Friday, March 6, 2009

Alokasi Dana Dekonsentrasi Belum Adil

Oleh: Makmun
Sumber: Jawa Pos, 6 Maret 2009

Menurut UU, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Sedangkan tugas pembantuan (TP) adalah penugasan dari pemerintah kepada pemerintah daerah dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah atas beban APBN sesuai dengan besaran wewenang yang dilimpahkan dan dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik.

Sedangkan pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) atas beban APBN dan dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat fisik.

Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan (dekon-TP) bertujuan meningkatkan tingkat pencapaian efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan di daerah, serta menciptakan keselarasan dan sinergitas secara nasional antara program/kegiatan dekon-TP yang didanai dari APBN melalui RKA-KL dengan program/kegiatan desentralisasi yang didanai dari APBD melalui RKA-SKPD.

Secara khusus, dana dekon-TP bertujuan lebih menjamin tersedianya sebagian anggaran kementerian negara/lembaga bagi pelaksanaan program/kegiatan pemerintah di daerah.

Secara filosofis, dana dekon-TP merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga (K/L) yang digunakan untuk mendanai urusan pemerintah pusat di daerah. Sebelum era desentralisasi, anggaran sektoral K/L belum memilah-milah alokasi dana dekon-TP berdasarkan program, kegiatan, dan lokasi kegiatan, sehingga pola pendanaan dekon-TP tidak digunakan untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat, melainkan urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah. Sebagai konsekuensinya, praktik pendanaan tersebut cenderung mengalami duplikasi dan inefisiensi belanja pemerintah pusat di daerah.

Dalam era desentralisasi, pemerintah sudah melakukan reformasi pengelolaan anggaran terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan prinsip Money Follow Function.

Dana dekon-TP mulai disalurkan sejak era otonomi daerah (2002) melalui kementerian/lembaga (K/L) yang ditunjuk dan dialokasikan langsung ke dinas-dinas turunannya di daerah. Pada 2009, sebanyak 65 persen dari belanja negara dalam APBN 2009 (Rp 1.037,1 triliun) akan mengalir ke daerah.

Dana itu sudah termasuk dana dekon-TP dari K/L, subsidi (baik subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk, maupun bibit), hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dengan demikian, ada dana sekitar Rp 674,12 triliun yang harus dikelola 33 provinsi dan 477 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Dari dana yang dialokasikan ke daerah di atas, kurang lebih sekitar Rp 342,243 triliun akan langsung masuk ke APBD di setiap daerah dan berada langsung dalam kontrol pemerintah daerah. Dana itu belum termasuk pendapatan asli daerah (PAD) yang diperkirakan mencapai Rp 60 triliun-Rp 75 triliun setiap tahun. Dengan demikian, aliran dana pusat ke daerah sudah melampaui amanat Pasal 7 UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

UU itu mewajibkan pemerintah pusat mentransfer setidaknya seperempat dari penerimaan dalam negerinya ke daerah. Sementara itu, pada 2008, belanja APBN ke daerah sudah melampaui 41 persen, yang terdiri atas belanja pusat di daerah 11,8 persen dan transfer ke daerah senilai 29,5 persen dari seluruh pengeluaran APBN.

Belum Ada Standardisasi

Dana dekon-TP adalah satu di antara sekitar lima sumber keuangan yang dialirkan dari pemerintah pusat ke daerah. Dana ini digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan ke pemerintah daerah sehingga belum tentu semua daerah akan mendapatkan aliran dana dekon-TP. Penyaluran dana dekon-TP selama ini murni diserahkan kepada kemauan K/L bersangkutan.

Penyaluran dana dekon-TP didasarkan kepada kemauan K/L. Akibatnya, pengalokasian dana dekon-TP itu tidak dapat mencerminkan kebutuhan daerah. Selain itu, ketiadaan standardisasi dalam alokasi juga berpotensi penyalahgunaan dalam alokasi dana. Sebab, hingga kini laporan pertanggungjawabannya masih sangat minim.

Tidak tertutup pula kemungkinan membuka peluang permainan antara oknum di pemerintah pusat dan daerah secara terselubung yang berpotensi pada korupsi secara massive. Pemerintah daerah dan K/L berpotensi sama-sama bermain dan bekerja sama mempermainkan dana dekon-TP.

Ketiadaan standardisasi dalam alokasi dana dekon-TP juga menjadikan pemerintah daerah berlomba-lomba mendekati K/L untuk memperoleh perhatian. Tentu dengan maksud untuk memperoleh alokasi dana dekon-TP yang sebesar-besarnya. Pemerintah daerah tak segan-segan menempuh cara dengan menyerahkan upeti agar program yang didanai dana dekon-TP mengalir ke daerah tersebut.

Beberapa Catatan

Menurut hemat saya, permasalahan penting yang perlu segera dicarikan solusinya bukan pada tatanan perubahan dekon-TP menjadi DAK, melainkan perlunya disusun standardisasi dalam pengalokasian dana dekon-TP sehingga tingkat kesenjangan antardaerah segera teratasi.

Setidak-tidaknya terdapat dua kriteria yang dapat dikembangkan sebagai standardisasi dalam mengalokasikan dana dekon-TP, yaitu kriteria umum dan kriteria teknis.

Kriteria umum adalah kriteria yang sifatnya umum dan dimaksudkan untuk menentukan plafon alokasi dana dekon-TP per daerah. Sedangkan kriteria teknis adalah kriteria yang sifatnya lebih spefisik dan dimaksudkan untuk menentukan jenis kegiatan atau program yang akan didanai dekan-TP dan plafon per masing-masing K/L.

Penulis adalah Peneliti utama Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu

No comments:

Post a Comment