Monday, March 30, 2009

Transisi Menuju Pertumbuhan yang Berkelanjutan

oleh: Jeffrey D. Sachs
Sumber: Koran Tempo, 30 September 2009

Krisis ekonomi global bakal beserta kita selama satu generasi, bukan satu-dua tahun, karena ia sebenarnya merupakan transisi menuju ke pertumbuhan yang berkelanjutan. Langkanya komoditas primer dan kerusakan yang timbul akibat perubahan iklim pada tahun-tahun terakhir ini menyumbang kepada destabilisasi ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya krisis saat ini. Melonjaknya harga pangan dan bahan bakar serta berbagai bencana alam memainkan peran penting dalam merusak pasar keuangan, daya beli masyarakat, bahkan stabilitas politik.

Dipandang dari sudut ini, kebijakan utama yang harus diusung, baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk mengatasi krisis ini adalah membangun infrastruktur yang sesuai bagi abad ke-21. Termasuk membangun jaringan listrik yang efisien yang dibangkitkan energi terbarukan; jaringan nirkabel dan serat optik yang mampu menyalurkan arus telepon dan Internet pita lebar; sistem air, irigasi, dan pembuangan limbah yang dengan efisien menggunakan dan mendaur ulang air tawar; sistem angkutan umum kota dan antarkota; jalan raya yang lebih aman; serta jaringan suaka alam yang melestarikan keragaman hayati dan habitat spesies yang terancam punah.

Investasi dalam proyek-proyek seperti ini diperlukan dalam jangka pendek guna mengimbangi turunnya belanja konsumsi dunia yang mendasari resesi global saat ini. Lebih penting lagi investasi ini diperlukan dalam jangka panjang, karena dunia yang sudah sesak dengan 6,8 miliar manusia (dan terus bertambah) jelas tidak mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan kecuali diadopsi teknologi yang menghemat pemakaian sumber daya alam yang langka itu.

Dalam prakteknya, krisis global berarti dipangkasnya dan bukan diperluasnya investasi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Sementara itu, akses untuk memperoleh pinjaman bank internasional, penawaran obligasi, dan investasi asing langsung tertutup. Proyek-proyek infrastruktur yang banyak dibicarakan di masa lalu sekarang dilupakan sehingga mengancam stabilitas politik dan ekonomi puluhan negara berkembang.

Sebenarnya setiap bagian dunia memiliki banyak proyek infrastruktur yang vital dan yang belum dilaksanakan. Sudah waktunya dilakukan upaya global terpadu untuk merealisasi proyek-proyek itu. Upaya ini memang tidak mudah. Sebagian besar investasi membutuhkan kepemimpinan sektor publik untuk menempa kemitraan dengan sektor swasta. Sektor publik harus mengadakan kesepakatan dan kontrak dengan pihak swasta tidak hanya untuk membangun infrastruktur, tapi juga mengoperasikannya sebagai pemegang konsesi atau monopoli yang diregulasi.

Pemerintah di banyak negara umumnya tidak memiliki kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk merancang proyek-proyek semacam itu sehingga membuka kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemberian kontrak. Tuduhan semacam ini mungkin saja dilemparkan terhadap pemerintah walaupun tidak benar, tapi sering kali banyak juga yang terbukti benar. Menumpuknya proyek yang belum direalisasi ini telah mengacaukan ekonomi dunia. Kemacetan lalu lintas dan polusi menimpa banyak kota besar di dunia. Udara tercemar gas rumah kaca akibat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terkendali. Kelangkaan air boleh dikatakan melanda setiap pusat ekonomi, dari Amerika Utara, Eropa, Afrika, India, sampai Cina.

Karena itu, pemerintah di banyak negara harus memperkuat kementerian yang menangani pembangunan infrastruktur (termasuk jaringan listrik, jalan, air dan sanitasi, serta teknologi informasi dan komunikasi) dan memperkuat bank pembangunannya agar mampu merancang dengan baik proyek dan program infrastruktur jangka panjang. Kemampuan mengimbangi krisis yang terjadi secara konstruktif melalui perluasan kemitraan publik dan swasta bakal menentukan keberhasilan di negara dan kawasan bersangkutan. Menariknya, untuk pertama kalinya pemerintah AS segera akan membentuk sebuah Bank Infrastruktur Nasional.

Namun, para penasihat ekonomi Amerika dan Eropa umumnya percaya bahwa suatu stimulus yang singkat dan tajam sudah cukup untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini salah. Apa yang dibutuhkan adalah merombak ekonomi dunia menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Lagi pula pembuat kebijakan di negara-negara kaya juga percaya bahwa mereka bisa terus mengabaikan negara-negara berkembang, atau membiarkannya menemui nasibnya sendiri di pasar global. Sikap semacam ini merupakan resep yang jitu menuju kegagalan global, bahkan konflik di masa depan. Negara-negara maju harus berbuat lebih banyak untuk membantu negara-negara miskin mengatasi transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu, sebagian besar dari "stimulus" yang sudah diundangkan sampai saat ini sifatnya jangka pendek dan inward looking, peningkatan dana untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan di negara-negara miskin akan memberikan dorongan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya itu sendiri.

Negara-negara maju harus mau menyalurkan dana yang memadai dari tabungan yang mereka miliki ke negara-negara berkembang untuk membiayai peningkatan investasi yang berkelanjutan. Penyaluran dana dapat dilakukan secara langsung atau secara bilateral, misalnya melalui pinjaman jangka panjang dari badan-badan ekspor-kredit negara-negara maju. Ia juga bisa dilakukan secara multilateral, dengan meningkatkan arus investasi infrastruktur dari Bank Dunia dan bank pembangunan regional (termasuk Inter-American Development Bank, European Investment Bank, African Development Bank, dan Asian Development Bank). Kedua saluran ini harus digunakan.

Negara-negara maju juga gagal menyadari bahwa tanpa pembiayaan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan yang lebih besar di negara-negara berkembang--terutama untuk pembangunan pembangkit dan transmisi listrik yang berkelanjutan--tidak mungkin bakal tercapai kesepakatan global mengenai perubahan iklim tahun ini (atau dalam waktu dekat ini). Negara-negara kaya mengharapkan negara-negara miskin membatasi penggunaan bahan bakar fosil tanpa memberi bantuan untuk pembiayaan yang memadai guna mendanai pencarian sumber-sumber energi yang baru dan berkelanjutan. Hampir semua usulan yang diajukan negara-negara kaya mengenai target, batas, komitmen, dan izin emisi gas rumah kaca tidak satu kata pun menyinggung bantuan kepada negara-negara miskin guna membiayai upaya transisi menuju teknologi yang berkelanjutan.

Sidang G-20 di London pada 2 April 2009, yang akan datang memberi harapan akan adanya upaya global yang benar-benar akan memperbaiki ekonomi dunia. Inilah waktu dan tempatnya untuk melancarkan upaya global menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Jika kita gagal menghadapi tantangan ini, krisis global bakal terus berlanjut selama bertahun-tahun ke depan.

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University, Penasihat Khusus Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Millennium Development Goals

No comments:

Post a Comment