Monday, March 30, 2009

Efektifkan Penurunan Suku Bunga

Oleh: Sri Adiningsih
Sumber: Jawa Pos, 30 Maret 2009

Problem ekonomi yang kita hadapi tampaknya belum akan berkurang. Padahal, berbagai program penyelamatan sudah diluncurkan, baik lewat stimulus fiskal maupun ekspansi moneter melalui penurunan BI rate. Yang terbaru, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini turun menjadi 3-4 persen. Itu berarti hampir separo dari proyeksi awal yang ditargetkan mencapai 6,5 persen. Jelas ini menunjukkan 2009 merupakan tahun yang berat bagi bangsa Indonesia sejak krisis ekonomi 1997 lalu.

Jika laju pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 3-4 persen, itu berarti hampir sama dengan periode 2001 ketika Indonesia masih berada dalam krisis ekonomi. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi 2000 (4,9 persen) masih lebih tinggi daripada 2001. Demikian pula 2002. Ini menunjukkan masalah ekonomi yang kita hadapi semakin serius. Semakin seriusnya masalah ekonomi perlu diikuti upaya serius mengatasinya. BI memang sudah agresif menurunkan suku bunga. Jika November 2008 BI rate masih 9,5 persen, pada Maret ini sudah 7,75 persen atau turun 1,75 persen dalam tempo empat bulan. Apakah penurunan suku bunga dapat mengerem turunnya pertumbuhan? Belum tentu. Sebab, banyak hal yang memengaruhi kemampuan ekspansi moneter.

Kredit Tak Searah Suku Bunga

Krisis memaksa semua negara menyelamatkan ekonomi domestiknya dengan berbagai cara. Di antaranya dengan stimulus fiskal, menjadi proteksionis, ataupun menurunkan suku bunga. Gelombang penurunan suku bunga besar-besaran sudah meluas. Apalagi, G-20 yang merupakan grup negara-negara yang memiliki peran besar dalam perekonomian dan perdagangan dunia juga aktif meminta anggotanya dan negara lain untuk melonggarkan kebijakan moneter.

Suku bunga Bank Sentral AS (Federal Reserve) kini berada di kisaran 0-0,25 persen. Sangat rendah dan belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ini, suku bunga tiga bulan di AS tinggal 0,44 persen (The Economist Maret 2009). Demikian pula Jepang yang biasa dengan suku bunga rendah memangkas lebih rendah lagi rate-nya. Suku bunga tiga bulan di Negeri Sakura itu tinggal 0,57 persen. Negara ASEAN seperti Malaysia juga menurunkan suku bunga menjadi 2,09 persen, dan di Singapura 0,63 persen untuk maturity yang sama. Bahkan, negara seperti Thailand yang suhu politiknya memanas juga memangkas suku bunga tinggal 1,82 persen. Dapat kita lihat bahwa secara global pemangkasan suku bunga besar-besaran sudah terjadi.

Indonesia masih sangat ketinggalan. Suku bunga untuk pasar uang dengan tenor tiga bulan masih bertengger pada 9,35 persen. Ini jelas jauh lebih tinggi daripada beberapa negara tersebut. Sayangnya, gelombang penurunan suku bunga global belum dapat mengerem pemburukan ekonomi dunia. Tak heran, lembaga think thank internasional maupun lembaga multilateral terus merevisi laju pertumbuhan ekonomi global. Hingga akhir tahun ini, diperkirakan terjadi kontraksi 0,5-1,5 persen. Bagaimana dengan Indonesia?

Secara teoretis, kita berharap turunnya suku bunga akan mendorong kredit ataupun investasi sehingga memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataan tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan. Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan turunnya suku bunga tidak serta merta mendongkrak kredit. Data BI menunjukkan saat suku bunga SBI 1 bulan turun dari 17,62 persen (2001) menjadi 12,93 persen (2002), hingga 8,31 persen (2003), bahkan mencapai titik terendah 7,43 persen (2004), ternyata pertumbuhan kredit tidak searah dengan gerakan suku bunga.

Pertumbuhan kredit 2002 sebesar 34 persen, lebih besar dibanding tahun-tahun berikutnya di mana bunga lebih rendah. Lihat pertumbuhan kredit pada 2003 adalah 26,1 persen dan 2004 tumbuh 28 persen. Namun saat suku bunga naik yang mencapai 12,75 persen pada (2005), pertumbuhan kredit sempat turun menjadi 12,8 persen. Sebab, saat itu terjadi guncangan ekonomi makro ketika ada kenaikan harga BBM. Sedangkan saat BI rate naik dari 8 persen (2007) ke 9 persen (2008), pertumbuhan kredit rupiah bank umum malah melonjak 33,2 persen. Dari situ, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pergerakan suku bunga dan kredit rupiah bank umum.

Karena itu, mulai muncul banyak diskusi mengenai semakin tidak efektifnya penurunan suku bunga dalam mendorong kredit ataupun investasi serta pertumbuhan. Tidak efektifnya suku bunga dalam memengaruhi penyaluran kredit dipengaruhi banyak faktor. Salah satu penjelasannya adalah penurunan BI rate tidak serta merta diikuti turunnya suku bunga kredit dalam waktu yang cepat. Bunga kredit biasanya baru turun setelah koreksi BI rate berlangsung beberapa bulan. Dan, penurunan bunga kredit pada umumnya di bawah 1 persen atau jauh dari penurunan BI rate selama ini.

Selain respons lembaga keuangan (bank ataupun nonbank) yang lamban dalam menurunkan suku bunga, ada kecenderungan banker ataupun masyarakat yang semakin pruden saat terjadi krisis ekonomi. Banker mulai khawatir dengan meningkatnya kredit bermasalah atau NPL (Januari NPL naik Rp 9 triliun), sehingga semakin berhati-hati menyalurkan kredit. Demikian juga pengusaha ataupun masyarakat semakin berhati-hati dalam berutang. Apalagi, kondisi ekonomi diperkirakan masih memburuk. Ketakutan terkena PHK (diperkirakan meningkat setelah April 2009), ataupun turunnya omzet penjualan dan turunnya pendapatan membuat pengusaha ataupun masyarakat tidak berani mengambil risiko dengan berutang. Ini juga terjadi pada krisis 1997 lalu.

Ketika penyaluran kredit kian seret, ternyata masyarakat bawah ataupun usaha informal banyak yang terjebak rentenir. Sebab, mereka kesulitan mendapat akses dana dari bank ataupun berbagai program pemberdayaan UMKM. Praktik kredit berbunga tinggi yang membelenggu usaha mikro dan kecil di pasar tradisional ditengarai dilakukan koperasi simpan pinjam ataupun berbagai lembaga keuangan mikro. Padahal, usaha mikro dan kecil menjadi penyelamat kelompok masyarakat bawah yang terkena PHK maupun kesulitan mendapatkan pekerjaan. (*)

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta

No comments:

Post a Comment