Monday, March 30, 2009

Kelenturan dalam Krisis Global

Oleh: Syamsul Hadi
Sumber: Seputar Indonesia, 30 Maret 2009

Dari penggagas teori evolusi, Charles Darwin, kita dapat belajar satu hal: kunci sukses manusia menghadapi tekanan-tekanan perubahan alam yang keras adalah kemampuannya melakukan adaptasi yang mengagumkan.

Kelenturan atau fleksibilitas manusia telah memenangkannya dalam kompetisi survival of the fittest, meninggalkan dinosaurus perkasa yang hanya menyisakan fosil. Sudah pasti modal utama di belakang kemampuan manusia beradaptasi adalah kecerdasannya yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks teori evolusi, ilmu pengetahuan terlihat sebagai cara manusia untuk menghadapi, mengadaptasi, dan merancang masa kini dan masa depan yang lebih baik. Sifat teori sebagai elemen sentral dalam ilmu pengetahuan dengan demikian adalah relatif dan ”historis”, menjawab tantangan sejarah kemanusiaan pada zamannya.

Meminjam ungkapan George T Krane dan Abla Amawi, ”Teori bukanlah semata hasil proses ilmiah universal yang melampaui batasan waktu; ia adalah produk dari sebuah konteks sejarah. Argumen (teoritis) yang dipercaya sekarang tampil ke depan karena lokasinya yang tepat dalam lingkungan ekonomi dan politik masanya...” (Theoretical Evolution of International Political Economy,1997).

Summer dan Teknokrasi

Ketika ilmu pengetahuan dijadikan instrumen ”ilmiah”untuk menghasilkan kebijakan ekonomi dan politik, terbentuklah apa yang disebut teknokrasi, sebuah pemerintahan yang secara signifikan melibatkan kalangan teknokrat untuk menggodok kebijakan publik. Ignas Kleden (Prisma, Maret 1984) mendefinisikan teknokrat sebagai seseorang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup mendalam atas bidangbidang tertentu dan atas dasar itu bekerja berdasarkan rasionalitas di bidangnya.

Keterlibatan teknokrat bukan hanya dominasi pemerintah negara berkembang, tetapi juga negara maju seperti AS. Larry Summer, yang dijuluki Newsweek sebagai the brainiest of the best and the brightest dalam tim ekonomi Obama, adalah teknokrat penting yang kini menjabat sebagai Kepala Dewan Ekonomi Nasional AS.

Summer, profesor ekonomi dan mantan rektor Universitas Harvard yang pernah menjadi menteri keuangan di era presiden Bill Clinton, diharapkan akan berperan sentral untuk membangkitkan ekonomi AS yang terpuruk di jurang krisis finansial. Semasa Clinton, Summer menjadi penganjur liberalisasi dan pasar bebas yang vokal.

Namun, kini dia beralih menjadi seorang Keynesian yang dengan gigih menganjurkan keterlibatan pemerintah secara besar-besaran dalam ekonomi guna mengendalikan pasar dan menstimulasinya untuk bangkit. Summer adalah otak di balik paket dana stimulus besarbesaran yang dikeluarkan Pemerintah AS untuk menyehatkan kembali ekonomi AS.

Dari sisi keberadaan Summer, yang semula adalah neoliberalis tulen, langkah ini jelas bisa dibaca sebagai sebentuk inkonsistensi. Namun itu dapat pula dibaca sebagai cerminan dari kecerdasan seorang ilmuwan-teknokrat yang mau terus belajar dan cepat menyerap perubahan, melakukan adaptasi, dan kemudian memilih kebijakan yang dibutuhkan. Akarnya, sudah pasti, pemilikan sense of crisis yang kuat, yang mengharuskannya untuk menyesuaikan pandangan ilmiahnya selaras dengan tuntutan situasi demi menyelamatkan ekonomi bangsanya.

Fundamentalisme vs Fleksibilitas

Banyak ilmuwan menolak fundamentalisme tanpa menyadari bahwa dia telah terjebak di dalamnya. Para teknokrat pendukung rezim komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur terjebak pada fundamentalisme antipasar dengan menutup ruang bagi kompetisi dalam sistem ekonomi karena prasangka ideologis terhadap pasar yang didominasi kaum kapitalis.

Sebaliknya, para teknokrat AS sejak masa Presiden Ronald Reagan terjebak pada fundamentalisme antinegara dengan kepercayaan yang berlebihan pada mekanisme pasar. Tanpa regulasi yang memadai, kebebasan dalam mekanisme pasar telah dimanfaatkan untuk beragam aksi spekulasi finansial yang dilatari keserakahan menumpuk kekayaan yang secara akumulatif mengantarkan AS pada krisis finansial dewasa ini.

Intelektual, menurut sejarawan Arnold Toynbee, adalah kekuatan creative minority yang selayaknya menjadi motor perubahan sejarah karena kecerahan dan keterbukaan dalam cara pandang dan cara pikirnya. Konsistensi jelas merupakan keharusan bagi intelektual.

Namun, setelah mendapatkan ”pandangan ilmiah lain” yang lebih teruji dan meyakinkan, merevisi pandangan ilmiah yang semula diyakini juga merupakan bagian dari konsistensi untuk menjunjung tinggi kebenaran dan kemanusiaan.

Sikap konsisten berbeda dengan sikap fundamentalis. Seperti yang terjadi pada sebagian pemeluk agama, bersikap fundamendalis dalam meyakini pengetahuan, termasuk dalam hal paradigma pembangunan, dapat mengantarkan seorang ilmuwan pada kejumudan dan kepicikan.

Mengorbankan keyakinan ilmiah yang telah mendarah daging, dengan mengadopsi alternatif kebijakan berparadigma lain demi kemaslahatan rakyat, bukanlah sebuah dosa intelektual. Sebaliknya, ia adalah bentuk kejujuran dan sikap rendah hati dalam mengabdi pada kemanusiaan.

Sewaktu PM Malaysia Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control semasa krisis Asia, caci maki dari media massa internasional mainstream tak terbendung lagi. Padahal, seperti dituturkan Wakil Direktur Insitute for Strategic and International Studies/ISIS Malaysia Dr Stephen Leong kepada penulis, kebijakan Mahathir itu diambil setelah dia mengundang puluhan ahli ekonomi, politik, sosial, dan pembangunan untuk berdebat panjang tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah perluasan krisis di Malaysia.

Hasilnya, kebijakan capital control telah mencegah Malaysia dari instabilitas ekonomi berkepanjangan akibat fluktuasi nilai mata uang. Sebaliknya, Indonesia yang begitu patuh pada rumusrumus neoliberalisme IMF (yang belakangan disesali oleh para petinggi IMF sendiri) sampai detik ini justru terus-menerus menjadi bulan-bulanan aksi spekulasi di balik fluktuasi dalam sistem finansial internasional dan tak kunjung mampu membangun fundamen ekonomi nasional yang kuat.

Para teknokrat kita bungkam seribu bahasa ketika menjelang Mahathir melepaskan jabatan di tahun 2004. Sejumlah besar ekonom dunia berkumpul di London untuk mendiskusikan dan mengapresiasi kebijakan capital control sebagai ”inovasi ilmiah” yang cerdas guna menanggulangi krisis finansial.

Mengutip John Maynard Keynes, Larry Summer menyatakan, ”When circumstances change, I change my opinion” (Newsweek, 2/3/). Summer tampaknya setuju dengan Darwin bahwa kemampuan adaptasi adalah kata kunci bagi kemenangan manusia dalam sejarahnya yang panjang.

Bagaimana dengan para teknokrat dalam pemerintah kita? Sudahkah mereka beranjak dari cari pandang neoliberalisme ”karatan” yang kini justru telah dicampakkan di negeri asalnya?(*)

Penulis adalah Dosen Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI

No comments:

Post a Comment