Monday, March 16, 2009

Petani,Pemilu,dan Sistem Ekonomi

Oleh: Khudori
Sumber: Seputar Indonesia, 16 Maret 2009

Suhu politik nasional kian mendidih. Menjelang pemilu legislatif, 9 April 2009, partai politik dan politisi kian intensif melakukan manuver politik. Banyak pula politikus yang telah berikrar maju menjadi calon presiden.

Bagi elite politik dan pengusaha, pemilu merupakan momentum penting yang dinantikan. Lewat proses demokrasi lima tahunan itu terjadi sirkulasi kepemimpinan nasional.Siapa presiden dan partai politik (parpol) apa yang memenangi pemilu akan menentukan corak kebijakan nasional selama lima tahun ke depan.

Sebaliknya, petani tidak begitu peduli dengan pemilu. Ini tidak lepas dari disain politik yang melemahkan petani, baik secara ekonomi maupun politik. Setiap pemilu petani tidak pernah menjadi kalkulasi politik penting. Mereka hanya dihitung dalam jumlah dan menjadi rebutan partai politik, calon presiden/wakil presiden atau anggota dewan.

Pascapemilu, petani kembali sendirian, murung, dan tetap terbelit oleh kemiskinan. Berbeda dengan pengusaha, eksekutif atau elite politik yang bisa rehat menikmati hiruk-pikuk pemilu, petani kecil tidak bisa berhenti berusaha tani.Ada pemilu atau tidak,perut 230 juta warga Indonesia tetap harus dipasok dengan 33 juta ton beras, 3,8 juta ton gula, termasuk daging, ayam, dan telur.

Sayur-sayuran, buah, dan bunga juga harus tetap diproduksi.Sebab,kalau ada presiden baru, karangan bunga menjadi larismanis. *** Berbeda dengan di negara maju, pemilu atau proses pergantian kekuasaan hampir tidak mengganggu kerja ekonomi, termasuk sektor pertanian. Di Jepang, AS, Jerman, dan Inggris misalnya, ada pemilu atau tidak, ekonomi tetap mengalir.

Di Thailand, pejabat politik di sektor agronomi hanya Menteri Pertanian dan Koperasi yang tidak memimpin departemen. Departemen (pertanian, koperasi dan penyuluhan) dipimpin seorang dirjen yang birokrat murni. Pergantian kekuasaan, lewat pemilu atau kudeta,tak berpengaruh terhadap departemen maupun dirjennya.

Makanya,ekspor durian,lengkeng, dan burung perkutut ke Indonesia bisa berlangsung meskipun pemilu atau kudeta tengah berlangsung. Di Indonesia kondisinya berbeda. Secara empirik, pejabat politik di sektor agronomi cuma tiga: Menteri Pertanian,Menteri Kehutanan,dan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Namun, secara faktual, 75–80% masalah sektor agro berada di pejabat politik lain, mulai Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Pekerjaan Umum hingga Menteri Negara BUMN. Pejabat politik di lembaga-lembaga ini justru lebih powerful. Berbeda dengan Thailand, di Indonesia seorang menteri–– kecuali menteri negara— memimpin departemen.

Corak kebijakan departemen amat ditentukan oleh sang menteri. Pejabat dirjen tak punya kekuasaan menentukan kalau tidak bisa dikatakan mandul. Pelembagaan politik dalam bentuk aturan (UU dan sejenisnya) untuk melindungi petani belum banyak dilakukan di Indonesia.Akibatnya,tiap ganti pemerintahan ganti pula orientasi kebijakan di bidang agronomi.

Jika sebuah pemerintahan berorientasi neoliberal, corak kebijakan akan berwatak neoliberal. Ini bertolak belakang dengan di negaranegara maju. Di AS, pertanian dilindungi lebih 100 jenis UU dengan dimensi detail.

Mulai dari Sugar Act 1774, Homestead Act 1862 yang membuat petani memperoleh lahan pertanian per unit 65 hektare, Agricultural Adjustment Act 1938 setebal 142 halaman,Agricultural Marketing Act of 1946, Commodity Distribution Reform Actand WICAmendmentsof1987 hingga Animal Welfare Act (Pakpahan, 2004).

Subsidi ke petani pun didasari UU. Di Jepang meski industri berkembang pesat, pertanian tidak lemah. Kepemilikan tanah meningkat. Di Hokkaido luas lahan per petani sekitar 20 hektare.Seiring transformasi ekonomi, Agricultural and Lifestock Industry Company dibentuk sebagai lembaga dan instrumen untuk melindungi petani dari persaingan global. Seperti Indonesia, pertanian Thailand berbasis petani kecil.

Tapi Thailand sangat melindungi petani dari persaingan negara lain. Di sana ada Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative. Sementara di Indonesia BRI yang semula bank koperasi,petani,dan nelayan kini jadi bank umum.

*** Apa arti semua ini? Bahwa peminggiran kultur dan politik pertanian di Indonesia berkait erat dengan the way of thinking, feeling, and bilieving dari para pemimpin, pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan. Posisi, peran dan fungsi pertanian di Indonesia sudah berkali-kali ditulis dalam berbagai dokumen kebijakan,tapi implementasinya melenceng.

Ini terjadi karena mindset atau belief systems para pemimpin dan pengambil kebijakan (tetap) memandang remeh pertanian. Jika saja pertanian menjadi bilief systems, maka pertanian tidak akan dipandang secara sektoral seperti selama ini,tapi diangkat menjadi masalah hidup-matinya sebuah bangsa, seperti yang dilakukan oleh negaranegara maju. Indonesia pernah dijajah bangsa Barat.

Tapi keterjajahan tidak menghasilkan kegeraman historis seperti di Cina hingga berujung pada semangat productivity culture seperti saat ini (Wibowo, 2004). Kerajaan Majapahit yang konon menguasai Nusantara jarang jadi pijak sejarah.Mengapa? Ini sama saja menggugat dari mana sejarah Indonesia dimulai?

Wajar keterjajahan tidak memunculkan kegeraman historis.Pada gilirannya productivity culture tak tumbuh dan semangat bersaing jadi loyo. Saya jadi ingat tesis Geertz,bahwa bangsa ini mengidap penyakit state manque, yaitu tersandung dari sistem (politik dan ekonomi) satu ke sistem (politik dan ekonomi) lain tanpa sempat berpikir mana yang paling baik.

Kita pernah memeluk sistem ekonomi terpimpin, lalu beralih ke developmentalism dan kini ke neoliberalism. Lalu, setelah itu apa lagi? Semoga Pemilu 2009 menghasilkan pemimpin yang bisa merumuskan sistem ekonomi yang ramah petani.(*)


Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

No comments:

Post a Comment