Friday, March 6, 2009

Menyoal Utang Luar Negeri

Oleh: Ukay Karyadi
Sumber: Koran Jakarta, 6 Maret 2009

Krisis finansial global kian memberi tekanan pada perekonomian domestik, setidaknya dapat dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009. Belum lama ini, Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyepakati defisit APBN 2009 terbaru sebesar 139,5 triliun rupiah atau 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini melonjak tajam tajam dari proyeksi awal defisit yang cuma 1 persen PDB atau 51,3 triliun rupiah .

Implikasinya, untuk menambal defisit yang kian membengkak tersebut, pemerintah berencana menggunakan dana sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) 2008 sebesar 51,3 triliun rupiah, pembiayaan dalam negeri, dan utang luar negeri 45,6 triliun rupiah.

Penggunaan instrumen utang luar negeri untuk menambal defisit, bisa dikatakan bahwa pemerintah “menyerah”, sebab selama ini pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla selalu menghindari utang luar negeri (baik yang bersifat bilateral, multilateral, maupun dari lembaga donor). Malahan, pemerintahan Yudhoyono-Kalla kerap mengampanyekan keberhasilannya melunasi utang IMF.

Menurut data Bank Indonesia (BI), posisi utang luar negeri pemerintah dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada 2006 posisinya sebesar 75,81 miliar dollar AS, meningkat menjadi 80,61 miliar dollar AS pada 2007, dan terus meningkat menjadi 86,09 miliar dollar AS pada triwulan III 2008.

Sementara itu, menurut catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Depertemen Keuangan, hingga November 2008 posisi utang luar negeri sebesar 65,45 miliar dollar AS .

Tentunya, kian membengkaknya utang luar negeri tersebut akan berdampak pada peningkatan alokasi anggaran untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang di masa depan. Tahun ini, pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri sebesar 15,6 triliun rupiah.

Realitas ini, sebagaimana diungkapkan ekonom Drajad Wibowo (Koran Jakarta, 3 Maret 2009), dapat membuat Indonsia mengalami apa yang disebut Siklus Argentina. Dan bila hal itu terjadi, negeri ini bisa mengalami krisis fiskal.

Kebergantungan Utang

Secara teoretis, kebergantungan akan utang luar negeri dapat dilihat dari dua sisi, yakni sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, kebutuhan akan utang luar negeri dapat dilihat dari dua komponen.

Pertama, permintaan utang dilandasi oleh perhitungan yang matang mengenai proyek-proyek yang akan dibiayai. Proyek-proyek tersebut terkait dengan upaya peningkatan kapasitas output nasional. Artinya, proyek-proyek yang dibiayai oleh utang akan menimbulkan kapasitas repayment capacity terhadap utang yang digunakan untuk mebiayai proyek-proyek tersebut.

Kedua, permintaan utang luar negeri yang ditentukan oleh faktor-faktor random di dalam negeri. Faktor-faktor ini erat kaitannya dengan perilaku korup penguasa dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi nasional. Akibatnya, proyek-proyek yang dibiayai utang banyak yang tidak memiliki kaitan dengan peningkatan kapasitas produksi riil, sehingga tidak menimbulkan repayment capacity terhadap utang yang telah diterima. Atau, meskipun memiliki kaitan dengan peningkatan kapasitas produksi, tetapi skala pinjaman jauh melebihi keperluan yang realistis (mark up), sehingga rate of return dana pinjaman jauh berada di bawah cost of borrowing.

Sementara itu, dari sisi penawaran, hasrat berutang suatu negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, peningkatan akumulasi utang luar negeri secara substansial banyak diakibatkan oleh dorongan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Lembaga-lembaga keuangan tersebut dengan berbagai upaya menggelontorkan dana pinjaman ke negara-negara berkembang. Ini dilakukan karena berkurangnya permintaan pinjaman di negara-negara maju. Karena itu, proyek-proyek yang dibiayai utang semacam ini secara perhitungan ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, kaitan antara pinjaman yang diterima dan peningkatan kapasitas produksi nasional sangat lemah.

Kedua, sebagaimana yang dikemukakan Mandel (1986) bahwa menumpuknya utang luar negeri negara-negara berkembang merupakan manifestasi yang spesifik dari overheating of credit yang terjadi di negara-negara maju. Proses overheating of credit ini perlu dilaksanakan oleh negara-negara maju demi mencegah terjadinya krisis dalam sistem kapitalisme di negara-negara tersebut. Dengan demikian, pelemparan dana pinjaman ke negara-negara berkembang adalah dalam rangka menstimulasi proses pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju.

Pengelolaan Utang

Apabila pemerintah terpaksa menggunakan utang luar negeri untuk menambal defisit APBN, maka harus dipastikan bahwa pengelolaan utang tersebut dilakukan dengan manajemen yang baik dan terukur, sehingga prospek utang akan dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional. Atau dengan kata lain, proyek-proyek yang dibiayai oleh utang tersebut akan menimbulkan repayment capacity.

Pemerintah sendiri menyadari pentingnya manajemen utang, setidaknya dilihat dari lahirnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Keputusan menteri tersebut menyebutkan bahwa secara umum tujuan pengelolaan utang negara dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Ada pun secara terperinci, tujuan pengelolaan utang adalah: 1) Menjamin terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainability) yang sesuai dengan kondisi ekonomi makro, serta biaya terendah, 2) Meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terutama untuk meminimalkan risiko, baik risiko pasar maupun risiko refinancing; 3) Mengembangkan upaya-upaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan perkiraan biaya.

Persoalannya, sejauh mana Keputusan Menteri Keuangan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, mengingat tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) masih jauh dari harapan. Lihat saja, hasil audit dari Badan Pemeriksa keuangan (BPK) menunjukkan ada beberapa kejanggalan yang terlihat. Misalnya saja sekitar 500 dari 2.214 perjanjian utang luar negeri (loan agreement) yang diteken pemerintah bersama sejumlah lembaga pendonor telah hilang. BPK juga menemukan proyek pemerintah senilai 438,47 miliar rupiah yang tidak terlalu bermanfaat.

Selain itu, ada pula keterlambatan 25 proyek pemerintah. Akibat keterlambatan itu, pemerintah harus menanggung tambahan beban berupa commitment fee yang jumlahnya mencapai 2,02 triliun rupiah.

Selanjutnya, BPK juga menemukan penarikan pinjaman dari rekening khusus (reksus) maupun dana talangan pemerintah yang beresiko tidak mendapat pergantian dari lender minimal sebesar 5,04 miliar rupiah dan 4,23 juta dollar AS. Per 26 September 2008, terdapat 61 reksus dengan saldo 74,34 miliar rupiah yang belum ditutup, walaupun clossing date pinjaman telah lewat. Akibatnya, pemerintah menanggung beban bunga atas sisa dana di reksus tersebut.

Temuan lainnya, terdapat risiko kehilangan dan penyalahgunaan aset negara senilai 207,79 miliar rupiah. Negara juga dibebankan minimal 36,38 miliar rupiah akibat klausul mengenai biaya asuransi, biaya komitmen, dan biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam perjanjian. Maka tidak mengherankan apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai ancang-ancang untuk mengungkap indikasi korupsi yang menyertai derasnya aliran utang luar negeri ke Tanah Air.

Oleh karena itu, wajar bila kita ragu apakah kucuran utang luar negeri baru tersebut dapat memberi manfaat bagi perekonomian, atau justru malah menggiring pada ketergantungan akan utang.

Penulis adalah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Alumnus FE Unila dan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI.

No comments:

Post a Comment