Wednesday, March 4, 2009

Proteksi Bukan Solusi

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Koran Jakarta, 4 Maret 2009

Dalam ASEAN Summit yang baru saja selesai pekan lalu, dibahas tentang isu proteksi yang mulai marak sejak kawasan tersebut terkena imbas krisis global. Dengan resesi yang sudah di pelupuk mata, kemungkinan setiap negara melakukan proteksi terhadap produk dalam negeri memang menjadi sangat besar. Tentunya, setiap negara dihadapkan pada kenyataan untuk menyelamatkan industri lokal masing-masing. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran akan memberikan tekanan politis untuk menerapkan kebijakan populis nasionalis.

Pertanyaannya, perlukah dilakukan proteksi di antara sesama anggota ASEAN? Jawaban normatifnya tentu tidak perlu. Tetapi dalam prakteksinya hampir bisa dipastikan bahwa gejala proteksionisme akan meningkat di setiap negara. Apa yang dikatakan dan diimbaukan akan berbeda 180 derajat dengan apa yang dilakukan.

Perdagangan sesama negara ASEAN hanya meliputi 20 persen saja sehingga isu proteksi ataupun antiproteksi di antara mereka bukanlah suatu hal yang terlalu penting. Mayoritas negara ASEAN justru lebih mengkhawatirkan proteksi yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa karena merupakan mitra dagang utama. Kalaupun Malaysia ataupun Thailand meningkatkan proteksi terhadap barang-barang yang mereka impor, maka pengaruhnya terhadap Indonesia tidak akan seberat jika Amerika ataupun Jepang meningkatkan proteksi.

Kecuali Indonesia, semua negara ASEAN merupakan small economy yang memiliki kebergantungan yang tinggi terhadap perdagangan dan arus modal internasional. Dengan karakteristik ini, sangat tidak menguntungkan bagi mereka untuk menginisiasi kebijakan protektif yang justru akan mengundang retaliasi dari mitra dagang. Adalah kepentingan mereka untuk mendapat akses yang seluas-luasnya terhadap perdagangan dan lalu lintas modal bebas.

Posisi Indonesia sendiri sebetulnya unik. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia diharapkan menjadi salah satu katup pengaman bagi negara-negara ASEAN lainnya. Dengan jumlah penduduk yang relatif besar dan tingkat pendapatan sudah berada di lower middle income country, Indonesia bisa menjadi pasar alternatif bagi barang-barang konsumsi yang diproduksi di negara ASEAN lainnya. Karena itu, kepentingan mereka terhadap Indonesia menjadi lebih besar dibanding kepentingan kita terhadap mereka.

Peningkatan proteksi di Indonesia akan memberikan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan proteksi di negara ASEAN lainnya. Karena itu, inisiatif Indonesia untuk terus mempertahankan dan malahan mengakselerasi pasar bebas di kawasan ini selalu didukung oleh negara-negara lainnya. Adalah menjadi kepentingan mereka untuk terus mendorong Indonesia menjadi negara yang paling liberal dalam bidang perdagangan dan investasi.

Indonesia juga dapat menjadi bargaining chip bagi ASEAN agar negara maju terus mempertahankan keterbukaan terhadap kawasan ini. Dalam konteks ini, negara-negara yang paling parah terkena imbas krisis seperti Singapura dan Malaysia memiliki kepentingan yang sangat besar untuk terus mempertahankan keterbukaan kawasan. Secara bersama-sama, ASEAN dapat memiliki posisi tawar yang lebih besar terhadap kawasan lain. Itu tidak bisa dilakukan tanpa Indonesia.

Memahami konteks ini, mestinya Indonesia harus bisa memainkan peran untuk kepentingan diri kita sendiri. Tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga kerja wanita (TKW) kita menghadapi ancaman PHK besar-besaran di Malaysia dan Singapura. Pekerja migran akan menjadi sasaran pertama dan utama dalam PHK massal. Karena itu, dampak krisis yang harus ditanggung Indonesia akan jauh lebih nyata dalam bentuk pengangguran dibanding negara ASEAN lainnya. Padahal jumlah PHK dan karyawan yang dirumahkan sampai saat ini telah melampaui 100 ribu orang. Tekanan sosial akibat pengangguran akan menjadi lebih besar lagi pada saat TKI dipulangkan.

Kalaupun mereka mau agar Indonesia tetap menjadi negara terbuka, maka harus ada kompensasi dalam bentuk pencegahan PHK terhadap TKI dan TKW. Dengan cara ini, Indonesia akan mendapatkan manfaat dari mempertahankan keterbukaan. Tapi agaknya ini tidak dijadikan sebagai faktor yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia. Pemerintah tampaknya terlalu “lugu” mengenai hal ini. Atau mungkin kita ingin dijadikan champion oleh negara lain, walaupun konsekuensinya pengangguran semakin menggila.

Kalau hal itu tidak bisa memperkuat daya tawar, maka alternatifnya hanya satu, yakni mengembangkan potensi permintaan domestik untuk kepentingan kita sendiri. Konsekuensinya, harus ada program nyata dari pemerintah untuk meningkatkan permintaan terhadap produk-produk dalam negeri. Kalau perlu, semua komponen belanja dalam APBN harus diprioritaskan untuk pembelian produk dalam negeri. Harus ada program buy Indonesian yang diimplementasikan secara nyata. Sejauh ini, pemerintah baru melakukan inisiasi dalam bentuk imbauan saja dan belum ada alokasi nyata yang tecermin dalam APBN. Kalau hanya sebatas imbauan dan kampanye saja tentunya sangat terbatas tingkat efektivitasnya.

Diplomasi mengenai proteksi mestinya dilakukan secara cerdas untuk kepentingan nasional. Yang paling penting adalah bagaimana supaya industri nasional tetap bisa bertahan di masa sulit dan pengangguran bisa ditekan. Harap diingat bahwa posisi tawar Indonesia adalah yang terkuat dan ASEAN dapat menjadi daya tawar bagi setiap anggotanya dalam menghadapi negara-negara maju. Be a smart nation.

Penulis adalah Direktur International Center for Applied Finance and Ecnomics (InterCAFE) IPB

No comments:

Post a Comment