Thursday, February 5, 2009

Harga Patokan Listrik Swasta dan APBN

Oleh: Makmun
Sumber: Koran Tempo, 5 Februari 2009

Pemerintah akan menetapkan patokan harga jual listrik dari pengembang swasta ke PT PLN (Persero) sebesar US$ 0,058-0,08 per kWh untuk listrik yang diproduksi dari berbagai jenis pembangkit. Direksi PLN telah mengusulkan patokan harga jual listrik dari berbagai jenis pembangkit. Tampaknya penetapan ini didasarkan pada PLN, yang mengajukan usulan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi US$ 0,068-0,08 per kWh, pembangkit listrik tenaga uap batu bara US$ 0,058-0,07 per kWh, dan pembangkit listrik tenaga air tanpa bendungan US$ 0,05-0,06 per kWh.

Harga jual itu secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan ketetapan pemerintah sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 44 Tahun 2006, harga beli listrik oleh PLN ditetapkan US$ 0,045 dan US$ 0,0495. Selanjutnya, patokan harga jual listrik tersebut merupakan rentang harga yang akan dipakai PLN dalam tender, terutama untuk proyek 10 ribu MW tahap II dari independent power producer. Rentang harga itu didasarkan pada kapasitas penyediaan listrik yang dibagi menjadi beberapa kategori dari jenis pembangkit.

Rencana patokan harga listrik swasta ini disambut gembira oleh pengembang listrik swasta. Hal ini tecermin antara lain dari tanggapan Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Suryadharma, meskipun asosiasi masih berharap, jika memungkinkan, harga listrik, khususnya yang berasal dari panas bumi, bisa lebih tinggi lagi. Industri panas bumi mengharapkan angka lebih tinggi, yaitu US$ 0,917 per kWh untuk PLTP di bawah 55 MW, US$ 0,082 per kWh untuk PLTP skala 55-110 MW, dan US$ 0,076 per kWh untuk PLTP di atas 110 MW.

Sebagaimana diketahui, sejak pemerintah membuka diri terhadap usaha swasta membangun pembangkit listrik pada 1992, telah ada lebih dari 20 perusahaan yang membuat perjanjian jual-beli listrik dengan PLN. Harga penjualan sangat bervariasi, misalnya PLTGU Sengkang berkapasitas 80 megawatt (MW) yang beroperasi pada 1997 ini menjual listrik kepada PLN 6,55 sen dolar AS per kWh. PLTGU gas alam Pare-pare milik PT Makassar Power Corporation (beroperasi 1997) dijual dengan harga 6,33 sen dolar, sedangkan PT East Java Power Corporation yang beroperasi pada 2000 seharga 5,67 sen dolar.

Sementara itu, berdasarkan data pada PLN, pada 2007 harga kontrak listrik PLN dengan Paiton adalah 7,03 sen dolar per kWh, Paiton II 5,097 sen dolar per kWh, PLTP Gunung Salak unit IV,V, dan VI sebesar 6,26 sen dolar per kWh, PLTP Wayang Windu sebesar 5,61 sen dolar per kWh, PLTP Darajat Unit II dan III sebesar 5,76 sen dolar per kWh, PLTP Dieng sebesar 4,86 sen dolar per kWh, dan PLTU Cilacap 6,24 sen dolar per kWh. Dengan harga kontrak tersebut, selama ini tidak ada masalah. Namun, kenapa tiba-tiba PLN mengusulkan HPS baru yang jauh lebih mahal?

Dari sisi risiko fiskal, perkembangan subsidi listrik, selain dipengaruhi oleh perkembangan indikator ekonomi makro seperti harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah, dipengaruhi oleh kebijakan harga patokan listrik swasta (HPS) yang ditetapkan pemerintah atas usulan PLN. Penetapan HPS yang terlalu tinggi di satu sisi akan menjadi stimulus bagi pengembang listrik swasta. Tetapi, di sisi lain, apabila HPS ditetapkan di luar kewajaran, pemerintah akan menanggung risiko fiskal yang tinggi pula. Atas usulan HPS PLN ini, muncul kesan seolah-olah risiko APBN dikendalikan oleh PLN.

Sebagai kontrol

Menurut rencana, harga patokan listrik swasta akan digunakan sebagai kontrol PLN terhadap harga yang diajukan pengembang, terkait dengan perkembangan harga jual listrik yang dinamis. Namun, HPS yang cukup mahal tersebut mencerminkan bahwa PLN selama ini tidak memiliki tim negosiator tangguh dalam proses tawar-menawar dengan pihak swasta yang menanamkan investasinya dalam bidang tersebut. PLN mestinya sudah memiliki pengetahuan yang cukup dalam menentukan faktor-faktor mana yang bisa dimasukkan dalam penentuan harga.

Dalam teori ekonomi, penjual tentunya menginginkan harga tinggi, sementara pembeli tentu juga menginginkan kebalikannya. Kalau PLN membeli dengan harga mahal, tak hanya keuntungan PLN akan semakin kecil, tapi pemerintah juga akan dirugikan karena subsidi listrik juga akan membengkak. Karena itu, sesungguhnya yang diperlukan adalah negosiator PLN tangguh, yang tidak hanya berkata yes or no. Sekiranya tim negosiasi PLN serius dan memiliki keberanian untuk berunding, seharusnya PLN dapat menurunkan tarif listrik swasta. Dengan demikian, pemerintah dapat menghemat subsidi listrik dan masyarakat juga mendapat listrik dengan harga lebih murah.

Catatan akhir

Mungkin masyarakat akan bertanya dasar apa yang digunakan PLN dalam mengusulkan tarif listrik swasta. Seharusnya PLN melindungi kepentingan konsumen listrik dan rakyat Indonesia. Apabila PLN bisa membeli listrik swasta lebih murah, harga jualnya pun dapat ditekan. Sementara itu, di sisi pemerintah juga akan diuntungkan karena subsidi juga dapat ditekan. Untuk itu, sebelum HPS ditetapkan, alangkah bijaknya apabila PLN mampu menegosiasikan ulang kontrak jual-beli listrik bagi kepentingan publik, agar pemerintah dan publik tidak lebih dirugikan.

Perlu disadari bahwa listrik adalah hajat hidup orang banyak, sehingga sewajarnyalah listrik dimiliki oleh negara. Sementara itu, peran pihak swasta adalah sebagai kontraktor PLN. Disadari bahwa investasi di bidang kelistrikan sangat dibutuhkan dalam rangka mengatasi krisis tenaga listrik, sehingga wajar apabila investor menginginkan adanya jaminan bahwa investasi yang ditanamkan akan berhasil dan menghasilkan keuntungan. Namun, perlu pula diingatkan bahwa keuntungan investasi tersebut haruslah mengikuti kaidah bisnis yang sehat, dan tingkat pengembalian investasi yang wajar.

Sehubungan dengan permasalahan ini, sebaiknya PLN mengkaji ulang usulan HPS hingga diperoleh harga listrik yang wajar dan sesuai dengan kaidah bisnis yang sehat, sehingga tidak muncul stigma PLN mengendalikan risiko APBN.*

Penulis adalah Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan

No comments:

Post a Comment