Saturday, January 31, 2009

Perkembangan Biofuel di Indonesia: Dilema Asia

Oleh: Terry Lacey
Sumber: Jurnal Nasional, 31 Januari 2009
Masalah luas terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya pemerintah pada kebijakan dan kerangka peraturan yang ada.

SEJAK tahun 2005, pemerintah Indonesia telah membuat perencanaan untuk mempromosikan bahan bakar nabati (biofuel). Hal ini sebenarnya lebih ditekankan pada biodiesel dibandingkan dengan bioetanol, untuk pembangkit tenaga listrik dibandingkan untuk kendaraan bermotor.

Peluang jangka panjang di Asia untuk biofuel juga termasuk biofuel untuk kendaraan bermotor dibanding untuk pembangkit tenaga listrik dan begitu juga bioetanol dibanding dengan biodiesel, akan sama seperti perkembangan di Brasil. Ketidakseimbangan ini mungkin akan terlihat lebih jelas ketika teknologi biofuel generasi kedua berjalan dalam proses.

Sejauh ini industri biofuel di Indonesia dan Malaysia bergantung pada minyak mentah kelapa sawit (CPO) untuk menghasilkan biodiesel. Ini mencerminkan bahwa kedua Negara tersebut menghasilkan 70% dari seluruh hasil CPO di dunia. Secara teori, sekitar 40 % hasil tersebut bisa dijadikan biofuel.

Dengan tingkat produksi Industri CPO seperti itu, bukan hal yang mengagetkan apabila Indonesia berencana akan menghasilkan 2,41 juta kiloliter biodiesel di tahun 2010, bersamaan dengan 1,48 juta kiloliter bioetanol, seperti yang diungkapkan oleh Imelda Maidir (The Jakarta Post, 19/1/09).

Indonesia telah menandatangani perjanjian investasi senilai US$12,4 miliar dengan 59 investor asing dan lokal untuk mendorong produksi CPO untuk biodiesel. Tetapi, sinyal-sinyal terhadap investor untuk tetap tertarik sedikit terganggu dengan adanya fluktuasi yang liar pada harga CPO yang menimbulkan masalah.

Pada Bulan Januari 2008, tingginya harga CPO menjadikan harga biodiesel menjadi teramat mahal. Pemimpin Asosiasi Penghasil Biofuel Purnadi Djojosudiro menjelaskan, hancurnya tingkat permintaanlah yang menyebabkan 17 perusahaan biofuel menunda investasinya. Deputi direktur marketing Pertamina Hanung Budia mengatakan, biodiesel memerlukan subsidi yang sama halnya dengan bahan bakar diesel.

Pada akhir tahun 2008, pasar modal dan harga minyak dan harga CPO turun, dengan rendahnya harga minyak menyebabkan CPO biodiesel dan bioetanol tidak dapat bersaing, dan akhirnya penghasil CPO kecil terpaksa keluar/terlempar dari pasar.

Awal ketergantungan pada CPO untuk biodiesel boleh jadi merupakan langkah yang tepat terhadap kondisi Indonesia atau bisa jadi suatu awal yang tidak tepat. Ketersediaan pangan yang lain telah terbukti lebih dapat bertahan.

Biofuel memang menarik karena bisa berkontribusi untuk pengamanan energi, pembangunan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan dan diharapkan bisa membantu untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan polusi udara. Di negara-negara berkembang mendapat efek gas rumah kaca dan mengikuti naskah perjanjian Kyoto. Di negara-negara berkembang dapat mengurangi jumlah impor minyak.

Bagaimanapun juga percepatan pada biofuel bisa tanpa hasil jika tidak mempertimbangkan pada tingkat keberlangsungan produksinya (Lihat Kebijakan Perubahan Iklim di Asia -IGES -2006).

Laporan ini menyimpulkan ada kekhawatiran yang cukup besar bahwa biofuel dapat berdampak buruk pada ketahanan pangan (Graham-Harrison 2005), dapat mengurangi ketersediaan air (AFP 2007), polusi air yang lebih buruk (englehaupt 2007) atau secara nyata meningkatkan dampak gas efek rumah kaca (Searchinger 2008) dan juga berdampak negatif pada biodiversiti (Pearce 2005). Produksi biofuel bisa jadi memerlukan lebih banyak energi daripada energi yang dihasilkan (Lang 2005).

Masalah yang lebih luas lagi terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya pemerintah terhadap kebijakan dan kerangka peraturan (termasuk dampak negatif dari subsidi pada bahan bakar fosil), ketidakpastian pada harga dan pasar-terutama pada krisis keuangan global dan fluktuasi pada harga komoditi baru-baru ini.

Persaingan antara pasar ekspor dan domestik dan masalah yang terkait pada harga dan kewajiban untuk persediaan domestik, menghadirkan isu yang serupa terhadap sumber energi lainnya di mana ekspor sedang berkompetisi dengan pasar domestik baru (seperti batubara dan gas).

Kemungkinan konflik-konflik terhadap penggunaan lahan dan penggunaan bahan pangan untuk menghasilkan biofuel, berpotensi untuk membuat lebih buruk permasalahan pada lingkungan dan kemungkinan untuk kehilangan hutan lindung, kehilangan keanekaragaman hayati dan penurunan dataran juga menjadi penyebab dan juga harus dicari penyelesaiannya.

Direktur Jenderal Minyak & Gas Dr Ing Evita Legowo, pada akhir 2007 menjelaskan, pemerintah diharapkan dapat menciptakan 3,5 juta lapangan pekerjaan dari pengembangan biofuel pada tahun 2010, yang akhirnya dapat meningkat menjadi 40 juta lapangan pekerjaan di daerah pedalaman. Biodiesel telah dijual di 200 SPBU di Jakarta. Lebih dari 24 pembangkit tenaga listrik sudah menggunakan biodiesel pada tahun 2007, tetapi untuk terus sebagai penyedia bahan bakar seringkali menjadi masalah.

Usaha untuk mempromosikan perkembangan dan keberlangsungan biofuel harus dilakukan dengan memperbaiki koordinasi dari penelitian yang berbasis pada pengembangan biofuel melalui kerja sama antara peneliti, sektor swasta, dan pemerintah tentunya.

Keberlangsungan biofuel di Asia sangatlah perlu untuk diperjelas sehingga proses yang berjalan mulai dari persediaaan pangan, produksi dan distribusi ke pasar dengan harga yang wajar, bisa direncanakan dan dipromosikan sebagai satu mata rantai, mengacu pada hubungan yang saling terkait seperti halnya informasi yang diberikan pada keuntungan dan kerugiannya.

Penulis adalah ekonom, berdomisili di Jakarta. Menulis tentang modernisasi dalam dunia Muslim, investasi dan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa dan Islamic Banking.

Friday, January 30, 2009

Ekonomi Makro dan Defisit APBN

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Sumber: Jurnal Nasional, 30 Januari 2009

Perubahan asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah memang lebih realistis, namun masih terdapat titik kritis yang patut dicemaskan.
Situasi ekonomi terkini tampaknya telah memberikan pijakan yang lebih rasional kepada pemerintah untuk menetapkan perubahan asumsi makro APBN 2009. Dari semua asumsi makro yang telah direncanakan, tampaknya penetapan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5%, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 11.000, inflasi pada tingkat 6,2%, dan suku bunga SBI (3 bulan) sebesar 7,5% merupakan asumsi yang rasional. Sedangkan harga ICP yang ditetapkan sebesar US$ 45 untuk setiap barrel sepertinya agak optimis. Sungguh pun begitu, dalam kondisi yang penuh tekanan seperti sekarang, asumsi-asumsi APBN tersebut bukan hanya bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah mempertahankan kinerja sebelumnya (sekaligus meningkatkan kualitasnya). Berpijak pada tujuan itu, maka perubahan APBN 2009 harus bisa memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan penduduk.

Konfigurasi Ekonomi Makro

Sampai saat ini situasi perekonomian global masih muram, tapi dikarenakan tingkat konsumsi domestik masih relatif terjaga menyebabkan kinerja ekonomi masih bisa tumbuh pada tingkat 5%. Dari sisi permintaan, tingkat pertumbuhan ekonomi sebagian besar akan didonasikan oleh peningkatan konsumsi pemerintah. Pola ini memang mengalami penyimpangan jika dibandingkan dengan kecenderungan tiga tahun terakhir. Tapi, secara agregat konsumsi swasta masih memberikan donasi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan ekspor dan investasi pasti akan mengalami perlambatan dibandingkan 2008. Khusus untuk ekspor, walaupun melambat, dengan adanya stimulus industri, pengalihan pasar, dan penurunan suku bunga SBI di tingkat 7,5 persen diekspektasikan tidak akan mengalami penurunan yang tajam. Implikasinya, pada sisi penawaran, sumbangan sektor industri pengolahan dan jasa terhadap pertumbuhan ekonomi tetap mengalami penurunan.

Selanjutnya, tingkat inflasi pada level 6,2% tampaknya juga akan dapat terealisasi. Perhitungan ini sangat ditentukan oleh tingkat harga minyak mentah dunia. Dengan relatif stabilnya harga minyak mentah dunia di kisaran US$ 40/barrel dalam dua bulan terakhir dan diikuti oleh penurunan harga BBM di dalam negeri menyebabkan harga komoditas lain juga ikut anjlok. Sungguh pun begitu, harga BBM yang baru sebenarnya dapat diturunkan lagi jika alasan utamanya harga minyak mentah dunia. Sungguh pun begitu, catatan krusial atas semua asumsi tersebut adalah kemungkinan naiknya harga minyak mentah dunia (ICP). Konflik di Timur Tengah yang tidak bisa dipastikan stabilitasnya menyebabkan pasokan minyak dari daerah itu bisa terganggu. Eksesnya, harga minyak mentah dunia secara perlahan-lahan akan mengalami peningkatan. Lainnya, pemerintah mesti hati-hati terhadap kemungkinan naiknya inflasi akibat "pengeluaran politik" yang besar pada 2009.

Oleh karena itu, khusus untuk asumsi harga ICP sebesar US$ 45 per barrel sebaiknya dinaikkan di kisaran US$ 50 - 60/barrel. Apalagi, pada semester II 2009 kemungkinan akan mulai terjadi pemulihan ekonomi sehingga permintaan minyak di pasar global akan meningkat. Perhitungan ini lebih ideal, karena di samping bisa mengantisipasi kenaikan harga minyak, juga dapat mensubstitusi kemungkinan pembengkakan anggaran subsidi BBM. Lebih dari segalanya, semua asumsi makro domestik yang ditetapkan sangat bergantung pada perekonomian global. Sehingga, dengan momentum penurunan kinerja ekonomi global, konsumsi pemerintah dapat dijadikan instrumen untuk meningkatkan kemandirian nasional. Skemanya, selain menggenjot pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah juga harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur strategis (misalnya untuk perluasan eksplorasi minyak dan investasi sektor pertanian).

Defisit Anggaran

Perubahan asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah memang lebih realistis, namun masih terdapat titik kritis yang patut dicemaskan. Secara keseluruhan, baik anggaran pendapatan yang turun sebesar Rp 128 triliun menjadi Rp 857,7 triliun maupun berkurangnya jatah belanja negara menjadi Rp 989,9 triliun, tidak memperkecil defisit APBN. Sebaliknya, dalam APBN perubahan ini, defisit anggaran justru meningkat menjadi Rp 132,1 triliun (2,5% dari PDB). Penetapan defisit ini jelas meninggalkan masalah yang kompleks. Pertama, berdasarkan pola kecenderungan realisasi anggaran dalam beberapa tahun terakhir, anggaran negara tidak terserap 100%. Bahkan sampai semester I tahun fiskal berjalan, anggaran negara kerap kali hanya terealisasi 35%. Dengan begitu, inefektivitas realisasi anggaran belanja negara selalu terjadi secara konsisten. Oleh karena itu, realokasi anggaran negara dengan prinsip tepat dan efektif harus disertakan dalam memerbaiki APBN-P 2009.

Kedua, salah satu sumber utama pembiayaan defisit anggaran adalah utang luar negeri. Dalam kalkulasi ini, utang luar negeri diperkirakan sebesar Rp 36,1 triliun. Sebagian besar utang itu memang berasal dari dalam negeri (melalui penerbitan obligasi) dan sebagian lagi dari pinjaman proyek luar negeri. Strategi pembiayaan defisit ini menandakan belum adanya perubahan karakter pemerintah. Krisis ekonomi selalu dijadikan peluang untuk meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada asing, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan ini bukan hanya memberikan ekses negatif bagi kelangsungan aktivitas ekonomi saat ini, tetapi juga meninggalkan beban berat di masa mendatang. Padahal, mestinya krisis yang terjadi dapat dijadikan momentum mengurangi ketergantungan kepada asing. Caranya, defisit anggaran dipangkas dan pemerintah mengefektifkan penyerapan anggaran melalui strategi alokasi pengeluaran yang benar. Dengan jalan inilah APBN 2009 dijauhkan dari kebiasaan perburuan rente ekonomi.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya


Dampak Ekonomi Pemilu 2009

Oleh: Teguh Dartato
Sumber: Koran Tempo, 30 Januari 2009

Dampak buruk krisis ekonomi dunia, yang diawali oleh krisis keuangan di Amerika, pelan namun pasti mulai dirasakan oleh bangsa Indonesia. Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja dan kebangkrutan industri sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Dampak yang paling terlihat dan terasa adalah penurunan ekspor sektor-sektor primer, seperti minyak sawit dan karet, yang selama ini merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2009, perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi dan diperkirakan tumbuh sekitar 4,5-5,5 persen (Departemen Keuangan, 2008). Sebuah pertumbuhan yang jauh dari cukup untuk menyerap pengangguran dan pengentasan masyarakat miskin di Indonesia.

Kita tidak perlu pesimistis melihat kondisi di atas, karena perekonomian Indonesia tidak akan terpuruk terlalu dalam pada 2009. Pemilu 2009, sebuah hajatan politik dengan dana triliunan rupiah, dapat menjadi kebijakan countercyclical yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi di Indonesia. Dampak pemilu terhadap perekonomian Indonesia sangat bergantung pada seberapa besar dana yang dibelanjakan, baik oleh pemerintah maupun calon anggota legislatif. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sistem suara terbanyak ikut mempengaruhi jumlah dana yang dibelanjakan dalam pemilu kali ini. Keputusan MK memberikan insentif bagi semua calon anggota legislatif, baik nomor atas maupun nomor peci, untuk berjuang keras memperoleh suara terbanyak dengan mengeluarkan dana kampanye cukup besar.

Geliat ekonomi

Dana yang bergulir pada Pemilu 2009 diperkirakan mencapai Rp 29-30 triliun. Dana tersebut berasal dari dana APBN, APBD, dan dana yang terbesar adalah dana kampanye para calon anggota DPR/DPRD, DPD, dan calon presiden. Dana anggaran Pemilu 2009 yang berasal dari APBN sekitar Rp 13,5 triliun (Bappenas, 2008). Dana sumbangan pemerintah daerah seluruh Indonesia (APBD) untuk pembiayaan pemilu sekitar Rp 1-2 triliun. Sedangkan dana kampanye calon anggota DPR/DPRD dan DPD seluruh Indonesia sekitar Rp 14-15 triliun. Berdasarkan data KPU pusat, daftar calon tetap DPR sebanyak 11.225 orang dan daftar calon tetap DPD sebanyak 1.116 orang. Dengan asumsi dana kampanye Rp 500 juta per calon anggota DPR dan Rp 1 miliar per calon anggota DPD, akan terkumpul dana sekitar Rp 6,7 triliun. Sedangkan pengeluaran dari calon anggota DPRD provinsi (33 provinsi), dengan asumsi 500 calon per provinsi dan Rp 200 juta per calon, akan terkumpul dana sekitar Rp 3,3 triliun. Sisi lain, pengeluaran calon anggota DPRD kabupaten (349 kabupaten dan 91 kota), dengan asumsi 200 calon per kabupaten dan Rp 50 juta per calon, akan terkumpul dana Rp 4,4 triliun.

Berdasarkan hasil simulasi model Input-Output 2000 (Dartanto, 2009), dampak Pemilu 2009 terhadap perekonomian Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, kegiatan Pemilu 2009 akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,08 persen, sehingga proyeksi pertumbuhan tahun 2009 sebesar 4-5 persen tidaklah susah diraih. Kedua, pengeluaran pemilu sebesar Rp 30 triliun akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam perekonomian sebesar Rp 28 triliun. Jadi total dampak langsung dan tidak langsung Pemilu 2009 adalah Rp 58 triliun. Dampak tidak langsung dihasilkan oleh multiplier effect kegiatan kampanye yang menggairahkan aktivitas ekonomi. Kegiatan percetakan kertas suara, spanduk, pamflet, dan bendera tidak hanya akan mendorong peningkatan aktivitas di sektor-sektor tersebut, tetapi juga meningkatkan aktivitas di sektor-sektor lain yang berkaitan (backward and forward linkage). Ketiga, sektor-sektor yang akan mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor telekomunikasi (7,7 persen), transportasi (5 persen), sektor industri percetakan/kertas (9,4 persen), sektor industri pakaian jadi (3,4 persen), serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (2 persen). Pertumbuhan yang lumayan tinggi di sektor industri pakaian jadi, percetakan/kertas, dan sektor perdagangan-hotel-restoran diharapkan mampu menahan laju penurunan aktivitas sektor-sektor tersebut sebagai akibat krisis global.

Keempat, dampak Pemilu 2009 terhadap perekonomian di Indonesia sangat bergantung pada alokasi dana kampanye. Kampanye melalui iklan televisi dan koran memiliki multiplier effect yang rendah terhadap perekonomian. Selain itu, manfaat ekonominya lebih banyak dinikmati oleh pengusaha-pengusaha media. Sedangkan model kampanye langsung turun ke bawah, seperti membagi-bagikan sembako, kaus, dan pengobatan gratis, menghasilkan multiplier effect yang tinggi terhadap perekonomian. Para calon anggota DPR/DPRD/DPD jangan pernah takut dituduh melakukan money politics jika melakukan kampanye-kampanye turun ke bawah seperti model di atas. Sebab, secara teori ekonomi dan pemasaran, fungsi sembako, kaus, obat gratis, dan buku tulis yang ditempeli lambang partai atau nama calon anggota legislatif sama dengan fungsi televisi/koran, yaitu sebagai media iklan.

Kita semuanya hanya bisa berharap semoga Pemilu 2009 dapat berjalan lancar, aman, damai, dan mampu menghasilkan wakil rakyat/pemimpin yang berkualitas serta menjaga amanah, sehingga mampu menggairahkan kembali aktivitas ekonomi Indonesia pada 2010.

Penulis adalah Peneliti LPEM FEUI yang sedang belajar di Universitas Hitotsubashi, Jepang

Thursday, January 29, 2009

What Makes Local Governments Corrupt?

By: Akhmad Rizal Shidiq
Source: The Jakarta Post, January 29, 2009

Perhaps we have been living so long with corrupt local bureaucrats we simply take them for granted. Our experience in dealing with them, from applying for ID cards to registering legal business permits, more often than not seems to confirm that they are at best hopeless and at worst deeply corrupt.

So when Newsweek (Oct. 20, 2008) praised our decentralization by pointing out the rise of some promising, clean local leaders, we could either disbelieve it or reluctantly accept it as an exception. And later when Tempo (Dec. 12, 2008) in their year-end special edition picked ten outstanding benevolent local heads, we read it with either great relief or deep reservation.

Nonetheless, let us take a closer look at two important questions concerning decentralization, corruption and local bureaucracy.

First, does decentralization bring better governance and less corruption than the previously centralized regime?

Second, after decentralization, what factors made local bureaucrats corrupt? But before addressing those two important questions, it would better to understand why, in theory, we needed decentralization at all.

Compared with centralized government, decentralization is an attempt to bring the government closer to the people, and is arguably a better arrangement for public services because, first, decentralized government has better information access and feedback systems.

With that we can allocate resources for public services more efficiently. Second, decentralized government is under closer scrutiny of local electorates, hence more accountable. Moreover, if you are too harassed by your local government, or they do not perform, you can always "vote by your feet", that is, by moving out of your region. It keeps another check on the government and keeps it competitive.

Conceptually, this is a much desired effect and with that, in 1999, as a part of the general reform in the country, off we went with a big-bang decentralization.

The magnitude of such a shift was best illustrated by Hofman and Kaiser (2002) who estimate that in the first year, the regional share of government spending soared from 17 to 30 percent, and over time will reach more than 40 percent, way more than the 15 percent during the 1990s.

In term of bureaucratic authorities, 2 million civil servants were transferred to the regions as well as around 16,000 public services facilities.

And the most fundamental feature of the decentralization were the new intergovernmental relations, previously dominated by earmarked grants, now the transfer is mostly in general grants and revenue sharing.

The law stipulated that a minimum 25 percent of central government revenue be transfered to the regions and, along with revenue sharing, it makes up the large bulk of regional government revenue.

All of this had to be done within a maximum two-year period. Understandably, some predicted that our plan was doomed to failure.

The existing empirical findings on the impact of decentralization on corruption and governance in Indonesia gives at best a mixed picture. In their survey, Patunru and Wardhani (2008) noted that in the early years of its implementation, there was a kind of euphoria among local governments as they now had new power and authority to extract revenue. As a result there was an explosion of new local regulations that are distorting in nature.

In terms of illegal extortion or corruption by local bureaucrats, two related studies (LPEM 2002 and LPEM 2007) on the cost of doing business found that despite initially in 2001 illegal costs were high roduction cost were for bribes - in the latter period of 2006 these figures have declined.

Moreover, a study by Henderson and Kuncoro (2004) finds that decentralization leads to the increase of bribery and corruption since the existing fiscal decentralization pushed the local governments that obtained small central government transfers to introduce licensing procedures to overcome the budget shortage that turned out to be prone to red tape and incidents of bribery.

And as recently as Dec. 1, 2008, the Finance Ministry found that out of 11,638 local laws examined, 2431 were recommended to be amended for distorting the economy.

On the other hand, recently there was an early indicator that decentralization leads to better local governance as interregional competition seemed to have started kicking in, and, as reported by Newsweek and Tempo, in some municipalities, genuine and competent leadership arose and gained more popularity.

One thing is clear, however, that despite all those discouraging predictions from the nay-sayers and existing evidence of imperfection, the doomsday scenario has never materialized. We see neither balkanization, disrupted public services, nor excessive drops in local economic indicators.

Yet now we also know that we still have problems with local government corruption. In my simple cross-regional estimation in 2005, I found that the structure of economic activities by sector did not matter in the corruption levels of local bureaucrats. But, in areas with a bigger middle class, local government tended to be more corrupt. I resort to two educated guesses here.

First, the middle class are still entrenched in the decentralized government. Second, the middle class also have grabbing hands. They are the bureaucrats' partners in crime.

Another interesting result directly related to our decentralization is that the larger the size of the central government tranfer, in term of the ratio of Dana Alokasi Umum (DAU, General Allocated Grant) and Dana Alokasi Khusus (DAK, Specific Allocated Grant) to the total regional budget expenditure in 2005, the higher the associated local government corruption. This is very much predictable because the higher dependency on central government funds leads to lower local taxpayer's accountability control.

Against these findings, we can make several points as follows. On a positive note, we now know that decentralization did not produce the disastrous effect some thought it would.

Yet we are not certain whether the decentralization reduced the level of corruption in the local bureaucracy. Needless to say, despite some early gains, we still have some tough work ahead. It surely takes time to produce a bureaucracy of high quality and I remain optimistic with the ongoing process in Indonesia.

The writer is a PhD student in economics, Department of Economics, George Mason University, Fairfax, VA

Memahami Asumsi Makro dan APBN 2009

Oleh: Muhammad Chatib Basri
Sumber: Bisnis Indonesia, 29 Januari 2009

"Jika indikator kinerja makroekonomi baik, kinerja secara mikro juga mestinya baik. Namun, nyatanya kinerja makro baik, di tingkat mikro kita masih babak belur. Apa indikator makro masih ada gunanya?" Inilah pertanyaan yang saya terima dalam face book. Tak salah.

Situasi makroekonomi yang baik, tidak seketika dapat ditransmisikan ke tingkat mikro. Alasannya, ada beberapa hal, yaitu rigidities (kekakuan).

Pasar tidak bisa melakukan penyesuaian seketika. Ekonom Mankiw pernah menulis tentang menu cost.

Intinya sederhana, harga bisa naik-turun, tetapi harga di menu yang kita lihat di rumah makan, tidak bisa mengikuti naik-turunnya harga makanan. Penyesuaian hanya dilakukan sewaktu-waktu. Alasannya, ada biaya untuk mengubah menu.

Hal lain adalah likuiditas. Pelaku ekonomi mungkin memiliki kendala dalam membelanjakan uangnya seketika, sehingga respons di tingkat mikro tidak selalu sejalan dengan pendapatan jangka panjang.

Selain itu, tentu informasi dan ekspektasi.

Informasi yang tidak simetris antara satu pelaku ekonomi dan pelaku lain membuat respons pasar tidak sepenuhnya sempurna. Hal-hal inilah yang kemudian menimbulkan kesenjangan antara kinerja di tingkat makro dan mikro.

Namun, itu bukan berarti indikator makro menjadi tidak penting. Sejarah mengajarkan kepada kita, pada 2005 ketika situasi makro terganggu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang tajam, kinerja di sektor mikro terpukul.

Sangat penting

Sebaliknya, pada 2006 dan 2007, ketika situasi makro mulai membaik, kita melihat laporan keuangan perusahaan publik menunjukkan kinerja yang baik pula. Pendeknya, situasi makro yang baik membutuhkan waktu untuk memperbaiki situasi di tingkat mikro, tetapi situasi makro yang buruk, jelas akan memukul kinerja di tingkat mikro.

Macroeconomic stability is not everything, but without macroeconomic stability is nothing. Itulah sebabnya indikator makro menjadi sangat penting, termasuk perubahan asumsi makro dari APBN 2009 yang dibuat pemerintah.

Minggu lalu, kita mengikuti diskusi mengenai rencana pemerintah mengubah asumsi dan postur APBN 2009. Perlukah itu dilakukan? Apa yang perlu direvisi?

Untuk menjawabnya, mungkin ada beberapa hal yang perlu dibahas. Pertama, asumsi pertumbuhan. Pemerintah mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 4,5-5,5% dengan titik tengah 5%.

Situasi global yang terjadi sedikit banyak mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Melalui trade channel, kita sudah melihat pertumbuhan ekspor pada Oktober ke November mengalami pertumbuhan minus 11% untuk total ekspor, dan minus 9,2% untuk ekspor nonmigas.

Pola ini bisa terjadi pada 2009. Artinya, pada 2009 kita tidak bisa mengharapkan mesin pertumbuhan yang berasal dari ekspor.

Bagaimana dengan investasi? Ekspor yang melambat membawa pengaruh terhadap melambatnya impor, terutama bahan baku dan barang modal. Perlambatan impor bahan baku dan barang modal akan membuat investasi juga mengalami perlambatan.

Di sisi lain, risiko dari sektor riil yang meningkat, mengakibatkan timbulnya problem agency cost, di mana perbankan menjadi enggan menyalurkan kreditnya, karena kekhawatiran meningkatnya kredit macet. Oleh karena itu, partumbuhan kredit mungkin tidak akan setinggi pada 2008. Implikasinya, investasi domestik akan mengalami perlambatan.

Investasi asing, baik langsung maupun portofolio, dengan situasi deleveraging yang terjadi di negara maju, tampaknya akan mengalami kesulitan. Dari sisi ini, kita tidak bisa mengharapkan investasi akan tumbuh setinggi pada 2007 atau 2008. Artinya, dua mesin utama, yaitu ekspor dan investasi, akan melambat.

Dengan kondisi ini, sumber pertumbuhan akan bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Secara logis, agar APBN 2008 kredibel, asumsi pertumbuhan ekonomi harus direvisi.

Jika pemerintah dapat menjaga konsumsi rumah tangga sebesar 5% dan pertumbuhan pengeluaran pemerintah di atas 13%, pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran 4,5%-5,5%.

Kedua, harga minyak mentah dunia, inflasi, tingkat bunga, dan nilai tukar. Melemahnya harga komoditas di pasar dunia, termasuk harga minyak mentah, tentu berpengaruh terhadap inflasi.

Harga minyak mentah dunia bertengger pada kisaran US$45 per barel. Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam 2 bulan terakhir ini, dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), sedikit banyak akan berpengaruh terhadap inflasi.

Penurunan harga premium dan solar ke posisi Rp4.500 per liter dapat membantu menurunkan inflasi sekitar 0,4%.

Dengan demikian, tekanan inflasi tampaknya bisa menurun pada 2009 yang kemudian dapat diikuti oleh penurunan tingkat bunga.

Dalam 2009, inflasi diperkirakan pada kisaran 5%-7% dan rata-rata tingkat bunga SBI sekitar 7,5%. Bagaimana nilai tukar?

Nilai tukar tampaknya sudah memasuki tingkat keseimbangan baru. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pergerakan rupiah praktis berada pada kisaran Rp10.700-Rp11.500 per dolar AS. Penurunan bunga dari 9,25% ke 8,75% juga tidak berpengaruh banyak terhadap rupiah.

Dengan gambaran ini, saya pikir cukup realistis jika pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah pada kisaran Rp11.000 per dolar AS.

Ketiga, dampak pada postur APBN 2009. Melambatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan nilai tukar, dan harga minyak mentah dunia jelas akan berpengaruh terhadap postur APBN.

Dari sisi penerimaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi berakibat menurunnya penerimaan pajak penghasilan dan PPN. Dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), penurunan harga komoditas tentu berpengaruh terhadap PNBP.

Penerimaan BUMN juga akan terpengaruh dengan situasi global ini. Akibatnya, dari sisi penerimaan. Untuk meminimalisasi dampak krisis keuangan global, pemerintah memberikan stimulus. Salah satu yang diberikan adalah subsidi pajak untuk PPh pasal 21.

Selain itu, untuk memberikan stimulus, pemerintah juga menurunkan tarif pajak penghasilan individual dari 35% menjadi 30%, selain penurunan pajak penghasilan badan dari 30% menjadi 28%. Hal ini tentu berpengaruh terhadap penerimaan pemerintah.

Dari sisi pengeluaran, menurunnya harga minyak mentah dunia tentu berpengaruh terhadap menurunnya beban subsidi BBM.

Namun, untuk meminimalisasi dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia, diperlukan stimulus, terutama kepada kelompok yang memiliki marginal propensity to consume yang tinggi. Ini adalah kelompok menengah bawah.

Stimulus dalam bentuk belanja ini, khususnya untuk infrastruktur dan program padat karya, sangat dibutuhkan, karena ini yang akan mendorong perekonomian. Akibatnya, kebutuhan belanja masih besar.

Penurunan belanja bisa saja terjadi, tetapi penurunannya praktis tidak sebesar di sisi penerimaan. Akibatnya, defisit meningkat menjadi 2,5% dari PDB.

Peningkatan defisit ini merupakan kombinasi dari penurunan penerimaan pemerintah dan stimulus fiskal. Di sini soal pembiayaan menjadi penting.

Sebagian dari belanja pemerintah mungkin bisa menggunakan Silpa tahun 2008. Namun, sebagian lagi harus mencari sumber pembiayaan baru.
Di sini sumber dari pasar keuangan melalui penerbitan obligasi pemerintah dalam dan luar negeri perlu dilakukan. Persoalannya, apakah pasar punya kemampuan menyerap dalam kondisi krisis keuangan seperti ini?

Bank Dunia lagi

Oleh karena itu, saya pikir bijaksana jika pemerintah mengoptimalkan sumber pembiayaan non-market, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan bilateral seperti Jepang dan Australia.

Dengan kombinasi ini, defisit tersebut dapat ditutupi dan stimulus fiskal bisa diimplementasikan.

Saya ingat, dalam pertemuan G-20 di Washington, pada November 2008, secara khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya mengusulkan agar lembaga internasional dapat menyediakan dukungan anggaran agar negara berkembang tetap dapat melakukan counter cyclical policy guna mempertahankan pertumbuhannya.

Kepala Negara mengusulkan sebuah format yang disebut Global Expenditure Support Fund. Bila ide ini bisa diadopsi, saya pikir, negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat terus menjalankan program pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga penduduk miskin dapat terlindungi, walau krisis keuangan menerpa dunia.

Asumsi makro dan postur anggaran memang perlu diubah untuk membuatnya menjadi kredibel dan stimulus ekonomi bisa diimplementasikan. Dengan postur seperti ini, ekspektasi bisa lebih dijaga.

Penulis adalah Direktur LPEM-FEUI

Revisi APBN 2009 Memerlukan Kearifan

Penulis: Pande Radja Silalahi
Sumber: Jurnal Nasional, 29 Januari 2009

Dalam kondisi yang masih belum menentu, maka untuk berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi pemerintah Indonesia sangat membutuhkan fleksibilitas dalam kebijakan ekonomi termasuk APBN.
Dalam beberapa hari mendatang pemerintah akan mengajukan revisi APBN 2009 untuk mendapat persetujuan DPR. Usul revisi ini tentu akan mendapat reaksi dari berbagai kalangan masyarakat dan terutama dari DPR. Perkembangan yang demikian adalah perkembangan normal dalam era demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia. Dengan demikian, yang perlu dijaga adalah agar perkembangan yang terjadi tidak sampai menihilkan tujuan positif yang ingin dicapai.

Pemerintah mengajukan perubahan APBN 2009 disertai alasan-alasan tertentu dan sesuai dengan ketentuan hukum termasuk ketentuan seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 23 UU APBN 2009. Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa asumsi makro pada APBN 2009 yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, kurs, defisit APBN dan harga minyak tidak sesuai lagi, dan tingkat kemelesetannya ternyata sangat besar dan berarti. Sebagai contoh pada APBN 2009 yang telah mendapat persetujuan DPR sebelumnya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan dapat mencapai 6 persen. Namun dengan dalamnya krisis ekonomi global yang terjadi, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen akan sangat sulit bagi Indonesia, bahkan beberapa lembaga internasional memperkirakan bahwa raihan pertumbuhan ekonomi yang mampu diiptakan oleh Indonesia akan berada di bawah 4 persen.

Sampai saat ini, tidak seorang atau tidak satu lembaga ekonomi di dunia yang dapat memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negara-negara di dunia termasuk ekonomi Indonesia secara meyakinkan. Dalam situasi yang tidak menentu dewasa ini berbagai macam argumen atau pendapat menyangkut proyeksi atau kinerja ekonomi suatu negara akan mudah mendapat tempat. Namun, yang menjadi pertanyaan sangat mendasar yang harus dijawab adalah: bagaimana sebaiknya sikap Indonesia berhadapan dengan situasi ekonomi global yang masih belum menentu ini.

Fleksibel dan Realistis

Tahun 2009 adalah tahun yang penuh ketidakpastian dalam bidang ekonomi di seluruh dunia. Sayangnya tahun 2009 ini kebetulan menjadi tahun politik bagi Indonesia. Sampai dengan terpilihnya Presiden baru pada kwartal terakhir 2009 sulit menghindari kebijakan (ekonomi) yang diterapkan oleh pemerintah bebas dari penilaian dari sudut pandang politik oleh kekuatan politik yang ada. Dengan demikian untuk menghindarkan Indonesia dari akibat negatif berlebihan dari krisis ekonomi global, alangkah tepat manakala postur dan APBN yang sesuai dengan kecenderungan yang ada dapat diputuskan sebelum bulan April tahun ini, atau sebelum kampanye pemilihan umum anggota legislatif mulai genjar.

Sungguh sangat disayangkan, bahwa pihak swasta tidak dapat berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009. Dengan demikian, untuk menghindari akibat buruk dari kontraksi ekonomi dunia, pemerintah Indonesia dituntut dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Dalam kondisi yang masih belum menentu, maka untuk berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi pemerintah Indonesia sangat membutuhkan fleksibilitas dalam kebijakan ekonomi termasuk APBN. Dengan terbukanya fleksibilitas menerapkan kebijakan ekonomi tertentu diharapkan peluang-peluang yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik, dan kerugian yang mungkin muncul dapat diciutkan atau dieliminir dengan cepat.

Bagi DPR, membuka peluang fleksibilitas bagi pemerintah memanfaatkan APBN adalah tidak mudah dengan alasan-alasan tertentu seperti alas an, terbukanya penyesuaian dengan mengajukan APBN-P pada pertengahan tahun anggaran. Walau demikian, dengan mengedepankankan kepentingan nasional sangat diharapkan DPR bersama pemerintah dapat merumuskan bagaimana fleksibilitas yang realis dapat diterapkan dalam tahun 2009 ini.

Dampak Merosotnya Pertumbuhan

Merosotnya pertumbuhan ekonomi dari sekitar sedikit di atas 6 persen menjadi sekitar di bawah 6 persen akan berakibat luas bagi Indonesia. Dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen hampir dapat dipastikan jumlah pengangguran akan meningkat dan jumlah penduduk miskin akan sulit diciutkan secara berarti. Dalam tahun 2009 pemberitaan mengenai PHK akan semakin mengemuka dan pemberitaan mengenai terciptanya lapangan kerja baru sebagai akibat pertumbuhan ekonomi akan seolah tertelan bumi.

Tidak seorang pun yang tidak setuju bila pemerintah melakukan kebijakan memberikan stimulasi bagi perekonomian. Namun kiranya perlu disadari berbagai tindakan stimulasi dalam putaran awalnya tidak selalu memihak langsung bagi mereka yang tergolong miskin atau yang menganggur. Pemotongan PPh misalnya pada putaran awalnya akan langsung hanya dirasakan oleh segentir masyarakat atau pengusaha yang berada pada ruang lingkup pemotongan tersebut. Namun demikian kebijakan ini akan membuka peluang bagi individu tertentu meningkatkan belanjanya atau perusahaan tertentu melakukan ekspansi kegiatan bisnisnya.

Menyimak perkembangan ekonomi dunia termasuk ekonomi Indonesia dan APBN 2009 yang belum direvisi dapat dikemukakan bahwa para pembuat kebijakan hendaknya tidak terpaku mempertahankan defisit APBN tertentu. Dalam situasi seperti sekarang memperbesar defisit APBN hingga tidak melebihi 3 persen dari GDP dapat dibenarkan sepanjang seluruh pengeluaran dikelola dengan baik dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam menilai revisi APBN 2009 tolok ukur yang dapat dipakai adalah apakah (setiap) komponen pengeluaran tambahan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau tidak.

Penurunan harga minyak di pasar dunia yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini telah ditransmisi ke pasar domestik Indonesia. Penurunan harga BBM di dalam negeri yang diimplementasikan melalui keputusan pemerintah ternyata telah dijadikan komoditi politik sehingga mengundang silang pendapat diantara para pelaku politik.

Agar revisi APBN sesuai kebutuhan Indonesia dapat diwujudkan sangat diharapkan agar semua pihak menghindari tindakan yang menimbulkan perdebatan politik yang tidak perlu. Dengan kata lain, untuk menghadirkan APBN yang sesuai dengan kepentingan masyarakat Indonesia dari pemerintah, komponen masyarakat, dan masyarakat politik Indonesia dibutuhkan kearifan. Kiranya perlu dicamkan bahwa kesempatan berkembang dan terpuruk dalam dalam tahun 2009 ini terbuka lebar.

Penulis adalah Ekonom senior CSIS

Stimulus Sosial

Oleh: Razali Ritonga
Sumber: Kompas, 29 Januari 2009

Krisis finansial global berpotensi memicu krisis multidimensi; ekonomi, sosial, dan politik.

Krisis finansial dapat menyebabkan stagflasi ekonomi, kualitas hidup buruk (sosial), dan kendurnya kehidupan berbangsa (politik). Kini pemerintah berusaha mengatasi dampak krisis global dengan sejumlah stimulus ekonomi. Bahkan, untuk mengatasi parahnya kondisi ekonomi, diperlukan stimulus sosial daripada stimulus ekonomi. Alasannya, krisis ekonomi melemahkan daya tahan hidup, antara lain disebabkan berkurangnya konsumsi pangan akibat daya beli rendah, berlanjut dengan kekurangan gizi.

Lemahnya daya tahan hidup berpotensi menurunkan partisipasi pemulihan ekonomi. Bahkan, bisa terjadi krisis ekonomi akan berlanjut karena pemulihan ekonomi terdistorsi untuk mengatasi dampak kekurangan gizi.

Pola konsumsi berubah

Memburuknya ekonomi menyebabkan daya beli melemah, yang pada gilirannya pola konsumsi masyarakat berubah. Diperkirakan, proporsi pengeluaran untuk pangan kian besar, diikuti mengecilnya proporsi pengeluaran nonpangan.

Membesarnya pengeluaran pangan guna mengimbangi kenaikan harga tidak berarti kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi meningkat. Bahkan, dalam kasus ekstrem, pangan yang dikonsumsi kian tidak layak, seperti nasi basi atau nasi aking.

Secara umum, turunnya daya beli menggeser konsumsi pangan dari protein ke kalori. Pergeseran itu kian parah seiring dengan turunnya daya beli. Terkonsentrasinya konsumsi pangan pada kalori membuat pemenuhan protein, vitamin, dan nutrisi yang diperlukan tubuh berkurang.

Terjadinya gizi buruk bukan karena kurangnya pangan secara kuantitas, tetapi karena pangan yang dikonsumsi tidak memenuhi zat gizi. Seorang anak penderita kekurangan vitamin A, misalnya, akan tampak sehat dan tidak mengeluh lapar, tetapi daya tahan tubuhnya kian melemah (WHO, The State of the World’s Children, 2008).

Fakta itu mengisyaratkan, untuk memenuhi tujuan pertama (Goal 1) pembangunan milenium atau MDGs, penurunan tingkat kelaparan penduduk tidak hanya cukup memenuhi aspek kuantitas, tetapi juga kualitas pangan yang dikonsumsi (WHO, 2008).

Layanan kesehatan rendah

Kekurangan gizi berlarut-larut menyebabkan kematian, khususnya anak balita. Semakin muda usia bayi, kian berisiko terhadap kematian. Hal ini terdeteksi dari pertambahan angka kematian yang tidak proporsional dengan pertambahan usia anak.

Hasil SDKI 2007 menunjukkan, angka kematian bayi usia satu bulan (neonatum) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi usia kurang dari satu tahun sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian anak balita sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, Depkes, BKKBN, dan DHS, 2008).

WHO (2008) mencatat, pneumonia menjadi penyebab utama tingginya angka kematian neonatum, bayi, dan anak di negara- negara berkembang. Umumnya, pneumonia disebabkan gizi buruk. Celakanya, lebih dari 30 persen anak-anak di negara berkembang tidak mengonsumsi garam beryodium, 28 persen kekurangan vitamin A, 60 persen tidak mendapat ASI eksklusif.

Peran ibu hamil amat penting agar anak tidak kekurangan gizi. Celakanya, layanan kesehatan bagi ibu hamil di Tanah Air belum optimal. Tercatat, 93 persen dari jumlah ibu hamil memeriksakan kehamilan, 73 persen menerima suntikan antitetanus, 77 persen mendapat pil zat besi, dan 46 persen melahirkan di fasilitas kesehatan (BPS, Depkes, BKKBN, dan DHS, 2008).

Lima penyebab

Bank Dunia (2006) melaporkan, ada lima penyebab rendahnya cakupan layanan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil kelompok miskin. Pertama, kurangnya kemampuan ekonomi untuk mengakses fasilitas kesehatan. Kedua, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu hamil. Ketiga, bias jender dalam pengambilan keputusan untuk mendapat layanan kesehatan. Keempat, kurangnya fasilitas kesehatan, khususnya di pedalaman, terisolasi, dan terpencil (remote areas). Kelima, terkait faktor nonteknis, seperti kurangnya perhatian petugas kesehatan terhadap kelompok miskin.

Rendahnya aksesibilitas penduduk miskin pada layanan kesehatan menyebabkan anggaran kesehatan bias ke penduduk kaya. Hasil studi Bank Dunia (2004) di 21 negara mengungkapkan, 20 persen penduduk terkaya menerima 25 persen total anggaran kesehatan, sedangkan 20 persen penduduk termiskin hanya menerima 15 persen. Maka, tak heran bila derajat kesehatan kelompok kaya dan miskin menjadi timpang. Tingkat kematian anak balita kelompok termiskin, misalnya, dua kali lebih besar daripada kelompok terkaya (Bank Dunia, 2003).

Kehadiran stimulus sosial kian mendesak terkait dengan rendahnya anggaran kesejahteraan sosial. Alokasi anggaran kesehatan yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,8 persen dari APBN, sedangkan standar WHO 15 persen (Kompas, 6/1/2009).

Penulis adalah Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah

Gizi dan Pembangunan Bangsa

Oleh: Posman Sibuea
Sumber: Kompas, 29 Januari 2009

Hari Gizi Nasional jatuh pada 25 Januari. Tema tahun ini, ”Gizi Mutahir untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak”.

Bagi kita, tema ini membicarakan kualitas gizi masyarakat merupakan salah satu pendorong pembangunan bangsa. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh mutu pangan yang dikonsumsi, selain pendidikan bermutu dan pelayanan kesehatan yang baik.

Krisis ekonomi, disusul krisis keuangan global, bermuara pada pertambahan jumlah warga miskin di Indonesia. Pemutusan hubungan kerja dan anjloknya daya beli adalah tsunami yang menghantam pilar kualitas gizi masyarakat. Kini anak balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk mencapai 4,1 juta jiwa.

Terpuruk

Minimnya lapangan kerja membuat masyarakat tak sanggup membeli makanan bergizi. Meski telur dan susu tersedia di pasar, sebagian besar warga tidak mampu mengakses karena terpuruknya daya beli. Peraih Nobel Ekonomi Amartya Sen menyimpulkan, kelaparan terjadi bukan karena tak ada makanan di pasar, tetapi warga terlalu miskin, tidak mampu membelinya.

Peningkatan jumlah balita gizi buruk yang meninggal dunia setiap tahun adalah buah kemiskinan. Mereka menjadi bagian data statistik korban kelaparan yang setiap menjelang pemilu menjadi amunisi kampanye.

Para caleg kini berlomba menebar senyum dan keramahtamahan terhadap kaum miskin yang selama ini termarjinalisasi. Foto-foto mereka dirangkai dengan kata-kata pemanis, seperti ”Rakyat Tidak Boleh Lapar”, tersebar di pinggir jalan. Saking banyaknya gambar caleg yang tertempel di pohon, konon para monyet protes karena habitat mereka terancam.

Yang lebih aneh adalah iklan politik salah satu partai. Penurunan harga premium ke Rp 4.500 diklaim sebagai prestasi pemerintah. Iklan ini terkesan membodohi rakyat. Penurunan harga premium merupakan konsekuensi turunnya harga minyak dunia, bukan karena kinerja pemerintah yang spektakuler.

Indikator prestasi pemerintah patut diukur seberapa besar pengaruh turunnya harga premium terhadap penurunan harga bahan pokok dan tarif angkutan kota. Fakta menunjukkan penurunan harga premium tak otomatis menurunkan harga bahan pokok.

Masih mahalnya harga pangan saat ini berkontribusi untuk percepatan pertambahan jumlah orang kelaparan, gizi buruk, dan busung lapar. Namun, pemerintah terkesan menutup-nutupi tragedi kemanusiaan ini saat melansir data produksi pangan yang meningkat setiap tahun.

Sumber pangan karbohidrat strategis mulai dari padi, jagung, ubi, dan singkong dilaporkan mengalami peningkatan produksi setiap tahun. Juga pangan sumber protein hewani, dari daging sapi, daging ayam, telur, dan ikan mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan Indonesia (2006), ketersediaan energi per kapita mencapai 2.912 kkal dan 77 gram protein per kapita per hari. Meski nilai itu melampaui angka yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) sebesar 2.200 kkal dan 57 gram protein per kapita per hari, kinerja pangan yang terus membaik itu tidak mencerminkan kondisi di tingkat rumah tangga.

Lantas, siapa menikmati produksi pangan melimpah atau Indonesia yang kembali berswasembada beras 2008 jika sebagian warga harus antre mendapat tiga kilogram raskin? Kelaparan dan gizi buruk masih menjadi kendala utama pembangunan sumber daya manusia. Artinya, ketersediaan energi aktual yang melimpah di tingkat makro tidak mengalir ke rumah tangga yang membutuhkan. Pasalnya, ketersediaan pangan yang meningkat belum diikuti membaiknya daya beli masyarakat.

Diversifikasi konsumsi

Masih besarnya jumlah kasus gizi buruk pada tingkat anak balita dan anak usia sekolah adalah konsekuensi logis belum berputarnya roda energi program diversifikasi konsumsi pangan di tingkat keluarga.

Dari aspek gizi, diversifikasi konsumsi pangan memiliki mutu lebih baik daripada mutu masing-masing pangan. Ini dapat terjadi karena kekurangan zat gizi dalam pangan ditutupi kelebihan zat gizi yang terkandung dalam pangan lainnya.

Kegagalan gerakan diversifikasi konsumsi—dikumandangkan dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat—menunjukkan, bangsa kita pintar berwacana dan menebar janji. Seperti janji-janji kampanye, inpres diversifikasi pangan hanya janji manis. Padahal, rakyat butuh bukti.

Guna membumikan tema ”Gizi Mutahir untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak”, gerakan revitalisasi diversifikasi konsumsi pangan wajib hukumnya, sebab Pola Pangan Harapan Nasional belum berimbang antara konsumsi karbohidrat asal padi-padian dan pangan berbasis hewani dan ikani.

Pembangunan bangsa lewat perwujudan ketahanan gizi keluarga sepatutnya dicari solusi melalui pemberdayaan sumber pangan berbasis lokal, inovatif, dan terjangkau daya beli. Ini sekaligus memperkuat identitas kita sebagai bangsa merdeka di mata dunia yang kian kompetitif.

Penulis adalah Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Wednesday, January 28, 2009

Mungkinkah Harga BBM Turun Lagi?

Oleh: Dr Kurtubi
Sumber: Seputar Indonesia, 28 Januari 2009

Harga minyak dunia, demikian juga harga minyak mentah Indonesia (ICP), selama tahun 2009 diperkirakan berfluktuasi pada kisaran relatif rendah.

Jauh lebih rendah dibandingkan fluktuasi harga selama 2008.Kondisi pasar minyak dunia sepanjang 2009 akan berada pada posisi yang sangat lemah sebagai dampak dari dua krisis sekaligus, yakni krisis finansial dan krisis ekonomi/resesi global.

Akibat krisis finansial, para investor yang selama ini memainkan uangnya di pasar komoditas, terutama di pasar minyak, secara sangat signifikan menarik dananya sehingga posisi jual jauh lebih besar dibandingkan posisi beli. Ini berakibat harga minyak turun.

Penurunan harga minyak menjadi semakin liar lantaran ekspektasi pelaku pasar terhadap permintaan minyak dunia yang sangat lemah akibat penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara konsumen utama minyak dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif.

Perekonomian China yang selama lebih dari dua dekade tumbuh sangat tinggi––dalam beberapa tahun sempat menembus pertumbuhan dua digit––kini turun cukup tajam. Resesi ekonomi dunia yang sangat berpengaruh terhadap laju konsumsi minyak juga diindikasikan secara jelas oleh anjloknya penjualan mobil oleh hampir semua pabrikan automotif.

Produsen mobil asal Amerika Serikat (AS) seperti General Motors (GM) dan Chrysler nyaris berada di ambang kebangkrutan jika tidak di-bail out Pemerintah AS. Demikian juga raksasa automotif seperti Toyota, Nissan, Honda, BMW yang penjualannya juga turun.

Penurunan harga minyak yang diakibatkan oleh kombinasi krisis finansial dan krisis ekonomi dunia tidak mampu dibendung pengurangan kuota produksi oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang telah mencapai 4,2 juta barel per hari. Meskipun sejak November 2009 negara-negara industri maju sudah memasuki musim dingin di mana biasanya konsumsi minyak melonjak, tetap saja harga minyak tidak menguat.

Juga sekalipun terjadi serangan Israel kepada Jalur Gaza yang biasanya mempunyai pengaruh signifikan terhadap kenaikan harga minyak dunia. Kali ini, faktor geopolitik dan peperangan di Timur Tengah ternyata tidak berpengaruh terhadap harga minyak dunia. Harga minyak baru akan kembali naik signifikan hingga bisa mencapai di atas USD70 per barel apabila ekonomi dunia pulih dan investor berspekulasi memainkan dananya di pasar minyak.

Kondisi seperti ini diperkirakan baru terjadi pada 2010. Pada saat harga minyak relatif sangat rendah di tengah resesi ekonomi global seperti saat ini, penurunan harga bahan bakar minyak dalam negeri dapat menjadi salah satu instrumen kebijakan untuk mendorong perekonomian dalam negeri. Penurunan harga BBM secara signifikan akan memberi dua manfaat sekaligus.

Pertama, tentu akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat lantaran mereka dapat berhemat seiring penurunan harga BBM. Daya beli sekitar 20 jutaan pengguna sepeda motor dan 10 jutaan keluarga nelayan akan secara otomatis meningkat, begitu harga BBM diturunkan.

Kedua, kalau ongkos angkutan umum dapat diturunkan (ini masih dalam proses pelaksanaan),pengeluaran masyarakat juga lebih hemat.Terlebih kalau harga barang dan jasa dapat ikut turun, yang disebabkan oleh menurunnya biaya produksi dan distribusi. Hal ini akan mendorong penurunan tingkat harga secara umum atau penurunan tingkat inflasi sehingga mendorong otoritas moneter untuk menurunkan tingkat suku bunga.

Di tengah masih tingginya angka pengangguran, yang dibarengi dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemulangan sejumlah besar tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri adalah suatu keharusan. Kalau tidak, justru kerawanan sosial akan muncul, yang dapat merugikan semua pihak.

Dengan tingkat suku bunga yang akan terus turun, secara pasti hal itu akan berdampak positif pada upaya penciptaan lapangan kerja. Dari sisi rumah tangga, secara otomatis terjadi peningkatan daya beli seiring penurunan harga BBM. Keluarga dengan satu anak yang biasa menggunakan sepeda motor misalnya, yang dulu biasa membeli dua kaleng susu dan dua kilogram telor ayam setiap bulan kini setelah daya beli meningkat, bisa membeli lebih banyak susu dan telor untuk perbaikan gizi keluarga.

Ini juga sekaligus meningkatkan omzet penjualan usaha ritel/warung yang ada di sekiling tempat tinggal mereka. Dari sisi perusahaan, peningkatan omzet usaha ritel akan memicu peningkatan produksi. Kapasitas terpasang akan bisa dioptimalkan. Selanjutnya bahkan, ekspansi bukan hal yang mustahil. Suku bunga yang rendah juga akan mendorong perkembangan sektor perumahan dan automotif.

Penurunan harga BBM secara signifikan bisa menjadi instrumen kebijakan yang sangat tepat di tengah resesi ekonomi global. Ini bisa dijalankan tanpa harus membebani APBN secara berlebihan seperti pada 2008 ketika harga minyak dunia sangat mahal. Dengan menggunakan asumsi harga minyak dunia sekitar USD45 per barel dan kurs Rp11.000 per dolar AS, harga BBM masih bisa diturunkan ke level Rp4.000 per liter tanpa harus ada subsidi.

Kalaupun misalnya harga minyak dunia suatu saat di tahun ini akan menyentuh USD70 per barel–– kemungkinan ini kecil sekali––,maka besaran biaya instrumen kebijakan penurunan harga (subsidi BBM), yang akan muncul tidak akan melebihi angka Rp30 triliun. Angka ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan subsidi BBM tahun 2008. Sekali lagi,biaya ini pun baru muncul kalau harga minyak tahun 2009 sempat menyentuh USD70 per barel.

Di sisi lain, manfaat penurunan harga BBM bagi ekonomi masyarakat sangatlah besar, baik berupa peningkatan daya beli, penurunan inflasi maupun penciptaan lapangan kerja. Lalu mau tunggu apa lagi? (*)

Penulis adalah Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)

Peran Regulator dan Efektivitas Stimulus

Oleh: Bambang Soesatyo
Sumber: Koran Tempo, 28 Januari 2009

Ambivalensi publik menyikapi stimulus fiskal dan moneter langsung terdengar. Disyukuri, karena setidaknya ada semangat dan upaya menangkal dampak krisis hingga seminim mungkin. Namun, ada juga sinisme karena ragu terhadap efektivitas dua stimulus itu. Pertanyaan utamanya adalah mampukah dua stimulus itu memberikan manfaat langsung kepada kebutuhan pokok sehari-hari rakyat di seluruh pelosok Tanah Air. Bagi orang kebanyakan, cara menilainya gampang saja. Logikanya, dan juga telah diasumsikan, turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) otomatis menurunkan tarif transportasi dan harga barang. Output ini sebangun dengan logika harga BBM naik, tarif transportasi dan harga barang otomatis naik.

Nyatanya, logika itu tidak otomatis berlaku dalam perekonomian kita. Sebagai pembenaran—tepatnya alasan—publik malah disuguhi aneka perhitungan biayabiaya yang njelimet. Ada perhitungan harga komponen kendaraan, harga pelumas, biaya transportasi perdagangan, sampai soal susahnya para kondektur menyediakan uang receh untuk dikembalikan kepada penumpang. Kendati Bank Indonesia (BI) telah menurunkan BI Rate, perbankan mengaku sulit menurunkan suku bunga kredit. Alasannya, risiko bisnis sekarang ini sangat tinggi.

Kenyataan ini membuktikan amburadulnya mekanisme perekonomian kita. Sistem dan logika ekonomi universal tak bisa diadaptasi perekonomian Indonesia. Perilaku pemerintah sendiri, sebenarnya, juga menunjukkan ketidakberesan mekanisme perekonomian kita. Kita semua masih ingat betapa berat hati pemerintah menurunkan harga BBM, kendati harga minyak mentah di pasar global sudah anjlok di bawah level US$ 60. Padahal, publik sudah membanding-bandingkannya dengan posisi harga US$ 160-an per barel, saat harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata 28 persen. Pemerintah pun melansir aneka alasan, termasuk perhitungan biaya produksi minyak mentah Indonesia hingga potensi membengkaknya subsidi yang akan mengganggu keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara. Maka, dalam konteks ini, perilaku pemerintah dan dunia kurang-lebih sama. Karena pemerintah sempat bersikap kurang fair, dunia usaha juga merasa punya alasan untuk bersikap serupa. Rakyat, lagi-lagi, harus menanggung akibatnya.

Kita jadikan saja ketidakberesan yang mengemuka sekarang ini momentum melakukan pembenahan bertahap. Jelas-jelas di depan kita tersaji fakta tentang inefisiensi akut dalam perekonomian nasional. Struktur pembentukan harga, tarif jasa, dan bunga bank telanjur mengalami penyimpangan. Rakyat harus membayar jauh lebih mahal atas barang dan jasa demi alasan yang sulit diterima akal sehat. Akibat lainnya, sebagai negara, kita tidak kompetitif di pasar global.

Sudah terbukti bahwa kebijakan stimulus ekonomi dari pemerintah tidak cukup untuk merespons persoalan. Masih diperlukan tindak lanjut nyata dari regulator. Maka, pembenahan pembentukan struktur harga dan tarif harus diawali dengan kemauan politik pemerintah plus BI memaksimalkan fungsi dan peran sebagai regulator. Kalau regulator tidak tegas dan “kompromistis”, kita akan selalu digelayuti persoalan karena mengabadikan penyimpangan ini.

Para operator angkutan publik sempat keberatan menurunkan tarif transportasi. Sebab, faktor BBM hanya mencakup 8-12 persen dari total biaya operasional. Beban paling berat ada pada komponen kendaraan yang harus diimpor. Dengan tingginya nilai tukar dolar sekarang ini, harga komponen pasti lebih mahal. Persoalan ini harus dicari jalan keluarnya. Di dalamnya ada soal yang berkait dengan komponen sebagai produk industri, dan sebagai komoditas dagang yang dikenai bea masuk BM. Maka, rumusan jalan keluarnya harus melibatkan pertimbangan dan kewenangan Departemen Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, dan Perhubungan. Data yang terkumpul pasti lebih komprehensif untuk menjadi dasar penetapan tarif transportasi. Kalau benar bahwa faktor komponen menyulitkan operator angkutan menurunkan tarif, perlu dipertimbangkan kebijakan BM komponen ditanggung pemerintah (DTP) untuk kelompok kendaraan angkutan umum.

Caranya, manfaatkan sebagian dari pos insentif pajak Rp 12,5 triliun yang dianggarkan untuk 2009. Penyerapannya lebih pasti dan sangat berdaya guna, karena langsung dirasakan rakyat dalam bentuk tarif transportasi yang murah. Untuk menghindari penyimpangan, pemerintah bersama Organda menghitung kebutuhan komponen serta mekanisme impor dan pemanfaatannya. Untuk menurunkan harga barang, pemerintah sebagai regulator mau tak mau harus menyentuh dan mengatur langsung masalah transportasi perdagangan.

Idealnya, biaya distribusi dan transportasi perdagangan hanya berkisar 6-12 persen dari harga di pasar. Kalangan pengusaha mengklaim, biaya transportasi perdagangan di Indonesia tercatat paling mahal atau tertinggi. Di banyak negara, biaya transportasi perdagangan hanya dalam kisaran 8-12 persen. Di Indonesia, biaya transportasi perdagangan mencapai 18-20 persen untuk produk manufaktur, dan rata- rata 38 persen untuk pertanian/perkebunan. Sejak harga BBM tinggi, biaya transportasi perdagangan produk pertanian/ perkebunan bahkan sudah mencakup 40 persen dari harga jualnya di pasar. Maka, itulah alasannya para ibu rumah tangga mengeluh harga tomat di pekan pertama Januari 2009 sangat mahal.

Selain tidak ada standar tarif resmi untuk transportasi perdagangan, perusahaan atau operator angkutan barang suka-suka dalam menentukan tarif. Begitu bensin/solar langka atau dolar menguat, saat itu juga mereka menaikkan tarif. Sepanjang perjalanan menuju pasar, transportasi perdagangan dibebani lagi dengan biaya siluman di pos-pos penimbangan serta pungutan liar oleh preman jalanan. Departemen Perhubungan sebaiknya mulai mempertimbangkan penetapan dan pemberlakuan tarif resmi untuk transportasi perdagangan. Juga menghilangkan biaya siluman di pos timbang. Sedangkan aparat keamanan dan penegak hukum segera menyatakan perang terhadap pelaku pungli di jalan-jalan raya. Jika kita konsisten, secara bertahap kita bisa membenahi struktur pembentukan harga barang dan tarif transportasi.

Bunga bank pun menjadi variabel yang signifikan dalam struktur pembentukan harga barang. Sulit membayangkan harga barang akan turun ke level yang ideal jika suku bunga kredit modal kerja dan investasi saat ini 18-19 persen. Spread-nya terlihat begitu lebar dengan posisi BI Rate yang kini 8,75 persen. Kalau modal kerja diambil dari lembaga pembiayaan nonbank, bunganya sudah di atas 20 persen. Bisa dibayangkan tingginya bunga bank untuk kredit konsumsi. Pada beberapa kategori produk, suku bunganya sudah di atas 30 persen. Orang kebanyakan yang daya belinya masih lemah pasti ngos-ngosan dengan bunga kredit yang tidak normal itu.

Maka, tindakan dari BI tak cukup hanya menurunkan BI Rate. Lagi-lagi, sebagai regulator, BI harus mampu mendorong perbankan menurunkan suku bunga dan mencari jalan keluar untuk mengatasi kekeringan likuiditas. BI bersama pemerintah perlu merumuskan program yang konstruktif untuk menurunkan risiko bisnis. Perbankan mengklaim risiko bisnis di dalam negeri tinggi, sehingga premi risiko kredit juga dinaikkan. Perbankan mestinya tidak memiliki ego sektoral. Sebab, perbankan pun hidup dari berjualan kredit di dalam negeri. Perbankan dan dunia usaha mestinya bekerja sama menurunkan risiko bisnis di dalam negeri. Tanpa kerja sama, penurunan BI Rate tak akan punya nilai tambah. Dengan begitu, efektif atau tidak efektifnya stimulus fiskal dan moneter memang sangat ditentukan oleh aksi berkelanjutan regulator, yakni pemerintah dan bank sentral.

Penulis adalah Ketua Komite Tetap Perdagangan Kadin Indonesia

Tuesday, January 27, 2009

Pemberdayaan Ekonomi dan Demokrasi Desa

Oleh: Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Januari 2009

Secara etimologis, kata “desa” berasal dari bahasa Sanskerta,yakni deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Sementara dari sudut pandang geografis, desa (village) diartikan sebagai a group of houses and shops in a country area, smaller than a town.

Di Indonesia istilah “desa” pada awalnya hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa,sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa sangat beraneka ragam sesuai dengan asal mula terbentuknya wilayah tersebut. Sebutan itu antara lain diambil berdasarkan prinsip-prinsip ikatan genealogis, ikatan teritorial, atau tujuan fungsional tertentu (seperti: desa nelayan atau desa petani). Namun pada masa Orde Baru struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No 5 Tahun 1979.

Alasannya untuk stabilitas politik di dalam menunjang pembangunan nasional. Melalui UU tersebut desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, kepala desa dan dewan desa (pada waktu itu adalah LMD dan LKMD) tidak bertanggung jawab langsung kepada warganya, melainkan kepada pemerintah di tingkat atasnya (supradesa). Keanggotaan dewan desa yang terdiri atas para elite desa membuat mereka cenderung dekat dengan kepala desa sehingga tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadapnya.

Akibatnya, kekuasaan cenderung terpusat di tangan kepala desa dan membuat pemerintahan di tingkat desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi negara. Kondisi di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya selama masa Orde Baru, meskipun kepala desa sudah dipilih langsung secara periodik, pemerintahan di tingkat desa itu ternyata belum demokratis.

Terlebih lagi pada proses pemilihan kepala desa (pilkades) yang juga sering diwarnai isu politik uang atau intrik politik. Hal ini didorong oleh terbatasnya anggaran penyelenggaraan pilkades. Keterbatasan anggaran ini membuat hanya para calon yang memiliki dana cukup yang mampu bersaing di dalam pilkades tersebut.

***
Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di Indonesia, muncul harapan baru akan hidupnya iklim demokrasi di tingkat desa dengan terbitnya UU No 22 Tahun 1999. UU tersebut menghidupkan adanya parlemen desa, yakni badan perwakilan desa (BPD) yang diharapkan bisa berfungsi sebagai kontrol terhadap kepala desa. Namun harapan tersebut tidak bertahan lama.

Berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mencakup perubahan fungsi BPD dari badan perwakilan desa menjadi badan permusyawaratan desa membuat demokrasi di desa kembali tersumbat. Dengan itu, pemerintahan desa dikhawatirkan akan kembali menjadi sekedar kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah tingkat di atasnya.

Di daerah-daerah tertentu (seperti daerah tertinggal atau daerah terpencil), katup demokrasi di tingkat desa bukan saja masih tersumbat, tapi bahkan cenderung tertutup. Hal ini karena di daerah-daerah tersebut para pemimpin informal (seperti kepala suku atau kepala adat) relatif lebih berpengaruh di kalangan masyarakat desa dibandingkan dengan pemimpin formal (seperti kepala desa, RT dan RW). Padahal umumnya para pemimpin informal tersebut tidak dipilih melalui pemilihan langsung, melainkan berdasarkan keturunan (warisan).

Dengan kata lain, di samping relatif tidak demokratis, pola kehidupan masyarakat di daerah-daerah tersebut juga masih bersifat antropologis. Di daerah-daerah yang pola kehidupan masyarakatnya masih bersifat antropologis, sifat kelembagaan formalnya lebih tidak demokratis dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Misalnya di dalam penetapan ketua-ketua sejumlah lembaga di lingkungan pemerintahan desa.

Pada umumnya orang-orang yang mengisi posisiposisi penting di dalam kelembagaan desa (misalnya BPD) adalah tokoh-tokoh masyarakat/adat/suku sehingga membentuk struktur yang sifatnya oligarkis. Dengan kata lain,tidak akan ada partisipasi secara luas dan terbuka dari masyarakat di mana masyarakat bisa mengajukan pendapat maupun menyalurkan aspirasi secara bebas. Lembaga-lembaga seperti itu umumnya hanya menjadi semacam mesin politik guna mempermudah mobilisasi. Hal ini terbukti ketika ada alokasi dana ketika masyarakat umumnya tidak dilibatkan.

***
Meskipun iklim demokrasi di tingkat desa sampai saat ini umumnya masih minim, desa tetap merupakan entitas pemerintahan yang berada di “garis depan”, dalam artian langsung berhubungan dengan akar rumput (rakyat). Hal ini membuat desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal.

Apalagi secara geografis, lokasi desa umumnya berjarak cukup jauh dari pusat pemerintahan di tingkat atasnya. Sebagai entitas wilayah paling dekat dengan akar rumput, desa seyogianya bisa memegang peranan sentral di dalam menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena lebih dari 50% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di perdesaan. Namun pada kenyataannya hal itu tidak demikian karena sampai saat ini masyarakat perdesaan hanya menguasai akses ekonomi tidak lebih dari 10%.

Pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004 yang lebih menekankan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan terkesan mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan negara. Hal ini membuat jaringan pemerintahan di Indonesia pada umumnya hanya efektif sampai ke tingkat kecamatan (tidak sampai ke tingkat desa). Itu pun hanya berlaku bagi kecamatan yang berlokasi relatif dekat dari pusat pemerintahan di atasnya (kabupaten/kota/provinsi) ataupun memiliki akses transportasi dan telekomunikasi yang baik.

Sementara bagi kecamatan yang berjarak jauh dari pusat pemerintahan (daerah terpencil), baik di Jawa maupun luar Jawa,kualitas jaringan pemerintahannya sangat merisaukan. Akibatnya, umumnya masyarakat perdesaan di Indonesia kurang mendapatkan pelayanan publik di dalam berbagai hal,baik pelayanan pendidikan,kesehatan,perizinan di dalam memulai usaha maupun akses ke sumber perkreditan.

Masyarakat perdesaan di Indonesia, khususnya yang berlokasi di daerahdaerah terpencil, adalah masyarakat yang hidupnya terisolasi. Akibatnya, mereka dituntut oleh keadaan untuk selalu berupaya keras agar bisa berswasembada pangan. Sebab, jika tidak, mereka akan terancam kelaparan. Oleh karena itu masyarakat desa dengan karakteristik seperti ini pada umumnya masih hidup dari sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, terutama sebagai petani subsisten.

Tidak banyak di antara mereka yang menjadi pengolah komoditas pertanian. Akibatnya, di luar pangan tidak banyak nilai tambah yang bisa mereka hasilkan. Perlu ada upaya untuk mengantarkan masyarakat antropologis dari pola hidup yang belum komersial ke pola hidup komersial. Mereka seyogianya diarahkan agar (setahap demi setahap) bisa beralih dari kegiatan pertanian tanaman pangan (yang bersifat subsisten) ke kegiatan nonpertanian atau kegiatan pertanian yang lebih komersial (seperti tanaman perkebunan) sehingga lebih menghasilkan nilai tambah.

Terkait dengan masih minimnya iklim demokrasi di tingkat desa, terutama yang masyarakatnya masih bersifat antropologis, mau tidak mau (suka tidak suka) upaya yang dilakukan pun masih perlu melalui pendekatan antropologis. Misalnya di dalam hal mengenalkan bibit-bibit baru, tokoh- tokoh dulu yang harus diyakinkan lewat keberadaan demontration plot atau demplot tentang kemanfaatan bibit-bibit baru tersebut.

Di dalam masyarakat antropologis sangat diperlukan adanya contoh-contoh nyata dari upaya-upaya dan hasil-hasil yang diperoleh. Maklum, masyarakat tradisional umumnya bersifat konservatif.(*)

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI)

Di Seputar Stimulus Fiskal

Oleh: M Fadhil Hasan
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Januari 2009

Ketika rumah tangga dan dunia usaha melihat ketidakpastian ekonomi akibat resesi, pemerintah harus mengambil peranan yang lebih nyata lagi, bukan hanya mengatur perekonomian, tapi langsung terjun melakukan intervensi ke dalam perekonomian melalui stimulus fiskal.

Adalah ekonom terbesar setelah Adam Smith,yaitu John Keynes, yang menyerukan hal tersebut. Hari-hari ini ketika beberapa negara maju mulai mengalami resesi ekonomi, stimulus fiskal kembali menjadi mantra para pengambil kebijakan ekonomi di hampir semua negara. Tujuannya jelas, dengan stimulus fiskal, pemerintah diharapkan dapat menerobos kebuntuan dengan meningkatkan permintaan melalui peningkatan belanja rumah tangga dan dunia usaha.

Semua sepakat dengan konsep tersebut. Memang pada krisis Asia tahun 1997/1998,justru IMF memberikan resep pemulihan ekonomi yang bertolak belakang dengan yang kini dilakukan oleh berbagai negara. Karena itulah krisis Asia 1997/1998, terutama di Indonesia, berjalan lebih lama dan pemulihannya sangat lambat karena resep yang digunakan ternyata salah belaka. Namun pertanyaan yang sering dilupakan oleh para pengambil kebijakan adalah bagaimana merumuskan secara efektif dan efisien stimulus fiskal tersebut.

Sebagaimana dinyatakan Keynes, selain terdapat cara yang sehat untuk menjalankan stimulus tersebut, terdapat pula cara yang kurang sehat––walau juga dikemukakan bahwa memberikan stimulus jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan tidak melakukan apa-apa.

***
Sudah barang tentu diharapkan stimulus fiskal yang dijalankan berjalan dengan efektif dan efisien. Sebab, jika tidak, ini merupakan penghamburan uang negara yang sia-sia, yang pada akhirnya rakyat juga yang harus menanggung bebannya. Selain itu, stimulus juga bukan sesuatu yang gratis.

Ada pengorbanan yang harus ditanggung oleh ekonomi. Sebab, stimulus fiskal sebenarnya merupakan realokasi sumber daya dari masa depan ke masa sekarang. Karenanya harus dipastikan bahwa penggunaan pada masa sekarang harus lebih baik dan produktif sehingga beban di masa mendatang akan lebih kecil. Atau, dengan kata lain penggunaan yang dipilih sekarang lebih produktif dibandingkan penggunaan yang ditinggalkan. Karenanya, pemilihan kebijakan dan program stimulus fiskal ini akan sangat menentukan efektivitas dan efisiensinya.

Debat tentang bagaimana menjalankan stimulus fiskal ini bukan hanya terjadi di sini, melainkan juga di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Sebagaimana diketahui, pemerintahan Barack Obama kini akan menjalankan program stimulus fiskal melalui program yang disebut American Recovery and Reinvestment Plan (ARRP) bernilai USD 1 triliun. Stimulus sebesar itu diharapkan akan dapat menciptakan kesempatan kerja sebanyak 3,675 juta orang sampai akhir 2010.

Debat yang kini terjadi bukan hanya pada tataran besarnya rencana tersebut yang merupakan stimulus terbesar yang pernah dijalankan, tapi juga untuk program apa saja stimulus tersebut digunakan. Sampai saat ini Presiden Obama belum memberikan rencana detail stimulus tersebut. Padahal semua sepakat bahwa the devil is on the details. Karena itu, Kongres pun belum tentu sepakat dengan rencana tersebut. Dalam kasus AS, untungnya adalah tersedia berbagai hasil kajian tentang efektivitas dari berbagai pilihan program stimulus fiskal tersebut.

Misalnya diketahui apakah lebih efektif memperbaiki atau membangun baru dalam kaitan dengan infrastruktur. Ternyata perbaikan infrastruktur lebih efektif dengan pembangunan baru, di samping lebih banyak dapat menyerap tenaga kerja sebesar 9% dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur yang baru. Dengan adanya hasil-hasil kajian ilmiah ini akan lebih mudah tentunya untuk memilih dan menjalankan program stimulus fiskal yang efektif dan efisien.

Pemerintah Indonesia kini tengah mempersiapkan stimulus fiskal serupa dengan yang dilakukan di negara-negara lain. Dalam anggaran yang telah disetujui DPR, stimulus sebesar Rp12,5 triliun akan diluncurkan pada 2009. Namun rencana ini kemudian mengalami perubahan. Kini pemerintah merencanakan akan menambah stimulus tersebut menjadi Rp27,5 triliun yang diambil dari dana Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) APBN Perubahan 2008.

Sementara itu, pihak DPR mengusulkan tambahan stimulus sebesar Rp38 triliun yang diambil dari SILPA sehingga total stimulus menjadi Rp50,5 triliun.

***
Kini rencana tersebut sedang dibahas pemerintah dan Panitia Anggaran DPR RI melalui APBN Perubahan 2009. Namun sebenarnya yang jauh lebih penting adalah merumuskan kebijakan dan program stimulus serta sasaran terukur yang ingin dicapai dari program stimulus tersebut. Apalagi kita belum banyak memiliki pengalaman dalam menjalankan program stimulus dalam skala besar.

Terlebih lagi—tidak seperti di AS misalnya—, belum banyak kajian yang melihat efektivitas dan efisiensi dari berbagai program stimulus ini. Boleh jadi kemudian program stimulus ini tidak didasarkan pada kebutuhan dan prioritas yang seharusnya melainkan pada selera para pengambil kebijakan. Karenanya penting sebelum menentukan berbagai program stimulus tersebut pemerintah berbicara dengan stakeholder (kalangan dunia usaha,l embaga penelitian/perguruan tinggi, dan NGO) untuk meminta masukan tentang prioritas program stimulus tersebut.

Dengan demikian program dijalankan dengan prinsip demand driven, bukan supply driven. Namun terdapat beberapa prinsip penting dalam menjalankan program stimulus tersebut. Pertama, prioritaskan pada investasi barang publik seperti infrastruktur, R&D di bidang pertanian, perbaikan dan pembangunan sarana serta prasarana yang mendukung aktivitas produksi dan distribusi, serta perluasan infrastruktur kelistrikan. Kedua, pemberian potongan pajak bagi dunia usaha harus benar-benar selektif dan didasarkan pada kriteria yang transparan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa adanya insentif terhadap dunia usaha akan mengakibatkan para pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi melakukan lobi-lobi agar industrinya bisa memperoleh insentif tersebut. Tanpa ada kriteria yang jelas sangat mungkin insentif yang diberikan berakhir dengan sia-sia. Ketiga, stimulus harus diberikan kepada orang-orang yang rentan terhadap krisis seperti kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin.

Selain memelihara tingkat kehidupan mereka agar tidak lebih terpuruk lagi, ternyata memberikan stimulus kepada kelompok masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemotongan pajak untuk kelompok menengah dan atas.

Hasil kajian menunjukkan bahwa memberikan uang kepada kelompok yang tidak bisa menabungkannya merupakan salah satu cara paling efektif untuk mendongkrak ekonomi. Sebab, kelompok ini pasti akan menggunakan uang yang diperolehnya untuk menopang kehidupan mereka, sedangkan kelompok menengah atas kemungkinan akan menabungkannya jika mereka memperoleh pemotongan pajak.

Pada akhirnya program stimulus merupakan proses yang serba tidak pasti. Tidak ada satu pun orang yang dapat memastikan apa yang terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap ekonomi. Demikian pula program stimulus selalu menghasilkan penikmat dan pecundang.

Tidak mungkin semua pihak menerima manfaat yang setara. Keraguan akan efektivitas program stimulus selalu ada. Karena, sebagaimana sering dikemukakan pemerintah, mungkin saja dapat membelanjakan anggaran secara cepat, tapi pemerintah belum dapat membuktikan bisa membelanjakannya secara bijak. Namun, melakukan sesuatu walau tidak pasti lebih baik ketimbang tidak melakukan apa-apa.(*)

Penulis adalah Ekonom Senior INDEF

Menghadapi Ancaman Pengangguran

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Januari 2009

Saat ini Indonesia belum sepenuhnya bangkit dari krisis moneter yang melanda 11 tahun lalu. Tingkat pengangguran saat ini masih lebih tinggi, yaitu sekitar 8,46%, dibandingkan 11 tahun lalu sekitar 6,42%.

Kemiskinan masih sekitar 15,4%, jauh di atas kondisi sebelum krisis yang hanya 9%. Dengan indikator sosial yang buram tersebut, kini kita menghadapi sebuah ancaman baru yang merupakan perpaduan antara krisis keuangan global dan ketidaksiapan Indonesia dalam melakukan mitigasi. Sampai bulan akhir Desember, data resmi menunjukkan bahwa telah terjadi PHK terhadap sekitar 90.000 pekerja. Tentu hal ini masih sangat underestimate karena belum memasukan PHK yang terjadi di sektor informal dan pertanian yang memang sulit untuk dideteksi.

Beberapa asosiasi pengusaha bahkan pernah memperkirakan krisis kali ini akan membuat angka pengangguran naik sekitar 1,2 juta sampai 2,5 juta orang. Sebuah gambaran yang terlalu mengerikan bagi sebagian besar para pencari kerja. Ada beberapa indikasi yang mengakibatkan kita menjadi jeri karena krisis kali ini mungkin memiliki implikasi sosial yang jauh lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Kalau Anda sempat jalan-jalan ke sentrasentra UKM dan industri kecil seperti Bandung Selatan, Yogyakarta, dan Jepara, Anda akan mendapatkan banyak keluhan dari para pengusaha di sana. Ternyata perusahaan garmen, kerajinan, dan mebel di sana banyak yang sudah menghentikan kegiatannya sejak Oktober yang lalu.

Karena sifatnya adalah usaha informal, perihal perumahan karyawan dan PHK permanen di dalamnya tidak tercatat di Dinas Ketenagakerjaan. Rontoknya UKM berorientasi ekspor ternyata sudah terjadi lebih dahulu dibandingkan perusahaan besar. Anda juga bisa dengan mudah melihat kesulitan yang dihadapi para petani perkebunan di sepanjang pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Karena harga berbagai komoditas mengalami penurunan, para petani ini tidak lagi mengurus lagi kebun mereka. Buruh kebun tidak lagi bisa bekerja. Buruh telah di-PHK secara tidak formal.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek lanjutannya. Beberapa produsen kendaraan bermotor seperti Kanzen dan produsen elektronik seperti Vitron telah mengalami penurunan penjualan dengan kisaran 30–50%. Penurunan daya beli di sektor yang berorientasi ekspor telah mengakibatkan penjualan barang yang tidak diekspor sekalipun menjadi turun secara tajam. Industriindustri yang berorientasi domestik juga telah terimbas krisis. Akibatnya, mereka pun harus melakukan PHK.

Penurunan daya beli sekarang ini telah merambah segmen atas maupun menengah bawah. Daya beli di segmen atas tergerus oleh menurunnya harga-harga aset, terutama karena merosotnya harga saham selama beberapa bulan terakhir. Segmen menengah bawah mengalami penurunan daya beli, terutama karena turunnya harga komoditas serta terjadinya PHK secara mendadak. Pada gilirannya hal ini lambat laun akan menurunkan permintaan agregat yang ujungnya adalah PHK.

Lantas bagaimana cara mengatasinya? Pemerintah saat ini tengah mengajukan paket stimulus baru yang angkanya terus-menerus berubah, dari Rp50 triliun turun menjadi Rp27,5 triliun. Angka finalnya harus kita tunggu melalui kesepakatan dengan DPR. Berapa pun besarnya, yang harus menjadi fokus perhatian kita sekarang adalah bagaimana menggunakan uang yang sedikit tersebut supaya bisa meringankan beban pengangguran. Intinya, stimulus harus dirancang untuk menyediakan lapangan kerja secara sementara. Yang sudah pasti stimulus tersebut akan digunakan untuk pembebasan PPN dan bea masuk.

Artinya, stimulus dirancang untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Ini disebut dengan tax saving. Ada pengalaman menarik mengenai hal ini di Amerika. Stimulus yang sama sudah diterapkan lebih dahulu di negeri tersebut. Menariknya, perusahaan yang diberi stimulus pajak ternyata tetap bangkrut atau minimal melakukanPHKsecarabesar-besaran. Tampaknya paket stimulus seperti ini tak bisa juga diandalkan di negeri kita.

Masalahnya adalah merosotnya daya beli masyarakat yang berakibat pada kemerosotan permintaan domestik. Menghadapihalsepertiini,perusahaan pasti tidak akan bisa meningkatkan produksi walaupun diberi berbagai paket stimulus. Masalahnya ada di demand side, tetapi kemudian stimulus dilakukan di supply side. Obatnya tidak sesuai dengan penyakitnya. Dengan melemahnya permintaan rumah tangga, obat Keynesian tampaknya merupakan satu-satunya alternatif.

Solusinya relatif sederhana, yakni memperbesar belanja pemerintah untuk menggantikan belanja rumah tangga yang sedang menurun. Artinya, stimulus ekonomi harus berupa direct spendingdan bukan berupa insentif pajak ataupun berbagai bentuk keringanan fiskal lain. Namun, dalam praktiknya, solusi Keynesian ini lebih sulit dari yang kita bayangkan. Barang yang dibeli pemerintah biasanya berbeda dengan belanja rumah tangga. Artinya,kalau struktur belanja pemerintah tidak disesuaikan, bisa-bisa justru stimulus ini salah alamat.

Contohnya adalah belanja pemerintah atas barang impor yang justru sangat berpotensi untuk memperparah balance of payment. Selain itu, kita juga mesti berhatihati dengan penggunaan belanja pemerintah ini. Alokasi belanja harus diutamakan untuk barang-barang yang sedang terpuruk permintaannya. Tak semua barang menghadapi masalah penurunan permintaan. Ada jenis-jenis barang yang di waktu krisis justru mengalami peningkatan permintaan.

Barang-barang tersebut terutama adalah dari jenis lower end. Dalam keadaan krisis, masyarakat biasanya melakukan penghematan dengan cara membeli barang yang kualitasnya lebih rendah. Yang biasanya membeli barang bermerek ternama kemudian membeli merek apa pun asal fungsinya sama. Sebagai penutup, dalam situasi krisis kita harus selalu ingat bahwa sumber daya keuangan pemerintah sangatlah terbatas. Karena itu, paket stimulus apa pun yang direncanakan harus betul-betul bisa efektif dalam pelaksanaannya.

Diperlukan kehatihatian dan kecerdasan tersendiri untuk merancang paket stimulus yang efektif. Pesan saya,jangan cuma copy paste dari kebijakan yang dilakukan di negara-negara maju.(*)

Penulis adalah Senior Economist, InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

Mengguritanya Perusahaan Multinasional

Liberalisasi memberi jalan eksploitasi yang menguntungkan MNCs

Oleh: Deden Hendrawan
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 Januari 2009

Monopoli pasar dunia yang dilakukan oleh perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs) begitu menggurita. Lihat saja ketika hanya 10 MNCs menguasai 53% perdagangan farmasi dunia.

Sepertiga dari total US$23 miliar pasar benih komersial dikuasai oleh 10 MNCs. Sementara itu, 80% perdagangan dunia pestisida senilai US$27,8 miliar dikuasai oleh hanya 10 perusahaan.

Akumulasi penghisapan dapat terlihat dari kekayaan MNCs yang fantastik, bahkan bisa melebihi kekayaan suatu negara. Dari 50 entitas kaya di dunia, 14 di antaranya diduduki oleh MNCs. Kekayaan Wallmart di atas Swedia, Austria dan Norwegia. Sementara itu, Exxon mobil di atas Denmark.

Yang paling mencengangkan adalah ternyata perbandingan antara nilai penjualan MNCs dan PDB negara menghasilkan 52 dari 100 terbesar adalah korporasi dan negara hanya 48 lebihnya. Bahkan yang paling menakjubkan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk pakaian dan barang rabat lainnya di Wal-Mart, pada 2003 adalah lebih besar daripada PDB 174 negara.

Walaupun berisiko terserang kanker, para perokok membantu Philip Morris menaikkan hasil penjualannya pada 2003, lebih tinggi dari 148 negara. Raksasa perangkat keras Home Depot berkembang dari 200 toko menjadi 1.500 selama dasawarsa yang baru, dengan hasil penjualan yang melampaui PDB 147 negara.

Kehidupan 2,8 miliar orang yang berada di 182 negara ini ternyata tak lepas pula dari kontrol dan hegemoni MNCs. Deregulasi, privatisasi dan liberalisasi memberi jalan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang menguntungkan MNCs, sementara negara cukup puas dengan pajak dari aktivitas MNCs, tetapi menyisakan kerusakan lingkungan dan konflik sumber daya alam yang tidak berkesudahan, serta mencerabut sumber kehidupan masyarakat setempat.

Dalam konteks Indonesia sebut saja kasus Freeport, Newmont batu hijau, kebakaran hutan dan banjir karena illegal logging. Tingkat kerusakan hutan telah mencapai 2,4 juta per tahun dan hampir 70% terumbu karang dalam kondisi rusak.

Lapangan kerja yang tersedia hanya 1,3 juta tetapi jumlah pertambahan tenaga kerja mencapai 1,8 juta jiwa per tahunnya. Defisit 500.000 penganggur tersebut dan hilangnya basis hidup di desa mendorong lahirnya pekerja migran yang tidak semuanya terlindungi. Biasanya mereka mencari pekerjaan di kota, menjadi pekerja rumah tangga, buruh pabrik ataupun buruh kontrak lainnya. Sering mereka menempuh risiko untuk bekerja ke luar negeri. Angka pekerja migran semakin tinggi, tetapi perlindungan negara terhadap mereka belum memadai.

Wajah lain adalah kemiskinan perempuan. Kemiskinan struktural terutama di daerah perdesaan masih menjadi penyebab hancurnya penghidupan perempuan. Angka kematian ibu pada 2003 mencapai 470/ 100.000 kelahiran, angka tertinggi di Asia. Angka kematian karena praktik aborsi tidak aman mencapai 150.000 per tahun. 64,5% dari orang miskin di Indonesia pendidikannya tidak sampai SD atau bahkan sama sekali tidak sekolah, 44% di antaranya buta huruf yang mana 79,6% adalah perempuan.

Ikon kedigdayaan

Sementara itu, MNCs masih merupakan ikon kedigdayaan finansial global. Bahkan sering tak segan-segan memakai 'tekanan politik' langsung (selain lewat Bank Dunia, IMF dan WTO) untuk mempertahankan kedigdayaan itu. Hasil survei Transparansi Internasional (TI) memperlihatkan bahwa penanaman modal asing dari AS dan Organisasi Kerja sama Ekonomi (OECD) memperoleh keuntungan dari tekanan politik yang dilakukan mereka, yaitu 48,4 % untuk perusahaan AS dan 54,8% perusahaan OECD.

MNCs merupakan aktor dominan yang paling banyak mendapatkan 'anugerah' dan 'durian runtuh' melalui proyek globalisasi ala neoliberalisme ini.

Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad milenium, perusahaan multinasional berskala raksasa tersebut meningkat secara pesat dari sekitar 7000 MNCs pada 1970, dan dalam 1990 jumlah itu meningkat mencapai 37.000 MNCs.

Pada masa lalu mereka berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar-MNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan dunia.

Pada perkembangannya, MNCs juga telah menguasai 75% dari total investasi global. Ada 100 MNCs dewasa ini menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan dunia (Fakih, 2005).

Dalam kenyataannya, 200 MNCs teratas dunia sedang menciptakan 'apartheid ekonomi global', yaitu ketimpangan kesejahteraan dan akses terhadap sumber daya yang luar biasa besar.

Misalnya, delapan perusahaan telekomunikasi teratas dunia menikmati penjualan US$290 juta, sementara 90,1% dari semua orang di dunia hidup tanpa menikmati jaringan telepon. Demikian pula, 31 bank dalam korporasi teratas mempunyai aset gabungan sebesar US$10,4 triliun dan penjualan lebih dari 8 miliar dolar pada 1998.

Sementara itu, hampir 4,8 miliar penduduk dunia hidup di negara dengan produk nasional bruto per kapita kurang dari US$1.000 per tahun; hanya segelintir orang yang punya akses pada kredit dari bank transnasional.

Fungsi negara untuk memenuhi kebutuhan warganya semakin dilemahkan dengan menyerahkan hampir seluruh isu publik ke tangan swasta melalui mekanisme privatisasi. Globalisasi, kemiskinan dan HAM adalah tiga isu besar yang sangat terkait satu sama lainnya.

Globalisasi menambah angka kemiskinan, dan kemiskinan adalah ketika hak-hak warga negara tidak terpenuhi. Kemiskinan merupakan produk ketidakadilan dalam masyarakat dunia.

Penulis adalah Alumnus University of Illinois USA

The Economic Stimulation in the Year of Politics

By: Umar Juoro
Source: The Jakarta Post, January 27, 2009

SBY’s administration has been very aggressive lately in stimulating the economy as a response to the impact of the global economic crisis that coincides with the upcoming legislative and presidential elections.

The government plans to increase the budget deficit from 1 percent to 2.5 percent GDP financed by the budget surplus last year and by foreign loans from multilateral and bilateral parties. The budget deficit would increase from Rp 51.3 trillion (US$4.5 billion) to Rp 132 trillion.

This move is welcome as other countries are also aggressively stimulating their economies with large amounts of funding. At the same time Bank Indonesia (independently) cut the interest rate more aggressively by 50 basis points in January and likely another 50 basis points in February as inflation is no longer the issue.

The question is whether the stimulus will be effective and whether the political environment will support the move.

In the post-1998 crisis era, the main problem of economic development in Indonesia is actually not so much to do with financing, but its execution and getting things done.

The large budget surplus in 2008 shows the government has been able to increase revenue significantly both from tax and non-tax revenues.

However, this also shows that budget management is not that sound. Goods expenditure was only about 83 percent.

Despite the report of capital expenditure reaching more than 90 percent, there is doubt whether this is really spending with tangible results, or whether it is simply still at the bidding process level.

Not to mention a huge amount of unspent budget at the local government level that reached around Rp 45 trillion. Judging from this, the effectiveness of the stimulation is in doubt if the priority is for the government’s large infrastructure projects.

Certainly, infrastructure development is very important, but the focus should be on selected projects where the bidding process is manageable, the implementation reaches its target and it is also accountable. Otherwise, this would create another long process of corruption investigations later on.

The government also would like to stimulate the private sector through tax incentives, especially VAT and duty free waivers.

This would synergize with the implementation of the reduction of tariffs for income tax based on the new tax law.

This policy could directly benefit companies, so that they could maintain capacity and keep their workers from being laid off by using funds that are supposed to be paid for VAT and duty fee.
The problem is how to select which sectors and companies get the facility.

The other area for additional expenditure is the program related to reducing unemployment and poverty. As the economy slows down, probably in the range of 4-5 percent growth, the problem of unemployment will worsen as companies lay off their workers.

Poverty might also be getting worse, but the decrease in the price of basic necessities triggered by cutting the price of fuel would play an important role as a cushion for the poor.

Nevertheless, the poor need support from the government to deal with the worsening economic conditions. Increasing subsidies for SMEs under the Kredit Usaha Rakyat (KUR or the People’s Entrepreneurship Credit) program is a good idea, but this mainly reaches SMEs that are already bankable.

In fact the rolling fund to community groups is an appropriate program. However, there should be some improvement in accountability, as the Minister of Finance postponed the program based on the Supreme Audit Agency’s (BPK) report.

Cash transfer is considered to be an effective program that can reach the poor directly. In order for the poor to be able to use the cash wisely however, the conditionality program is more appropriate, where the fund can only be used for education, health, and basic necessities.

It is a good idea to extend these programs at the sub-district level (kecamatan) under the PNPM program.

However this does cause resentment from local government leaders who have political backgrounds other than the ruling parties Golkar and Partai Demokrat.

In principle, the more direct the stimulus into companies and households, the more effective it becomes. Relying too much on the government, both central and local, to undertake large-scale projects would have little chance of success. There should be a selective approach in this area.

This has a lot to do with the low capacity of the bureaucrats, including their difficulties in handling audit processes and corruption investigations.

In prioritizing the direct program, the issue is how to identify the target groups, so that it would not end up in the wrong hands.

Political resistance is a serious parallel issue here, as politicians are very sensitive to government programs that benefit certain political parties and candidates.

Members of parliament, especially from the opposition party the PDI-P, rejected the idea of implementing the economic stimulus immediately using the additional budget under an emergency agreement, without having to wait for the formal revision that could only be implemented in June.

The opposition also criticizes the ruling party’s (the Partai Demokrat) campaign highlighting the SBY government’s success in cutting fuel prices three times, while actually it is simply the consequence of the decline in the world’s oil price.

Considering this political issue, it is wise for the government to facilitate a wider participation, including the opposition, to take part in the effort to handle the impact of the global economic crisis.

Since the opposition party is also strongly represented in local governments, it is politically wise to let them contribute to planning the economic stimulus and in implementing it.

The PNPM program, or others similar to it, should not just be claimed as the current government’s program, but part of a common, integrated effort.

Similarly the argument for allowing the immediate use of the additional budget should also be considered a common effort.

At this difficult time, a common effort is really needed. Each political party and candidate can claim their contribution and the results that have certainly benefited the people.


The writer is Chairman of CIDES (Center for Information and Development Studies), Senior Fellow, the Habibie Center.