Thursday, March 19, 2009

Saatnya Bebas dari Utang

Oleh: Defiyan Cori
Sumber: Koran Jakarta, 19 Maret 2009


Minggu lalu, kita dikejutkan dengan rencana pemerintah mengajukan utang baru sebesar 45,6 triliun rupiah sebagai langkah untuk mengatasi defisit APBN 2009 sebesar 139,5 triliun rupiah yang telah disepakati DPR. Sebagian dari defisit itu ditanggulangi dari dana sisa APBN Tahun Anggaran 2008, yaitu sebesar 51,3 triliun rupiah. Masih terdapat sisa defisit 42,6 triliun rupiah yang harus ditutup pemerintah guna melancarkan alokasi APBN 2009 yang barangkali akan diatasi melalui kenaikan bahan bakar minyak (BBM) walau masih ada pilihan kebijakan lainnya.

Artinya, pemerintah membuat kebijakan yang memberatkan masyarakat. Pengajuan utang baru ini juga menunjukkan bahwa pelunasan utang luar negeri Indonesia kepada IMF beberapa waktu lalu jelas mengurangi apresiasi masyarakat atas keberhasilan pemerintahan ini mengurangi kebergantungan. Keberhasilan itu dapat dianggap sebagai sesuatu yang percuma, dan mengatasi defisit APBN dengan utang luar negeri seperti ibarat “menggali lubang tutup lubang”.

Krisis ekonomi global yang diperkirakan akan berlangsung tidak kurang selama dua tahun sejak 2008 dialami hampir semua negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman, dan Prancis. Sedangkan lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, yang selama ini memberikan utang luar negeri untuk pembangunan negara-negara, juga beranggotakan negara maju tersebut. Sebagian besar dari negara maju itu juga memiliki utang yang besar. AS, misalnya, merupakan salah satu negara maju yang memiliki utang luar negeri terbesar.

Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa negara-negara tersebut tengah berupaya mengatasi permasalahan utang luar negerinya dengan cara memberikan utang. Maka, sasaran untuk menawarkan utang adalah negara-negara berkembang yang telah dimotivasi oleh kemajuan fisik negara-negara maju. Pertanyaannya, apakah logis di tengah memburuknya kondisi keuangan negara-negara donor dan buruknya struktur ekonomi dan postur APBN kita menutup defisit melalui utang baru? Bagaimana dengan pembayaran cicilan pokok utang dan bunga yang akan jatuh tempo? Bukankah dengan mengutang kita sebenarnya sedang menyubsidi negara-negara pemberi utang? Siapa yang memperoleh manfaat dari proses utang-piutang ini yang sejak kita mengalami penjajahan tidak pernah terlepas dari jerat utang ini?

Biaya Tidak Tampak

Setiap tahun, debat masalah utang selalu menjadi perhatian, terutama keberatan masyarakat yang diwakili oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), karena tidak pernah lepasnya negara berutang sejak Orde Baru, bahkan terus berlanjut. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia seharusnya memberikan pelajaran kepada otoritas keuangan agar mengatasi permasalahan defisit APBN 2009 tidak melalui skema utang. Defisit APBN 2009 seharusnya dihindari dengan cara memilih efisiensi dan keefektifan proyek-proyek pembangunan yang lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat, terutama sektor UKM yang selalu tahan dan penyelamat perekonomian. Jika terpaksa berutang, perlu dipertimbangkan dalam negosiasi beban-beban yang selalu membuat posisi kita sulit.

Paling tidak, ada tiga komponen biaya yang harus dipenuhi pemerintah sebagai peminjam, yaitu 1. biaya di muka (front and fee), 2. biaya bunga (interest) yang harus disesuaikan dengan London Interest Bond and Obligation Rate (LIBOR), dan 3. biaya komitmen (commitment fee) yang harus dibayarkan jika pemerintah terlambat (sesuai jadwal yang disepakati) melakukan pencairan pinjaman. Di antara tiga biaya yang sangat memberatkan itu, biaya front and fee dan commitment fee adalah biaya-biaya yang tidak tampak atau jelas ke mana alirannya. Biaya front and fee yang harus dikeluarkan pemerintah atau negara peminjam sebesar 1 persen dari total pinjaman yang diajukan ini tidak jelas untuk apa ditujukan, sebab segala hal yang berkaitan dengan urusan pinjam-meminjam telah terdapat biaya operasionalnya masing-masing. Karena itu, biaya di muka selama Indonesia terlibat dalam urusan utang luar negeri dengan pihak lender, selain sangat sulit untuk dilacak dan merugikan negara, bisa jadi telah terjadi “permainan” antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini dan Bank Dunia. Oleh karena itu, proyek-proyek yang dibiayai utang semacam ini, sebelum terjadi loan agreement, telah menguap, dan inilah yang menurut perhitungan ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, kaitan antara pinjaman yang diterima dan tujuan penanggulangan kemiskinan secara nasional menjadi sangat lemah dan hanya menguntungkan sekelompok orang.

Pemerintah harus meninjau kembali kebijakan utang luar negerinya dengan penekanan pada upaya menjaga affordability dan sustainability proses pembangunan ekonomi melalui upaya mengurangi peranan utang di masa depan. Rasanya tidak berlebihan menyatakan keberhasilan Indonesia keluar dari krisis secara sustainable selain ditentukan perbaikan struktural dalam institusi ekonomi selain memperkuat posisi tawar jika terpaksa berutang. Dengan demikian, tujuan dan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, selain melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia, adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum ialah terlepasnya masyarakat secara umum dari belenggu penderitaan yang ditinggalkan penjajahan, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketidaksehatan.

Oleh karena itu, tujuan pembangunan tidak bisa dipisahkan dari pernyataan yang telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, termasuk kebutuhan pembangunan yang harus didanai oleh utang. Seperti yang disampaikan Bung Hatta, bahwa kita bukan anti-utang dan memerlukan utang dalam membangun setelah kita terlepas dari belenggu penjajahan. Namun, utang luar negeri bukanlah menjadi prioritas utama dan sebaiknya hanya dalam jumlah yang kecil. Semakin lama, seharusnya kebegantungan pada keperluan berutang akan semakin menurun dan lebih bertumpu pada kekuatan finansial dalam negeri.

Penulis adalah peneliti pada BRIGHT INDONESIA dan Mantan Peserta Negosiasi Utang Tahun 2003, BAPPENAS

No comments:

Post a Comment