Wednesday, March 4, 2009

Korban Inflasi yang Paling Terpukul

Oleh: Dr Bambang-Heru
Sumber: Jawa Pos, 4 Maret 2009

Untuk menjawab pertanyaan: "siapa korban terparah dari inflasi?", marilah berhitung dengan data. Inflasi yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan satu-satunya official data yang merupakan indikator yang dirilis dengan time-lag terkecil.

Memang masih ada orang berpendapat bahwa tingkat inflasi yang dihitung BPS sepertinya lebih rendah daripada kenyataan kenaikan harga-harga yang sebenarnya. Pendapat tersebut sekilas terasa benar. Namun, benarkah demikian?

Seperti di negara-negara lain di dunia, inflasi dihitung dari indeks harga yang dikenal dengan indeks harga konsumen (IHK, atau consumer price index = CPI); sebuah indeks komposit dari harga-harga sejumlah barang dan jasa yang mewakili portfolio konsumsi rumah tangga secara rata-rata.

BPS membagi IHK secara umum ke dalam tujuh kelompok: makanan, bahan makanan termasuk tembakau, perumahan, sandang, perawatan kesehatan, pendidikan dan rekreasi, dan terakhir transportasi dan komunikasi. Kalau dihitung, jumlah komoditas dan jasa yang selalu dipantau pergerakan harganya adalah ratusan bahkan mendekati seribu.

Inflasi merupakan persentase kenaikan indeks harga, baik secara umum maupun kelompok, bahkan subkelompok maupun komoditas. Sedangkan persentase penurunan harga dikenal dengan deflasi, walaupun hal ini jarang terjadi dalam sejarah Indonesia Merdeka.

Dalam tiga tahun terakhir (bahkan lebih), IHK memperlihatkan inflasi kelompok makanan jauh lebih tinggi dibanding inflasi umum, yang sering digunakan sebagai patokan dan menjadi bahan diskusi tentang indikator ekonomi makro.

Pada 2006, inflasi umum hanya 6,6 %, tetapi tingkat inflasi makanan mencapai 12,94%, dua kali lipat. Pada 2007 dan 2008 perbandingan dua data tersebut adalah 6,59% (umum) dan 11,26% merupakan inflasi makanan, dan pada 2008 perbandingan tersebut adalah 11,06% dan 16,35%.

Bahkan, Januari 2009, ketika terjadi deflasi (-0,07%) secara umum, makanan sebaliknya masih mengalami inflasi 0,76%. Begitu juga ketika inflasi Februari diumumkan BPS pada 2 Maret, inflasi (umum) hanya 0,21%, namun inflasi kelompok makanan mencapai 0,95%.

Sesuai hukum Engel -proporsi total pengeluaran untuk makanan akan berkurang sejalan dengan kenaikan pendapatan- menyiratkan kondisi bahwa semakin kaya sebuah rumah tangga, semakin kecil porsi pengeluaran untuk makanan. Kelompok ini bahkan mampu secara leluasa memenuhi kebutuhan nonmakanan dengan baik, bahkan membeli barang tahan lama dan mewah.

Mereka juga mampu memupuk tabungan dan seterusnya disalurkan ke dalam investasi yang pada masa mendatang kembali memperbesar pundi-pundi. Ketika inflasi tinggi sekalipun, kelompok ini mampu "memanfaatkannya" dengan jalan melakukan utang. Andaikata inflasi tinggi, justru berutang merupakan hal yang menguntungkan, karena net present value cicilan yang akan dibayar pada masa mendatang menjadi lebih kecil. Apalagi saat ini, menyimpan uang dalam bentuk deposito bunganya lebih rendah dibanding inflasi.

Dampak Berbeda

Inflasi memang merugikan hampir semua pihak, namun memberi dampak berbeda terhadap kelompok masyarakat yang berbeda. Walaupun inflasi mendegradasikan daya beli seluruh masyarakat, korban terparah adalah kelompok berpenghasilan tetap, seperti pegawai atau buruh. Pedagang, misalnya, dapat mengalihkan pengaruh inflasi kepada pihak lain. Walaupun ketika daya beli masyarakat secara umum melemah, dampaknya terasa melalui omzet perdagangan yang mengecil.

Tetapi, apakah setelah mencapai titik terrendah, konsumsi makanan juga ditekan lagi? Mau tidak mau, semua orang harus makan, sehingga kecil kemungkinan konsumsi makanan dikurangi secara signifikan, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Kelompok masyarakat berpenghasilan tetap-dan-rendah di Indonesia, terpukul melalui dua tahap. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Pertama, inflasi telah memperlemah daya belinya. Kedua, kelompok ini konsumsinya terkonsentrasi pada makanan (lihat data Susenas = Survei Sosial Ekonomi Nasional), sedangkan inflasi makanan terbukti selalu lebih tinggi dibanding inflasi secara umum, bahkan sering mencapai dua kali lipat.

Karena itu, kelompok ini selalu menjerit tentang pendapatannya yang hanya cukup untuk makan, walaupun secara periodik gajinya selalu dinaikkan oleh perusahaan, atau bagi PNS nominal gajinya dinaikkan pemerintah.

Kelompok berpenghasilan tetap-dan-rendah jumlahnya lebih banyak dibanding masyarakat lain. Maka, kelompok ini sering mengatakan data tingkat inflasi yang dipublikasikan BPS terlalu rendah. Padahal, yang terjadi adalah tingkat inflasi makanan yang selalu jauh lebih tinggi dibanding inflasi secara umum. Jadi, bukan datanya, tetapi persoalannya terletak pada pemaknaan data yang perlu diluruskan.

BI rate dan bunga tabungan, misalnya, selalu cepat merespons inflasi umum, namun tidak untuk bunga pinjaman. Eskalator untuk menaikan gaji dan upah pekerja selalu mengacu kepada inflasi umum. Padahal, seperti telah dijelaskan, inflasi makanan selalu lebih tinggi secara nyata. Untuk menaikkan (mengeskalasi) gaji PNS dan upah buruh selalu digunakan acuan inflasi umum. Termasuk kenaikan nominal gaji PNS dan karyawan swasta (kalau ada) pada awal bulan ini. Walaupun tetap disyukuri, kenaikan itu belum terlalu menolong mengembalikan daya beli.

Perlu imparsialitas dari pihak yang berkepentingan dalam menggunakan berbagai indikator makro sebagai alat penentu kebijakan.

Penulis adalah analis statistika, PNS di Jakarta.

No comments:

Post a Comment