Monday, March 2, 2009

Rivalitas SBY-JK, buruk untuk perekonomian?

Oleh: Faisal Basri
Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Maret 2009

Sejumlah kalangan khawatir roda pemerintahan akan sangat terganggu jika kongsi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) pecah. Alasannya, presiden dan wapres akan jalan sendiri-sendiri.

Kabinet pun tidak kompak lagi, karena para menteri akan lebih merapat ke salah satu kubu dengan agenda yang berbeda-beda. Yang lebih mereka pikirkan adalah memenangkan jago masing-masing, sehingga bisa meminggirkan target pencapaian pembangunan yang telah dicanangkan.

Mari kita tengok pengalaman 5 tahun lalu. Waktu itu, wapres, berduet dengan salah seorang menteri, berlaga menantang atasannya.

Dua menteri jauh-jauh hari mengambil ancang-ancang mempersiapkan diri ikut berlaga di kancah pemilihan presiden (pilpres). Mereka akhirnya berduet menantang presiden yang memilih mereka berdua di jajaran kabinet, dan mereka menang.

Sejumlah menteri pun sibuk berkampanye untuk partai mereka masing-masing dan merapat ke capres-cawapres yang berbeda-beda pula.

Namun, perekonomian ternyata tidak banyak terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi pada 2004 bahkan lebih tinggi daripada 2003. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV (Oktober-Desember) /2004 tercatat yang tertinggi sejak krisis hingga sekarang, yakni 6,65%.

Sejumlah indikator makroekonomi lainnya juga membaik, seperti laju inflasi, suku bunga, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah.

Tak perlu gundah

Kisah 5 tahun lalu itu tampaknya akan berulang. Ada sejumlah kesamaan antara perkembangan politik menjelang pemilu 2009 dan pemilu 2004, yang membuat kita tidak perlu terlalu gundah dalam mencermati prospek ekonomi.

Pertama, sama seperti 5 tahun lalu, tim ekonomi yang paling bertanggung jawab terhadap stabilitas makroekonomi tidak akan berlaga dalam pemilu. Salah seorang di antara mereka bahkan juga adalah tim inti dalam kabinet sebelumnya, yang sudah teruji mampu menjaga jarak dari kancah pertarungan politik.

Kedua, kalaupun SBY-JK pecah kongsi, keduanya adalah incumbents, sehingga mereka selalu berupaya keras menunjukkan bahwa kinerja mereka lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya.

Untuk mewujudkan tekad itu, SBY-JK memiliki segala perangkat kebijakan guna membuat para pemilih senang. Berbagai kebijakan yang populis menjamur, alokasi dana yang dinikmati langsung oleh rakyat meningkat, harga kebutuhan pokok rakyat dikendalikan dengan beragam cara.

Untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi dunia, pemerintah memiliki pijakan kuat menggelontorkan lebih banyak dana yang bisa mengangkat daya beli masyarakat. Ini sudah tentu akan meningkatkan citra SBY-JK. Mereka berdua, sekalipun pecah kongsi, niscaya akan mengklaim bahwa mereka telah terbukti lebih peduli kepada rakyat.

Ketiga, bagaimana dengan sejumlah menteri yang akan lebih sibuk berkampanye untuk partai mereka masing-masing? Lima tahun lalu pun seperti itu.

Bukankah peran menteri-menteri sektoral sudah sangat terbatas di era otonomi? Ruang gerak yang mereka miliki hanya sebatas "memencengkan" sebagian kecil anggaran kementerian untuk konstituen masing-masing.

Selebihnya, mereka harus patuh pada pakem APBN yang telah disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR. Pencairan anggaran harus memenuhi prosedur dan dijaga ketat oleh Menteri Keuangan agar tidak kebobolan.

Mereka juga tidak bisa leluasa melahirkan kebijakan "sesuka hati" yang merugikan dunia usaha dan masyarakat, karena langkah demikian akan merugikan kepentingan partai. Kalaupun mereka "nekat" merampok uang rakyat, niscaya akan banyak yang meneriaki.

Apakah perhatian presiden, wapres, dan para menteri yang akan berkurang karena waktu mereka makin banyak tersita untuk berkampanye akan membuat perekonomian merana?

Masyarakat dan dunia usaha sudah semakin independen terhadap perkembangan politik. Sepanjang keamanan terjamin dan stabilitas makroekonomi terjaga, mereka akan berjibaku menjaga kelangsungan hidup dan usaha, mencari peluang baru, dan berkelit dari tekanan.

Daripada larut dengan manuver para politisi belakangan ini, lebih baik agaknya kita menekan mereka untuk menawarkan langkah-langkah jitu dalam menjawab tantangan berat yang sedang kita hadapi di tengah krisis ekonomi dunia yang menunjukkan kecenderungan terus memburuk.

Makin kritis

Kita yakin rakyat makin kritis dan cerdas. Rakyat akan memilih politisi yang paling teruji dan memiliki rekam jejak paling terpuji. Kalaupun belum memuaskan, itulah demokrasi.

Bagaimanapun kita tidak bisa berharap banyak dari stok elite politik yang ada sekarang, yang notabene adalah stok lama dengan mindset yang sulit berubah. Mereka adalah bagian dari masa lalu dan bagian dari masalah masa lalu pula.

Namun, bagaimanapun, kita masih bisa sedikit berharap, siapa pun yang akan meraih kemenangan pada pemilu dan pilpres nanti, mereka mampu menghadirkan keadaan yang lebih baik. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tidak cukup. Ini karena negara-negara tetangga berbenah lebih saksama.

Harapan lebih menjanjikan agaknya untuk sementara waktu harus kita simpan hingga generasi baru muncul dengan mindset baru dan tidak terbebani oleh kelam masa lalu.

Lima tahun ke depan tugas historis dunia usaha dan masyarakat sipil adalah memperkokoh kerangka kelembagaan (institutions) yang menjamin agar 5 tahun mendatang hadir perubahan yang lebih hakiki.

Penulis adalah Staf pengajar FE-UI/Ketua Tim Ahli Ekonomi Kadin Indonesia

No comments:

Post a Comment