Friday, February 6, 2009

Manajemen Fiskal yang Panik

Oleh: Achmad Tohari
Sumber: Jawa Pos, 6 Februari 2009

Krisis ekonomi telah memasuki babak baru. Banyak ekonom memprediksi dampak krisis ekonomi yang dimulai dari mortgage crisis di Amerika akan membawa dampak yang lebih dahsyat pada 2009 ini.

Karena itu, banyak negara di dunia berlomba-lomba mencoba meredam dampak krisis melalui stimulus fiskal yang masif. Meskipun kebijakan ini diyakini hanya ditujukan untuk upaya semetara (ad hoc).

Seperti diberitakan Jawa Pos (04/02), Australia kembali meluncurkan paket stimulus fiskal senilai USD 26,5 miliar dan akan disusul dengan rencana Jepang membeli saham untuk membantu perbankan. Sebelumnya, Tiongkok telah mengucurkan paket stimulus lebih dari USD 2.000 miliar; Amerika USD 993 miliar; dan Uni Eropa USD 256 miliar.

Beberapa negara tetangga juga tak ketinggalan. Thailand dan Singapura masing-masing telah menggelontorkan dana USD 8,6 miliar dan USD 13,5 miliar (atau setara Rp 94,6 triliun dan Rp 148,5 triliun dengan asumsi Rp 11.000/USD).

Melihat kondisi itu, pertanyaannya adalah apakah stimulus fiskal tersebut akan efektif sebagai upaya meredam dampak krisis? Dan bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi hal tersebut?

Efektivitas

Perdebatan mengenai peran stimulus fiskal dalam upaya meredam dampak krisis ekonomi semakin memanas seiring dengan pengajuan proposal presiden AS untuk memberikan susulan insentif perekonomian sebesar USD 900 miliar. Dalam teori ekonomi, pemerintah dapat menggunakan dua instrumen sebagai stimulus fiskal, melalui potongan pajak (tax cut) atau meningkatkan pengeluaran pemerintah baik melalui transfer maupun konsumsi (government spending).

Potongan pajak banyak diyakini akan memberikan dampak kepada peningkatan investasi secara simultan. Pada akhirnya, itu akan mampu meningkatkan kesempatan kerja. Penjelasannya, pemotongan pajak diharapkan dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan dunia usaha (profit). Sehingga melalui intrumen ini, pengusaha diharapkan tidak akan menurunkan skala produksinya. Tentu saja hal tersebut akan memberikan kontribusi positif, setidaknya pada stabilitas kesempatan kerja.

Namun, penggunaan instrumen itu juga banyak ditentang. Salah satunya oleh Paul Krugman, nobelis ekonomi 2008. Krugman lebih menghendaki peningkatan pengeluaran pemerintah untuk memompa kemampuan konsumsi masyarakat (Krugman, 2009).

Hal itu sangat beralasan karena seiring dengan lesunya perekonomian, konsumsi masyarakat akan menurun. Konsekuensinya, pemerintah harus meningkatkan konsumsinya untuk mempertahankan stabilitas konsumsi agregat. Konsumsi pemerintah terutama ditujukan untuk keperluan barang modal yang pendanaannya bersifat temporer, namun memiliki manfaat yang berkelanjutan, seperti infrastruktur fisik. Upaya tersebut diyakini akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pemberian stimulus dalam bentuk potongan pajak.

Stimulus Fiskal di Indonesia

Di tengah antusiasme masyarakat menunggu langkah pemerintah untuk meredam dampak krisis ekonomi, pemerintah justru menunjukkan kondisi kepanikan. Beberapa langkah kebijakan fiskal telah dilakukan pemerintah. Namun, hal tersebut justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan fiskal yang baik.

Rencananya, pemerintah akan mengucurkan stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun sepanjang 2009. Enam puluh persen (Rp 43 triliun) akan ditujukan dalam bentuk potongan pajak dan bea masuk. Sisanya, sekitar Rp 28,3 triliun, akan diberikan melalui transfer dan pengeluaran pemerintah.

Dari komposisi tersebut, pengeluaran untuk barang modal hanya Rp 10 triliun, yang ditujukan untuk tambahan belanja infrastruktur; ditambah dengan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) Rp 0,6 triliun.

Kondisi tersebut jelas mengindikasikan bahwa paket stimulus hanya merupakan langkah panik pemerintah. Tujuannya hanya untuk memengaruhi indikator makroekonomi umum seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang kurang efektif dalam meredam dampak krisis.

Seharusnya langkah antisipatif melalui peningkatan pengeluaran pemerintah lebih diutamakan sebagai upaya memompa perekonomian melalui stabilitas konsumsi agregat.

Kepanikan lain lebih terlihat dari langkah mutakhir pemerintah yang menerbitkan Surat Perbendaharaan Pemerintah berjangka dua bulan senilai Rp 500 miliar dengan mekanisme private placement (JP 04/02). Itu dilakukan sebagai upaya mendapatkan tambahan dana yang akan digunakan untuk pembiayaan pemerintah (stimulus).

Sayang, skenario tersebut justru memperlihatkan kegugupan pemerintah karena pasar dapat mengasumsikan pemerintah sedang tidak memiliki cadangan dana yang cukup. Pada akhirnya, pasar justru akan mempertanyakan kembali kemampuan pemerintah meredam dampak krisis melalui stimulus fiskal.

Dengan demikian, penanganan krisis seharusnya dilakukan secara terprogram dan terstruktur, baik dalam penggalian dana maupun pemanfaatannya. Meskipun saat ini kita belum dapat melihat efektivitas kebijakan pemerintah melalui stimulus fiskal, namun diyakini dengan manajemen yang lebih baik, stimulus akan memberikan dampak positif lebih besar terhadap perekonomian.

Penulis adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga dan Utrecht School of Economics, Utrecht University - The Netherlands

No comments:

Post a Comment