Tuesday, March 3, 2009

Menanti PP merger

KPPU dapat mengeluarkan pedoman penggabungan usaha

Oleh: M Udin Silalahi
Sumber: Bisnis Indonesia, 3 Maret 2009

Satu hal yang menjadi pekerjaan rumah pe?me?rintah yang diamanat?kan oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha ada?lah membuat per?aturan pelaksanaan merger dan Akuisisi (PP merger).

PP merger tersebut sudah 9 tahun ditunggu oleh stakeholder UU No. 5/1999, khususnya pelaku usaha. PP merger tersebut sangat penting bagi pelaku usaha untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam melakukan merger atau akuisisi.

PP merger tersebut mendesak diperlukan karena harus menetapkan berapa jumlah nilai aset dan atau nilai penjualan perusahaan hasil merger. Ketentuan tersebut akan menjadi parameter bagi pelaku usaha dalam melakukan merger dan akuisisi serta menjadi parameter bagi KPPU dalam mengawasi pelaksanaan merger tersebut.

Pertanyaannya adalah apa akibatnya jika PP merger tersebut tidak kunjung terbit? Ketiadaan PP merger tersebut dapat mengganggu pertumbuhan perusahaan (baca: ekonomi), karena UU No. 5/1999 menganut pengawasan kemudian (post control) terhadap pelaksanaan merger atau akuisisi. Apa yang dimaksud dengan pengawasan kemudian?

Pengertian pengawasan kemudian adalah bahwa pelaku usaha dapat melakukan merger atau akuisisi terlebih dahulu tanpa mendapatkan izin dari KPPU.

Hal itu dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 29 Ayat 1 UU Antimonopoli yang menetapkan bahwa penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan saham perusahaan wajib diberitahukan kepada KPPU selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, atau peleburan atau pengambilalihan saham tersebut.

Pemberitahuan hasil penggabungan atau akuisisi wajib diberitahukan kepada KPPU 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pelaksanaan merger atau akuisisi tersebut. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa pelaku usaha tidak memerlukan izin dari KPPU dalam pelaksanaan merger atau akuisisi, karena sifanya melaporkan saja. Kelihatannya menguntungkan bagi pelaku usaha, karena sifatnya melaporkan saja.

Akan tetapi, sistem pengawasan kemudian tersebut mengandung kelemahan yaitu KPPU dapat membatalkan perusahaan hasil merger atau akuisisi tersebut apabila KPPU dapat membuktikan bahwa perusahaan merger atau akuisisi dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Kalau pembatalan sampai terjadi, maka akan merugikan kedua perusahaan tersebut, karena kedua perusahaan akan dikembalikan kepada posisi semula setiap perusahaan. Ini yang disebut dengan restitusi.

Oleh karena itu, untuk mencegah pembatalan tersebut, PP Merger harus diterbitkan yang mengatur threshold nilai aset dan/atau penjualan perusahaan hasil merger. Ketentuan threshold tersebut akan menjadi pegangan bagi pelaku usaha dalam melaksanakan merger atau akuisisi.

Oleh karena Pemerintah tidak kunjung menerbitkan PP merger tersebut, sebetulnya KPPU dapat mengeluarkan suatu pedoman merger. Pedoman tersebut minimal berisi mengenai tata cara pelaporan perusahaan yang akan merger kepada KPPU. Dalam pedoman tersebut dapat juga ditetapkan mengenai pelaporan sebelum melakukan merger.

Berbentuk nasihat

Dalam konteks inilah KPPU dapat memberikan nasihat, apakah rencana merger perusahaan tersebut dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan tersebut.

Pelaku usaha quasi melakukan pre notification sebagaimana dikenal di negara lain dalam proses merger dan akuisisi. Jadi, kalau pelaku usaha datang ke KPPU bertanya apakah rencana merger perusahaannya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, KPPU harus dapat memberikan jawaban walaupun sifatnya tidak mengikat.

Jangan sampai dijawab lagi demikian "sekarang belum ada mekanisme merger dan akuisisi karena PP-nya belum terbit. Jadi, KPPU belum bisa menjawab dan memberikan saran atau pertimbangan terhadap rencana merger atau akuisisi yang mereka lakukan." (Bisnis, 20 Februari)

Pertanyaan berikutnya adalah apakah KPPU dapat memberikan pandangan atau nasihat kepada pelaku usaha yang akan melakukan merger, apakah rencana merger tersebut dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat? Tentu saja dapat.

Karena KPPU kemungkinan hanya tidak dapat menghitung pangsa pasar perusahaan yang akan merger yaitu berapa pangsa pasar setiap perusahaan sebelum merger dan berapa pangsa pasarnya jika perusahaan tersebut merger dan dibandingkan dengan pangsa pasar kompetitornya yang ada.

Misalnya sebelum merger terdapat empat pelaku usaha yang memproduksi barang X, yaitu pelaku usaha A mempungai pangsa pasar 35%, B 35%, C 15% dan D 15%.

Jika struktur pasarnya demikian, apabila A dan B berencana melakukan merger dan bertanya kepada KPPU apakah pelaku usaha A dan B dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dengan yakin dan pasti KPPU dapat menjawab bahwa rencana merger A dan B dapat mengakibatkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Karena, pangsa pasar perusahaan hasil merger menjadi 70% sementara masing-masing pesaingnya, yaitu C dan D menguasai pangsa pasar 15%.

Selain itu, KPPU dapat menghitung kemampuan keuangan pelaku usaha A dan B dan jaringan distribusi yang dimilikinya. Melalui hal itu, dapat dihitung market power perusahaan hasil merger.

Jadi, KPPU bisa menasihatkan kepada pelaku usaha A dan B tidak melanjutkan rencana merger tersebut. Nasihat itu sifatnya advokasi tidak mengikat.

Jika A dan B tetap melakukan merger, pada saat AB dilaporkan ke KPPU, KPPU dapat membatalkan perusahaan hasil merger tersebut.

Oleh karena itu, pelaku usaha harus didorong (perlu sosialisasi) untuk meminta nasihat dari KPPU sebelum melakukan merger untuk mendapatkan gambaran, apakah rencana merger perusahaan dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan.

Jadi, kalau ada pelaku usaha yang bertanya kepada KPPU apakah rencana merger perusahaannya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, KPPU dapat memberikan jawaban yang memuaskan kepada pelaku usaha.

Akan tetapi, yang lebih legitimate adalah Pemerintah harus segera menerbitkan PP Merger untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan sudah mendesak. Sayangnya hal ini tidak mungkin direalisasikan pada tahun ini, karena terhalang pesta demokrasi pada 9 April.

Jadi, sebelum PP Merger diterbitkan Pemerintah, KPPU dapat menerbitkan pedoman merger.

Penulis adalah Dosen di FH Unika Atma Jaya dan Pascasarjana Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment