Monday, March 2, 2009

Benih baru liberalisme?

Perlu penajaman prioritas industri hilir

Oleh: Sucipto
Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Maret 2009

Perdagangan bebas Asean, Australia, dan Selandia Baru (Asean Australia New Zealand Free Trade Agreement/AANZ FTA) telah ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-14 Asean di Hua Hin, Thailand.

Sekitar 93% komoditas ekspor Indonesia, termasuk bahan kayu, tekstil, kertas, nikel, dan sepatu, senilai US$2,4 miliar atau Rp28,8 triliun akan bebas bea masuk ke Australia mulai Oktober 2009. Sebelumnya, bea masuk tekstil dan sepatu mencapai 5%-17,5%.

Adapun dengan Selandia Baru sekitar 79% komoditas ekspor Indonesia senilai US$325 juta atau Rp3,9 triliun pun akan bebas bea masuk.

Kompensasinya, mulai 2009 sampai dengan 2015 Indonesia harus menurunkan bea masuk 85% komoditas. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan penurunan bea masuk akan dilakukan bertahap 13% per tahun.

Beberapa komoditas, yaitu alumunium, kapas, makanan ternak, dan garam asal Australia akan mengalami penurunan pada 2009. Sementara sektor sensitif seperti hasil peternakan sapi dan susu dijadikan prioritas terakhir dalam perjanjian untuk diturunkan pada 2017-2020.

Kebijakan itu perlu dicermati karena hasil konsultasi menteri ekonomi Asean, Australia, dan Selandia Baru di Singapura pada 28 Agustus 2008 mencatat kesepakatan tersebut tidak hanya perdagangan barang, tetapi juga meliputi investasi, servis, finansial, telekomunikasi, elektronik, perpindahan tenaga kerja, hak kekayaan intelektual, kebijakan kompetisi, dan kerja sama ekonomi.

Apalagi, komoditas yang disepakati menyangkut kepentingan banyak orang, terutama garam, pakan ternak, daging, gandum, dan kapas.

Kita tidak boleh hanya melihat tren ekspor impor barang antara Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru saat ini. Lebih dari itu perlu dicermati apa yang akan dimainkan Australia dan Selandia Baru dalam sektor investasi, hak kekayaan intelektual, teknologi, tenaga ahlinya pada Indonesia terkait dengan isi perjanjian di masa depan.

Liberalisasi perdagangan internasional atau regional adalah sesuatu yang niscaya. Dengan keunggulan yang berbeda, tidak satu pun negara di dunia dapat menghasilkan semua produk yang dibutuhkannya secara efisien.

Sepintas, produk yang dinegosiasikan dalam perjanjian ini dianggap komplementer, tidak seperti perdagangan bebas Asean yang bersifat substitusi, sehingga dirasa menguntungkan.

Dalam perjanjian ini tidak hanya arus ekspor impor itu sendiri yang harus diperhatikan. Bukan pula sekadar harga impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, sehingga konsumen lebih diuntungkan. Melainkan, apakah kemandirian bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat telah menjadi ukuran?

Cermati liberalisasi

Selama ini liberalisasi bias ke negara maju dan menyulitkan negara berkembang dengan sektor pertanian, perikanan, di mana petani dan nelayan kecil terkonsentrasi.

Negara maju dengan keunggulan modal, teknologi, informasi, dan sumber daya manusia (SDM) leluasa masuk ke negera berkembang. Di sisi lain, terjadi reduksi peran pemerintah di negara berkembang untuk mengelola keunggulan komperatifnya berupa sumber daya alam dan pasar.

Kita layak bertanya cukupkah upaya pemerintah dan swasta nasional mengatasi supply side constraints seperti kualitas SDM, teknologi, informasi, dan infrastruktur, yang merupakan prasyarat perdagangan bebas yang adil? Yang sederhana, apakah petambak garam, peternak sapi daging dan susu telah cukup diperhatikan?

Australia dan Selandia Baru dikenal sebagai negara maju yang menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia untuk komoditas tertentu, yaitu jagung, gula, gandum, daging sapi, susu, mentega, dan keju.

Selain itu, negara maju cenderung lebih kuat karena supply side constraint yang hampir tidak ada, pandai melobi atau menekan mitra dagang, dan lebih tahu yang apa diperjuangkan. Mereka juga melindungi petani dan nelayan dengan subsidi besar. Dengan posisi tersebut apakah petani dan peternak kita mampu bersaing?

Ke depan, masalah perdagangan bebas bukan sekadar pro atau anti. Kita perlu memahami perdagangan bebas yang dianggap adil adalah yang mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

Karena itu, liberalisasi harus dikendalikan agar tetap pro pemerataan dan pertumbuhan yang mampu mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Indonesia harus memecahkan supply side constrains secara terencana agar dapat bersaing. Hal ini menyangkut peningkatan SDM, teknologi, infrastruktur distribusi, sehingga berproduksi efisien.

Ekspor komoditas unggulan harus bergeser dari produk hulu menuju hilir dengan dukungan kebijakan industri nasional dan perdagangan. Selain itu, perlu penajaman prioritas industri hilir yang kuat, misalnya sawit, kakao, karet, dan tuna.

Mungkin, Indonesia lebih berhasil dalam ekspor dan membangun industri jika melakukan kombinasi pembenahan dulu terhadap supply side constrain, disusul pengurangan proteksi dan liberaliasi secara bertahap.

Penandatanganan Indonesia dalam perdagangan bebas Asean-Australia dan Selandia Baru semoga bukan sekadar gengsi dari Malaysia, Thailand, Vietnam.

Perlu ada tindak lanjut dengan road map terintegrasi yang memadukan keunggulan komperatif dan kompetitif sehingga berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat.

Penulis adalah Peserta Program Doktor Teknologi Industri Pertanian IPB & Dosen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknik Pertanian Universitas Brawijaya.

No comments:

Post a Comment