Thursday, March 5, 2009

Efektivitas Stimulus Fiskal

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Sumber: Jurnal Nasional, 5 Maret 2009

Negara-negara maju yang terjerat krisis finansial telah melakukan segala upaya untuk meredam dampak krisis ini. Secara umum, negara-negara tersebut mengandalkan stimulus ekonomi untuk menetralisir dampak krisis. AS, misalnya, telah menganggarkan lebih dari US$800 miliar untuk mengatasi krisis. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, China, India, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, dan lain-lain. Paket stimulus itu umumnya digunakan bagi dual hal. Pertama, mengonsolidasi pasar keuangan (perbankan) dan korporasi agar berperan optimal kembali dalam menggerakkan perekonomian. Kedua, mengeliminasi resesi ekonomi dengan jalan pembukaan lapangan kerja agar tidak terjadi pembengkakan pengangguran dan penurunan daya beli masyarakat, misalnya dengan pembangunan infrastruktur (jalan, irigasi, dan pelabuhan). Tipikal stimulus itu terjadi di hampir semua negara dengan sedikit modifikasi pada negara tertentu.

Karakteristik Indonesia

Indonesia juga tidak luput dari pola itu, yakni mendesain stimulus fiskal yang ditujukan memulihkan perusahaan dan menciptakan lapangan kerja. Jumlah stimulus yang diberikan pun cukup besar, sekitar Rp 80 triliun. Jumlah ini setara dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk rekonstruksi Aceh selama 4 tahun ini (pasca-tsunami). Jadi, dilihat dari nilai stimulus tersebut memang dapat disimpulkan adanya potensi "disaster" terhadap perekonomian. Jika dibagi dalam dua jenis stimulus ekonomi ini, maka tampak deskripsi sebagai berikut. Pertama, stimulus tidak langsung berupa keringanan pajak (tax saving) bagi individu maupun korporasi, seperti pengurangan bea impor, pajak ekspor, PPh badan dan individu, dan penurunan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Kedua, stimulus langsung yang diberikan ke masyarakat melalui PNPM, KUR, dan lainnya maupun penciptaan lapangan kerja lewat pembangunan infrastruktur (irigasi, listrik, jalan tol, dan pelabuhan).

Secara keseluruhan jumlah stimulus yang bersifat "tax-saving" lebih besar ketimbang stimulus langsung. Dengan karakteristik tersebut, maka sebetulnya dapat dipetakan secara lebih jernih efektivitas stimulus ekonomi yang didesain pemerintah. Menyangkut stimulus ekonomi yang bersifat tax-saving, memang cukup rasional untuk dipilih sebagai instrumen menggerakkan kembali dunia usaha. Namun, bila diperhatikan secara lebih detail, maka akan muncul beberapa permasalahan. Soal yang pokok, penurunan pajak ekspor mungkin kurang bermakna karena poblemnya ada di pasar internasional. Sehingga, penurunan pajak ekspor tidak lantas dapat meningkatkan ekspor karena permintaan internasional tidak tumbuh. Berikutnya, penurunan bea impor hanya efektif bila itu berupa jenis bahan baku untuk kepentingan produksi yang diperuntukkan pasar domestik. Sebaliknya, jika produksi itu digunakan untuk pasar ekspor, maka efektivitasnya menjadi rendah.

Berikutnya, pilihan paket program yang dipakai menciptakan lapangan kerja baru akan menentukan efektivitas stimulus fiskal. Dalam program yang sudah didesain pemerintah, pembuatan jalan desa dan irigasi, misalnya, bisa jadi sangat efektif untuk menciptakan lapangan kerja dan mempertahankan daya beli masyarakat. Tetapi, penciptaan lapangan kerja dengan mengandalkan pembangunan jalan tol, misalnya, sangat diragukan efektivitasnya. Persoalannya bukan karena proyek jalan tol tidak bisa menciptakan lapangan kerja, melainkan proses pembangunan jalan tol selama ini terkendala banyak masalah, di mana yang terpenting adalah pembebasan lahan. Proses pengurusan lahan ini membutuhkan waktu beberapa tahun, paling cepat satu tahun. Jika ini yang terjadi, maka program ini jelas tidak efektif untuk menciptakan lapangan kerja dalam jangka pendek. Dengan begitu, aspek-aspek semacam itu mesti dipertimbangkan secara saksama bila ingin stimulus ekonomi berjalan efektif.

Memetakan Skenario Lain

Problem lain dari stimulus ekonomi yang didesain pemerintah adalah soal pembiayaannya. Seperti diduga, krisis ekonomi ini dipakai pemerintah untuk memerkuat kembali karakter pembiayaan fiskal yang tergantung dari utang (domestik dan asing). Baru saja pemerintah menaikkan defisit fiskal menjadi 2,6% terhadap PDB, sehingga total defisit yang dirancang menjadi sebesar sekitar Rp 139 trilun. Salah satu sumber dana yang bakal digunakan menutup utang berasal dari utang luar negeri, menjual obligasi, dan surat utang negara (SUN). Indonesia baru saja menerbitkan obligasi global Indonesia berupa medium term notes (MTN) yang terserap US$ 3 miliar. Masalahnya, imbal hasil (yield) dari obligasi ini sangat tinggi, berkisar antara 10,5 - 11,75% (dengan tenor 5 - 10 tahun). Pola pembiayaan ini sebetulnya hanya memindahkan masalah karena mungkin soal sekarang dapat terselesaikan, tetapi di masa depan anggaran fiskal akan dibebani pembayaran utang yang besar.

Berikutnya, soal yang tidak kalah penting adalah penyerapan anggaran. Akibat pola penyerapan anggaran yang berat di bagian akhir tahun (kuartal ketiga dan keempat), mengakibatkan kualitas kegiatan/program menjadi buruk. Jika pola penyerapan anggaran ini diperbaiki, maka mutu program diharapkan lebih bagus sehingga mampu meningkatkan kinerja ekonomi, misalnya dalam hal penyerapan tenaga kerja. Pengalaman tahun lalu juga memberi konfirmasi tentang buruknya kemampuan pemerintah dalam menyerap anggaran, terbukti target defisit 1,3% dari PDB tidak tercapai karena ada sisa anggaran sekitar Rp 51 triliun. Oleh karena itu, bila alokasi anggaran tahun ini dialihkan lebih banyak ke program (misalnya melalui pengurangan belanja lembaga/kementerian), maka sebetulnya anggaran defisit 2,6% itu tidak perlu dilakukan. Dengan cara ini dampak krisis ekonomi dapat dieliminasi tanpa perlu mengorbankan APBN dengan pembayaran utang/bunga di masa depan.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

No comments:

Post a Comment