Wednesday, March 18, 2009

Seberapa jauh kita dari ekuilibrium?

Terjadi repatriasi modal yang cukup deras di pasar

Oleh: Samuel Ringoringo
Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Maret 2009

Rupiah kembali bergejolak. Praktis sejak 2 Maret 2009, rupiah ditutup di atas level yang selama ini hampir tak tersentuh, 12.000 per dolar AS. Apa yang sebenarnya terjadi dan sejauh mana eskalasi depresiasi ini akan berlangsung?

Pergerakan rupiah tentu tak lepas dari permintaan dan penawarannya. Terdepresiasinya rupiah dapat dipahami sebagai buah dari begitu tingginya permintaan yang tak sebanding dengan penawarannya yang ada di pasar.

Dengan terlebih dahulu memahami bagaimana mekanisme ini berlangsung, maka kita dapat melacak sejauh mana kurs akan bergerak.

Penawaran rupiah bersumber dari pendapatan ekspor, aliran dana investasi baik langsung maupun portofolio, hingga pinjaman dalam denominasi dolar AS.

Sementara itu, permintaannya bersumber dari kebutuhan untuk membiayai impor, aliran dana keluar Indonesia (baik itu langsung maupun portofolio) serta pembayaran utang.

Sekarang mari kita lihat fakta yang ada berdasarkan data neraca pembayaran (Balance of Payment) Indonesia sebagaimana dipublikasikan Bank Indonesia. Fakta pertama dari neraca transaksi berjalan (current account). Sejak kuartal kedua 2008, current account telah berada pada zona negatif (minus US$1,2 miliar) yang berlanjut ke kuartal ketiga (minus US$0,5 miliar) (grafik 1, panel kiri).

Current account negatif karena keseimbangan perdagangan (trade balance) yang merupakan selisih ekspor terhadap impor mulai menurun. Sementara itu, defisit terjadi pada neraca pendapatan alias pendapatan yang harus kita bayar ke sumber daya asing melebihi yang kita terima.

Fakta kedua bisa kita lihat dari transaksi modal dan finansial (grafik 1, panel kanan). Memasuki kuartal ketiga, terjadi penurunan yang sangat tajam (namun belum negatif) pada investasi portofolio. Artinya, telah terjadi repatriasi modal yang cukup deras, di mana dana asing kabur dari investasi di pasar modal, pasar utang dan pasar uang. Ini menjelaskan fenomena tertekannya IHSG hingga melambungnya yield obligasi beberapa bulan terakhir.

Dua fakta tersebut menyebabkan cadangan devisa telah berkurang sekitar US$7 miliar menjadi US$50 miliar (posisi 30 Januari) sejak kuartal ketiga 2008. Dampaknya seperti yang kita rasakan, rupiah telah terdepresiasi cukup dalam hingga 30% dari nilai terbaiknya di kisaran Rp9.000-an pada pertengahan 2008.

Pertanyaannya sekarang, dengan situasi yang demikian, berapa seharusnya nilai tukar rupiah atas dolar AS? Untuk itu penulis melakukan permodelan secara ekonometrik dengan dua pendekatan. Pertama adalah purchasing power parity (PPP). Kedua adalah keseimbangan eksternal.

Pendekatan PPP meyakini bahwa nilai tukar cenderung mendekati rasio perbandingan tingkat harga antarnegara. Mudahnya, apabila kenaikan tingkat harga (inflasi) kita lebih tinggi dari AS, nilai tukar cenderung terdepresiasi karena masyarakat lebih memilih barang impor daripada domestik.

Hasil permodelan dengan pendekatan ini ternyata mampu menjelaskan pergerakan kurs kita. Artinya, pergerakan kurs hingga terdepresiasi seperti sekarang sedikit banyak dipengaruhi oleh perbandingan inflasi antara Indonesia dan AS.

Dengan keyakinan ini, maka apabila inflasi kita dapat terjaga hingga ke arah 6% atau kurang dari itu sebagaimana target pemerintah dan BI, ada harapan terhadap penguatan rupiah.

Selanjutnya, permodelan berdasarkan keseimbangan eksternal adalah sebuah metode yang mengikutsertakan aspek-aspek fundamental permintaan dan penawaran kurs seperti keseimbangan perdagangan, aliran modal serta perbedaan/spred tingkat suku bunga (interest rate differential).

Setali tiga uang, pergerakan kurs ternyata dapat dijelaskan oleh pergerakan aspek-aspek fundamental ini. Hanya saja, spread suku bunga ternyata tak mampu menjelaskan pergerakan kurs kali ini. Artinya, tingginya tingkat suku bunga kita tidak mampu menarik perhatian aliran dana asing untuk masuk ke pasar uang kita.

Ini menjelaskan fenomena fight fot quality, di mana aliran dana cenderung memilih tempat teraman daripada tempat yang dapat memberikan imbal hasil yang besar. Inilah yang menyebabkan dolar AS terus menguat karena derasnya perburuan dana-dana asing terhadap surat utang pemerintah AS (US T-Bills).

Kembali ke Rp9.000

Apabila pertanyaan seperti itu, jawabannya tentu saja bisa. Hanya saja jika ditanya kapan, jawabannya adalah tidak dalam waktu dekat. Alasannya sederhana.

Pertama, dengan permintaan global yang sangat lemah, maka kinerja ekspor kita belum dapat diandalkan untuk mendongkrak persediaan dolar AS di dalam negeri.

Kedua, aliran modal belum bisa pulih dalam waktu dekat karena ketakutan atas resesi ekonomi masih begitu besar yang kemudian menghasilkan tingginya penilaian atas risiko. Kemunculan data ekonomi akan sangat memengaruhi sentimen di pasar. Begitu data positif muncul, maka sentimen positif akan menyeruak. Pun sebaliknya sehingga membuat volatilitas pasar masih sangat tinggi.

Ketiga, kebutuhan pembayaran utang luar negeri di tengah ketatnya likuiditas dolar akan menjadi batu sandungan bilamana tak diantisipasi dengan baik.

Tercatat bahwa rata-rata kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah ataupun swasta per kuartal adalah sebesar US$8 miliar. Ini tentu menuntut pengelolaan yang cermat.

Harapan terdekat ada pengendalian inflasi. Tingkat harga yang semakin terkendali diharapkan mampu memberikan sumbangsih atas penguatan kurs. Bisa melalui mekanisme PPP sebagaimana disinggung di atas, ataupun melalui tumbuhnya keyakinan akan ekonomi dalam negeri.

Dapat disimpulkan bahwa pergolakan di pasar uang masih tinggi sehingga volatilitas kurs juga masih akan liar. Di tengah situasi yang seperti ini, maka jalan keluarnya adalah pengelolaan penawaran dan permintaan dolar dengan cermat. Sentimen negatif sebisa mungkin ditekan demi secara perlahan menimbulkan kembali kepercayaan terhadap ekonomi domestik. Hanya dengan cara itu kita bisa melalui pergolakan ini dengan kepala tegak.

Penulis adalah Economist BII

No comments:

Post a Comment