu, diperlukan pula linkages antara aspek produksi dan pemasaran produk unggulan lokal serta linkages antara ekonomi perkotaan dan perdesaan sehingga terjalin kesinambungan kegiatan ekonomi antara hulu-hilir. Mozaik ekonomi Indonesia ke depan tidak lagi mendasarkan pada pola bias urban ala WDR, tapi pola sinergitas yang saling menopang.

Penulis adalah Peneliti Ekonomi-Politik Center for Information and Development Studies (CIDES), Dosen Negeri ditempatkan di STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Akselerasi Infrastruktur

Oleh: Prof Mudrajad Kuncoro PhD
Sumber: Seputar Indonesia, 18 Februari 2009

BAGAIMANA kondisi infrastruktur Indonesia? Hasil survei terbaru World Economic Forum yang berjudul Global Competitiveness Report 2008-2009 menunjukkan, kondisi infrastruktur di Indonesia menempati peringkat ke-86 dari 143 negara.

Pada tahun sebelumnya, peringkat Indonesia hanya nomor 91 dari 131 negara.Kendati agak membaik, Indonesia masih merupakan negara yang paling lemah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur penting dibangun lantaran kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari kebutuhan infrastruktur yang memadai.

Infrastruktur adalah fasilitas fisik beserta layanannya yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial-ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi bagi usaha memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan berbagai masalah.

Dari dimensi ekonomi, infrastruktur mencakup infrastruktur transportasi (jalan, rel, pelabuhan, bandara); infrastruktur ekonomi (bank, pasar, mal, pertokoan); infrastruktur pertanian (irigasi, bendungan, pintu-pintu pengambilan, dan distribusi air irigasi); serta infrastruktur sosial (bangunan ibadah, balai pertemuan, dan pelayanan masyarakat). Kemudian infrastruktur kesehatan (puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan); infrastruktur energi (pembangkit listrik, jaringan listrik); dan infrastruktur telekomunikasi (BTS, STO, jaringan telepon).

Infrastruktur yang memadai akan memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Coba saja,kalau Anda melewati jalan darat trans-Sumatra, trans- Kalimantan, trans-Sulawesi, pasti mengeluh akibat banyaknya jalan rusak dengan lubang menganga di sana-sini. Rakyat pedesaan dan daerah tertinggal harus menempuh waktu berjam-jam untuk pergi ke pasar, sekolah, atau pusat-pusat hiburan yang umumnya berlokasi di kota, ibu kota provinsi/kabupaten/kota.

Kalau menggunakan jalan udara, masalah yang muncul bila ke kawasan timur Indonesia, adalah tidak setiap hari ada pesawat. Kalaupun ada, pesawat pasti harus transit di banyak kota.Bayangkan saja,perjalanan Jakarta–Jayapura memakan waktu 8–9 jam, yang jauh lebih lama daripada Jakarta–Tokyo dan Jakarta–Melbourne yang sekitar hanya 5–6 jam. Fakta di atas membuktikan akselerasi pembangunan infrastruktur merupakan hal yang amat mendesak untuk diprioritaskan.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukannya tidak menyadari hal ini.Simak saja Departemen Pekerjaan Umum yang memperoleh alokasi anggaran tinggi dibanding departemen yang menangani infrastruktur lainnya. Pada 2008,alokasi anggaran Departemen PU mencapai Rp36,1 triliun. Bahkan dengan paket stimulus fiskal, pemerintah telah menetapkan anggaran Rp10,2 triliun untuk menambah alokasi anggaran proyek infrastruktur yang telah ditetapkan dalam APBN 2009 senilai Rp102 triliun.

Dana itu disiapkan sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi memburuknya krisis ekonomi global. Melalui dana stimulus itu, pemerintah berharap dapat membuka lapangan kerja di tengah krisis keuangan global. Paket kebijakan infrastruktur secara eksplisit mulai dituangkan dalam Inpres No 6/2007 hingga Inpres No 5/2008. Paket ini merupakan konsolidasi dari langkah-langkah strategis yang terkoordinasi dalam mewujudkan reformasi kebijakan, regulasi, dan kelembagaan penyelenggaraan infrastruktur.

Sayangnya, sampai saat ini, implementasi paket-paket kebijakan tersebut di era SBY tidak seluruhnya tuntas sesuai tenggat dan outputyang digariskan. Tidak selesainya semua program dalam paket kebijakan tersebut disebabkan beberapa faktor. Pertama,target kuantitatif yang tidak realistis. Target pembangunan yang jauh lebih tinggi dari kemampuan pasokan, merupakan target yang tidak realistis.

Terlebih ketika pembebasan tanah yang selama ini merupakan kendala utama dalam pembangunan jalan, khususnya jalan tol, tersendat-sendat dan menemui banyak masalah di lapangan. Kedua, persiapan teknis kurang dilakukan secara menyeluruh. Target yang optimistis dalam pembangunan jalan tol, tidak seimbang dengan upaya untuk menyiapkan berbagai prasyarat yang diperlukan.

Seharusnya dalam penawaran sebuah proyek, kesiapan administrasi dan persyaratan teknis harus segera dilakukan. Kenyataannya, belum ada satu pun proyek jalan tol yang memiliki dokumen spesifikasi proyek (Project Specific PPP Package). Ketiga, sering terhambatnya masalah pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur. Berkenaan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan penting, di antaranya Perpres No 36/2005.

Kenyataannya, proses pembangunan infrastruktur ini berhadapan dengan ketersediaan tanah yang semakin terbatas dan pasar tanah yang belum terbangun dengan baik. Hal ini mendorong kenaikan harga tanah secara tidak terkendali, terutama di daerah perkotaan. Meskipun pembangunan infrastruktur terkait erat kepentingan masyarakat banyak, seperti pembukaan jalan baru, tidak membuat masyarakat dengan rela menyerahkan sebagian tanahnya untuk dialihkan menjadi sarana umum.

Bagaimana mempercepat penyediaan infrastruktur di Indonesia? Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Peningkatan Manajemen Pembangunan Infrastruktur mengenai penyiapan petunjuk operasional kerja sama pemerintah dan swasta dengan Peraturan Presiden No 67/2005. Kerja sama pemerintah dengan swasta sering kali disebut dengan kemitraan pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership( PPP). Di Indonesia, sebenarnya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah sejak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena terjadinya krisis moneter.

Baru pada 2005, pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005. Saat itu, ada sebanyak 91 proyek yang ditawarkan pemerintah kepada investor swasta untuk menjadi proyek kerja sama pemerintah-swasta. Sementara pada Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006), pemerintah menawarkan 111 proyek (termasuk 10 model proyek yang diunggulkan).

Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera diselesaikan pemerintah. Pertama, membentuk kelembagaan baru yang mendukung pelaksanaan PPP. Memang pemerintah telah membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai menteri koordinator bidang perekonomian pada Mei 2005. Namun, implementasi percepatan infrastruktur terbukti masih belum optimal.

Kedua, melakukan harmonisasi, reformasi, dan revisi terhadap berbagai aturan pusat dan daerah yang saling bertentangan dan menghambat investasi dalam bidang infrastruktur. Ketiga, pembangunan infrastruktur perlu memasukkan dimensi spasial: infrastruktur nasional, regional, perkotaan, dan perdesaan. Dalam hal ini, pendekatan pengembangan wilayah dinilai mampu memenuhi berbagai tuntutan kompabilitas tersebut.

Pembangunan infrastruktur berbasis ruang perlu diprioritaskan untuk kawasan perbatasan, daerah terisolir, daerah konflik, daerah bencana dan rawan bencana. Oleh karena itu, strategi percepatan infrastruktur perlu diintegrasikan dengan percepatan pembangunan daerah tertinggal.(*)

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM

Mencari model CSR transformatif

Perusahaan bisa jadi agen perubahan

Oleh: Meuthia Ganie-Rochman
Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Februari 2009

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR) merupakan transformasi tentang peran bisnis untuk lebih mengambil peran dalam mengatasi persoalan dalam masyarakat.

Semenjak terminologi CSR digunakan sekitar 80 tahun lalu, bentuk CSR telah mengambil berbagai macam bentuk. Praktik CSR dibentuk antara lain oleh pandangan para aktor dalam masyarakat tentang hak dan kewajiban pelaku bisnis dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, beberapa bentuk kegiatan yang terkait CSR juga merupakan inisiatif yang progresif dari kelompok bisnis.

Bentuk-bentuk kegiatan CSR: kedermawanan (charity), sumbangan melalui penjualan untuk kegiatan pembangunan tertentu, iklan layanan masyarakat, sampai kewargaan korporasi menunjukkan perkembangan tingkat keterlibatan perusahaan sebagai bagian dari suatu masyarakat untuk ikut menyelesaikan masalah sosial. Perusahaan tidak lagi hanya pihak yang diminta sumbangan material, melainkan ikut mempromosikan nilai dan norma baru, ikut dalam bahkan menegosiasikan tata baru dalam masyarakat.

Di negara industri maju, perusahaan tidak hanya menangani persoalan kesejahteraan dari sudut kebutuhan dasar konvensional seperti pendidikan dan kesehatan. Beberapa perusahaan berupaya membantu persoalan kesenjangan kelompok (baik berbasis gender, ras, atau kelas ekonomi), misalnya dengan memperlebar kesempatan bagi mitra-mitra baru yang biasanya terpinggirkan karena alasan latar belakang sosial ekonomi.

Setiap masyarakat mempunyai persoalannya sendiri untuk dipecahkan. CSR merupakan suatu alat yang dimiliki kalangan bisnis untuk ikut memecahkan persoalan tersebut. Karena itu, adalah penting bagi pelaku bisnis untuk menjadi penuh pertimbangan apakah CSR sungguh dapat menyumbang secara bermakna dan tidak semata mengambil model-model yang sudah ada.

Tanpa mempertimbangkan konteks, model-model yang diambil begitu saja bisa menjadi kontradiktif bagi masyarakatnya. Di Indonesia, sebagai contoh, sumbangan perusahaan kepada pemerintah daerah untuk fasilitas sosial justru memperkuat kecenderungan korupsi yang sudah ada karena hanya menonjolkan aspek "kegiatan sosial"-nya daripada kondisi tata kelola suatu masyarakat.

Indonesia adalah negara miskin dengan persoalan kebutuhan pembangunan fasilitas dasar. Akan tetapi Indonesia bukan hanya menghadapi kekurangan melainkan juga persoalan merubah tatanan pengelolaan yang lebih luas. Kita adalah bangsa dengan praktik korupsi yang sangat luas.

Belum lagi persoalan mutu sumber manusianya, orientasi ke arah kemajuan yang lemah, dan kohesi sosial yang tidak mendorong kemajuan. Pemerintah tidak mampu menangani berbagai persoalan ini. Negara juga diperlemah dengan masuknya berbagi kepentingan melaui sistem politik yang ada sekarang. Organisasi masyarakat menderita inersia organisasi dan sumber daya terbatas.

Karena itu perusahaan, di tengah kesulitan politik ekonomi saat ini, masih merupakan kelompok dengan sumber daya terbesar yang bisa mendorong perubahan. CSR adalah suatu kerangka kerja, kerangka interaksi, yang dapat menjadi kerangka perubahan. Bahkan model-model CSR yang selama ini dipercaya sebagai menuju perubahan sering kali tidak begitu berhasil karena bekerja atas dasar pemahaman sempit tentang kecakapan (yang dibutuhkan kelompok masyarakat), tentang relasi sosial yang ada dan tentang konteks ekonomi politik.

Satu persoalan lagi adalah bahwa CSR masih dipandang sebagai usaha individual perusahaan. Padahal, dalam konteks permasalahan di Indonesia, suatu upaya yang mempunyai banyak dimensi-karena itu dilakukan oleh beberapa perusahaan-harus dikembangkan. Bagi perusahaan sendiri, kerja sama ini juga memungkinkan perbaikan leverage dan posisi negosisasi terhadap pihak lain.

Beberapa peran

Untuk keluar dari batasan-batasan hanya sebagai penyedia dan akontekstual terhadap relasi timpang dan koruptif dari yang sudah ada, CSR untuk Indonesia harus memainkan beberapa peran. Peran pertama adalah memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan manusia Indonesia. Jika pemerintah menyediakan kebutuhan pendidikan minimum, maka CSR perusahaan mendukung penemuan metode-metode pengajaran yang penting.

Misalkan saja, mencontoh Singapura, beberapa dekade lalu mereka mengembangkan metode pengajaran matematika sehingga sekarang menjadi tertinggi di dunia. Untuk Indonesia, perbaikan metode pengajaran bahasa Inggris harus dibongkar habis seperti yang dilakukan Belanda beberapa dekade lalu. Untuk tingkat yang lebih tinggi, berbagai bentuk pendidikan keterampilan harus berorientasi pada teknologi sederhana yang memecahkan masalah nyata rakyat. Perusahaan juga memfasilitasi litbang-litbang menemukan teknologi sederhana untuk menolong petani, nelayan, dan penduduk miskin perkotaan.

CSR perusahaan juga harus berani mulai memasuki wilayah perbaikan tata kelola. Selama ini sudah ada upaya ikut dalam membuat pakta integritas, atau di Yogya bahkan sudah ada ombudsman swasta. Agar lebih berkembang, bentuk-bentuk ini membutuhkan dukungan. Jika untuk saat ini banyak perusahaan ragu untuk masuk dalam wilayah civic activism, mereka bisa membantu peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok yang bergerak dalam pembaruan tata kelola.

Misalnya, pelatihan para wartawan untuk memantau kasus korupsi anggaran, membantu LSM antikorupsi dalam informasi, membantu infrastruktur mereka. Jika hubungan bilateral antarorganisasi ingin dihindarkan, bisa dipikirkan suatu badan koordinasi yang menegakkan prinsip dan norma-normanya.

Namun, semua upaya semacam itu kecil kemungkinan berhasil jika pihak lain memandang CSR adalah tentang kewajiban perusahaan semata. CSR yang baik dan berkembang adalah yang menuntut pihak lain ikut dalam upaya tersebut. Peran pemerintah, seperti di negara lain misalnya, memfasilitasi, memberi legitimasi, menjaga kepastian peraturan, atau penjamin.

Ornop dan organisasi sosial lain harus membuang sikap curiga dan semata kritiknya terhadap bisnis untuk bekerja sama membuat pendekatan-pendekatan baru. Sebagai organisasi mereka juga harus siap belajar dan berubah menjadi lebih baik. Universitas bisa membantu menemukan bentuk-bentuk relasi akuntabilitas baru untuk semua pihak.

Penulis adalah peneliti senior di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia