Friday, March 27, 2009

Penghargaan untuk Lapindo

Jeruk Kecut bagi Korban Lumpur

Oleh: Andi Irawan
Sumber: Jawa Pos, 27 Maret 2009

Pada 2001, George Akerloff diganjar hadiah Nobel Ekonomi atas artikelnya yang dimuat di Quarterly Journal of Economics (QJE) pada 1970. Artikel seminal itu berjudul Market for 'Lemons', mengupas implikasi ketidakseimbangan informasi pada mekanisme pasar dengan mengambil kasus transaksi yang terjadi pada pasar mobil bekas. Intinya, jika salah satu pihak yang bertransaksi (penjual) memiliki informasi lebih dan melakukan manipulasi, pihak lain (pembeli) akan buntung.

Alih-alih mendapat mobil bagus, yang bersangkutan akan merasakan 'kecutnya lemons', suatu metafor untuk produk busuk. Selanjutnya, berhadapan dengan harga reservasi pembeli yang lebih rendah sebagai respons atas keterbatasannya terhadap akses informasi dan pengalaman buruk, penjual yang memiliki mobil berkualitas bagus terpaksa mencari outlet lain untuk menjual barangnya. Akibatnya, pasar pada akhirnya justru dibanjiri produk berkualitas rendah, tidak sebanding dengan harga.

Sekarang kita menyaksikan bahwa karakter pasar yang digambarkan Akerloff tersebut tidak hanya berlaku pada pasar mobil bekas, tapi juga dapat terjadi pada pasar uang/modal, pasar politik/kebijakan, dan pasar penghargaan. Ironi pun terjadi, yang 'gorengan' menggerus yang prospektif, yang busuk meminggirkan yang tulus, proyek berkuasa atas rencana strategik, dan pragmatisme menang atas pesan ideal.

Saya membayangkan, jika Akerloff menyaksikan dan memberi penjelasan ekonomi bagaimana bisa gubernur Jawa Timur memberikan penghargaan zero accident kepada Lapindo Brantas Inc (Jawa Pos, 13 Maret 2009), bisa jadi dia mendapat Nobel untuk kali kedua. Yang tersisa untuk publik, khususnya korban lumpur, lagi-lagi hanya 'jeruk kecut' dan horor ala Friday the 13th. 'Jeruk kecut' dan horor itu di antaranya, seperti diberitakan oleh Kompas.com (Minggu, 22/3), adalah 12 hari terkatung-katung di Jakarta tanpa ada kepastian apakah dapat menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Reduksi Kriteria

Menurut sumber Lapindo yang dimuat dalam berita Jawa Pos tersebut, penghargaan yang diberikan tidak ada kaitannya dengan bencana lumpur, tapi berdasarkan penilaian kecelakaan industri pada periode Oktober 2005 sampai September 2008. Jika bukan bualan, pernyataan dan penghargaan itu merupakan 'angin sorga' di tengah 'badai angin sorga' Pemilu 2009.

Pertama, terdapat ketidakseimbangan informasi tentang kriteria dan cara pengukuran 'kecelakaan industri nol'. Kalaupun standar yang diacu gubernur memang melahirkan statistik kecelakaan nol, kecelakaan industri tidak bisa dipisahkan dari bencana industri, yaitu bencana besar dan masal dengan dampak ekosistem, sosial, dan ekonomi luar biasa yang diakibatkan oleh suatu aktifitas industri akibat kecerobohan, ketidakpedulian, atau ketidakbecusan. Lapindo tidak bisa dipisahkan dari bencana industri semburan lumpur panas itu.

Di luar soal faktor alam (lagi-lagi perdebatan yang sarat ketidakseimbangan informasi), yang tampak lebih nyata adalah bahwa semburan lumpur panas terkait juga dengan ketidakmampuan teknis Lapindo dalam mangelola risiko ketika melakukan aktivitas produksi. Akibat bencana industri ini, sektor transportasi, sektor properti, sektor usaha kecil dan menengah, sektor pariwisata terpukul. Kerugian kegiatan ekspor-impor, perdagangan antarwilayah, dan investasi amatlah luar biasa.

Saya berharap gubernur tidak mengalami miopik keputusan, di mana 'kuman di seberang lautan tampak, namun gajah di pelupuk mata tak terlihat'. Harapan ini adalah bentuk penghormatan saya terhadap posisi gubernur yang merupakan pemimpin wilayah, bukan mantri kecelakaan kerja. Jadi, statistik struktur ekonomi regional pasca semburan lumpur panas tentu tidak dapat diabaikan begitu saja ketika melakukan penilaian statistik kecelakaan kerja, apa pun definisinya.

Kedua, awal mula terjadinya semburan lumpur panas adalah sekitar Mei 2006 (Haryono, 2008) dan sejak itu banyak dilaporkan media massa berbagai peristiwa kecelakaan kerja terkait upaya penutupan semburan lumpur panas. Semuanya terjadi dalam kisaran periode 2005-2008. Juga, praktik lebih umum adalah penilaian dilakukan tahunan. Jika memang Lapindo begitu hebat dalam hal keselamatan kerja, mengapa penghargaan tidak diberikan tahun-tahun lalu? Mengapa baru diberikan setelah pemilihan gubernur dan menjelang seri Pemilu 2009?

Ketiga, penghargaan (penalti) simbolik juga merupakan instrumen ekonomi dalam situasi ketidaksempurnaan informasi. Instrumen ini dapat memberikan sinyal pada pasar dan pada gilirannya dapat memberikan dampak ekonomi penerima penghargaan (penalti). Banyak penelitian empirik menunjukkan asosiasi antara tingkat kepedulian lingkungan, hak asasi manusia, dan sosial dalam praktik bisnis perusahaan dengan nilai sahamnya di pasar modal.

Jika hukum dan politik dianggap belum mampu 'menyentuh' Lapindo, masyarakat dan pasar dapat 'menghukum' Lapindo secara ekonomi. Misalnya, melakukan divestasi atau membatasi aktivitas di kemudian hari atau di lain tempat dengan regulasi dan monitoring lebih ketat.

Penghargaan yang diberikan oleh gubernur kepada Lapindo sungguh dapat mengirim sinyal yang salah pada pasar mengenai jati diri Lapindo. Masih belum hilang pahit yang dirasakan masyarakat korban lumpur dan, sekarang, mereka merasakan 'rasa kecut' penghargaan itu. Dan, ketidakmampuan Presiden SBY memenuhi janjinya pada korban lumpur adalah bagaikan tambahan rasa cuka.

Penulis adalah mahasiswa doktoral Urban and Regional Planning pada University of Illinois at Urbana-Champaign, USA

No comments:

Post a Comment