Wednesday, March 18, 2009

Kejarlah Ekspor, GPI Kutangkap

Oleh: Mudrajad Kuncoro
Sumber: Seputar Indonesia, 18 Maret 2009

BADAN Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD8,69 miliar.

Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih spektakuler, yaitu 36%. Setelah mengguncang pasar modal dan valas Indonesia, agaknya krisis keuangan global kini mulai mengguncang sektor perdagangan luar negeri Indonesia. Ini pertanda Indonesia sudah masuk fase terparah resesi global. Ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya nilai ekspor pada Januari 2009. Pertama,ekspor migas Indonesia turun 23,85%.

Nilai ekspor migas pada Desember 2008 yang mencapai USD1,243 miliar, pada Januari 2009 mulai merosot menjadi USD947,1 juta.Turunnya ekspor migas Indonesia dipicu oleh penurunan ekspor minyak mentah sebesar 18%, ekspor hasil minyak 26,31%, dan ekspor gas 27,32%.Kenyataannya,harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari USD38,45 per barel pada Desember 2008 menjadi USD41,89 per barel pada Januari 2009.

Dengan kata lain, menurunnya ekspor minyak dan hasil minyak lebih disebabkan menurunnya produksi, bukan karena faktor harga. Faktor kedua yang membuat turunnya nilai ekspor Indonesia adalah anjloknya nilai ekspor nonmigas Indonesia sebesar 16,67%. Nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Desember 2008 sebesar USD7,448 miliar merosot menjadi USD6,206 miliar pada Januari 2009.

Jika dilihat dari jenis komoditas, proporsi terbesar penurunan ini disumbangkan oleh kelompok barang bahan bakar mineral,yaitu 15,45%. Selanjutnya diikuti oleh mesin/peralatan listrik sebesar 13,58%, mesin-mesin/pesawat mekanik 7,09%, karet dan barang dari karet sebesar 6,14%, serta lemak dan minyak hewan/nabati 5,52%. Dilihat dari negara tujuan ekspor, penurunan terbesar permintaan barang ekspor nonmigas Indonesia berasal dari penurunan permintaan dari Jepang sebesar 17,66%.

Rekor ini diikuti penurunan permintaan dari Taiwan sebesar 11%,Amerika Serikat (AS) 10,85%,Singapura 9%, dan Korea Selatan 8,86%. Penurunan ekspor di pasar utama ekspor Indonesia tidak mengejutkan karena krisis keuangan global episentrumnya memang di AS dan Eropa. Tampaknya pengaruh krisis keuangan global kali ini mulai terasa sejak kuartal IV/2008.Hal ini tecermin dari fenomena tidak terserapnya barang-barang ekspor Indonesia di pasar dunia.

Akibatnya, akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat,menurunnya kinerja perekonomian Indonesia akan mengakibatkan semakin banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK),pengangguran,dan meningkatnya kemiskinan. Penurunan kinerja ekspor perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, khususnya Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian.Ekspor industri manufaktur menyumbang sekitar 85% ekspor nonmigas dan sekitar 67% total ekspor Indonesia sejak 1994.Strategi penyelamatan ekspor harus terintegrasi dengan penyelamatan sektor industri manufaktur.

Saya teringat karya Richard A D’Aveni (1995) dalam Hypercompetitive Rivalries tentang adanya ”seni berperang” modern. Untuk dapat memenangi persaingan dalam lingkungan yang hiperkompetitif diperlukan tiga hal. Pertama, visi terhadap perubahan dan gangguan. Kedua, kapabilitas dengan mempertahankan dan mengembangkan kapasitas yang fleksibel dan cepat merespons setiap perubahan. Ketiga, taktik yang memengaruhi arah dan gerakan para pesaing. Visi terhadap perubahan dan krisis global perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis dan pemerintah.

Tidak hanya ancaman resesi global,tetapi juga ancaman pasar bebas pascadicabutnya kuota tekstil dan garmen ke pasar AS dan Eropa akhir 2004. Persaingan akan makin ketat dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kapabilitas industri nasional sudah terbukti cukup tangguh di masa krisis ekonomi 1998. Kekuatan utamanya adalah pasar domestik yang besar dan memiliki biaya tenaga kerja yang kompetitif. Namun, sumber keunggulan kompetitif ini mudah ditiru.

China, misalnya, dengan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak, produktivitas yang lebih tinggi, dan jam kerja yang lebih lama jelas merupakan pesaing yang sulit ditandingi. Oleh karena itu,Deperindag dan Konsulat Jenderal RI di luar negeri perlu difungsikan menjadi market intelligence. Taktik apa yang dapat kita lakukan? Di bidang industri, setidaknya saya menganjurkan tiga elemen kebijakan.

Pertama, mengembangkan sektor manufaktur yang memiliki daya saing tinggi. Kedua, restrukturisasi industri secara terencana menuju industri yang produktivitas dan nilai tambahnya tinggi. Ketiga, strategi bisnis internasional dan domestik yang agresif (SINDO,24/12/2008). Jelas sekali bahwa kita tidak dapat berharap banyak dari ekspor pada tahun ini.Turunnya permintaan pasar dunia terhadap barang-barang ekspor Indonesia merupakan fakta kuat yang mendukung pendapat tersebut.

Terlebih lagi perekonomian negaranegara Eropa, AS, Jepang, dan Korea Selatan pada 2009 diproyeksikan tumbuh negatif. Implikasinya, diversifikasi pasar ekspor perlu digalakkan, terutama ke pasar Timur Tengah, China, India, dan emerging marketlain. Turunnya pertumbuhan Indonesia yang disebabkan oleh tidak terserapnya barangbarang yang diproduksi oleh industri Indonesia perlu diatasi. Misalnya dengan menggalakkan kembali Gerakan Nasional ”Gemar Produk Indonesia” (GPI) yang sudah dicanangkan sejak 2006.

Program ini mensyaratkan kepedulian semua kalangan, baik konsumen, pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat. Pengelolaan kebijakan dan strategi pemerintah dalam upaya mendorong gerakan nasional ini dapat dilakukan dengan cara mendorong program bersama, memotivasi promotor penggunaan produk Indonesia, serta meningkatkan belanja pada produk Indonesia. Mendorong program bersama dapat diterapkan melalui pembentukan tim terpadu pemerintah dan pelaku usaha demi mendorong penggunaan produk dalam negeri dengan melibatkan semua unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Sementara memotivasi promotor penggunaan produk Indonesia dapat dilaksanakan dengan cara memberikan penghargaan bagi pihak-pihak yang telah mempromosikan penggunaan produk Indonesia. Peningkatan belanja pada produk Indonesia dapat diupayakan melalui penerbitan peraturan yang lebih tegas untuk memprioritaskan penggunaan barang dan jasa Indonesia, khususnya bagi instansi-instansi pemerintahan yang menggunakan dana APBN dan APBD.

Sekarang pemerintah pusat dan daerah harus lebih serius menggarap pasar domestik untuk mendukung Gerakan Nasional GPI. Salah satunya adalah dengan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Tanpa visi,kapabilitas,dan taktik semacam ini, janganjangan ekspor dan industri kita hanya tinggal sejarah.

Sudah saatnya seluruh lapisan masyarakat Indonesia— pemerintah, pelaku usaha, dan rakyat jelata—memasuki periode nasionalisme ekonomi gaya baru di mana kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi memiliki slogan ”dari dan untuk rakyat Indonesia”. (*)


Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM

No comments:

Post a Comment