Monday, February 9, 2009

Stimulus yang tidak Mulus

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Republika, 9 Februari 2009

Pemerintah akhirnya mengumumkan paket stimulus senilai Rp 56,3 triliun berupa paket perpajakan dan Rp 10,2 triliun berupa tambahan belanja langsung pemerintah. Stimulus ini diharapkan akan menggerakkan sektor riil dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun demikian, paket tersebut banyak mengalami tentangan dari kalangan anggota DPR karena dipandang tidak efektif. Mereka menghendaki agar belanja pemerintah diperbesar dan insentif pajak dikurangi.
Pandangan anggota dewan lebih masuk akal karena beberapa alasan berikut ini:

Pertama, desain paket stimulus tampaknya tidak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, yakni meredam PHK. Tax saving atau penghematan pembayaran pajak tidak akan mampu mengatasi masalah PHK. Perusahaan saat ini sedang mengalami penurunan permintaan yang cukup tajam. Ini terlihat dari anjloknya ekspor akhir-akhir ini. Perusahaan berorientasi domestik sekalipun, seperti produk elektronik bermerek lokal dan sepeda motor lokal telah mengalami penurunan penjualan antara 30 persen sampai dengan 50 persen.

Dengan turunnya penjualan, perusahaan akan secara terpaksa memangkas produksi yang pada gilirannya mengharuskan mereka melakukan PHK. Artinya, stimulus harus dirancang untuk meningkatkan permintaan sehingga perusahaan akan tetap mampu mempertahankan produksi. Persoalannya, stimulus pajak sebagian besar diberikan kepada pelaku usaha sehingga tidak mengatasi masalah permintaan.

Memang perusahaan mendapatkan 'penghasilan tambahan' berupa tax saving. Tetapi, tambahan ini tidak akan dibelanjakan dan lebih banyak digunakan sebagai dana berjaga-jaga untuk mengamankan cash flow. Hal ini sudah terbukti dengan kegagalan pemerintahan George W Bush yang memberikan skema stimulus yang mirip. Karena itu, Barack Obama sekarang ini merombak skema tersebut dengan fokus belanja terhadap produk-produk dalam negeri.

Kedua, paket stimulus ini kurang mencerminkan semangat keberpihakan. Pasalnya, yang paling berpotensi untuk terkena PHK massal adalah buruh kontrak tidak tetap dan buruh tetap di lini produksi. Jelas mereka ini adalah kategori buruh dengan upah lebih rendah yang tidak termasuk sebagai pembayar pajak. Salah satu skema stimulus adalah dalam bentuk pengurangan pajak penghasilan bagi buruh yang tentunya hanya efektif kalau penghasilan mereka berada di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Buruh kasar pada umumnya memiliki penghasilan kurang dari PTKP.

Ketiga, terdapat persepsi yang salah bahwa stimulus dalam bentuk pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPNDTP) akan mampu menekan harga jual. Untuk barang-barang kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, penurunan harga praktis tidak akan memengaruhi permintaan karena elastisitas permintaan sangatlah rendah. Karena itu, akan lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk mempertahankan harga dalam level yang lebih tinggi. Ini adalah teori ekonomi mikro di fakultas ekonomi semester dua. Implikasinya, walaupun diterapkan PPNDTP, harga di tingkat konsumen praktis tidak akan berubah. Konsekuensinya, skema stimulus ini hanya akan menambah tebal kantong produsen tanpa memiliki dampak terhadap permintaan agregat.

Keempat, dan mungkin yang paling penting adalah bahwa tampaknya pemerintah telah sedikit keliru dalam mengidentifikasi wilayah dan sektor yang mengalami krisis. Stimulus untuk sektor pertanian dan wilayah desa hanya Rp 1,05 triliun. Padahal, berdasarkan hasil studi InterCAFE IPB, justru perdesaan adalah wilayah yang diperkirakan paling parah terimbas oleh krisis. Stimulus justru lebih banyak diarahkan di wilayah perkotaan. Menurut logika akal sehat, mestinya hal sebaliknya yang harus dilakukan.

Pertanian sudah mengalami krisis tiga bulan sebelum sektor keuangan dan manufaktur merasakan imbas krisis. Harga-harga komoditas pertanian sudah lebih dahulu terjun bebas. Petani juga sudah menderita kerugian lebih awal dari pengusaha di bidang pertambangan dan manufaktur.

Jatuhnya harga-harga komoditas di pasar dunia, secara tidak proporsional menekan harga di tingkat petani. Ini ditunjukkan dengan elastisitas transmisi harga yang rata-rata mencapai 1,3 yang artinya ketika harga dunia turun 10 persen, hal itu akan diikuti dengan penurunan harga di tingkat petani sebesar 13 persen. Para eksportir, pedagang besar, dan perusahaan inti menekan harga di tingkat petani untuk menutupi kerugian akibat penurunan harga. Petani menjadi pihak yang harus menanggung kerugian pihak lain.

Petani kecil juga menjadi 'korban' pertama dari penurunan permintaan ekspor. Perusahaan inti yang biasanya membeli hasil pertanian dari petani plasma dan petani di wilayah sekitarnya, terpaksa menghentikan pembelian. Perusahaan lebih mendahulukan produknya untuk memenuhi permintaan ekspor. Pada saat ekspor tertekan dan permintaan berada di bawah kapasitas produksi, perusahaan hanya mau mengekspor barang miliknya sendiri. Petani ditinggalkan oleh perusahaan.

Akibatnya bisa fatal, petani tidak lagi mau mengurus tanamannya. Buruh tani menjadi kehilangan pekerjaan dan PHK semacam ini tentunya tidak pernah minta izin atau dilaporkan kepada dinas tenaga kerja. Karena itu, angka PHK yang dicatat oleh pemerintah cenderung underestimate.

Pertanian dan perdesaan juga nantinya harus menanggung beban akibat PHK yang terjadi pada para pekerja di kota dan para TKI atau TKW yang dipulangkan dari luar negeri. Pada umumnya, pekerja kasar di kota dan para TKI dan TKW adalah berasal dari desa. Ketika terkena PHK, mereka kembali ke desa tanpa memiliki pekerjaan sehingga tanggungan keluarga di perdesaan menjadi semakin meningkat. Sekalipun PHK terjadi di kota dan luar negeri, tetapi bebannya berada di wilayah perdesaan. Artinya, perdesaan mendapatkan 'tamparan' krisis dua kali, yaitu krisis yang menimpa petani secara langsung dan tambahan beban akibat 'mudiknya' para pekerja yang terkena PHK. Karena itu, stimulus di daerah perdesaan mestinya jauh lebih besar dibandingkan perkotaan.

Sebagai penutup, tampaknya kali ini pemerintah harus lebih banyak mendengarkan suara-suara rakyat yang tersalurkan ke para anggota DPR. Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi

No comments:

Post a Comment