Friday, March 6, 2009

Memberdayakan petani gurem

Lahan sempit menjadi kendala struktural

Oleh: Andi Irawan
Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Maret 2009

Salah satu karakteristik penting pertanian kita adalah pertanian berbasis petani gurem. Sebagaimana yang diketahui rata-rata luas lahan per kapita pertanian kita hanya mencapai 0,09 ha, dan sekitar 53% dari rumah tangga tani menguasai lahan kurang dari 0,5 ha.

Di Jawa gambarannya lebih drastis lagi, di mana sekitar 88% rumah tangga hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Bandingkan dengan kepemilikan lahan petani di negara-negara maju. Belanda, misalnya, rata-rata para petaninya memiliki lahan pertanian 70-100 ha.

Teori ekonomi mengatakan ada skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan. Kita tahu bahwa untuk meningkatkan produktivitas, butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi pertanian.

Padahal, ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani kita tersebut.

Untuk penggunaan traktor, misalnya, yang baru menguntungkan untuk lahan di atas 5 ha, tentu akan menjadi tidak efisien dan tidak layak secara ekonomi jika diterapkan pada suatu usaha tani dengan luas lahan kurang dari itu apalagi kalau luas lahannya 0,5 ha ke bawah.

Jelas luas lahan sempit tersebut adalah kendala struktural yang dihadapi petani kita untuk memperoleh pendapatan usahatani yang bersifat insentif untuk berproduksi.

Kendala struktural pertanian gurem ini harus diatasi kalau suatu negara ingin lebih sejahtera dan bisa melakukan transformasi struktural (suatu istilah yang menggambarkan proses peralihan diri dari negara agraris menjadi negara industri) secara baik.

Oleh karena itu kebijakan redistribusi lahan untuk para petani gurem atau dikenal dengan istilah land reform policy adalah suatu keniscayaan.

Pelaksanaan land reform policy di sejumlah negara menunjukkan ada yang berhasil ada pula yang gagal. Yang berhasil melakukan program ini dengan baik seperti seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, sehingga negara-negara itu akhirnya berhasil masuk menjadi negara industri andal. Namun, ada juga yang gagal melakukannya seperti apa yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin dan Afrika.

Keterlibatan swasta

Saya memandang land reform policy masih menjadi keniscayaan untuk Indonesia untuk melepaskan perekonomian kita dari kendala struktural ekonomi penting ini. Tentu kebijakan ini tidak berdiri sendiri.

Land reform policy harus disertai dengan pilar-pilar kekuatan pembangunan di wilayah-wilayah yang dilaksanakan program tersebut. Infrastruktur penting yang akan mendukung pertanian berorientasi komersial harus dihadirkan dan diperkuat.

Keterlibatan swasta dalam bidang ini dengan jalan menciptakan insentif untuk kemudahan hadirnya industri berbasis pertanian di daerah target land reform policy juga menjadi keniscayaan.

Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan. Pertama, sebagaimana yang diketahui kita memiliki setidaknya 32 juta ha lahan yang bisa di gunakan tanpa mengganggu keseimbangan ekologis yang tersebar di provinsi Riau, Sumatra Selatan, Bangka Belitung dan semua provinsi di Kalimantan, Papua, dan Maluku.

Sementara itu, ada sekitar 9,7 juta ha lahan telantar yang saat ini ditumbuhi ilalang dan semak belukar. Lahan tersebut memiliki potensi untuk direhabilitasi dan dimanfaatkan untuk pertanian.

Lahan inilah yang dibagikan kepada petani dengan status hak guna usaha. Nanti setelah petani yang mendapat lahan mengelolanya dengan serius dan berhasil setidaknya setelah 5 tahun barulah lahan itu bisa dimiliki oleh petani dengan jalan membelinya dari negara dengan harga murah atau bahkan gratis.

Kedua, transmigrasi adalah salah satu bentuk implementasi dari land reform policy. Sehubungan dengan program transmigrasi ini, yang dibutuhkan saat ini adalah revitalisasi kebijakan transmigrasi, dalam arti kebijakan ini bukan lagi dititiktekankan pada aspek mengatasi masalah kependudukan, tetapi lebih pada misi besar penciptaan agropolitan Indonesia modern.

Keterlibatan petani lahan sempit dalam program ini bersifat sukarela. Pelaksanaan awalnya diintegrasikan dengan wilayah-wilayah pembukaan perkebunan swasta atau BUMN di wilayah luar Jawa.

Pola kemitraan seperti perkebunan inti rakyat (PIR) yang lebih egaliter (yang saling menguntungkan) perlu direalisasikan pada awal pelaksanaan program. Negara berperan menjadi akselarator dan penegak aturan main yang saling menguntungkan tersebut.

Ketiga, untuk petani lahan sempit di Pulau Jawa yang tetap enggan mengikuti dua program di atas, maka melalui upaya konsolidasi lahan melalui mekanisme corporate farming perlu dihadirkan.

Lahan pertanian yang sempit yang saling berdekatan dikonsolidasi menjadi satu hamparan yang luasnya menjadi puluhan bahkan ratusan hektare.

Pemerintah bisa membantu terbentuknya hubungan yang menguntungkan semua fihak yang terlibat, dengan cara menghubungkan sekelompok petani yang memiliki lahan yang saling berdekatan dengan pengusaha pertanian yang bonafid dengan track record agrobisnis yang diakui untuk bekerja sama melalui pola kemitraan yang bersifat win-win solution.

Corporate farming ini dilakukan dengan MoU yang jelas antara pengusaha sebagai pengelola proyek dan petani sebagai rekanan mereka. Pemerintah berposisi sebagai wasit agar dalam realisasi MoU tersebut tidak terjadi kerugian salah satu pihak akibat wanprestasi baik dari pengusaha ataupun petani.


Penulis adalah Pengajar di Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia

No comments:

Post a Comment