Tuesday, February 17, 2009

Sketsa buram wilayah perbatasan

Apa guna nasionalisme kalau hidup layak saja susah?

Oleh: Agus Suman
Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Februari 2009

Cukup menarik bila mengikuti perkembangan wacana perbincangan mengenai pemekaran wilayah akhir-akhir ini. Tentu ketika wilayah kembali diolak-alik neraca kesejahteraan tidak pernah lepas.

Di tengah hiruk pikuknya polemik pemekaran wilayah ada satu wilayah yang kondisinya belum beranjak dari wajah buramnya. Yakni wilayah perbatasan, beranda terdepan negara kita dengan negara lain masih penuh dengan ornamen kemiskinan.

Jumlahnya pun cukup kolosal, desa-desa perbatasan yang terisolasi dengan wilayah lain berada di 26 kabupaten. Kementerian PDT memasukkan wilayah tersebut ke dalam kategori Program Percepatan Wilayah Perbatasan (P2WP).

Memang selama ini salah satu wilayah yang kurang optimal proses pembangunannya adalah wilayah-wilayah perbatasan ini. Padahal jelas bahwa wilayah perbatasan antar negara adalah beranda depan bangsa, tetapi pada kenyataannya kondisi daerah perbatasan adalah beranda belakang yang jauh dari gambaran kemajuan tetapi begitu akrab dengan wajah kemiskinan.

Sejarah masa lalu pendekatan militer dan keamanan adalah warna dominan dari wilayah perbatasan, tentu paradigma usang ini harus berani kita rombak. Ekonomi dan kesejahteraan harus kita jadikan sebagai motivasi dan acuan untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah yang selama ini proses pembangunannya belum maksimal. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat desentralisasi pembangunan.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh KPDT, pada akhir 2006, total jumlah penduduk yang ada di berbagai kabupaten daerah perbatasan sebanyak 4,4 juta jiwa, atau rata-rata sekitar 174.018 jiwa per kabupaten perbatasan, dengan persebaran penduduk rata-rata sekitar 51 jiwa per kilometer persegi.

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil, atau kurang sebanding dengan luas wilayahnya. Dan, lebih memprihatinkan lagi, kondisi masyarakatnya pada umumnya merupakan masyarakat miskin.

Kondisi inilah yang semestinya mendorong bergulirnya berbagai program pengentasan kemiskinan bagi daerah perbatasan. Ini dilakukan mengingat masyarakat perbatasan amat rentan dengan ancaman disintegrasi bangsa. Kecemburuan masyarakat melihat kondisi negara lain, yang di depan mata, bisa berpotensi mendorong isu-isu disintegrasi di kalangan masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, pemerintah harus berkomitmen tegas untuk mengurangi angka kemiskinan di perbatasan, sebagai bagian integral dari upaya untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI serta menjaga semangat dan roh nasionalisme pada masyarakat itu sendiri.

Melihat fakta yang ada, ternyata penyakit kemiskinan mampu menggerogoti ikatan kebangsaan yang kokoh yang sering diberi label nasionalisme. Sebuah keniscayaan bibit disintegrasi bangsa disumbangkan oleh kemiskinan dan ketertinggalan wilayah perbatasan. Hal ini membuat semangat nasionalisme yang ingin kita semai pada wilayah perbatasan rentan gagal ketika kemiskinan masih mencengkeram.

Kasus beberapa waktu yang lalu pada wilayah perbatasan Indonesia -Malaysia ketika beberapa warga kita disinyalir bergabung Askar Wataniah pasukan keamanan bentukan negeri jiran tersebut. Di sini kecaman tentang tipisnya semangat nasionalisme mereka yang mau bekerja sebagai anggota Askar Wataniah, menjadi terasa tidak adil ketika kita semua gagal mengupayakan kesejahteraan untuk semua.

Apa gunanya memiliki kebanggaan berbangsa dan bernegara kalau hidup layak saja susah sekali diwujudkan, sebelum menuding rendahnya nasionalisme mereka. Sudahkah kita berupaya maksimal untuk menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat? Atau jangan-jangan selama ini kita hanya mengutamakan kepentingan individu atau kelompok semata?

Makna nasionalisme

Sakralnya nasionalisme sendiri menurut beberapa paham adalah tiang yang kokoh untuk tegaknya sebuah negara (nation).

Jadi bagi kalangan nasionalis semangat ini tidak boleh bergeser dan lengah sedikit pun.

Sementara paham yang lain yakni posmodernis dan Marxis juga memberi mahkota pada nasionalisme, meletakkan ikatan sosial dalam berbangsa menjadi konstruksi bagi negara.

Hal ini didukung Ernest Renan (1823-1892), teoretikus Prancis bahwa negara dibangun oleh pengorbanan (sacrifice) ataupun kebersamaan (solidarity) seperti yang tercantum dalam esainya, "What is a Nation?" pertama kali disampaikan dalam kuliah di Sorbonne pada 1882.

Kini ketika wajah pembangunan masih tergambar cukup timpang, daerah lain dengan penampilan gemerlap sementara wilayah perbatasan masih compang-camping, seolah memikul pengorbanan sendirian bagi kebersamaan. Hal ini tanpa disadari telah melonggarkan ikatan nasionalisme. Ikatan yang luhur, kuat dan kokoh, harus bersimpuh oleh dera kemiskinan.

Padahal terbukti ikatan inilah yang muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama akan ketertindasan dalam kungkungan kolonialisme dan dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun solidaritas kebersamaan melawan penindasan.

Dalam selimut kemiskinan yang terakumulasi dengan ketimpangan pembangunan, serta eksploitasi pusat atas kekayaan daerah, maka lahirlah ikatan persaudaraan yang baru yakni semangat nasionalisme etnik di kalangan kelompok tertindas, jerat kemiskinan dan pasung ketimpangan membuat gerakan disintegrasi di wilayah-wilayah perbatasan menemukan alasan untuk semakin tumbuh.

Beberapa hal penting yang perlu untuk lebih ditekankan dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan bisa dilakukan, antara lain, melalui: pertama, peningkatan prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik perdesaan, dan air bersih untuk membuka keterisolasian wilayah perbatasan.

Kedua, pengembangan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kegiatan usaha masyarakat yang produktif dan berbasis pada komoditas unggulan lokal.

Ketiga, peningkatan keterkaitan antarwilayah perbatasan dengan pusat-pusat pertumbuhan sebagai suatu kesatuan sistem pembangunan ekonomi wilayah.

Selain itu ada langkah penting yang harus diambil, yakni dibangun berbagai kesepakatan kerja sama antarnegara yang secara geografis berbatasan, baik dalam bidang hankam, ekonomi, serta pengelolaan sumber daya alam maupun lingkungan daerah perbatasan.

Sebenarnya pernah dilakukan oleh pemerintah, seperti kerja sama segitiga pertumbuhan IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerja sama segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapore-Johor-Riau), kerjasama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle).

Sayangnya, berbagai bentuk kerja sama tersebut belum mampu berjalan secara optimal, lebih-lebih aroma politik lebih kental dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Maka kembali kita tekankan bahwa ketika nasionalisme berhadapan dengan kemiskinan, kecintaan terhadap bangsa dan negara seringkali terkalahkan. Semoga kita tidak terlambat menyadarinya.

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya Malang

No comments:

Post a Comment