Monday, February 2, 2009

Ekspor jasa perlu stimulus

PPN 0% dapat dilakukan sementara

Oleh: Gunadi
Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Februari 2009

Mungkin pantas dipertanyakan mengapa stimulus pajak pertambahan nilai (PPN) 0% tidak berlaku untuk ekspor jasa padahal ekspor jasa barang mendapatkan fasilitas itu.

Apabila pengusaha menyerahkan barang kena pajak (BKP) dari Indonesia keluar daerah pabean (yurisdiksi pemajakan), perlakuan PPN cukup jelas.

Berdasarkan Pasal 4(f) UUPPN, ekspor tersebut kena pajak dengan tarif, menurut Pasal 7(2), yaitu 0% dan berhak atas restitusi (pengkreditan) PM. Di lain pihak, jika pengusaha menyerahkan (memberikan) jasa keluar daerah pabean Indonesia, tidak seperti dalam penyerahan BKP, perlakuan PPN-nya kurang begitu jelas.

Ketidakjelasan muncul karena dalam ketentuan objek pajak (charging provision) Pasal 4 UUPPN tampak tidak ada ketentuan eksplisit yang mengatur tentang pemajakan ekspor JKP (jasa kena pajak).

Karena sama-sama objek PPN, Ben Terra (Sales Taxation-The Case of Value Added Tax in The European Community, 1988) menyatakan bahwa secara teoritis tidak semestinya ada perbedaan prinsip pemajakan antara barang dan jasa. Keduanya dapat diserahkan dan dikonsumsi di dalam ataupun keluar daerah pabean.

Menurut Clara K Sullivan (The Tax on Value Added, 1965) apabila terjadi penyerahan lintas yurisdiksi (keluar daerah pabean), baik barang maupun jasa dapat berlaku prinsip origin (pemajakan oleh negara asal objek) atau prinsip destinasi (pemajakan oleh negara pengimpor sebagai tempat destinasi atau konsumsi objek).

Untuk mendekatkan teori dan praktik, menyelaraskan pemajakan BKP dan JKP serta mendorong ekspor jasa, saat ini di DPR sedang berlangsung pembahasan pemajakan atas ekspor jasa dalam rangka perubahan ketiga UUPPN.

Selain tidak ada rumusan eksplisit PPN atas penyerahan JKP keluar daerah pabean (ekspor), ketidakjelasan pemajakan tersebut juga ditambah oleh tiadanya rumusan eksplisit prinsip apa yang menjadi pedoman pemajakan atas objek yang tidak diatur dalam Pasal 4 UUPPN.

Misalnya mengenai ketentuan equal principle yang dirumuskan dalam Pasal 23(4) UUPPh untuk menentukan tempat sumber penghasilan atas kategori penghasilan yang tidak diatur eksplisit dalam Pasal 23(3).

Tiadanya equal principle yang dapat dipedomani dalam Pasal 4 UUPPN secara yuridis dapat dimaklumi karena substansi pengaturan pasal tersebut mengenai pengenaan pajak (membebani masyarakat) yang lebih substansial dibandingkan dengan Pasal 24(3) UUPPh.

Pasar 24 bersifat komplementer mengatur hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber atas penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 2(4)(b).

Adanya ketentuan komplementer tanpa adanya ketentuan substansial dapat dianggap bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 23A UUD 1945).

Oleh karena dalam praktik memang ada (atau diada-adakan) ekspor jasa, tiadanya rumusan eksplisit pemajakannya menimbulkan keraguan baik dari PKP maupun Kantor Pajak apakah ekspor jasa (1) berhak atas tarif PPN 0%, (2) tidak dikenakan PPN, atau (3) dikenakan pajak 10% karena diserahkan dalam daerah pabean.

Dalam rangka mengurangi keraguan dan ketidakpastian tersebut baik pemerintah, Pengadilan Pajak, maupun Mahkamah Agung semuanya memberikan petunjuk melalui keputusan menteri, surat edaran dirjen, dan putusan hakim.

Terobosan pemberian pedoman pemajakan ekspor JKP agar terdapat kepastian hukum bagi semua pihak perlu diberikan apresiasi. Namun di lain pihak, perumusan ketentuan pajak selain untuk melindungi hak fiskal negara dan masyarakat, juga tidak dapat dengan begitu saja dilepaskan dari ruang dan waktu serta suasana saat terjadinya perumusan undang-undang.

Sebetulnya perlu diperiksa naskah akademis, buku putih, proses historis dan notulen pembahasan naskah kelahiran UUPPN pada tahun 1983. Namun, karena bahan itu semua tidak mudah diperoleh, dapat diduga naskah UUPPN merujuk pada EEC Sixth Directive yang efektif Mei 1977.

Ben Terra menyatakan bahwa pada saat itu ekspor dan impor jasa tidak dimasukkan dalam sistem VAT (Value Added Tax) EEC dengan tidak mengatur tempat dan saat terutangnya PPN.

Terdapat pemikiran bahwa secara administratif dan pengawasan (oleh pabean) tempat terutang VAT yang paling efektif adalah tempat pembelian jasa (purchase principle). Pembelian jasa terjadi ditempat pemberi (pengusaha) jasa terdaftar.

Konsep economic use (pemanfaatan) atas jasa kadang tidak eksis, gagal atau batal serta meragukan. Kalau pemajakan atas jasa berdasarkan pemanfaatan, secara yuridis formal banyak jasa yang kurang berdasar untuk dikenakan pajak. Pembelian menunjukkan adanya pengeluaran yang mewakili ketersediaan jasa untuk konsumsi.

Perbedaan karakter antara barang dan jasa meminta perlakuan administratif yang tidak sama. Barang bersifat visible dan controlable oleh pabean, sedangkan jasa umumnya invisible dan pejabat pabean jarang melihat ekspor jasa.

Barang secara fisik ekspornya dapat diadministrasikan dengan dokumen PEB, ekspor jasa tidak mudah di PEBkan. Dari administrasi dan pengawasan, barang yang visible, controlabel dan dapat diPEBkan saja gampang dimanipulasi apalagi jasa.

Terlepas dari beberapa petunjuk dasar pemajakan JKP di atas, sangat boleh jadi bahwa atas ekspor jasa UUPPN mengikuti arus EEC Sixth Directive dengan menerapkan purchase principle agar terjadi efisiensi administrasi pemungutan PPN mengurangi moral hazard penyalahgunaan tarif 0% atas ekspor jasa dalam rangka mengamankan hak fiskal negara dan masyarakat.

Perubahan paradigma

Selain tidak selaras dengan teori pemajakan atas konsumsi dan menyimpang dari prinsip destinasi, penerapan purchase principle atas ekspor JKP juga mendiskriminasi pemajakan atas barang dan jasa dan kurang memberikan stimulus atas ekspor jasa (terutama jasa profesional) karena dalam cost of sales terdapat unsur PPN.

Untuk mendorong perkembangan sektor jasa yang dirasa dapat memberikan nilai tambah dan lapangan kerja lebih besar dari ekonomi agraris dan ekonomi manufaktur, diperlukan perubahan paradigma pemajakan ekspor jasa.

Perubahan itu dari purchase principle menjadi prinsip yang berterima secara internasional tanpa mengesampingkan aspek administrasi dan pengawasan.

Merujuk pada praktik di Eropa dan Australia, agar lebih kompetitif dan berada pada playing field pada level yang sama dengan beberapa negara mitra, ekspor jasa perlu diberikan stimulus PPN dengan tarif 0% dan berhak restitusi penuh atas PM.

Untuk keperluan administrasi dan pengawasan serta mengurangi penyalahgunaan stimulus, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut tarif 0% sementara dapat diberlakukan misalnya atas: (1) jasa yang berkaitan langsung dengan barang, bumi dan bangunan yang berada diluar yurisdiksi Indonesia.

Penerapan sementara itu juga bisa untuk (2) jasa kepada WPLN yang tidak berada atau mempunyai BUT di Indonesia dan tidak ada kaitan langsung dengan barang, bumi atau bangunan di Indonesia, (3) jasa kepada orang atau badan yang tidak berada di Indonesia, dan dimanfaatkan di luar Indonesia, dan tidak ada kaitan langsung dengan barang, bumi atau bangunan di Indonesia.

Selanjutnya, (4) penyerahan hak atau barang tidak berwujud, atau pemberian hak memanfaatkan hak atau barang tidak berwujud kepada WPLN yang tidak mempunyai BUT atau orang atau badan untuk dimanfaatkan di luar Indonesia.

Kemudian, (5) penyewaan alat transpor untuk digunakan di luar Indonesia, dan (6) pekerjaan atas barang impor yang akan diekspor kembali, dan pemrosesan barang yang akan diekspor.

Atas JKP selain 6 kelompok itu diberlakukan pemajakan berdasarkan purchase principle alias dibayar pajaknya di Indonesia tempat pembelian jasa dilakukan.

Penulis adalah Guru Besar Perpajakan FISIP UI

No comments:

Post a Comment