Monday, March 30, 2009

Paket stimulus tak bergizi

Oleh: Faisal Basri
Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2009

Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kesekian kalinya merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009. Jika pada Januari diperkirakan masih tumbuh 0,5%, dalam revisi terakhir yang dikeluarkan pada pertengahan Maret, perekonomi-an dunia akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sekitar 0,5%-1%.

Indonesia tampaknya tidak kalah sigap dengan urusan revisi ini. Sekalipun asumsi APBN 2009 mencantumkan angka 6% (www.depkeu.go.id), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat di bidang ekonomi berulang kali menegaskan bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi berkisar 4,5%-5,5%.

Sementara itu, akhir minggu lalu Bank Indonesia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 dari 4%-5% menjadi 3%-4%.

Kalau ikut arus pesimisme perekonomian dunia, sangat boleh jadi setiap bulan pemerintah dan BI harus terus mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi. Guna keberadaan pemerintah adalah memelihara dan memperkuat pertahanan empat "tanggul" agar arus deras kemerosotan perekonomian dunia bisa terbendung.

Ekspor jebol

Tanggul ekspor sudah hampir bisa dipastikan jebol. Di antara negara anggota G-20-yang menyelenggarakan KTT di London, pada awal April 2009-kemerosotan ekspor Indonesia pada Januari 2009 paling parah kedua setelah Rusia.

Namun, hal ini tidak akan sampai menimbulkan air bah yang memorak-porandakan perekonomian, karena peranannya dalam produk domestik bruto (PDB) relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Bahkan masih bisa memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi seandainya kemerosotan impor lebih tajam daripada penurunan ekspor sebagaimana yang terjadi di China dewasa ini dan yang kita alami pada saat krisis 1998.

Investasi (pembentukan modal tetap bruto) merupakan tanggul yang diperkirakan masih bisa bertahan dengan pertumbuhan positif, tetapi dayanya terkikis dibandingkan dengan pada 2008.

Ada sejumput optimisme tambahan daya yang berasal dari investasi asing langsung, mengingat beberapa perusahaan multinasional melihat Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang lumayan besar dan minat pemodal di sektor pertambangan dan energi tetap menjanjikan.

Tanggul pengeluaran pemerintah (konsumsi dan investasi) tidak banyak bisa diharapkan. Komponen konsumsi pemerintah hanya menyumbang 8% terhadap PDB.

Komponen investasi dalam bentuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp12,2 triliun-yang merupakan bagian kecil dari paket stimulus total senilai Rp73,3 triliun-bisa diibaratkan seperti menggarami air laut, mengingat porsinya hanya 0,2% dari PDB.

Yang terbesar adalah tanggul konsumsi rumah tangga. Pada 2008, tanggul ini menyumbang 61% PDB.

Menyadari betapa pentingnya tanggul konsumsi rumah tangga, pemerintah tampaknya mengerahkan hampir seluruh daya agar peningkatan daya beli masyarakat tidak melorot dan gelombang PHK bisa ditekan. Pemerintah mengklaim dana stimulus di luar belanja infrastruktur sebesar Rp61,1 triliun bisa menjawab dua persoalan tersebut sekaligus.

Sungguh sangat disayangkan harapan pemerintah itu jauh panggang dari api. Sangat keterlaluan kalau pemerintah memasukkan penurunan tarif pajak penghasilan perseorangan, pajak keuntungan perseroan, dan peningkatan pendapatan tidak kena pajak ke dalam paket stimulus.

Bukankah semua ini sudah berlaku otomatis sesuai dengan undang-undang PPh baru untuk memenuhi tuntutan perubahan lingkungan makro dan eksternal, yang tidak terkait sama sekali dengan krisis global?

Lebih keterlaluan lagi adalah dengan memasukkan pula potongan pembayaran cicilan pajak badan sebesar 25% ke dalam paket stimulus. Untuk usaha-usaha tertentu yang tahun lalu menikmati lonjakan laba karena harga komoditas yang meroket, perkiraan laba tahun ini turun lebih dari 50%. Mereka harusnya dapat potongan jauh lebih besar.

Bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan itu akan mengalihkan "tabungan pajak" untuk meningkatkan pendapatan pegawainya kalau yang sebenarnya terjadi adalah kekeringan likuiditas, karena harus membayar pajak di muka berdasarkan laba tahun lalu walau dengan potongan 25%.

Bagi perusahaan yang memperoleh dampak neto positif dari tabungan pajak, mungkin sedikit menolong persoalan likuiditas yang disebabkan meminjam di bank lebih sulit dan dengan suku bunga yang tetap tinggi, sehingga mengalihkannya untuk tambahan pendapatan karyawan mungkin bukan prioritas utama.

Hal serupa berlaku pula untuk insentif PPh karyawan dengan pendapatan di atas PTKP hingga Rp5 juta per bulan. Pemerintah beralasan, kelompok ini dipilih karena hampir semua tambahan pendapatan mereka akan dibelanjakan (marginal propensity to consume tinggi), sehingga memiliki efek berganda yang tinggi terhadap pendapatan nasional.

Namun, bukankah kelompok sasaran ini sangat kecil, mengingat 70% pekerja kita menyemut di sektor informal? Berapa persen dari 30% sisanya yang di sektor formal akan menikmati? Niscaya kecil sekali.

Bukan stimulus

Bagaimana dengan BLT? BLT sebetulnya paling efektif untuk mendongkrak daya beli.

Namun, karena hanya untuk dua bulan senilai Rp3,7 triliun, berarti tidak menambah daya dongkrak dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp13 triliun. Itu namanya bukan stimulus, tetapi penggembosan.

Jika demikian halnya, pantas saja kalau pemerintah dan BI lebih sigap berulangkali menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Sekalipun demikian, saya masih berharap perekonomian Indonesia tidak akan terjerembab dan pengangguran tidak menggelembung.

Ini karena dunia usaha dan masyarakat tampaknya sudah lama tidak terlalu banyak berharap pada uluran tangan pemerintah. Bagi mereka, sudah cukup kalau pemerintah tidak banyak mengganggu. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tidak cukup.

Penulis adalah Staf Pengajar FE-UI

No comments:

Post a Comment