Monday, March 16, 2009

Membuat Stimulasi Ekonomi Efektif

Oleh: Umar Juoro
Sumber: Republika, 16 Maret 2009

Perkiraan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia terus menurun. Jika sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh dua persen dan perekonomian Indonesia 4,5 persen, perkiraan itu kini turun menjadi masing-masing 0,5 persen dan 3,5 persen pada 2009.

Pemerintah sendiri masih berharap pertumbuhan 4,5 persen atau paling tidak empat persen. Berbagai perkiraan menunjukkan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh antara dua sampai tiga persen. Ini menunjukkan betapa tidak pastinya situasi dunia dengan pengaruh besar pada perekonomian Indonesia.

Pengaruh paling nyata krisis ekonomi ke Indonesia adalah setelah turun drastisnya indeks pasar modal tahun lalu yang lebih dari 50 persen. Penurunan ekspor tajam mulai terasa di mana ekspor Januari 2009 turun 36 persen dari tahun sebelumnya. Sekalipun impor juga menurun lebih tajam lagi. Nilai rupiah masih terus tertekan karena kekhawatiran terhadap jatuh tempo utang swasta di mana perhitungan Bank Indonesia (BI) berbeda dengan para analis asing.

BI memperkirakan utang swasta jatuh tempo 17 miliar dolar AS. Sedangkan, banyak analis asing memperkirakan jauh lebih besar dari angka itu. Permasalahan perbedaan persepsi dan kepercayaan menjadi isu di sini. Perbedaan persepsi ini harus dijernihkan. Jika tidak, analis dan investor asing serta pelaku pasar memperkirakan keadaan terburuk.

Pertumbuhan ekonomi juga mengalami pelemahan, terutama di sektor manufaktur. Kredit perbankan pun cenderung menurun, dan banyak bank memproyeksikan pertumbuhan kredit yang lebih rendah dari perkiraan BI sebesar 15,6 persen. Bank semakin selektif dalam memberikan kredit, baik terhadap sesama bank maupun sektor riil.

Menghadapi kecenderungan pelemahan ekonomi yang lebih besar dari perkiraan semula, BI secara sistematis menurunkan bunga acuan BI Rate menjadi 7,75 persen. Penurunan suku bunga ini karena inflasi yang menurun lebih cepat dari perkiraan semula, dan juga untuk menstimulasi perekonomian.

Namun, perbankan tidak dengan cepat menurunkan bunga deposito. Apalagi bunga pinjaman. Penurunan bunga deposito dan pinjaman masih relatif kecil ketimbang yang diharapkan BI, pemerintah, maupun pelaku usaha. Di sisi fiskal, pemerintah mengumumkan melakukan stimulasi fiskal Rp 71 triliun atau 1,3 persen dari PDB. Angka ini masih lebih rendah dari yang diharapkan Kelompok G-20, di mana Indonesia adalah anggotanya, yang meminta memberikan stimulus pada perekonomian masing-masing paling tidak dua persen dari PDB.

Stimulus fiskal dalam bentuk keringanan pajak, pembangunan infrastruktur, dan pengurangan kemiskinan, sekalipun sangat diharapkan, masih diragukan efektivitasnya. Dari pengalaman tahun sebelumnya, kemungkinan defisit anggaran dalam realisasinya lebih kecil dari yang dianggarkan 2,5 persen dari PDB.

Mempertimbangkan semua itu, stimulasi ekonomi akan lebih efektif jika koordinasi dan cara-cara persuasif dilakukan, baik di antara bank-bank sendiri, terutama bank-bank besar, dengan persuasi dari BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketika mekanisme pasar tak optimal, cara-cara koordinasi dan persuasi perlu dilakukan. Jika tidak, perekonomian akan menyusut aktivitasnya.

Selanjutnya, BI bisa memberikan peringatan kepada bank-bank tertentu yang memberikan bunga deposito jauh lebih tinggi dari tingkat penjaminan dan membuat bank lain enggan menurunkan bunga deposito. Koordinasi dan persuasi juga dapat dilakukan untuk menurunkan bunga pinjaman. Tentu saja, BI perlu melonggarkan kriteria penentuan kredit macet dan restrukturisasi agar dana bank yang dialokasikan untuk provisi kredit macet tidak terlalu besar.

Dana perbankan yang disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) semakin meningkat. Dana yang terhimpun dalam bentuk SBI mencapai Rp 300 triliun. Sebagian besar adalah dana perbankan. Lebih baik dana itu dialokasikan untuk menggerakkan perekonomian domestik yang menjadi tumpuan harapan menghadapi krisis global.

Bagi pemerintah, sebaiknya penerbitan Surat Utang Negara (SUN) tidaklah bersifat menyaingi dana untuk swasta (crowding out). Jika bunga SUN terlalu tinggi, akan menjadi alasan bagi bank tak menurunkan bunga deposito karena harus bersaing. Pemerintah lebih baik berkonsentrasi pada penerbitan obligasi dolar atau yen untuk memperkuat cadangan devisa.

Fokus pada stimulasi adalah peningkatan daya beli masyarakat dan penurunan pajak perusahaan. Hal ini penting untuk mendorong perekonomian domestik dan menciptakan sinergi dengan kegiatan perbankan. Bank-bank cenderung menyalurkan kredit pada sektor konsumsi dan kegiatan UKM. Pada arah ini semestinya stimulasi fiskal difokuskan.Pembangunan infrastruktur tentu saja penting. Namun, sebaiknya kita lebih fokus pada pembangunan infrastruktur dengan benar, baik dalam hal efektivitas maupun akuntabilitasnya.

No comments:

Post a Comment