Monday, March 16, 2009

Antisipasi Dampak Lanjutan Krisis

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Kompas, 16 Maret 2009

Satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan kepada para ekonom dan sekaligus sulit untuk dijawab adalah apa yang selanjutnya bakal terjadi dengan krisis global dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia

Bagi pengusaha, jawaban atas pertanyaan itu menjadi sangat penting sebagai dasar untuk memperhitungkan dampaknya terhadap kinerja perusahaan sehingga langkah-langkah penyesuaian dapat dirumuskan secara lebih dini. Para bankir juga harus memperhitungkan seberapa besar risiko finansial yang pada akhirnya harus ditanggung oleh bank dalam bentuk kredit macet, rugi selisih kurs, hilangnya nilai aset yang dijaminkan, dan sebagainya.

Bagi pemerintah, jawaban itu menjadi jauh lebih penting lagi bukan karena kinerja ekonomi harus terus dipompa menjelang pemilu, tetapi untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipatif yang tepat. Kebijakan pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun moneter, biasanya membutuhkan waktu bisa secara efektif memengaruhi perekonomian atau memiliki lag. Kebijakan penurunan suku bunga acuan BI Rate tidak serta-merta diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan secara instan.

Efektivitas kebijakan anggaran sangat bergantung pada manajemen cash flow di Depkeu dan daya serap di kementerian yang menjadi pelaksana anggaran. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mayoritas anggaran terserap di bulan September sampai Desember. Padahal, penanganan krisis tak bisa menunggu sampai triwulan terakhir.

Atas landasan itu, kebijakan yang reaktif dan korektif akan selalu kalah langkah dengan perkembangan masalah. Itu tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Amerika sekalipun.

Seperti yang sudah diprediksi oleh Krugman (2008), salah satu masalah yang akan kita hadapi sampai akhir tahun ini adalah tekanan terhadap neraca pembayaran. Ada lima faktor yang secara fundamental dapat membuat kita khawatir terhadap masalah ini.

Yang pertama adalah kinerja ekspor yang semakin melempem. Nilai ekspor menunjukkan kecenderungan penurunan yang semakin tajam yang ditimbulkan oleh dua faktor, yakni penurunan harga dan volume ekspor. Jika dilihat dari efek harga, penurunan nilai ekspor secara tajam hampir bisa dipastikan masih akan berlanjut sampai Juni atau Agustus mendatang. Ini karena puncak harga komoditas ekspor Indonesia terjadi pada bulan Juni sampai Agustus 2008 sehingga koreksi harga yang paling tajam adalah kalau kita bandingkan dengan tingkat harga tertinggi. Selanjutnya, penurunan ekspor akan didominasi oleh penurunan demand akibat melemahnya daya beli dunia.

Faktor yang kedua adalah menurunnya pendapatan devisa dari remittance yang dikirim TKI dan TKW yang bekerja di luar negeri. Kemungkinan mereka akan terkena PHK massal atau minimal dipotong upahnya.

Faktor yang ketiga adalah kewajiban bayar pokok dan bunga utang luar negeri. Kewajiban pemerintah dan swasta yang jatuh tempo tahun ini akan mencapai 28 miliar dollar AS atau 55 persen dari cadangan devisa. Suatu jumlah yang tidak sedikit. Kewajiban utang pemerintah tampaknya akan ditutupi secara at all cost dengan cara gali lubang tutup lubang. Makanya, pemerintah baru-baru ini menerbitkan medium term notes (MTN) bertenor 5 dan 10 tahun dengan yield yang supertinggi, yakni 10,5 persen dan 11,75 persen. Tampaknya pemerintah lebih memilih mengamankan cash flow walaupun harus dibayar dengan harga mahal.

Hanya saja, kalau swasta kita ingin melakukan refinancing terhadap kewajiban yang sudah jatuh tempo, mereka akan kesulitan mencari dana murah. Pasalnya, yield yang diberikan pemerintah akan dijadikan benchmark dalam penentuan yield atas surat berharga yang diterbitkan swasta. Lagi pula, dengan likuiditas global yang sedemikian ketat, sangat sulit bagi swasta nasional untuk mendapatkan dana dari pasar global.

Faktor yang keempat adalah kemungkinan terjadinya pelarian modal oleh perusahaan multinasional (MNC) dan perusahaan transnasional (TNC). Pada umumnya, MNC/TNC sedang mengalami kesulitan keuangan di negara asal mereka. Masalahnya, kita tidak memiliki data akurat untuk menduga berapa besar pelarian modal yang akan terjadi.

Faktor yang kelima adalah masalah yang ditimbulkan oleh defisit anggaran di negara-negara maju. Rencana stimulus sebesar 4 triliun dollar AS yang akan mereka luncurkan tahun ini bisa mengakibatkan pelarian modal dari negara berkembang. Efek crawding out yang tercipta bisa membuat perusahaan di seluruh dunia mengalami kesulitan pendanaan. Karena itu, sumber daya keuangan di negara berkembang akan tersedot.

Uraian tersebut hendak mengingatkan bahwa tekanan terhadap neraca pembayaran kemungkinan akan terjadi sepanjang tahun ini. Salah satu yang bisa membuat komplikasi terhadap masalah ini adalah speculative attack terhadap nilai tukar. Karena itu, manajemen neraca pembayaran dan nilai tukar harus menjadi fokus dalam kebijakan stabilisasi perekonomian. Jangan sampai stabilitas itu terabaikan.

Penulis adalah Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor

No comments:

Post a Comment